Title: Haunted House
Characters: S. Italy/Romano/Lovino, Spain/Antonio
Genre: General (terus terang saya masih bingung nentuin genre. Ada yang bisa bantu? -plak-)
Rating: T
Disclaimer: Hetalia milik om Hidekaz
Summary: Sungguh, Feliciano itu iblis, seorang iblis bermuka malaikat yang tega menjebaknya dalam situasi seperti ini. Dan, oh. Tangan Antonio-kah yang dari tadi diremasnya dalam ketakutan? Halloween fic...kinda. SpaMano and other pairings. AU.
Warning: Sho-ai. SpaMano, USUK, GerIta, SuFin. AU pertama saya. Err...silakan kabur selagi sempat? -plak-
Yang tidak kabur...selamat membaca dan semoga menikmati :)
"Vee! Ludwig, itu ada rumah hantu! Aku mau masuk, vee~"
"Feliciano! Jangan lari-lari di koridor!"
"Artie! Ayo masuk! Kayaknya seru tuh, rumah hantu!"
"Hah? Bukannya kamu takut hantu? Tung- Hei! Jangan main seret aja, you git!"
"Sepertinya seru. Su-san, bagaimana kalau kita juga ikut?"
"...B'ikl'h"
"Fratello juga ikut dong~"
"Ogah! Ngapain juga, bayar mahal-mahal cuma buat ditakut-takutin! Ngabis-ngabisin duit! Nggak penting banget!"
"Hiks. Fratello kejam... Vee... Fratello Antonio..."
"Lovi, jangan begitu, kasihan Feli kan. Kita ikut, ya? Ya?"
Sungguh, Feliciano itu iblis. Seorang iblis bermuka malaikat yang membuatnya terjebak di situasi ini. Apa yang dimaksud dengan situasi ini? Tentu saja...
"Jadi, tiket masuk ke rumah hantu untuk delapan orang. Semuanya 1.600 yen, aru." Wang Yao mengulurkan delapan lembar tiket ke Ludwig, tangan satunya siap menadah uang pembayaran. Ngomong-ngomong, kenapa pakai yen? Karena nilai tukarnya sedang tinggi saat ini. Hitung-hitung beramal bagi Japan yang ekspornya sedang seret karena kurs valuta...
Mari kita kembali ke topik.
"Kalian jalan lurus saja ke arah sana, nanti Kiku akan memberi kalian briefing singkat sekaligus peta dan senter. Selamat menikmati, aru." Sang penjaga booth rumah hantu itu tersenyum—coret, menyeringai—kepada kedelapan orang yang mulai memasuki lorong yang diterangi lilin-lilin suram.
Lovino Vargas masih bersedekap, wajahnya merengut dalam cemberut. Sudah lama dia menunggu-nunggu kedatangan festival sekolah, dan bukannya mengunjungi stall-stall makanan berburu pasta atau pizza, menonton performance dari berbagai negara, menikmati kembang api sambil menggandeng tangan Antoni—CORET YANG BARUSAN. Yah intinya, sia-sia banget nggak sih kalau susah-susah datang ke festival di tengah udara sejuk musim gugur dan ujung-ujungnya malah mengunjungi rumah hantu?
Tetapi bagaimanapun juga, tim dekornya benar-benar nggak tanggung-tanggung. Entah bagaimana cara mereka menyulap gedung administrasi jadi mirip bangunan terlantar bekas tempat penyiksa-
Tunggu...barusan yang putih-putih lewat itu apa? Masa sih...
"Emm...Lovi? Bisa tolong kendurkan tanganmu sedikit? Jari-jariku mulai mati rasa, ahaha..."
Lovino Vargas langsung menarik tangannya, bersyukur suasana remang-remang itu menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah semerah buah yang jadi sarapannya tadi pagi. Tidak, barusan dia TIDAK ketakutan, oke? Dia cuma...cuma memegang tangan Antonio buat memastikan Spaniard bego itu nggak nyasar ato kenapa-napa, itu saja! Sama-sekali-bukan-atas-dasar...
"Vee... Fratello takut, ya?"
Sumpah. Lebih dari ini mungkin dia bisa menggoreng telur dadar di mukanya. Atau mungkin pancake. Atau bahkan ayam goreng saus mentega. Nasib memang, punya jiwa tsundere. Sudah ditakdirkan bakal banyak blushing.
