Gintama by Hideaki Sorachi

Yuri presents

Office Hours

Warning: OOC, abal, alur kecepetan, dll. Silakan klik tombol 'Back' kalo kamu udah ga sreg baca. Hehe :D

A/N: Ingat, ini Gintama. Apapun bisa terjadi di sini. Animenya aja bisa nyeleneh, apalagi fanficnya?

_OfficeHours_

Musim panas di Tokyo. Musim yang menyurutkan semangat orang-orang melakukan aktivitas. Tidak sedikit orang mengalami dehidrasi parah hingga pingsan. Cuaca ekstrim semacam ini seringkali menimbulkan berbagai penyakit. Jangan heran bila sebagian orang membenci musim panas.

Namun bagaimanapun juga, Tokyo tetaplah kota yang sibuk. Tidak peduli cuaca sepanas neraka atau angin topan menerjang, but work must go on. Salah satunya ialah Hijikata Toshirou, pria berumur dua puluh lima tahun yang menjabat sebagai Manajer Pemasaran di perusahaan job portal kelas dunia, Sakata Advertise Co. Ltd.

Toshi tenggelam dalam berkas-berkas kerjasama yang harus ia pelajari sebelum menandatangani kontrak dengan perusahaan lain. Lama berkutat dengan huruf-huruf keriting dan kecil membuat matanya sakit. Toshi mengurut pangkal hidungnya yang pegal. Namun nyeri di matanya perlahan merambat ke seluruh bagian kepala, leher, dan bahunya. Tubuhnya sedikit menggigil dan keringat dingin mengalir dari pelipisnya.

Diletakkannya berkas itu lalu meminum air putih di mejanya sampai habis. Toshi memang kurang enak badan sejak tiga hari yang lalu, namun diabaikannya begitu saja. Pekerjaannya menumpuk dan ia ada rapat penting dengan perusahaan lain sore nanti. Sekuat tenaga Toshi menahan sakitnya dengan meminum air putih yang banyak walau tidak terlalu membantu.

Telepon di meja Toshi berdering, yang sudah ia ketahui siapa yang memanggil.

"Hijikata di sini," sapanya.

"Ke ruanganku segera. Bawa proposal yang kemarin kuminta."

"Baik. Saya segera ke sana."

Toshi melangkah ke ruangan yang paling bagus dan berada di pojokan. Begitu pintu dibuka, terlihat seorang pria tampan berambut perak berdiri menghadap jendela besar dan membelakangi Toshi. Pria itu memakai setelan jas dan celana abu-abu, kemeja hitam, dan dasi yang berwarna senada dengan rambutnya.

Pria yang bernama lengkap Sakata Gintoki, sang direktur, menatap malas bawahannya. "Duduklah. Taruh berkasnya di meja."

Toshi melakukan seperti yang diperintahkan atasannya. Gin, sapaan akrab sang direktur, mulai membaca berkas itu dengan teliti.

Ruangan tersebut hening, hanya terdengar detak jam dinding dan suara kertas yang dibolak-balik oleh Gin. Beberapa saat kemudian, Gin menyadari sesuatu setelah melirik Toshi.

"Kamu sakit?"

"Tidak, Pak."

"Jangan bohong,"

"Saya tidak bohong."

Gin menutup proposalnya, berdiri, dan menempelkan keningnya ke kening bawahannya. Sang manajer syok dan wajahnya jadi semerah tomat.

"A-apa yang Bapak lakukan?!" kaget Toshi. Didorongnya wajah bosnya itu menjauh sebelum panas di wajahnya bertambah.

Gin kembali duduk di kursinya. "Kamu sakit, kan? Akui sajalah," cecar Gin.

"Saya sudah bilang, saya tidak sakit, Bapak Gintoki." Toshi mendengus kesal.

"Mukamu merah. Nih, lihat." Gin menghadapkan cermin kecilnya ke wajah Toshi. Seketika Toshi memalingkan wajahnya ke arah lain. Malu. "Sakit dari tiga hari yang lalu. Sebaiknya kamu pulang, istirahat. Rapat bisa ditunda lain waktu. Jangan memaksakan diri."

