Udara dingin menusuk tulang, membuatku harus memeluk diri dikarenakan aku lupa membawa jaket. Rintik-rintik hujan gerimis turun membasahi kota, termasuk aku. Beberapa menit yang lalu, aku sibuk menunggu angkot di pinggir jalan--sayangnya tak kutemukan. Daripada harus berdiam sambil ditumpahi hujan gerimis, lebih baik aku kembali ke koridor.

Ya, ya, aku tahu. Aku bisa menghilang dan berjalan diantara hujan dengan mudah tanpa takut kebasahan dengan teknik menghilangku. Atau, aku bisa melakukan teleportasi ke tempat-tempat teduh hingga sampai ke rumah. Tapi, ayolah. Aku sedang berada di Klan Bumi--jika ada orang yang melihat, habislah aku.

Aku menyibak rambutku ke belakang, sempat menutupi label namaku di dada bagian kiri yang bertuliskan namaku, Raib. Kuikat sebagian surai hitamku agar tidak banyak yang beterbangan terkena angin--menutupi wajahku. Kuangkat tangan kiriku yang tengah memakai arloji bergaya vintage pemberian papa beberapa bulan yang lalu. Sudah 30 menit sejak bel pulang berdering. Kapan hujan ini reda? Atau, kapan sebuah mobil angkot akan lewat? Ah, lebih baik kukabari saja mama terlebih dahulu bahwa aku pulang terlambat.

Saat aku tengah mengirim pesan kepada mama, aku mendengar suara langkah kaki datang mendekat. Sayup-sayup, suara ketukan kecil-kecil juga terdengar semakin dekat. Sayangnya, aku tidak terlalu was-was hingga asal suara itu benar-benar sedang tepat di depanku. Seorang pemuda laki-laki yang tengah memainkan ponselnya menabrakku tanpa sengaja.

"Aduh--hei!"

Pemuda itu mengaduh sambil mengusap kepalanya yang sempat berbenturan dengan kepalaku. Ia memakai seragam putih abu-abu yang sama denganku. Bedanya, ia memakai celana, sedangkan aku memakai rok. Ya tentu saja, dia 'kan, laki-laki.

Aku melakukan hal yang sama--lalu hendak meminta maaf sampai aku melihat pemuda siapa yang menabrakku tadi.

"Ali! Perhatikan keadaan sekitar kalau jalan!"

Omelku. Ia kaget saat melihatku, membuatnya berhenti mengusap-usap dahi.

"Yah, jangan salahkan aku sepenuhnya, dong, Ra. Kau juga sedang memainkan ponselmu, jika kau memperhatikan keadaan sekitar, kau pasti bisa menghindar."

Jawabnya dengan raut wajah perpaduan antara bingung dan kesal.

Si biang kerok ini, selalu saja punya alasan cerdik untuk mengelak omelanku.

"Tapi itu berbeda! Kau sedang berjalan, dan aku sedang diam. Itu lebih berbahaya, tahu!"

Jawabku tak kalah sengit.

"Sama saja, Ra. Mungkin di situasi ini kau lebih aman, karena kita juga berada di tempat yang aman. Coba kalau di tengah-tengah jalan raya yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan. Kau diam, aku jalan terus. Siapa yang akan selamat? Tentu saja aku."

Jelasnya panjang lebar.

Ugh, bikin rumit saja! Berdebat dengan orang yang memiliki otak asli Klan Aldebaran memang tidak akan pernah membuahkan hasil yang memuaskan.

Aku membuang napas kasar, memutuskan untuk tidak menjawab lagi. Aku lebih memilih untuk melihat ke jalan raya di depan gerbang, apakah sudah ada angkot yang lewat atau belum.

Senyap selama beberapa detik, hingga tiba-tiba saja Ali bersuara.

"Kenapa belum pulang, Ra? Tidak bareng Seli?"

Aku melirik ke arah laki-laki berjaket merah marun yang tengah menatapku lamat-lamat. Pandanganku kembali lurus ke depan sebelum menjawab.

"Belum melihat angkot di sekitar sini. Seli pulang dijemput mamanya yang pulang lebih awal menggunakan mobil."

Jawabku datar.

Semakin lama, arus jalanan semakin melambat. Macet. Jika begini caranya, kian sulit aku menemukan mobil angkot di sini. Aku memutar-mutar jari telunjuk di depan perut, sedikit resah.

"Macet begini, Ra. Aku yakin para sopir angkot itu sudah tidak mau menarik penumpang hari ini karena tidak mau terjebak macet."

Ali malah membuat situasinya tambah buruk. Ia sedang bercanda atau apa, sih?

Aku hanya melempar tatapan sinis padanya--yang hanya dibalas oleh senyuman miring yang berguna untuk menahan tawa. Kurasa Ali senang sekali melihatku menderita.

"Baiklah, begini saja. Hari ini aku dijemput oleh sopir. Sama sepertimu, aku yakin tidak ada angkot di sekitar sini, jadi beberapa menit yang lalu aku menghubunginya. Kau mau ikut, Ra?"