"Ka-Kagak lah! C-Cuma beginian doang siapa juga yang bakal..."
"Konbanwa, minna-san."
Sumpah. Yang tadi memekik itu BUKAN dirinya. Siapapun pasti akan freak out kalau Honda Kiku sialan itu tahu-tahu muncul dari belakang, cahaya senter menyorot dari bawah wajahnya, lengkap dengan senyum yanderenya. Tidak, pasti bukan dia yang teriak. Paling si Feliciano, yang sekarang lagi meluk pacarnya-coret, si Jerman sialan itu coret-sambil gemetaran. Heh. Memang susah punya adik penakut kayak dia...
"Emm Lovi, bisa tolong...uhuk, lepaskan lengan yang mengganduli leherku ini? Aku, ah, mulai susah napas..."
Tersentak, Lovino langsung mundur selangkah, melepaskan tangannya yang tadi mengalungi leher Antonio dalam posisi yang...cukup bisa imajinasikan. Wajahnya sudah lebih merah daripada lobster saus tomat. Damn reflexes...
"Bloody hell, Honda! Nggak usah pake ngagetin gitu napa?" Arthur Kirkland, sang ketua OSIS beralis tebal dengan aksen British kental itu langsung menyemprot sang pemuda Jepang, tangannya mengelus-elus dadanya tepat di titik jantungnya berada.
"Jitsuni sumimasen, Kaakurando-san. Saya hanya menyesuaikan diri dengan atmosfir dan situasi." Honda Kiku, sekretaris rajin yang hari ini tiba-tiba alih profesi, menjawab sopan, membungkukkan badan dalam-dalam. Ah, kalau saja teman-teman Western-nya itu bisa melihat seringai yandere yang kini terpampang di wajahnya yang tersembunyi kegelapan...
"Ngg... Sudah, sudah, angkat kepalamu, Kiku. Tadi Yao bilang kamu akan memberi kita briefing?" Pemuda Finlandia cinta damai, Tino Väinämöinen, bertanya dengan suaranya yang halus. Di sebelahnya, Berwald Oxenstierna, pemuda tanpa ekspresi asal Swedia yang adalah sahabatnya-coret isi sendiri coret-mengangguk menyetujui.
Kiku mengangkat kepalanya, wajahnya sudah tanpa ekspresi seperti biasa. "Anda benar. Baiklah, kalau begitu akan saya mulai briefingnya. Minna-san, selamat datang di rumah hantu Obakeya. Saya Honda Kiku, organizer sekaligus guide anda untuk lima menit ke depan. Wahana ini dirancang sebagai bagian dari atraksi andalan Tenku Festi-"
"KYAAAAAAA!"
Hening seketika. Terdengar suara menelan ludah, entah dari siapa. Senyum mistis Kiku semakin melebar.
"Oya. Saya cukup yakin yang barusan itu suara Erizabeeta-san."
Ber-vee-ing ria, Feliciano sudah memeluk Ludwig dengan style yang sama dengan Lovino sewaktu pertama kali dikagetkan Kiku. Ludwig sendiri masih berdiri tegap bagai tentara di garis depan, namun butir-butir keringat dingin bisa dilihat menuruni dahinya. Antonio meringis ketika Lovino tanpa sadar sudah meremas lagi tangannya. Tino dan Berwald bertukar pandangan tanpa suara. Arthur berdeham dan entah kenapa mulai membetulkan dasinya—dengan tangan gemetar tentunya. Sementara Alfred tampak gelisah.
"Artie, aku jadi takut nih... Pulang yuk!"
"..aku juga, bego. Tapi kita sudah bayar uang masuk, jadi harus maju terus. Pokoknya apapun yang terjadi, jangan lari. Baru dua hari yang lalu engkelku sembuh dari keseleo..."
"Vee... Luddie... Aku takut, vee..."
"...tenang saja, Feliciano. Walaupun itu sesuatu yang sebegitu menakutkannya sampai membuat gadis seperkasa Héderváry menjerit seperti itu, aku yakin kita pasti bisa mengatasinya."
"Ahaha. Ludwig, entah kenapa aku merasa kamu bikin mereka berdua makin ta...adududuh! Lovi, tolong jangan bikin jari-jariku remuk..."
