The Mysterious Accident II : Psychometry
.
.
.
Chapter 1!
.
.
.
[15 September 20xx.]
.
"Hei, sudah dengar belum ada anak kelas satu yang katanya pengidap chuunibyou kelas kakap!"
Hari itu, Kiiroine Rin atau yang sering dipanggil Rin itu, berseru membuka percakapan setelah kembali dari kantin bersama Len, saat kami sedang leyeh-leyeh di kelas akibat Meiko-sensei absen dan lupa memberi tugas. Uh, jam kosong adalah jam terindah di dunia.
"Bagus deh, Len punya saingan." komentar Gakupo, Kamui Gakupo, yang langsung dihadiahi lemparan buku buku kimia oleh Len.
"Aku justru heran kenapa masalah kayak gitu baru dipermasalahkan sekarang? Memang apa salahnya masih mengidap chuunibyou? Toh, kaum chuunibyou nggak merusak sekolah dengan mata tirani dan blue flame dari tangannya." komentar Len.
"Wah, Len ceritanya membela, nih?" Kaito menyahuti dan satu kaleng minuman soda rasa vanilla mendarat di kepalanya.
Rin mengangkat bahu. "Katanya sih, anak ini suka nokrong di tempat-tempat aneh terus tiba-tiba kejang, sampe mimisan atau muntah darah."
"Pernah liat anak itu?" tanyaku. "Kelas satu apa sih? Jadi penasaran,"
Tatapan Len, Gakupo, dan Kaito langsung mengarah padaku. Tatapan menusuk yang mereka lancarkan seolah-olah berkata 'Jangan macam-macam!'.
"Apa?! Aku cuma penasaran!" balasku.
"Duh, Miku," ucap Kaito sambil menepuk kepalanya. "Tolong ingat alasan kita sampai terlibat dengan Mayonaka Forest itu terjadi karena rasa penasaranmu itu,"
"Terus kenapa?! Akibat rasa penasaranku juga kita bisa balik jadi detektif lagi!" balasku tak mau kalah.
Kaito tidak menjawab. Dia justru mengacuhkanku sambil mengupil dengan santainya. Kaito minta dihajar rupanya.
"MINTA DIHAJAR, 'YA?!" aku berdiri dan mengacungkan buku kimiaku.
Kaito melindungi kepalanya sambil tertawa-tawa, "Nggak! Ampun-ampun! Bercanda doang, Miku!"
Aku menggembungkan pipiku dan kembali duduk.
"Ah, kembali ke topik, anak itu namanya siapa?" tanyaku lagi.
Rin mengedikkan bahu. "Entah. Aku, 'kan, cuma menguping."
"Kalian merasa nggak sih kalau akhir-akhir banyak kecelakaan," dia tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.
"Kecelakaan di daerah Universitas Boukaroido itu, 'kan?" Len menjawab serius. "Di daerah kampus-kampus universitas yang lain juga tambah sering. Menurutku, human error, mungkin."
Gakupo menjentikkan jarinya. "Terus kasus-kasus hilangnya anak-anak SMP atau SMA juga tambah banyak,"
"Bukannya itu biasa?" Kaito angkat suara. "Masa-masa berontak anak muda zaman sekarang beda dengan masa berontak anak zaman dulu."
Kami menatap Kaito lalu tertawa terbahak-bahak.
Pemuda bersyal itu mengernyitkan keningnya bingung.
"Apanya yang lucu?" tanyanya tak senang.
Aku masih tertawa dan memukul-mukul bahu pemuda berambut biru itu. "Kau bicara seolah-olah kau sudah tua saja! Kau pikir kau tinggal di zaman apa? Bodoh sekali."
Dia mendengus tak senang.
"Lagian, sejak kapan kalian peduli sama lingkungan sekitar?!" Kaito membalas.
