Just For Me
Disclamer © Masashi Kishimoto
Pairing : Uchiha Sasuke X Hyuuga Hinata, Haruno Sakura X Uzumaki Naruto
Rated : T, Semi M (Dikit kok ga banyak amat, buat jaga-jaga) :D
Genre : Friendship, Drama, Romance
Warning : OOC, Typo's everywhere, cerita pasaran, AU, Gaje, DLL
Fanfic ini seutuhnya milik Zay-Chan *Gomen* Aku hanya pinjam pemerannya saja.
Jangan buli aku yang masih belajar dan baru kenal dengan dunia FFn *Nyembah*.
PROLOG
.
.
Hari ini adalah hari dimana semua orang akan memulai aktivitasnya dengan mengenakan pakaian tebal yang menghiasi tubuh setiap manusia. Tak jarang, ada yang mengenakan penutup kepala di sertai earphone yang menghiasi kepala mereka. Musim salju, itulah gambaran musim saat ini. Banyak manusia yang membenci kedatangan musim ini. Termasuk Hinata. Gadis bersurai indigo panjang yang cantik dan lembut. Pandangan matanya yang bisa menghanyutkan siapapun menambahkan kesan imut padanya. Ah, demi apapun, banyak kaum hawa yang ingin seperti Hinata. Walaupun gadis itu mempunyai badan yang sedikit berisi disertai pipi yang juga mengembang, namun tak mengubah kesan eloknya yang terlanjur melekat indah padanya. Justru, dengan penampilan yang ia biarkan seperti itu, semakin banyak pula gadis di sekitarnya yang iri padanya. Imut nan menggemaskan.
Gadis ini memiliki sifat anti sosial yang sangat tinggi. Ia yang lemah, cengeng, dan mudah sekali di tipu karena mudah merasa iba, membuatnya jauh dari orang-orang yang berada di sekelilingnya. Neji, kakak sepupunya yang berwajah rupawan dan memiliki rambut coklat panjang juga mata yang sama dengan Hinata, sangat memproteksi adik sepupunya tersebut yang merupakan putri sulung dari Hyuuga Hiashi. Seorang pengusaha terkenal di Konoha. Hinata yang memilih menimba ilmu di Tokyo, tinggal bersama kerabat marganya yaitu marga Sarutobi. Dialah Kurenai dan Asuma. Neji sengaja menitipkannnya kepada kerabat jauh marga Hyuuga yang juga berprofesi sebagai dosen tempat Hinata menimba ilmu tersebut.
"Hinata, kau darimana saja? Bibi mengkhawatirkanmu". Kurenai, sosok wanita dewasa bersurai hitam pekat itu membukakan pintu untuk Hinata. Gadis bersurai indigo dan bermata ungu kepucatan yang berada di ambang pintu rumah bergaya Jepang klasik itu.
"Gomen, bibi. Tadi aku mengikuti praktik tambahan di kelas medis dengan Tsunade-sama. Aku tidak sempat menghubungi bibi karena ponselku mati". Gadis itu menundukkan wajahnya dalam anakan rambut yang tertata rapi di dahinya. Ia sangat takut jika bibinya akan sangat memarahinya.
Tanpa ada perintah dan tanpa ada yang tau, terlihat sosok pria berbadan tegap sedang mengamati kedua wanita yang berbeda usia itu dari balik kaca mobil hitam pekatnya.
"Jadi, ini rumahnya? Dia tak seperti gadis lain yang berada di kampus. Semakin membuatku penasaran saja". Pria itu menyunggingkan senyumannya. Bukan, itu senyuman licik-cengiran-khasnya. Tak lama kemudian, pria itu berlalu dari jalanan yang berada di depan rumah kecil yang di huni oleh gadis bersurai indigo, Hinata.