Tawar Ali, sedikit memiringkan kepalanya agar ia bisa melihat wajahku yang sedang resah. Meskipun mendadak berubah cerah saat mendengar perkataan Ali.

Tapi tunggu, menumpang dengan Ali? Hanya berdua? Oh, jika saja Seli tidak dijemput oleh mamanya, aku pasti akan langsung mau karena ada Seli. Tapi sekarang? Aduh, bagaimana ya. Jika aku menolak...

"Tidak usah, deh Ali. Terimakasih."

Tanganku tak tahan ingin menepuk dahi sendiri. Sekarang aku menyesal sudah menolak.

"Yang benar, Ra? Nanti kamu tidak bisa pulang, lho."

Aduh! Si biang kerok ini terus saja menambah pikiran negatif. Sekarang aku harus jawab apa?

"Tidak, Ali. Nanti merepotkan."

Jawabku untuk yang kedua kali. Kini wajahku menghadap ke arahnya.

Entahlah, rasanya aku ingin, supaya bisa pulang dengan cepat dan membuat mama tidak khawatir. Tapi...

"Ah itu dia sopirku. Baiklah kalau kamu tidak mau ikut. Dah, Putri Bulan!"

Pamit Ali sambil berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir di lapangan, melambaikan tangan dan menunjukkan ekspresi meledek.

Aku menggigit bibir. Bagaimana ini? Hanya Ali satu-satunya harapan yang tersisa saat ini.

Ali sudah sampai di sebelah ruang penumpang belakang mobilnya. Ia mulai membuka pintu mobil, lambat sekali. Mengapa ia membuka pintu mobilnya begitu lambat? Apakah alam semesta sengaja memperlambat waktu agar aku bisa berlari kesana, memohon-mohon agar Ali tetap menerimaku menumpang? Ya ampun, apa yang sedang kau pikirkan, Raib.

Ia mulai masuk ke dalam mobilnya, lagi-lagi begitu lambat, seperti slow-motion. Ah! Sudahlah, aku akan pulang bersama Ali. Tidak peduli apa yang akan terjadi nanti--yang penting aku bisa pulang dengan cepat dan selamat.

Aku mulai berlari kencang ke arah mobil Ali. Hujan gerimis membasahi rambutku yang melompat-lompat karena aku sedang berlari.

"ALI!"

Aku berteriak agar Ali melihatku sedang menuju mobilnya.

Dan benar saja, saat aku sampai di samping mobilnya dalam keadaan ngos-ngosan, Ali berdiri sambil tetap membuka pintu mobilnya. Ia memblokade air hujan dengan tubuhnya agar bagian dalam mobil tidak basah.

Bisa kudengar bahwa Ali terkekeh melihatku. Dasar.

"Sudah kuduga. Aku tahu kau akan berubah pikiran, itu sebabnya aku masuk ke dalam mobil dengan gerakan yang sangat lambat. Masih untung aku peka, Ra."

Ali kembali terkekeh, meskipun pada akhirnya ia membukakan pintu mobil lebih lebar untukku, sehingga aku bisa masuk.

Mobil mulai melaju di tengah-tengah kemacetan setelah aku dan Ali duduk di kursi penumpang belakang. Aku memberitahu alamatku kepada pak Sopir agar beliau bisa mengantarku ke rumah.

Di perjalanan, tidak ada yang bicara satu kata pun. Kadang aku kepergok Ali bahwa aku sedang meliriknya sekali-sekali.

"Kenapa sih, Ra? Kau selalu mengejek rambutku berantakan--tapi sekarang kau kelihatan senang melihatnya."

Ali menarik senyum miring dari salah satu ujung bibirnya. Hampir saja semburat merah dari kedua pipiku mulai terlihat, aku memukul lengan kiri atas Ali, membuatnya mengaduh dan melihat ke arah lain.

"Tidak usah menuduh-nuduh sesuatu yang tidak jelas, Ali!"

Omelku, yang kemudian memilih untuk melihat ke arah jendela.

Suasana sangat hening. Aneh, biasanya ia gemar membalas omelanku.

Aku kemudian memutuskan untuk menoleh ke kanan untuk memastikan--ASTAGA!

Wajah Ali kini tepat di depan wajahku, kepalanya dimiringkan dan ia tersenyum manis.

Aku refleks menampar wajahnya, lalu aku menutupi wajahku dengan kedua tangan. Ya ampun, apa itu tadi? Wajahku benar-benar terasa panas.

Ali tertawa renyah meskipun baru saja ditampar olehku.

"Kena kau!"

"ALI!"

"Saya sarankan pacar Tuan Muda jangan banyak diganggu, Tuan Muda. Nanti kalian akan terus bertengkar sampai kita sampai dirumah pacar Tuan Muda."

Dan ucapan pak Sopir berhasil membuat kami bungkam hingga aku sampai dirumah.