Saat aku hendak menjawab, koridor tiba-tiba diliputi gemuruh langkah kaki orang yang berlari. Kami keluar dari tempat duduk kami dan ikut bergabung dengan siswa-siswi yang berlari menuju lapangan itu. Aku mendengar apa yang mereka bicarakan sambil berlari.
'Kecelakaan?' gumamku setelah mendengar pembicaraan-pembicaraan random mereka.
Kerumunan terhenti di tengah jalan dan aku terjepit di tengah-tengah kerumunan. Aku mendorong cowok tinggi di depanku, meminta sedikit jarak, tapi kerumunan di belakangku mendorong lebih keras.
"MUNDUR KENAPA?!" teriakan melengking Rin tiba-tiba mendominasi. Kerumunan di belakangku berhenti mendorong dan melonggar. Fyuh, akhirnya bisa bernafas juga.
Aku berjingkat, berusaha melihat apa yang terjadi di depanku, tapi penglihatanku terhalang oleh kepala manusia-manusia yang tingginya melebihi aku. Cih, padahal aku nggak begitu pendek!
Tak selang berapa lama, terdengar pekikan-pekikan kaget dan jeritan-jeritan histeris.
Ada apa sih?
Riuh rendah suara-suara siswa-siswi yang berbisik-bisik terdengar.
"Anak kelas satu yang gila itu ditangkap?!" bisik siswi di depanku, Macne Nana-senpai, cukup keras, kepada temannya.
"Anak kelas satu? Siapa sih senpai?" tanyaku ikutan nimbrung.
"Seriusan Hatsune-chan nggak tahu? Kiiroine-chan juga nggak tau?" Nana-senpai berbalik dan menatap kami berdua, aku baru sadar kalau Rin selama ini di belakangku (dosa Rin nggak bisa dinotis karena pendek), seolah-olah kami ini makhluk yang baru datang dari Mars.
Kami berdua menggeleng.
"Baiklah, kuberitahu. Anak kelas satu itu namanya Shinigane Oliver,"
"Oliver?! Dia blasteran?!" Rin berseru sambil menggeserku ke pinggir. Gah, kalo bukan osananajimi pasti udah kugaplok pakai uwabaki dari tadi!
"Nggak tahu, deh," Nana-senpai geleng-geleng kepala sambil mengedikkan bahu. "Yang jelas anak itu paling bermasalah di sekolah ini. Dia entah sudah berapa kali mencuri dan berkelahi. Aku saja heran kenapa dia bisa masuk ke sekolah ini."
"Tapi kenapa sampai ditangkap?" tanyaku.
"Eh? Entahlah, aku juga cuma ikut-ikutan ke sini. Katanya dia terlibat kasus pembunuhan, eh?"
Rin melepas satu jepit poninya, berpura-pura merapikan poninya. Rin menyipitkan matanya, dia sedang menganalisa kebohongan.
Rin tiba-tiba mencubit pergelangan tanganku, isyarat kalau ada hal yang mencurigakan.
Kami bertukar pandang dan mengangguk.
"Ada sesuatu yang aneh," bisiknya padaku. "Sepertinya Nana-senpai terhubung dengan cowok bernama Oliver ini."
Eh, apa yang disembunyikan Nana-senpai?
Kerumunan siswa-siswi terurai karena pengumuman kepala sekolah yang menyuruh kami kembali ke kelas dan melanjutkan pelajaran.
Tapi kami berlima masih berdiri di koridor, menatap guru-guru yang kembali melakukan aktivitas, beberapa dari mereka bahkan menatap kami dengan tajam.
"Apa kalian berpikiran sama denganku?"
Len, ketua VocaSky, menatap kami bergantian. Kami mengangguk.
Ada yang salah dengan anak itu.
"Ayo, cari tahu anak itu!" putusnya tegas.
.
.
.
Disclaimer : Vocaloid (c) punya owner masing-masing!
Warning : Sama seperti biasanya :v
Request dari Celestya Regalyana dan untuk menjawab pertanyaan Satsuki-san!
Happy Reading!
.
.
.