SATU
Pagi hari menyapa. Gadis bersurai indigo yang sedang terlelap dalam tidurnya, membuka kelopak matanya yang sayu. Ia melirik jam beker mungilnya. Arah jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Ditambah lagi dengan udara dingin akibat musim salju. Hinata membuka mulutnya lalu mengatupkan dengan tangan mungilnya. Ia juga sedikit menggerakkan anggota tubuhnya.
Kemudian, kaki jenjangnya ia biarkan menyentuh lantai yang sangat dingin untuk di sentuh kaki putihnya. Untung saja, kakinya berhasil mengenai alas kaki yang melindungi kakinya dari dinginnya lantai kamarnya. Hinata berjalan kearah jendela, membuka tirai gorden yang menutupi kaca dan juga tempat menukarkan udara di dalam ruangan pribadinya dengan udara alami yang berada di luar sana. Kemudian, ia menghampiri kamar mandi mungilnya yang terletak di sudut kamarnya.
Seusai mandi, gadis ini berjalan menuju kedapur. Disana sudah terlihat bibinya, Kurenai yang sedang menyiapkan sarapan. Sedangkan sang paman, Asuma sedang berolah raga di depan rumahnya.
"Hinata, kau sudah bangun?". Kurenai yang tak sedikitpun melihat kearah Hinata yang sedang meneguk air putih di tangannya, menyadari akan kehadiran gadis tersebut di belakangnya sembari terus bergulat dengan peralatan dapur di depannya.
"Hmm. I-iya bibi. Selamat pagi". Hinata menaruh gelas kesayangannya itu kembali di meja makan. Gelas ungu bermotif lavender.
"B-boleh aku membantu bibi?". Hinata menghampiri Kurenai yang tak hentinya bergulat dengan perlatan dapur.
"Eh? Apa kau bisa?". Kurenai melirik Hinata yang sudah berada disisinya dengan ekor matanya. Sedikit meragukan kemampuan anak dari kerabatnya ini.
"Se-serahkan saja padaku, bi". Hinata mulai membersihkan bahan yang akan ia masak. Kurenai, ia membuat teh hijau untuknya dan suami yang sedang berolah raga di depan rumah. Tangan lemah Hinata yang terampil begitu cekatan dengan alat-alat memasak tersebut.
"Beruntung sekali Hikari memiliki anak perempuan sepertimu, Hinata". Kurenai yang sudah selesai menyiapkan tehnya itu duduk di meja makan. Memperhatikan punggung kecil ramping milik Hinata.
Hinata tak menggubris pujian yang di lontarkan oleh bibinya. Ia terus saja mengolah masakan yang berada di depannya. Hingga, hidangan hangat berhasil ia selesaikan. Dengan hati-hati, Hinata menatanya di beberapa piring dan mangkuk. Kurenai turut membantu gadis yang baru berusia 19 tahun itu menatanya ke meja makan. Asuma yang baru saja selesai berjalan-jalan di depan rumahnya, segera duduk di meja makan menikmati masakan Hinata.
"A-aku sudah selesai. Aku permisi berangkat kuliah dulu paman, bibi". Hinata yang mengenakan sweater berwarna ungu sudah selesai dengan sarapan paginya. Ia merapikan pakaiannya.
"Hinata-chan, ini kan masih pukul 7 pagi. Apa tidak terlalu pagi?". Kurenai melihat gadis remaja di depannya yang sedang bersiap untuk segera pergi ke tujuan yang ia kehendaki.
"Iya, Hinata. Jam kuliahmu kan jam 8 pagi nanti". Asuma ikut menyela pertanyaan yang dilontarkan istrinya kepada gadis bermata keunguan pucat sembari menyuapkan sarapan pagi ke mulutnya.
"A-aku akan kerumah Sakura-chan. Aku sudah berjanji untuk m-menjemputnya". Gadis itu kini menggantungkan tas jinjingnya ke bahunya.
