Cerita ini mengandung unsur gay/shonen-ai/yaoi/boy x boy dan dibuat khusus untuk mereka yang memilikihobi dan kecintaan yang sama (FUJOSHI dan SNL). Cerita ini juga mengandung unsur pedofil.


I

NAMIKAZE NARUTO

.

.

Bukan salah pria itu jika kini ia menjadi pusat perhatian kaum hawa di tempat itu, lebih tepatnya bagi para siswi Konoha Koukou(1). Bagaimana tidak, lihat saja tubuh tingginya, iris biru bak batu safir indah yang menghiasi indra penglihatannya. Rambut pirang turunan dari sang Ayah—peranakan Amerika-Jepang—. Lalu, jangan lupakan senyum menawan yang mengiasi bibir merah alami yang menambah kesan sempurna. Semua wanita pasti akan bertekuk lutut hanya dengan melihat lengkungan manis saat ia tersenyum.

Beda halnya dengan para siswa. Mata mereka memandang menatap iri padanya. Mematenkan satu informasi penting, bahwa pria yang berdiri dengan setelah kemeja dan celana bahan berwarna hitam itu adalah saingan baru dalam mendapatkan sang pujaan hati.

"Saa ... baik-baiklah kalian dengan Namikaze-sensei. Dia salah satu lulusan terbaik sekolah kita pada zamannya. Jangan kecewakan aku yang memohon bocah ini untuk mengajar di sekolah kita dan menolak tawaran besar menjadi dosen di Tokyo Daigaku(2)." Seorang pria bermasker berkata tegas. Sebelah matanya yang tak dilindungi kain hitam memandang para siswa dengan tajam—dan menuntut. Tidak ada satu pun dari penghuni kelas itu yang menyahut. Mungkin enggan berjanji. Pasalnya, sumpah serapah sudah diikrar dalam hati masing-masing untuk sosok pria itu.

"Tidak ada yang menyahut, maka aku artikan itu sebagai persetujuan dari kalian," ucap guru bermasker itu mutlak. " ... dan jika aku mendengar ada laporan, baik dari Namikaze-sensei maupun guru lain tentang kejahilan kalian, khususnya para murid laki-laki. Maka ..."

Sang guru bermasker diam untuk sesaat. " ... maka aku tidak akan segan-segan," lanjutnya dengan mata yang tertutup—ia sedang tersenyum—.

Semua siswa menelan ludah. Apa yang dikatakan oleh Kakashi—guru bermasker itu— bukanlah geretakan semata. Sudah banyak ancaman yang pria itu katakan lalu ia realisasikan karena para siswa melanggar perkataannya. Maka dari itu, semua daftar "Sejuta Cara Memberi Pelajaran Kepada Guru Tampan" yang sudah para siswa catat dalam otak mereka, berubah menjadi kesia-siaan.

Kakashi berdehem singkat. Ia tatap sosok muda yang masih betah melihat satu persatu remaja yang akan menjadi anak didiknya.

"Kalau begitu, saya undur diri, Namikaze-sensei," ucap Kakashi.

"Ah, terima kasih, Kakashi-sensei," balasnya.

Kakashi pun keluar dari kelas itu, meninggalkan 28 murid berbeda gender dengan seorang guru baru yang memiliki wajah tampan bak aktor Korea. Iris biru milik sang guru kembali menatap para siswa yang masih terdiam. Satu persatu wajah-wajah itu ia patri dalam ingatannya. Berharap, nanti akan mendapatkan sesuatu yang menarik baginya.

Bibir pria itu kembali mengembangkan senyum tampan.

"Seperti yang Kakashi-sensei katakan. Namaku Namikaze Naruto, tiga puluh tahun. Mulai hari ini akan mengajar mata pelajaran Kimia. Jangan sungkan untuk bertanya jika kalian tidak memahami apa yang aku jelaskan. Apa ada yang ingin kalian tanyakan?" kata Naruto, sang guru baru.

Seorang murid wanita mengangkat tangan kanannya. Wajahnya sangat cantik, rambutnya berwarna pirang dan panjang.

"Ya?"

"Namika—"

"Naruto," potong Naruto cepat.

"Ah, Naruto-sensei. Apa kau punya pacar?" Alis Naruto terangkat. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada jawaban yang keluar. Belum sempat ia menjawab pertanyaan pertama, seorang murid wanita—lagi—berdiri dan memandangnya penuh minat.

"Atau sensei sudah bertunangan? Apa sensei sering berhubungan intim?"