Jam pulang sekolah sudah berbunyi satu jam yang lalu, tapi aku, Rin, Len, Kaito, dan Gakupo masih berdiam diri di sekolah. Diskusi soal masalah anak kelas satu itu.
Entah apa yang membuat kami menjadikan siswa kelas satu bernama Shinigane Oliver itu jadi topik pembahasan.
Di pertengahan sesi diskusi (entah menggosip?), Len tiba-tiba terpikir ingin mencari identitas dasar anak itu. Maka dari itu, Len, Gakupo, dan Kaito, segera bergabung menjadi Pasukan Pencuri Data Ruang Tata Usaha.
Nama pasukannya jelek? Salahin authornya yang nggak kreatif itu!
Bukannya sok-sokan atau apa, tapi ruangan yang satu itu sangat sepi sehabis pulang sekolah. Paling hanya ada satu atau dua orang guru yang masih berjaga, itupun kadang-kadang mereka semua pergi ke kantin guru untuk menikmati kopi.
Menunggu kedatangan PPDRTU (Pasukan Pencuri Data Ruangan Tata Usaha), aku memutar-mutar pensil mekanik di tanganku sambil menatap jendela yang menghadap ke gedung barat sekolahku itu.
Rin yang duduk di atas meja itu juga cuma diam sambil mengemut permen lolipop jeruknya.
"Miku," Rin angkat suara. "Aku penasaran sama anak kelas itu,"
Aku mengangguki, setuju dengan pernyataannya.
Ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku mengeluarkan ponselku dan melirik layarnya sebentar.
"Moshimoshi! Mikuo-nii, ada apa?" sapaku ceria.
["Miku! Kau ada dimana?!"]
Aku menaikkan sebelah alisku. Kenapa suara Mikuo-nii terdengar panik begitu. "Di sekolah. Eh, tumben nanya ada apa?"
["Kau masih bersama Kaito, 'kan? Bisa aku minta tolong?"]
"Ada apa sih?" desakku.
["Pilih partnermu satu orang lagi! Pilih antara Len, Rin, Kaito, sama Gakupo-kun! Aku punya kasus untuk kalian!"]
Rin menatapku dengan tatapan penasarannya.
["Ah! Milih partnernya nanti aja! Sekarang, kalau sempat datang, eh, kau harus datang ke Okashi Cafe! Aku tunggu disana! Jaa!"]
"Jaa."
Mikuo-nii segera memutus sambungan teleponnya.
"Ada apa, Miku?" tanya Rin setelah aku mengembalikan ponselku kembali ke saku rokku.
"Dia punya kasus untuk kita. Tapi kayaknya, kali ini kita nggak perlu rame-rame ngerjainnya. Buktinya, dia cuma kasih aku buat milih satu dari antara kalian semua."
Rin mengangguk-angguk, membuat pita di kepalanya bergoyang-goyang bak telinga kelinci. "Siapa yang bakal kau pilih?"
Aku menjepit daguku. "Kalau aku milih kau, daftar absenmu pasti tambah panjang. Begitu juga kalau aku milih Len. Kalau Gakupo sih, kayaknya enggak deh. Dia tipenya sama kayak aku, bukan pengguna otak tapi otot. Mungkin, sama Kaito? Dia, 'kan, otaknya 11-12 dengan kalian berdua."
Rin tersenyum usil.
"Ohhh," komentarnya nggak jelas.
"DATANYA DAPAT!" seru Len sambil berlari ke arah kami. Di belakangnya Kaito dan Gakupo tampak terengah-engah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mereka segera mengambil tasku dan milik Rin lalu berlari kembali.
"Ayo kabur!" seru Len sambil menarik tasnya.
"Oi, oi, ada apaan?!" aku melompat dari kursi dan ikut mengejar mereka. Rin menyusul di belakangku.
"GERBANG SEKOLAH MAU DIKUNCI LEBIH AWAL! BURUAN CABUT!" jawabnya berteriak.
Kok nggak biasanya?