Toshi menggeleng. "Tidak. Saya akan tetap menghadiri rapat penting itu. Saya masih bisa tahan kalau cuma begini,"

"Kamu ini keras kepala banget, sih? Aku berbaik hati begini cuma sama kamu, lho, yang. Sesekali kamu nurut sama aku kenapa?"

Toshi terbelalak mendengar panggilan 'sayang' itu keluar dari mulut Gin. Sontak pipinya bertambah panas. Ia berdiri lalu berkata sambil menahan emosi yang bercampur malu.

"Terima kasih Bapak sudah mengkhawatirkan saya. Tapi sekali lagi, saya akan tetap menghadiri rapat penting itu. Saya tidak mau klien kita kecewa hanya karena saya tidak profesional. Kedua, mohon Bapak bersikap formal. Ini di kantor. Bisa saja sekarang ada yang menguping pembicaraan kita di balik pintu dan masalah besar terjadi karena kelalaian Bapak dalam menjaga cara bicara Bapak." jelas Toshi panjang lebar, membuat Gin harus mengorek telinga kanannya.

"Parnomu berlebihan. Di luar nggak ada yang menguping, kok. Kan CCTV-nya terhubung ke ponselku." Gin menunjukkan layar ponselnya ke Toshi yang menampilkan keadaan di luar ruangannya. Ditaruhnya kembali ponsel itu di atas meja. "Aku khawatir kamu kenapa-kenapa. Gara-gara project besar yang aku kasih ke kamu, kamu jadi terlalu memforsir tenaga dan pikiranmu. Kamu sakit begini kan gara-gara aku juga. Sudah seharusnya aku ngasih kamu waktu bernafas sejenak." tutur Gin lembut.

Toshi menundukkan wajahnya, cukup tersentuh mendapat perhatian kecil dari bos sekaligus kekasihnya. "Walaupun kamu bilang begitu, aku tetap akan menyelesaikan tugasku." ujarnya tegas.

Gin menatap dalam kekasihnya itu lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Terserah kamu deh. Tapi aku akan tetap mengawasimu dari CCTV ini. Lambaikan tangan kalau kamu udah nggak kuat."

"Kamu kira uka-uka? Udah ah, aku balik ke ruanganku." Toshi pun berlalu tanpa berujar apapun lagi. Gin menatap kepergiannya datar.

"Aku bertaruh, kamu pasti bakal tumbang,"

_OfficeHours_

Rapat berlangsung lama, sekitar tiga jam. Meski begitu, usaha keras Toshi tidak sia-sia. Bertambah satu lagi daftar rekan bisnis yang bersedia bekerja sama dan membeli produk baru perusahaan Sakata. Keenceran otak serta kepiawaian bicara seorang Hijikata Toshirou patut diacungi jempol.

Setelah menyalami dan mengantar rekan bisnisnya keluar, Toshi kembali ke ruangannya. Arlojinya menunjukkan pukul tujuh malam. Semua anak buahnya sudah pulang. Toshi membereskan berkas-berkas dan barang-barangnya yang tercecer di meja.

Nyut.

Toshi merasakan kepalanya bertambah pening. Sial, tidak bisakah nyeri di kepalanya itu ditunda sampai ia tiba di rumah? Kalau seperti ini kan selama perjalanan pulang tidak akan nyaman. Ditambah perutnya mulai bergolak aneh, membuat Toshi segera melesat ke toilet.

"Hoek!"

Toshi hanya mengeluarkan angin dan air liur dari mulutnya. Wajar, sebab ia hanya makan sedikit bento yang dibelinya karena sedang tidak nafsu makan. Bekerja telah menggelapkan matanya, sebuah senjata makan tuan untuk orang yang berdedikasi tinggi seperti Toshi.

Toshi mencuci mulutnya lalu melangkah lunglai keluar dari toilet. Ketika sampai di depan ruang kerjanya, sesosok berambut perak tersenyum kepadanya. Namun kesadaran Toshi yang semakin menipis membuatnya berat untuk sekadar menyapa bosnya itu.