Naruto ternganga. Gagal paham dengan pola pikir anak zaman sekarang. Senyum tampan yang bertengger di bibirnya, berubah janggal. Entah apa artinya.

Hei, sejak kapan ada orang yang senang urusan pribadi menjadi konsumsi banyak orang. Bahkan yang ingin mengetahui urusan intimnya adalah anak di bawah umur yang masih meminta saweran dengan orangtua. Sialan.

"Walau aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu pun, tidak akan menguntungkan kalian, bukan?" jawabnya masih dengan senyuman. Namun, matanya menatap tak suka.

Sunyi.

"Baiklah. Karena aku baru di sini, aku pun belum mengetahui bagaimana kemampuan kalian mengenai mata pelajaran yang kupegang. Maka dari itu, simpan buku-buku kalian. Kita akan ujian lisan."

"APA!"

"Tapi, Sensei—"

"Yang mendapatkan nilai kurang dari 85, akan mendapat hadiah istimewa dariku."

A Weirdo —

Satu persatu murid mulai keluar dari kelas tersebut. Kelas yang diisi oleh siswa-siswa pilihan yang berhasil menempati 28 besar saat ujian masuk yang diadakan oleh sekolah tersebut. Wajah mereka murung, tidak ada satu pun yang berbicara pasca ujian lisan yang diberikan oleh sang guru baru, Naruto.

"Sialan ... kalau bukan karena ancaman Kakashi-sensei, aku pasti akan memberi perhitungan dengan guru baru itu." Amarah itu berasal dari salah seorang murid kelas khusus. Suigetsu Hozuki namanya. Siswa berperawakan standar dengan gigi-gigi tajam itu terus saja mengumpat. Mulai dari keluar kelas hingga, kini, ia bersama beberapa temannya berada di kantin sekolah.

"Karena kau bodoh, jadinya kau—dan dua orang lagi— mendapat hadiah dari Naruto-sensei, Sui. Selamat, aku bangga padamu," sahut satu dari temannya, Hyuuga Neji.

"Diam kau. Ucapanmu tidak membantu …. Dan harus kau ingat. Aku salah satu murid kelas unggulan!" teriaknya emosi.

"Yang meminta bantuan orangtuanya untuk sekelas dengan Uchiha Sasuke. Wow, aku bangga."

"Diam kau, Katarak!"

"Hei, aku tersinggung!"

"Apa kalian bisa diam?" tanya seseorang yang sejak tadi diam menikmati makanannya. "Kalian mengganggu makan siangku," lanjutnya penuh penekanan.

Mata hitam seperti langit malam menatap tajam kedua temannya itu. Ketika meja mereka kembali sunyi, masing-masing menyibukan diri dengan makanan yang telah datang beberapa saat lalu.

Remaja yang baru saja mengeluarkan perintahnya itu pun kembali menikmati makanannya. Tak mengindahkan bahwa remaja bergigi tajam itu hendak memprotes titahnya.

"Haah … mendokusai," keluh seorang remaja yang duduk di samping Suigetsu. Tangannya mengaduk yakisoba(3) tanpa minat. Andai tidak diseret oleh remaja bergigi tajam itu, mungkin ia akan tetap berada di kelas dan tidur hingga waktu istirahat habis.

"Shikamaru, kau harus mengajariku," pinta—paksa Suigetau pada remaja di sampingnya.

"Lebih baik aku tidur daripada mengajarimu," balas Shikamaru malas. Sontak saja seringai dan tawa tertahan muncul di bibir Neji.

"Aku mendengar itu, Neji."

"Aku selesai." Sekali lagi, remaja berambut dan beriris hitam kelam itu memberi titah. Makanannya sudah tak bersisa. Ia berdiri dan meninggalkan ketiga temannya. Tak menghiraukan panggilan Suigetsu yang memintanya untuk menunggu mereka.

"Berisik," gumamnya. Remaja itu berjalan santai meninggalkan kantin sekolah. Kaki jenjangnya melangkah lebar menuju kelas unggulan—kelasnya—. Ekspresinya tenang, tak peduli dengan tatapan memuja dan iri yang mengarah kepadanya.

"Sudah terbiasa. Mereka hanya sampah," ucapnya kala itu saat Neji bertanya. Bagaimana tidak, dari taman kanak-kanak hingga sekarang, tatapan memuja itu selalu ia dapatkan. Entah dari wanita atau pun pria. Ah ... sepertinya pria lebih memandang iri padanya.