Bukannya kami takut tinggal di sekolah kami yang cakupan daerahnya lumayan luas itu, tapi kami nggak mau diskors hanya karena dituduh yang enggak-enggak, tahu sendiri jumlah kami berapa orang. Dan lagi, sekolah itu pantang mendengar apapun alasan muridnya. Plus, kami sudah pernah diberi peringatan karena sering membolos di jam-jam tertentu karena 'tugas' kami itu.
Bukannya nggak bisa menolak, tapi yang namanya uang mana bisa ditolak. Apalagi, kasus-kasus itu sendiri terkadang datang dari pihak guru sendiri.
.
.
.
Kami berhasil melewati gerbang tepat sebelum kuncen gerbang, maksudnya, satpam sekolah kembali dari perjalanannya dari gerbang belakang khusus guru.
Dengan nafas terengah-engah, kami bersandar di pagar sekolah yang sudah tiga perempat tertutup sambil memakai sepatu. Barusan kami langsung mencopot uwabaki dan mengambil sepatu masing-masing tanpa sempat memakainya.
"Hari ini makin aneh, sumpah!" seruku sambil melonggarkan dasi dan menarik-narik leher kemejaku, menyuplai udara masuk. Musim gugur kali ini masih terasa panas akibat global warming yang semakin parah.
"Meiko-sensei lupa nggak ngasih tugas, anak kelas satu chuunibyou, Mikuo-nii ngasih kasus, terus gerbang ditutup lebih awal! Nanti apalagi?! Kecelakaan?!"
Len, Kaito, dan Gakupo mengalihkan pandangannya padaku. "Tugas? Mikuo-san ngasih tugas?" tanya Gakupo yang sudah lebih dulu berhasil menenangkan napasnya.
"Yah, kurang lebih gitu, deh! Kai, anter aku ke Okashi Cafe!"
Aku mengambil tasku yang ada di tangan Gakupo dan menarik Kaito. Kaito melempar tas Rin pada pemiliknya dan segera mensejajarkan langkahnya denganku.
Setelah agak jauh, Kaito membuka mulut untuk bertanya. "Mikuo-san tumben ngasih kasus. Lagipula, kenapa aku yang diajak?"
Aku mengacak poniku dan meniupnya melalui mulutku.
Pasti Kaito mikir yang nggak-nggak lagi deh.
"Jangan kege-eran, 'ya!" tegasku. "Aku mendapat firasat jika ini bukan kasus yang bisa kita selesaikan dalam satu hari penuh. Mungkin kita bakalan beberapa kali bolos dan aku memilihmu karena dari antara kita berlima cuma kita berdua yang jarang bolos. Wakatta?"
"Oh, kukira kau ingin berduaan denganku," jawabnya pede berat.
Tuh, 'kan...
Aku mencubit pinggangnya dan dia menjerit kesakitan lalu meminta maaf.
Sesampainya kami di stasiun, ponselku berbunyi kembali. Masih dari Mikuo-nii.
"Moshimoshi," ucapku sambil memindai kartu lalu berjalan setelah penghalang terbuka.
["Miku-san, 'ya?"]
Itu bukan suara Mikuo-nii!
A-apa yang terjadi Mikuo-nii? Berbagai spekulasi buruk mulai memenuhi kepalaku.
"Be-betul, sa-saya sendiri. Anda siapa?" tanyaku kalut. Duh, Mikuo-nii kenapa lagi?
["Saya teman kampusnya. Mikuo baru saja mengalami kecelakaan."]
Langkahku terhenti sampai-sampai Kaito menabrakku. Jantungku segera berdebar lebih kencang. Panik menguasai diriku.
Satu hal yang kutakuti saat aku sedang panik dan ketakutan begini adalah penyakit serangan tidur aneh yang aku derita sejak aku menyelesaikan kasus pertama kami.
Mataku mulai memberat dan dunia mulai berputar di mataku. Dengan bibir bergetar, aku bertanya. "Se-sekarang di-dia dimana?"