Hinata berjalan keluar rumahnya. Ia menyusuri jalanan yang masih sepi dengan santai. Gadis bersurai indigo itu tidak langsung pergi ke kampusnya, melainkan ia pergi ke sebuah kompleks perumahan yang letaknya tak jauh dari kompleks perumahannya. Langkah kaki kecilnya terhenti di sebuah gang jalan kecil di kompleks perumahan yang lumayan elite tersebut. Hinata berdiri di ambang gerbang rumah bernuansa pink. Lembut, terkesan feminim. Tangan mungilnya memencet tombol bel yang berada di sisi kiri pintu gerbang sederhana di depannya.
Tiga kali menekan, terlihat seorang gadis seusia Hinata keluar dari pintu rumah yang bergaya modern itu. Sosok gadis manis bersurai permen karet lengkap dengan mata emerald-nya tersenyum kearah Hinata. Ia menghampiri tempat Hinata berdiri. Gadis ini bernama Haruno Sakura. Teman Hinata sejak ia duduk di bangku SMA.
"Hinata, ayo masuk. Aku tidak betah dengan udara dingin". Sakura membuka pintu gerbang rumahnya. Sakura menyewa sebuah rumah yang tak jauh dari kampusnya. Ia tinggal bersama Ayame, kakak kelas yang merupakan kekasih dari kakak kandungnya, Sasori. Mereka memang akrab karena Ayame yang sangat ramah kepada Sakura.
.
.
.
.
"Sampai sini saja. Aku ingin berjalan untuk sampai ke kampus". Suara berat nan serak itu membuyarkan konsentrasi seorang supir yang berada di depannya.
"Tapi ini masih – ".
"Aku ingin turun sekarang juga, Jugo". Belum sempat supir itu menyelesaikan ucapannya, pria tampan berambut raven yang sedang duduk di bangku penumpang itu memutuskan pembicaran supir pribadinya.
"Baiklah, Tuan Sasuke". Ia lebih memilih menuruti kemauan bosnya. Ia sangat paham jika bosnya tersebut sangat dingin dan tidak menginginkan penolakan dalam bentuk apapun.
Pria berambut raven itu keluar dari mobil sportnya yang berwarna silver. Sangat mewah. Namun ia berpenampilan biasa seperti pria di sekelilingnya. Hanya saja, tak bisa disangkal lagi ketampanan wajahnya yang mengundang banyak manusia terutama kaum Hawa mengaguminya. Sedangkan kaum Adam sangat iri melihat kesempurnaannya. Rambut yang melawan arah gravitasi, kedua manik mata onyx yang sekelam malam, bibir tipis, badan kekar, tinggi yang proporsional, hidung yang mancung, serta kulit yang putih bersih.
Pria tampan tersebut bernama Uchiha Sasuke. Anak kedua dari marga Uchiha. Pebisnis ternama yang juga rekan bisnis dari marga Hyuuga. Ia adik dari Uchiha Itachi dan kakak kandung dari Uchiha Sai. Ia dikirim ke Tokyo dari Canada hanya untuk menjaga adiknya, Sai. Walau ia mahasiswa baru di Tokyo, ia tak harus duduk di kelas awal sebagai junior karena kemampuan otaknya yang sangat luar biasa. Tsunade, sang kepala dosen sudah mengetahui hal itu dan mempersilakan Sasuke memasuki kelas semester ke 4. Sungguh luar biasa.
Sasuke sengaja berjalan kaki melewati pinggir Universitas yang akan menjadi Universitas barunya.
"Sungguh ironis. Kalau bukan Kaa-san yang meminta, aku tak sudi berpindah ke Tokyo hanya untuk menjaga Sai. Bukankah dia sudah 19 tahun?. Cih, menyebalkan". Selama di perjalanan, Sasuke mengumpat tak menentu mengingat penyebabnya ia harus berpindah ke Tokyo karena kemauan sang ibu yang sangat tak bisa ia tolak.
***SATU***
"Untung saja kita tak terlambat, Hinata. Ayo kita ma – ".