Sesampainya di depan kelas, tangan putihnya menggeser cepat pintu tersebut. Pandangan pertama yang dilihatnya adalah sosok guru baru yang berdiri. Tangan guru itu terangkat. Mungkin bermaksud membuka pintu dan keluar dari kelas tersebut.

Naruto, pria tampan itu baru saja menyelesaikan soal-soal yang akan ia berikan pada tiga murid beruntungnya. Tidak hanyak soal-soal sulit saja, ia pun sudah membuat satu hadiah spesial spesial lainnya untuk mereka. Maka dari itu, ia memilih bertahan di kelas tersebut dan menyelesaikan soal miliknya daripada di ruangan guru.

Naruto menatap remaja yang diam dan menatap datar kepadanya. Dahinya berkerut, tak suka dengan ekspresi Sasuke yang menurut Naruto sangat tidak sopan.

"Seharusnya, kau menyingkir jika ada guru yang ingin lewat, Tuan muda."

Sasuke tetap diam. Masih kukuh tak ingin beranjak dari tempatnya berpijak. Orang lainlah yang harus mengalah padanya, bukan dia. Baik itu dalam hal sepele. Egois? Sangat.

"Kupikir kau tidak tuli, Tuan muda," ucap Naruto penuh penekanan.

"Aku tidak menerima perintah, walau itu dari orangtuaku sendiri," jawab Sasuke tak kalah tajam. "Apalagi untuk orang sepertimu."

Tangan tan terkepal kuat hingga buku jari pun memutih karena hal itu. Jika boleh memilih, ia ingin menghajar wajah tanpa ekspresi itu andai saja hari ini bukanlah hari pertamanya mengajar. Naruto tersenyum paksa melihat keegoisan remaja di hadapannya itu.

Cih, untung saja kau tampan, Bocah. Jika tidak …, batin Naruto terpotong saat matanya meneliti lebih intens pahatan sempurna Sasuke. Kulit putih tanpa cacat, iris hitam dibingkai dengan mata sipit tapi menambah kesan tegas dan tak terbantahkan dari sosok Uchiha muda tersebut. Lalu, tinggi yang proporsional, bahkan hampir mendekati tingginya ... Dan, apakah di balik seragam itu tersimpan bentuk tubuh yang sempurna?

Ah ... sialan remaja zaman sekarang.

"Minggir!"

Baiklah, Naruto mengalah—untuk kali ini saja—dan membiarkan Sasuke melewatinya. Entah sengaja atau tidak remaja itu menyenggol bahunya dengan keras. Naruto membuang napas lelah, kelopak mata tan terpejam, meminimalisir emosi yang—sedikit— menguasai dirinya. Naruto pun keluar dan menutup pintu kelas dengan seringai yang menghiasi pria tampan tersebut.

"Harus didapatkan," gumamnya menatap tajam pintu kelas tersebut. Entah apa maksud dari perkataan Naruto itu. Hanya ia dan Tuhan yang tahu.

A Weirdo —

Hari berganti. Saatnya tiga murid penerima hadiah—Suigetsu, Kiba, dan Konohamaru—dari sang guru baru mendapatkannya. Kiba dan Konohamaru bergetar panik di depan ruang guru, berbeda dengan Suigetsu yang sejak tadi terus saja menguap lebar.

Pikiran Kiba dan Konohamaru berkecamuk. Entah apa maksud hadiah yang Naruto berikan kepada mereka. Dari kejauhan, ketiga remaja itu mendengar langkah kaki yang mendekat. Ketukan demi ketukan sol pantofel menghiasi sunyinya lorong sekolah. Mata remaja-remaja itu beralih, menatap sosok pria maskulin berjalan santai ke arah mereka. Tangan kanan sosok itu memegang sebuah map berwarna biru. Iris bak safir indah menatap lurus ke depan. Tanpa keraguan dan tanpa kecanggungan.

"Kalian ternyata murid yang baik, ya?" ujar sosok itu ketika sampai ke hadapan tiga anak didiknya. Suaranya sangat bersahabat ketika didengar, tapi ada makna lain di sana. Tidak ada satu pun di antara remaja-remaja itu yang membalas perkataan Naruto. Ya, sosok itu adalah Naruto. Sang guru baru dengan sejuta pesona yang dimilikinya.

"Ikut denganku!" perintah Naruto. Atmosfer semakin kaku. Setiap langkah dilalui dengan berat, bak ada beban yang mengikat kaki mereka.