Tanpa sadar aku menarik tangan Kaito. Mungkin Kaito menyadari jika aku sedang berusaha menguasai diriku dari kantuk aneh ini, Kaito menarikku menjauh dari kerumunan. Dia mengguncang tubuhku, supaya aku terus terjaga.
Uh, mataku berat sekali.
["Dia dibawa ke Rumah Sakit *****. Ada pendarahan di kepalanya. Sekarang dia masih di UGD."]
Ah, aku mengantuk sekali.
"A-aku akan kesana segera!" jawabku lemah sambil memutus sambungannya.
Aku melirik ke arah Kaito dengan mata setengah terbuka. Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menempelkannya ke tengkukku.
"DINGIN, BEGO!" pekikku sambil melompat dari tempatku duduk. Dia tertawa-tawa sambil menggoyang-goyang sebuah kantung penyeka di tangannya.
Kantukku memang menghilang, tapi sensasi beku yang membeku tadi membuat efek panas akibat suhu tubuhku.
Tak lama berselang, kereta menuju rumah sakit yang masih satu daerah dengan kampus kakakku itu tiba. Kaito menarik tanganku, masih belum mengatakan apapun.
Kami menunggu pintu gerbong terbuka di belakang garis kuning dengan tertib. Penumpang menuju daerah kampus kakakku itu memang sedikit jumlahnya.
Saat pintu gerbong terbuka dan beberapa penumpang dalam gerbong turun, aku sempat melihat seorang pemuda dengan tinggi sedikit lebih pendek dari Len, turun dengan tergesa-gesa. Sebelah matanya tertutup eyepatch berwarna putih. Meskipun dia menutup atasannya dengan jaket berwarna hitam, aku bisa melihat dasi bermotif hijau garis-garis hitam yang sudah menjadi ciri sekolahku, juga telapak tangannya yang diperban.
Aku berbalik ingin memastikan siapa anak laki-laki itu tapi Kaito sudah menarikku masuk ke dalam gerbong.
Pintu tertutup begitu aku meraih pegangan di atas kepalaku.
"Kenapa?" tanya Kaito yang berdiri di depanku.
Aku menghela nafas.
"Kau barusan lihat anak cowok yang turun buru-buru itu, nggak?"
Dia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu padaku.
"Shinigane Oliver. Anak itu Shinigane Oliver." dia berkata dengan nada serius. "Aku heran kenapa dia bisa turun dari kereta ini. Bukannya tadi siang dia ditangkap?"
"Sebentar. Dia betulan ditangkap?" tanyaku masih tidak percaya. "Kejahatan macam apa sih yang dia lakukan?"
Dia menarik ponselnya dari hadapanku dan kembali menyakuinya. "Tadi waktu pelajaran sastra, aku sempat chat dengan Mitsu-san,"
"Terus?"
"Dia bilang, kalau anak bernama Shinigane Oliver ini selalu ada di lokasi kecelakaan-kecelakaan nggak jelas yang terjadi di daerah kampus Mikuo-san dan lagi sudah banyak laporan ke pihak berwajib tentang gangguan keamanan dan kenyamanan yang
dilakukan oleh anak itu."
"Hah?! Anak yang bahkan lebih pendek dari Len itu sudah melakukan hal semacam itu?! Terus, kenapa harus sampai digrebek ke sekolah?"
"Karena kalau dia ditangkap di luar sekolah, dia pasti berhasil lolos, begitu kata Mitsu-san," jelas Kaito. "Belum lagi, kasus hilangnya anak SMP dan SMA secara random itu juga terjadi di lingkungan rumah Shinigane."
Aku mulai mengingat seluruh pembicaraan kami yang berawal tentang anak bernama Shinigane Oliver itu.
Dia diduga chuunibyou, mungkin karena dia mengenakan eyepatch?
Dia juga diduga terlibat dalam kasus kecelakaan misterius di depan kampus Mikuo-nii dan hilangnya beberapa anak SMP dan SMA secara random itu.
