Hetalia © Hidekaz Himaruya

Chocolate © Lily Tsukaima

Nah, apa yang belum kulakukan… pikirku sambil berjalan keliling sekolah sambil menggigiti permen karet yang ada di mulutku. Sebenarnya aku tak pernah kehabisan ide untuk mengerjai orang, tapi karena matahari yang bersinar sangat terik ini aku jadi kebingungan. Ya, itu alasan yang kubuat-buat. Jadi, setelah mengolesi bangku Alfred yang ada di ruang OSIS dengan lem super dan merobek beberapa buku yang ada di perpustakaan –dan kena marah Elizabeta—aku kehabisan ide untuk mengerjai orang.

Aku berjalan lurus ke depan, masih mengunyah permen karetku. Permen karet memang bukan makanan kesukaanku tapi yang ada di kantungku beberapa saat lalu hanyalah permen karet mint ini, jadi mau tidak mau harus kumakan. Ngomong-ngomong soal makanan, aku memegang perutku yang kosong. Aku bukan orang yang rakus akan makanan dan ingin makan setiap saat, aku belum makan sekitar dua belas jam yang lalu. Jadi, aku berjalan ke salah satu restoran fast food di belakang sekolah.

Suasananya tak terlalu ramai juga tak terlalu sepi karena ini sudah hampir telat untuk makan siang. Aku berjalan mengelilingi restoran itu dan seseorang memanggilku dari belakang. "Hong!" aku menengok dan mendapati Arthur sedang duduk dengan beberapa temannya –Alfred, Kiku dan paman Francis. Yang kutatap bukan Arthur melainkan Alfred, matilah aku kalau ia tahu yang mengolesi lem di bangkunya tadi. Aku membalikkan badan dan berniat keluar restoran itu, tapi malangnya nasibku, paman Francis menarikku menuju kursi Alfred dan yang lainnya.

"Kau mau kemana? Sini makan bersama kami." Kata Francis riang, Francis adalah paman dari Arthur dan Arthur adalah pacar Alfred. Kiku adalah teman dekat Arthur sejak kecil dan sempat menyukai pemuda beralis tebal itu sampai ia menemui Hercales. Jadi, aku ditarik ke meja Alfred dan pemuda berkacamata itu menatapku tajam. Oh, dia tahu. Dia pasti tahu kalau aku yang mengoleskan lem itu.

Setelah dipaksa duduk oleh Francis, aku berdiri kembali dan berlari ke luar restoran itu tanpa menghiraukan teriakan paman Francis. Aku tak peduli, yang penting aku tak kena marah si Alfred itu. Aku berhenti berlari di bawah pohon rimbun di taman yang letaknya agak jauh dari restoran itu maupun dari sekolah –tidak menghiraukan bel sekolah yang terdengar saat aku melewati sekolah. Berniat membolos? Ya. Kebiasaan membolos? Ya. Jadi jangan heran kalau kau hanya menemukanku di perpustakaan sekolah untuk membaca komik dan di internet café di dekat rumahku.

Aku terengah-engah, berusaha mengatur nafasku sambil bersender ke batang pohon yang tebal. Beberapa detik setelah nafasku kembali, aku menyadari bahwa tak hanya aku di sini. Seseorang dengan rambut blonde tertidur dengan buku yang terbuka di wajahnya dengan seragam yang berbeda denganku. Sinar matahari masuk dari sela-sela daun dan mengenai wajah lelaki itu. Aku mengintipnya dari balik sisi pohon karena mendengar suara nafasnya yang sangat, kuulangi, sangat kecil. Aku memotret wajah orang itu saat buku yang ada di wajahnya jatuh ke tanah dan memerhatikan fotoku.

Kulit putih pucat, badan kecil dan rambut yang terlihat halus. Kuakui, dia lumayan imut. Ya, lumayan. Entah karena mendengar bunyi handphoneku saat aku memotret atau karena buku di wajahnya jatuh, ia membuka matanya dan terlihatlah sepasang mata violet milik gadis itu. Well, aku tak tahu pasti apakah dia itu perempuan atau bukan. Dia terlalu manis untuk dikatakan laki-laki walau itu kenyataannya. Lihat saja dadanya, rata.