"Ayo pulang. Aku antar."

Tanpa disadari, Toshi mengangguk. "Aku ambil tas dulu."

Setelah mematikan lampu dan mengunci pintu, Gin menggiring Toshi sampai ke mobilnya. Energi Toshi sudah sampai batasnya hingga ia jatuh terlelap begitu menduduki kursi. Melihat kekasihnya tidur dengan damai, Gin mengurungkan niat membawa Toshi pulang. Toshi tinggal sendirian di Tokyo, dan Gin tidak tega membiarkannya dalam keadaan sakit begini. Gin pun memutar arah, membawa Toshi ke rumah mewahnya.

_OfficeHours_

Pagi harinya Gin dikejutkan oleh ranjangnya yang kosong. Bukan main paniknya dia. Menanyakan maid-nya satu per satu, namun tidak ada yang mengetahui keberadaan Toshi. Dihubungi pun hanya operator selular yang menjawab.

Gin frustasi, lalu mengambil segelas air yang ada di meja nakasnya. Selembar kertas di bawah gelas itu jatuh ke kaki Gin. Ia tidak ingat pernah menaruh kertas di sana.

Aku sudah baik-baik saja. Maaf tidak membangunkanmu karena aku takut kamu terganggu. Lagipula aku nggak mau telat ke kantor. Terima kasih sudah merawatku semalam. –Toshi.

Gin menggaruk kepalanya, tambah frustasi. Memang susah memiliki karyawan sekaligus pacar yang workaholic. Disuruh libur sehari saja tidak mau.

"Tau begini mah semalam aku ikat kamu aja di ranjang," gumam Gin asal.

_OfficeHours_

Gin melangkah cepat ke ruangan bagian pemasaran. Apa lagi tujuannya kalau bukan melihat sendiri kondisi kekasihnya? Selama perjalanan ke kantor Gin hampir dikuasai panik, bahkan ia melupakan sarapannya.

Baru saja Gin melongokan kepalanya...

"Proposal macam apa ini? Buat ulang! Pelajari lagi yang kemarin saya berikan!"

"Ba-baik, Pak!"

Toshi menggerutu tidak jelas. Sebenarnya ia kasihan pada bawahannya yang polos dan berkacamata itu. Tapi mau bagaimana lagi, namanya pekerjaan kan harus dilakukan dengan benar.

Gin mengedipkan matanya dua kali. Bengong sendiri di depan pintu. Ini yang Gin kira sakit parah? Orang sakit kok bisa mengaum segitu ganasnya? Pagi-pagi pula.

Seketika Gin merasa tidak berguna sudah mengkhawatirkan Toshi.

"Hijikata,"

Toshi terkejut mendapati bosnya berdiri menatapnya lurus. "Pak Gin?!"

"Ikut ke ruangan saya." tegas Gin. Mau tidak mau Toshi menurut.

Begitu memasuki ruang pribadi Gin, bos berambut perak itu segera mengunci pintu dan mendorong Toshi ke sofa. Kilat marah terpancar di kedua mata merah Gin. Toshi meneguk ludah tanpa sadar.

"Kamu itu ya, hobinya bikin aku khawatir terus." ujar Gin pelan, namun Toshi bisa menangkap kekesalan di nadanya. "Aku tahu kamu belum sembuh benar, tapi main ngeluyur pulang dan malah kerja lagi. Sakitmu ini lumayan parah, lho, sayang.."

"Sok tau kamu!" Toshi menegakkan tubuhnya di sandaran sofa. "Iya, aku salah karena pulang nggak pamit kamu dulu. Tapi kamu lihat kan, aku baik-baik saja!"

"Kamu tifus. Semalam dokter pribadiku meriksa kamu."

Toshi membelalakkan matanya. "A-apa?"

"Iya, tifus. Kamu sering melewatkan makan siang, kalau malam sukanya makan mie dan pedas, kerja terlalu diforsir. Memangnya aku nggak tau?"

Toshi berdecih. Ia tidak tahu harus bersyukur atau marah punya kekasih kelewat perhatian seperti Gin. Karena kadang-kadang Gin memperlakukannya seperti anak kecil, padahal Toshi cuma sakit sedikit.