Ah, Nana-senpai! Kira-kira apa hubungan Shinigane Oliver dengan kakak kelas yang satu itu?
"Kai, tahu anak kelas 12-B, Nana-senpai?" tanyaku.
Kaito mengangguk. "Pacarnya Ketua Klub BCyber, 'kan?"
Aku menjentikkan jariku dan mengangguk. "Yup! Apa kau tahu apa hubungannya Nana-senpai dengan Shinigane-kun?"
"Mana aku tahu! Aku bukan biang gosip seperti kau dan Rin!" balasnya.
"Apa?!"
Aku menginjak kakinya dan dia meringis pelan. "Duh, Miku sejak kapan kau jadi yandere gini sih?"
Aku mendengus dan membelakanginya.
Beberapa menit kemudian, kereta berhenti dan begitu pintu gerbong terbuka, aku menarik Kaito dan berlari keluar stasiun menuju rumah sakit tempat Mikuo-nii dirawat. Masa bodoh dengan orang yang menegur dan memakiku karena aku menabraknya dan Kaito yang sudah seperti mesin peneriak kata 'Maaf!' dibelakangku, aku terus memacu lariku.
Jalan yang kami tempuh melewati tempat kecelakaan Mikuo-nii. Sebagian orang masih berkerumun di pinggir jalan dan membahas kecelakaan itu. Aku menghentikan lariku sambil memegang lututku.
Aku mendengar percakapan mereka.
MEREKA MEMBAHAS ANAK ITU!
"Kai, ada yang aneh!" ucapku sambil mengguncang bahu pemuda itu. "Anak itu! Shinigane Oliver memang terlibat!"
Kaito menahan diriku. "Uh, santai dulu, Miku! Jangan langsung menuduh orang tanpa bukti! Kita temui dulu Mikuo-san dan kalau bisa kita tanyai dia mengenai kronologinya, oke?"
Aku mendesah dan mengacak rambutku. "Ayo temui Mikuo-nii."
Kaito yang tingginya lebih 15 senti dariku itu menegok ke sebrang jalan, menatap kerumunan manusia yang tertahan di seberang jalan karena lampu menyebrang masih berwarna merah.
"Kai," panggilku sambil menepuk bahunya. Kaito mengangguk dan menarik tanganku ke dalam genggamannya.
Aku ditariknya untuk berjalan cepat. "Eh? Kenapa?"
"Anak itu," dia berkata dengan volume suara yang agak kecil. "Shinigane Oliver mengikuti kita."
.
.
.
To Be Continued!
.
.
.
Author's Note :
YOSH! KETEMU LAGI SAMA SHINTARO ARISA!
Uhm, pertama-tama saya mau mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa (readers : Oi! Pidatonya lain kali aja!)
Ehem, aku mau mengumumkan seri baru dari kasus The Mysterious Accident.
Seperti yang kalian liat pada judulnya, ini akan sedikit berbau supernatural. Iya, psychometry. Story ini tadinya bakal kupublish di FictionPress tapi karena nggak ada baca (seriusan nggak ada dong!) jadi kuhentikan. Kebetulan setelah Extra File selesai, ada yang request (author : summon Yana-san) kelanjutannya dari sudut pandang Miku, terus daripada ideku terbuang percuma makanya kubuat TMA season 2 (what?!)
Oh ya, soal pairing, bukan karena saya KaitoMikuFC makanya saya taro Miku berpasangan dengan Kaito tapi seperti yang Miku bilang tadi, Kaito sumber data mereka semua. Sebenernya, tadinya Miku mau dipasangkan dengan Len, tapi jatah si Len udah banyak. Buktinya, dia di ULT menjadi karakter utama :v
Yep, segitu dulu cincongnya! Lagi nikmatin suaranya Bang Hio nih!
.
.
.
Review, please! Bash/Flame diterima dengan lapang dada!
.
.
.
Shintaro Arisa, out!