Orang itu duduk dengan mata setengah terbuka lalu berkedip beberapa kali dan matanya terbuka penuh. Ia mengambil bukunya lalu menengok ke arahku. Ah, aku salah. Rambutnya… rambutnya bukan blonde, mirip blonde tapi bukan. Rambutnya platinum blonde, warna rambut yang jarang kutemui di sekolah maupun di sekitar rumah –mungkin karena di sekitar rumahku adalah orang Asia semua. Dia menatapku kebingungan. "Hver ert þú?" bahasa apa itu?

Aku menatapnya dengan pandangan bingung dan ia menyadari kalau ia memakai bahasa aneh. "Ah, maaf. Kau siapa? Sedang apa di sini?" tanya orang itu menatapku dengan wajah memerah karena malu. Imut. Ya, imut. Ia mungil dan pipinya memerah, imut. Aku menatapnya dengan tatapan datar.

"Kau sendiri siapa?" tanyaku balik dengan nada sindiran di akhir pertanyaanku. Aku melirik jam tanganku yang mengatakan kalau sekarang sudah jam dua siang lewat empat puluh tujuh menit. Masih jam segini, aku masih punya waktu untuk mengerjai anak imut ini –keputusan yang kuambil setelah melihat anak itu bangun dari tidurnya. Ia menaikan alisnya.

"Aku yang bertanya lebih dulu. Jawab." Pintanya dengan wajah kesal. Imut.

"Namaku Hong. Aku sedang kabur dari beberapa orang jahat yang ingin membunuhku." Bohong, tapi tak sepenuhnya bohong. Alfred orang jahat –setidaknya menurutku—yang akan membunuhku jika ia tahu kalau aku yang mengolesi lem di kursinya dan Arthur juga akan membunuhku karena mengerjai kekasihnya. "Kau sendiri sedang apa?"

"Emil Bondevik," katanya pelan. "Tadinya sedang baca buku The Ballad of Reading Gaol, tapi malah ketiduran." Jelasnya lalu membuka halaman buku dengan sampul kuno itu dengan random. Heh, penggemar Oscar Wilde seperti Yao rupanya, mereka akan jadi teman akrab kalau bertemu. Aku mengangkat satu alisku.

"Kau penggemar Oscar Wilde?" tanyaku seraya menendangi batang pohon raksasa itu dengan ringan. Oh, baiklah, lupakan soal mengerjai anak manis ini, aku tak ada ide untuk mengerjainya lagi –ide itu tiba-tiba hilang. Aku lebih senang memendangi pipinya yang kelihatan empuk dan rambut halusnya. Ia mengangguk pelan mendengar pertanyaanku. Aku duduk bersender batang pohon dan mulai menutup mata.

Ide menghampiriku. Ya, ide menghampiriku dan aku berterima kasih kepada tuhan yang sudah menghilangkan rasa bosanku ini. Aku memanjat ke atas pohon dan melemparkan permen karet yang kumakan tadi –yang sudah tak ada rasanya—ke atas buku Emil. Bukan kepala, bukan bajunya, tapi bukunya. Buku Oscar Wilde kesayangannya. Bagaimana reaksinya saat melihat bukunya terkena permen karet yang lengket? Pasti menarik.

Sebuah senyuman terukir di wajahku.

Aku menjatuhkan permen karet itu yang tepat mengenai halaman sebelah kiri buku yang sedang dibaca Emil. Aku ber-yes pelan lalu menunduk ke bawah untuk melihat reaksi pemuda imut itu. Ia mendongkak –mungkin ia sudah tahu kalau aku ada di atas. Ia membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Tapi ia menutup kembali mulutnya, tunggu... kenapa?

Senyuman di wajahku hilang.

Tidak seru. Ya, reaksinya tidak seru. Aku mengharapkan reaksi seru dari setiap orang yang kukerjai. Pingsan, kaget, marah –mereka semua menunjukkan wajah aneh, aku suka—itulah yang kuharapkan. Tapi, dia tidak marah sama sekali, atau mungkin tak diperlihatkannya. Karena tak mendapat reaksi yang bagus, aku melompat turun dari pohon; bukan semacam manusia super yang bisa melompat dari gedung tinggi yang biasa ada di film, aku hanya melompat dari dahan tebal setinggi dua meter dan kurasa.. itu normal.