"Hei! Hinata, Sakura!". Belum selesai Sakura menyelesaikan ucapannya, terlihat sosok pria manis berkulit tan berteriak memanggil namanya dan Hinata. Ia juga melambaikan tangannya kepada Sakura dan Hinata. Siapa lagi kalau bukan sahabat mereka yang berambut kuning jabrik lengkap dengan kedua manik shappire-nya. Uzumaki Naruto.
"Naruto-kun". Hinata membalikkan badannya untuk melihat sumber suara cempreng yang memanggil namanya dan Sakura. Ia tersenyum hangat kearah Naruto. Sahabat kecilnya yang teman akrab semasa SMA tersebut.
"Kau? Kau Naruto kan? Anak Tsunade-sama itu kan?". Sakura menatap nanar teman lamanya itu yang sudah lama tak ia temui.
"Hehe, kalian masih mengingatku. Aku juga kuliah disini. Tou-san Jiraiya ingin aku kuliah disini". Naruto memperlihatkan gigi putih nan rapinya dengan sempurna hingga ia menyipitkan matanya.
"Yasudahlah, ayo masuk". Tanpa menunggu lebih lama lagi, Sakura menarik tangan Hinata yang disusul oleh Naruto dibelakangnya.
.
.
.
.
.
"Wah, senangnya kita kembali berkumpul". Senyuman merekah menghiasi pipi gadis bersurai blonde. Yamanaka Ino. Salah satu sahabat dekat Sakura yang kebetulan mengambil jurusan yang sama dengan Sakura.
"Iya. Aku juga senang bertemu dan mengenal kalian". Sambung Tenten. Teman sekelas Hinata yang mengambil fakultas senada dengan Hinata.
Ketika mereka sedang enak berbicara, tak disangka ada bola basket dengan kecepatan yang lumayan tinggi mengenai tangan Hinata yang sedang memegang segelas teh hijau hangat.
"Ah-awww". Hinata mengerang kesakitan sembari memegang pergelangan tangan kanannya yang terkena bola basket.
"Eh, Hinata. Siapa yang berani melukai Hi – ".
"Sa-sa-suke senpai". Belum selesai Sakura menyelesaikan kalimatnya, Ino sudah mematahkan ucapan Sakura.
"E-eh? Ma-mana?". Sakura tak melanjutkan perhatiannya pada Hinata dan berbalik melihat seorang pria berambut raven yang sedang berada di lapangan basket menatap kearahnya.
"Dasar. Hinata, kau tak apa kan? Apa kau terluka?". Tenten memegang tangan mungil Hinata menggantikan posisi Sakura yang semula memerhatikan Hinata.
"Hmm. Aku tak mengapa". Hinata menatap pelan kearah Tenten. Ia mengajak Hinata duduk di pinggir lapangan untuk memeriksa luka Hinata.
"Maaf. Kau tak apa kan?". Sosok pria berambut nanas menghampiri Hinata dan Tenten yang akan mengobati memar di tangan mungil Hinata itu.
"Shikamaru senpai. Dia tak apa, ia hanya sedikit memar saja". Tenten menjelaskan kepada Shikamaru yang berdiri didepannya.
"Maafkan teman baruku ya? Dia yang memakai kaus biru gelap itu. Tadi dia sedikit kasar bermainnya. Dia Sasuke. Haah, merepotkan saja". Sepasang mata ungu kepucatan milik Hinata melirik kearah Sasuke. Kedua temannya, Sakura dan Ino tak berhenti memperhatikan Sasuke. Tenten hanya menganggukkan kepala kepada Shikamaru yang mengambil bola basket di samping Hinata.
'Siapa dia? Mengapa aku baru melihatnya? Dan mengapa banyak mahasiswi yang membicarakannya?'. Hinata berbicara pada batinnya sendiri sembari tetap memandang Sasuke yang juga memandangnya.
To Be Continue . . . .
A/N : Maafkan saya yang baru belajar menulis FF yang Gaje ini. *Gomen*. Alur cerita berantakan. Just RnR