"K'mu t'dak t'kut?"
"Ah. Sedikit. Su-san bagaimana?"
"...s'd'kit."
Hmm. Salahkah kalau Honda Kiku menyesali dirinya yang tidak membawa kamera?
"Ano... bagaimana, minna? Apakah sebaiknya kita lanjutkan? Saya akan coba mempersingkat briefing-nya." Dia bertanya hati-hati. Delapan pasang mata itu saling bertukar pandangan, sebelum mengangguk takut-takut. Di dalam hatinya, pemuda Jepang itu tersenyum puas. Kalau nggak begini nggak akan seru soalnya.
"Baiklah. Anda bisa mulai dari ruang A-201, terus menjelajahi ruangan-ruangan lantai dua sesuai dengan yang tertera di peta, lalu naik elevator turun ke lantai satu dan kembali ke lobi. Kewajiban anda hanya satu; masuki semua ruangan yang ada di peta sampai ke ujung-ujungnya—termasuk kamar mandi sekalipun."
Kegelapan itu sungguh menyamarkan seringainya dengan sangat baik. Walaupun di sisi lain juga menyamarkan adegan-adegan yang seharusnya bisa jadi inspirasi menulis dou-
Mari kita lanjutkan briefingnya.
"Ah. Dan karena ini senternya cuma ada satu, sebaiknya anda memutuskan siapa yang akan membawa senternya. Soalnya selepas lorong ini, tidak akan ada lilin lagi," papar sang pemandu. Kedelapan pasang mata itu lagi-lagi beradu pandang, firasat buruk mulai bermunculan.
"Tentu saja, sang pembawa senter harus berjalan paling depan," imbuhnya lagi.
DEG.
Tujuh pasang mata langsung menatap pemuda Swedia yang berdiri diam, balas memandang mereka yang notabene lebih pendek dari dirinya.
"J'ng'n h'rap" balasnya lugas. Mereka yang tadinya memandang buru-buru membuang muka, takut mengalami trauma bahkan sebelum memasuki rumah hantunya.
"Y-Ya sudahlah. Lagipula Berwald terlalu seram, kasihan hantunya nanti." Alfred beralasan, tertawa gugup. Bilang saja di antara mereka tidak ada yang punya keberanian untuk memaksa sang stoic Swedish itu untuk berjalan di depan.
"Jadi, tidak ada volunteer nih? Shikataganai ne," Kiku menghela napas, menarik keluar peta dan senter besar lalu menyodorkannya ke tangan seorang Antonio Fernandez Carriedo yang masih tercengang.
"Yoroshiku onegaishimasu, Kariedo-san."
Delapan orang masuk sudah. Berapakah yang akan keluar? Ralat, berapakah yang dapat keluar dengan selamat dan tetap waras? Yang manapun, Honda Kiku sudah siap dengan buku sketsa dan pena. Setidaknya klub otaku tidak akan kekurangan bahan diskusi-ralat, fangirling-selama empat minggu ke depan.
-tbc
A/N: Yep. Benda ini multichapter XD yah dibilang multichap juga paling cuma dua-tiga chapter sih. Inspirasi datang waktu masuk rumah hantu di festival kampus (lame banget yak? -plak-) Dan langsung saya kebut tulis kejar-kejaran sama mid-term mumpung ingatan masih segar. Oh. Dan readers bebas membayangkan apakah settingnya SMA atau kuliah, soalnya saya juga tidak menentukan *ga bakat bikin AU* -plak-
Sedapat mungkin fic ini akan saya selesaikan sebelum atau bersamaan dengan Halloween (walaupun nggak terlalu ada bau-bau Halloween-nya juga sih -plak-) Umm dan berhubung ini AU pertama saya...kritik, saran, maupun komen lewat akan sangat dihargai. Maaf kalau misalnya chara-nya jadi rada OOC atau jayus abis *kluk*
Oh. Dan sneak peak buat chappie berikutnya
"ALFRED! Gue gak bisa lari nih, bego!"
"Aduh, kayaknya sakit. Nggak apa-apa?"
"...or'ng m'ti."
"Vee! Fratello!"
Stay tuned for the next chapter :)
Regards,
Ryokiku