Sampai di dalam ruang guru, tepatnya di meja Naruto. Ketiga remaja itu berdiri di belakang sang guru. Menanti hukuman apa yang akan mereka terima. Tapi percayalah, Kawan, tidak ada hadiah ketika kalian gagal dalam suatu hal. Begitu pula dengan apa yang Naruto katakan. Semua itu bullshit. Bohong besar. Hanya ucapan manis dibalik rencana mengerikan pria tampan itu.

"Saa ... apa yang kalian inginkan untuk hadiah kalian?"

Sunyi. Naruto menatap ketiga muridnya dengan pandangan mencemooh. Seringai menyebalkan mengembang di pipir tipisnya.

"Aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di sekolah selama ini. Apakah belajar, mencari ketenaran, atau hanya ingin mencari pacar," ucap Naruto lagi tajam. Jangan lupakan nada hinaan di setiap yang ia keluarkan. Sungguh, Naruto bingung dengan kondisi remaja saat ini.

Ketiganya masih diam. Kepala mereka menunduk, tapi Konohamaru dan Suigetsu mengepalkan tangannya. Gerakan itu tak luput dari pengamatan Naruto.

"Merasa terhina sampai kalian mengepalkan tangan sekuat itu?" tanya Naruto, lagi. "Baru seperti ini saja kalian sudah mengepalkan tangan dengan kuat, apalagi jika prestasi kalian sampai ke telinga orangtua kalian."

Tangan tan berbalut kemeja biru tua itu mengambil map biru yang ia letakkan di meja kerjanya. Meneliti setiap huruf yang terangkai di kertas-kertas putih di dalam map tersebut. Naruto mendecih keras saat itu juga.

"Hozuki Suigetsu ... merokok di lingkungan sekolah. Hebat sekali kau, anak muda. Berapa usiamu sampai kau menyentuh barang itu?" hina Naruto memojokkan mental salah satu murid berpenampilan unik itu. Sementara Suigetsu semakin mengepalkan tangannya. Persetan dengan perilaku tidak sopan dan tata krama pada yang lebih tua.

"Inuzuka Kiba ... kau termasuk murid baik. Hanya saja sedikit bodoh." Kiba diam membenarkan dalam hati, tapi ia tak terima dikatakan sedikit bodoh. Ia memang manusia beruntung yang bisa masuk kelas unggulan dan di kelilingi para jenius masa depan. Entah bagaimana ia bisa mengerjakan soal-soal dewa kala itu hingga menjadi bagian dari kelas spesial. Ah—bisakah kita katakan bahwa Kiba pun termasuk murid yang ... pintar?

" ... dan Sarutobi Konohamaru. Menggunakan kekuasaan Sarutobi-san, kakekmu, untuk mengancam murid lain. Cih, yang berkuasa di sekolah ini adalah kakekmu, Bocah, bukan kau. Masih minta uang dengan orangtua saja, kau sudah tidak beretika."

Ketiganya tetap diam. Naruto pun menghela napas lelah. Bagaiaman moral anak zaman sekarang tercipta, batinnya bertanya.

"Jadi ... aku akan menawarkan tiga hadiah dan pilihlah salah satu."

Suigetsu, Kiba, dan Konohamaru menatap langsung ke arah iris indah milik sang guru. Otak mereka bertanya, apa hadiah yang akan Naruto tawarkan kepada mereka.

"Pertama ..." Tiga pasang telinga siap mendengarkan, otak pun siap untuk menimbang baik dan buruk dari masing-masing pilihan.

"Aku sudah membuat lima puluh soal. Kerjakan dalam waktu lima puluh menit. Jika kalian melampaui nilai 85, maka hadiah kalian berhenti sampai hari ini. Jika gagal, maka jangan bosan untuk menemuiku mulai dari hari ini ... dan jangan harap kalian bisa bekerja sama," ucap Naruto seraya tersenyum tampan. Namun, di mata ketiga remaja itu, senyuman setanlah yang mereka lihat.

Bulu kuduk mereka meremang. Mendengar hadian pertama, melihat senyum Naruto dan ruang guru yang tak berpenghuni—selain mereka berempat—, menambah kesan horor di antara mereka.

"Kedua ... ada dua puluh soal olimpiade tingkat internasional yang pernah kukerjakan dulu ketika masih seusia kalian. Bersyukurlah pada Tuhan aku masih mengingat soal-soal terkutuk itu," lanjut Naruto mendramatisir perkataannya.

Bersyukur ketutmu, Sensei, batin mereka serempak.