Gin duduk di samping Toshi dan mengelus pelan kepalanya. "Kamu tau nggak, semalam aku susah payah nyuapin bubur dan meminumkan kamu obat?"

Alis kanan Toshi terangkat. "Bukannya aku ketiduran sampai pagi? Kapan kamu melakukan itu?"

"Pas kamu tidurlah. Aku nggak tega bangunin, akhirnya aku suapin bubur ke mulut kamu sedikit-sedikit. Bubur kan encer, jadi gampang masuk ke tenggorokanmu. Nah, pas mau minum obatnya itu aku bingung.." Gin sengaja menggantungkan kalimatnya, mendapati ekspresi Toshi menunjukkan rasa tertarik. Tanpa disadari, smirk terkembang tipis di bibir Gin.

"Terus.. kamu gerus obatnya dan disuapin ke mulutku, kan..?" tanya Toshi ragu-ragu.

"Ya nggaklah. Obatnya kumasukkan pakai mulutku."

"..."

"MESUM!" Toshi melempar bantal sofa ke muka Gin. Oh my God, malu setengah mati!

"Tunggu, yang! Dengarkan dulu penjelasanku! Oi, sayang!" Gin hendak meraih tangan Toshi, namun tanduk dan ekor imajiner Toshi keluar terlebih dulu. Gin reflek mundur. Auranya panas gile!

Toshi mencengkeram kerah kemeja Gin sambil menatapnya dengan mata berapi-api. "Sekali lagi kamu ngambil kesempatan dalam kesempitan, apalagi tanpa seizin aku, pokoknya nggak ada jatah. Meng-er-ti?"

Gin langsung manggut-manggut, luar biasa ketakutan.

Toshi langsung kembali ke mode normal dan keluar ruangan tanpa bicara. Meninggalkan Gin yang duduk nelangsa di pojokan. Niatnya mau menggoda, malah dia sendiri yang kena damprat. Toshi kalau marah seramnya bukan main!

Tapi apa iya Toshi benar-benar marah?

Bukannya kembali ke ruangannya, Toshi membelokkan langkahnya menuju balkon. Kakinya lemas, pipi dan tubuhnya bertambah panas. Kesal bercampur malu. Marah sekaligus bahagia. Toshi tidak mampu mengingkari jantungnya yang berdebar sangat keras. Ia tidak peduli lagi sakitnya akan bertambah parah.

Andai Toshi memiliki keberanian, maka akan lebih baik bila ia mengucapkan terima kasih dan memberi kecupan kecil untuk kekasihnya itu. Namun sebagai seorang tsundere, sulit baginya melakukan itu. Alih-alih kembali bekerja, Toshi malah membuang tiga puluh menitnya untuk mengutuk pacar tersayangnya itu.

"Keriting sialaaaaaaan!"

END

CUAP-CUAP AUTHOR:

Yuhuuu~ ketemu lagi dengan saya di fandom Gintama ini. Saya tau kok, ga ada yang kangen sama saya. Saya mah apa atuh? #apaansih

Otak saya lagi korslet, alhasil fic yang dihasilkan pun sama korsletnya. Fic ini tercipta dari keseharian saya di kantor, karena saya pikir kehidupan 'orang kantoran' itu cukup menarik untuk dijadikan tema. Iya, saya ngaku saya krisis imajinasi.

Chap 1 ini hasil dari pengalaman saya sakit kemarin. Tapi saya tegaskan, saya BUKAN jadi Toshi di sini. Toshi mah enak, kerja capek-capek, sakit dianter pulang pacar. Saya mah apa atuh? #gakadayangnanyawoy. Btw, karena fic ini slice of life, bahasanya pun saya ubah jadi ga baku. Biar lebih santai aja kayak kita ngomong sehari-hari.

Akhir kata, saya berharap masih ada GinHiji shipper yang mau meluangkan waktu untuk mengapresiasi fic ini. Satu review dari kalian menunjukkan bahwa kapal ini belum karam. Semangaaaat! :D

Salam,

Yuri