NARUTO © Masashi Kishimoto
Standard warnings applied.
a/n ANOTHER FLASH-FICTION ABOUT KIBATAMA YOOO /dilempar/ ehm… ini ditulis ketika gabut (maklum, mumpung libur ehehe), lagi galau mikirin dia /eh bercanda kok😭 tapi kalo dianggep serius mah aku gapapa ehe ehe /dibuang/
thank you; i love you
© azuramethyst, 2018
KRIING–! KRIING–!
Telpon berdering di pukul 00:38 dengan keras yang kemudian kujawab dengan setengah hati.
"Kiba! Ayo bangun," katanya sambil berbisik. Aku menggaruk tengkuk kepala yang tidak gatal, sambil berusaha bangkit dari tidur lelapku. "Ada apa, Tamaki? Di kamarku sedang ada Naruto dan Chouji yang menginap, nanti lagi saja ya telponnya? Aku bukannya tidak—" kudengar ia mendesis pelan, tanda bahwa ia tidak ingin mendengar kelanjutannya; ia memotong di tengah penjelasan.
"Iya, aku tahu, bukannya tidak rindu, tapi tidak enak mengganggu yang sedang tidur, kan?" tanyanya penuh paham. Aku menatap sekeliling kamar, sampai pada sebuah bingkai hitam kusam yang cukup besar berisi fotoku dan Tamaki, si gadis berambut cokelat, kekasihku. "Tetapi bukan itu, aku hanya ingin bicara sedikit," lanjutnya.
Aku berdeham, entah mengapa sekarang aku membutuhkan air mineral untuk tenggorokanku yang mulai terasa kering. "Baik, ada apa?" tanyaku sambil merasa bahwa jantungku yang seketika berpindah dari tempatnya, otakku telah berpikir yang tidak-tidak. Kudengar ia berdeham sekali dua kali,
"Selamat satu tahun ya, sayang. Terima kasih sudah menjadi separuh jiwaku selama ini. Terima kasih karena kamu selalu sabar dengan aku yang selalu mengulang kesalahan, tapi kamu justru membujuk dan menenangkan aku yang mudah panik. Terima kasih karena kamu telah menjadi pelipur lara di segala luka dan duka.
Terima kasih karena seringkali, kamu rela tidak tidur hanya untuk menjagaku yang sakit atau sekadar takut aku akan melakukan hal aneh pun gila. Terima kasih karena kamu selalu menjadi pundak bagi diriku yang cengeng ini. Terima kasih karena kamu tidak hanya menemaniku saat aku ditimpa masalah, tapi turut membantuku menyelesaikan masalahnya.
Terima kasih juga untuk semua nasihatmu yang selalu kamu ingatkan berulang kali karena aku yang terlalu keras kepala. Terima kasih karena telah menjadi separuh jiwa, sahabat, terkadang seperti Ayah—terlebih lagi kalau aku sedang sakit. Terima kasih untuk semuanya, tidak semua orang mau melakukan apa yang kamu selalu lakukan bahkan walaupun dibayar. Sungguh, aku bingung karena sampai sekarang kamu tetap saja tidak beranjak; tidak pergi menjauhiku.
Terima kasih, ya? Maaf tidurnya kuganggu, tapi aku ingin sekali berbicara daripada harus mengetik atau menulis, pun aku rindu sekali. Aku sayang kamu, selalu."
Aku terdiam sangat lama, lalu tak sadar aku menitikkan air mata. Beberapa hari yang lalu, aku sempat berpikir ia sudah bosan denganku. Namun ternyata, justru semakin dalam. "Selamat satu tahun, Tamaki. Aku juga; sayang kamu, selalu."—selamanya.
Tamat