"Kerjakan soal-soal itu dalam waktu lima puluh menit." Senyum berkembang di bibir ketiga remaja itu. Dua puluh soal olimpiade internasional dengan waktu lima puluh menit dan mendapatkan nilai 85. Termasuk hadiah yang mudah, jika diingat sistem penilaian olimpiade yang berbeda dengan penilaian biasa(4).

"Kenapa kalian tersenyum?" tanya Naruto tiba-tiba.

"Ti—tidak apa-apa, Sensei," balas Kiba cepat.

"Oh ... sampai di mana tadi?" tanyanya dan Kiba pun kembali menjawab penjelasan terakhir Naruto.

"Oh, ya, dua puluh soal olimpiade internasional dalam waktu lima puluh menit. Tidak ada nilai yang harus kalian capai, tapi kalian harus bisa menjawab dengan benar minimal tujuh belas soal."

Terkutuk kau, Guru sialan, umpat mereka dalam hati. Naruto kembali menyeringai.

"Ketiga ..."

Ketiga remaja itu pasrah dan enggan mendengar lagi. Apa pun hadiah yang akan Naruto tawarkan, tidak akan ada yang baik bagi kesehatan jasmani dan rohani mereka.

Tiga pasang mata melirik lesu sosok dewasa yang duduk bak kaisar Jepang. Lalu mengikuti gerakan tangan maskulin Naruto yang mengambil sebuah kotak kecil dari laci meja kerjanya. Apa ini arisan? Apakah mereka akan mendapatkan uang dari guru baru mereka itu? Dalam khayalanmu, Nak.

"Kalian bisa memilih pilihan ketiga. Kalian hanya perlu mengambil kertas yang ada di dalam dan melakukan perintah yang tertulis di sana. Tentu saja aku sudah memikirkan yang terbaik untuk hal ini... dan, tenang saja. Untuk pilihan ketiga, tidak perlu ada nilai standar atau pun jumlah soal yang benar," kata Naruto menjelaskan.

Suigetsu, Kiba, dan Konohamaru saling menatap satu sama lain. Memikirkan hukuman terbaik bagi diri mereka masing-masing. Ketiga remaja itu mulai menimbang dampak apa yang akan mereka dapatkan jika sudah menentukan pilihan. Demi menyelamatkan masa depan dan kesehatan jiwa, batin mereka.

"Ketiga," jawab Suigetsu. Ia menjadi murid pertama yang menjawab. Naruto tersenyum lebar. Lelaki tampan itu pun beralih menatap kedua murid lainnya.

"Kalian berdua?"

Kiba dan Konohamaru menelan ludah. Sangat susah ketika kebimbangan merasuki diri mereka. Entah apa yang ada di dalam kotak itu, mereka berdua sangat yakin isinya pun tidak ada yang lebih baik daripada dua pilihan sebelumnya.

"Aku menunggu, Bocah."

Hening sejenak sebelum Kiba dan Konohamaru menjawab, "Ke—ketiga, Sensei."

"Bagus ...," kata Naruto seraya menyodorkan kotak kecil itu kepada ketiga anak didiknya.

"Apa pun yang tertera di kertas itu, kalian tidak boleh menolaknya. Jika kalian menolak, kerjakan hadiah pertama dan kedua ... tanpa ada satu soal pun yang salah."

Sialan! Sifatmu tidak setampan wajahmu, Sensei, batin mereka.

Satu persatu dari mereka mengambil kertas di dalam kotak. Dimulai dari Suigetsu, karena dia yang memutuskan untuk pertama kali, diikuti dengan Kiba, dan terakhir adalah Konohamaru.

"Bukalah," perintah Naruto tenang. Kaki kanannya bertumpu pada kaki kiri. Kedua tangannya bertaut di atas lutut. Posisi duduk bak kaum parlente ... atau bangsawan?

Naruto mengamati ekspresi yang ditunjukkan ketiga anak didiknya. Senyum kemenangan terpampang jelas kala mendapatkan reaksi yang ia inginkan dari Suigetsu, Kiba maupun Konohamaru.

"I—ini ... Kau bercanda, kan, Sensei?"

.

.

*To be Continued*

1 Koukou: SMA dalam bahasa Jepang

2 Daigaku: Universitas dalam bahasa Jepang

3 Yakisoba: Nasi goreng Jepang.

4 Penilaian soal-soal olimpiade biasanya berpoin. Khususnya soal essay, satu soal bisa mendapakan sampai 15 poin, bahkan lebih.


Cerita ini juga bisa dibaca di Wattpad saya.

link : myworks/145786122-a-weirdo