Dia cemberut dan menatapku tajam. Oh, dia bukannya tidak marah, ia hanya menahan marahnya. Dan kurasa itu... manis. Oh, dan iya, dia sangat marah. Aku tak tahu arti sebuah novel atau buku lainnya –karena aku lebih suka menghabiskan waktuku bermain video game, update tumblr, dan googling hal-hal menarik lainnya—dan aku tak berniat tahu. Setahuku buku adalah barang yang membosankan, kalau ada kesalahan kata atau kalimat di buku itu tak bisa langsung diubah, menurutku leih baik jika isi di buku dibuat dalam file –lebih menghemat tempat. Well, cukup soal buku.

Ia menatapku semakin tajam saat melihat kembali buku yang sekarang lembarannya lengket karena permen karet. Ia mengumpat sambil berjalan meninggalkanku. Kurasa itu juga bisa dibilang... sisi imut lain dirinya. Sekarang sudah jam tiga dan kurasa aku harus kembali ke sekolah untuk mengambil tas di perpustakaan dan pulang ke rumah. Yao pasti sudah menungguku di depan playstationnya.

Aku tak tahu apakah ini keajaiban atau apa –menurutku keajaiban hanya ada di dongeng—tapi aku menemukan Emil dan dua orang kakaknya di rumahku keesokan harinya, hari Sabtu. Aku baru saja keluar kamar setelah membersihkan diriku dan mengecek save-an dataku di PSP, lalu voilá, Emil Bondevik dan dua kakaknya ada di ruang tamuku dengan beberapa koper besar.

Yao dan Mei sudah duduk di depan ketiga orang itu dengan senyum di wajah mereka. Yao menyadari diriku yang memerhatikan kelima orang itu dari tangga. "Ah, Hong." Sapa Yao riang lalu mengajakku untuk duduk di sebelahnya. Aku bisa melihat kekagetan Emil karena matanya membulat beberapa detik sebelum kembali normal. Aku berjalan santai ke arah Yao dan duduk di sampingnya.

"Ini anak penggila console yang tadi kubicarakan, aru!" kata Yao dengan bangganya memperkenalkanku sebagai anak-penggila-console.

"Kau juga penggila console, Yao. Shut your mouth." Kataku tajam yang hanya dibalas senyuman tak berdosa Yao. Aku lebih tua daripada Yao beberapa bulan, Mei lebih tua daripada aku dan Im Yong Soo. Ah, kemana Yong Soo? Beberapa hari ini aku tak melihatnya –mungkin aku yang terlalu sibuk dengan consoleku. Yong Soo bukan orang yang suka mengurung diri di kamar dengan buku-buku tebal, paling tidak dia masih bisa bermain wii denganku jika Yao tidak ada.

"Hong, ini Mathias Bondevik," Mei menunjuk lelaki tinggi dengan rambut blonde yang duduk di sebelah Emil. "Yang itu Lucas Bondevik," Mei menunjuk lelaki dengan jepit cross di sisi kiri kepalanya. "Yang ini—„

"Emil Bondevik." Kataku mendahului Mei dengan senyuman jahil. Mereka membawa koper, artinya mereka akan tinggal di sini. Itulah yang orang-orang lakukan jika mereka membawa koper masuk ke asrama pelajar ini. Ya, asrama pelajar. Aku dan yang lain tinggal di sebuah rumah besar yang menampung –saat ini baru empat, ditambah Emil dan yang lain jadi tujuh—beberapa murid, asrama buatan almarhum ayahku.

"Kau tahu Emil?" tanya Yao heran. Aku mengangguk pelan, tak tertarik menjelaskan detailnya. Emil menatapku kesal dan mengalihkan pandangannya dariku. Lucas menatapku aneh –dan itu menggangguku—dan Mathias tersenyum tak berdosa layaknya orang bodoh. Aku berdiri dari duduk dan berjalan ke arah kamar mandi setelah mengambil handuk merahku.

Mungkin…

Mulai saat ini hariku akan lebih menyenangkan daripada biasanya.

Aku tersenyum seraya memasuki kamar mandi.