Nozomi merapikan buku-bukunya yang berantakan. Menghelakan napasnya dan menatap sebuah pigura foto di atas rak bukunya. Di foto itu, terdapat seorang perempuan muda berambut cokelat-gelap sepundak tersenyum sembari memegang setangkai bunga mawar.

"Ibu, kelihatannya ibu begitu senang menerima mawar itu ya?" bisik Nozomi sambil mengelus pelan kaca pigura itu. Ia menatap sedih ibunya. Rambutnya yang cokelat pendek seleher terlihat kusam dan kusut dibanding dengan rambut ibunya yang begitu indah.

"Kalau tak salah, mawar itu pemberian ayah 'kan Bu? Ah, mungkin sudah tak pantas aku memanggilnya Ayah," tanyanya tanpa mengharapkan jawaban apapun. Ia meneduhkan pandangannya.

"Ibu, tahun depan aku akan naik kelas 3 SMU. Senang jika Ibu bisa hadir menerima rapotku. Aku jamin ibu akan puas dengan hasil yang sudah aku peroleh selama satu tahun ini. Aku takkan membuat ibu kecewa seperti tahun lalu,"

"Cih, apa yang sudah kulakukan? Lama-lama bisa gila!" dengusnya main-main.

Nozomi hanya menatap dalam pigura itu dan meletakkannya kembali di tempatnya semula. Dia melepas gulungan lengan bajunya dan kembali bebersihan. Semenjak ibunya meninggal dunia, Nozomi terus-terusan bangun lebih awal untuk membersihkan rumah. Kalau sudah pulang sekolah, Nozomi langsung bekerja di sebuah restoran hingga pukul 10 malam. Tidak akan ada waktu untuk bebersihan lagi, makanya ia memilih untuk bangun sekitar jam 4 untuk "melakukan hal-hal yang harus dilakukan di rumah".

"Astaga, disini debunya lumayan banyak," gumamnya sambil menutup hidung dan mulut. Tangan kanannya yang sibuk bergerak tak sengaja menyenggol sebuah kalender biru hingga terjatuh. Nozomi segera meraih kalender itu dan berusaha untuk mengembalikannya kembali, namun, tangannya terhenti ketika matanya menangkap ada tanggal yang dilingkari di bulan Februari.

"Tahun ini, siapa yang akan ikut merayakan ulang tahunku ya?"

Kring!

"Ah, sudah jam 6! Aku harus bergegas!" Nozomi mempercepat pekerjaannya dan mengambil handuk. Selesai mandi, Nozomi memakai seragam sekolahnya dan mengambil kaus kaki baru. Diambilnya dua potong roti selai kacang dan meneguk secangkir teh susu hangat.

"Aku berangkat!"

(M~S~B)

"Ahh ... ternyata masih sepagi ini, aku kena tipu oleh jam weker sialan itu," gerutu Nozomi sambil berjalan pelan menatap langit-langit yang kebiruan.

"Ohayo, Nozomi-chan," sapa seorang nenek dengan senyumannya yang hangat.

"Ah, Kimiko-baa-san, ohayo gozaimasu ..." sapa Nozomi dengan riang dan sopan.

"Hari ini tidak terburu-buru?" tanyanya dengan suara penuh kelembutan. Nozomi menggeleng dengan senyum yang tak juga lepas dari bibir tipisnya.

"Kalau begitu, mau mampir sarapan dengan kami?" tawar Kimiko-baa-san.

"Ah, maaf ... Nozomi sudah sarapan, lain kali saja ya?" ujarnya sambil mengatupkan kedua tangan.

"Ara, kalau begitu, baiklah."

"Ah, itu Nozomi-nee-chan!" tunjuk salah seorang anak perempuan.

"Iya! Nozomi-nee-chan, ohayo!" sapa kedua anak itu dengan riang. Nozomi tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang rapi dan melambai mereka sambil berjalan ke belakang.

"Ush! Ohayo!" kedua anak perempuan itu saling berpandangan dan tertawa senang.

"Nozomi-kun, hati-hati di jalan ya!" sapa seorang kakek-kakek yang sedang merawat bunga-bunganya.

"Siap kek, " balasnya sambil mengacungkan jempol.

"Ne, ne, Nozomi-nii, maukah kau datang ke rumahku siang ini? Kita main sama-sama lagi!" tawar Kenta. Nozomi berhenti sejenak menatap Kenta dan tersenyum.

"Aku bukan 'onii-chan'. Maaf ya, Ken-chan. Aku tidak bisa pulang siang lagi, aku harus bekerja."

"Kalau begitu, aku akan main ke tempat kerja Nozomi-nii" tawar Kenta.

"Sudah kubilang aku bukan 'onii-chan'. Ckckck ... tidak tetap tidak! Ken-chan harus tidur siang, kalau Ken-chan lemas, bagaimana mau main sama Nozomi?" ujarnya pura-pura panik. Kenta ikut panik melihat gaya bicara Nozomi.

"Ka-kalau begitu lain kali! Aku tidak mau tidak bisa main sama Nozomi-nii lagi!" Nozomi membentuk jarinya menjadi tanda "oke". Dia melambai ke Ken-chan dan berjalan menjauh, tak lama ia berhenti.

"Oh, satu lagi! Lain kali panggil aku Nozomi-nee ya, aku bukan "kakak laki-laki", jangan pakai "nii", oke?"

Setiap hari, Nozomi selalu menyapa dan disapa oleh orang-orang di sekitar rumahnya. Nozomi memang dikenal, baik, ramah, humoris, dan bersahabat. Karena itu banyak anak-anak yang menyukainya. Terkadang ia berbagi makanan dengan tetangga-tetangganya. Banyak yang komen makanannya kurang enak, dan Nozomi hanya meresponnya dengan senyum cerobohnya. Tetapi mereka tetap senang dengan kebaikan hati Nozomi.

Kring! Kring!

"Ah! Kenji-kun! Ohayo! Sudah mulai berbagi koran ya!" sapa Nozomi. Kanji melambaikan tangannya dan mengayuh sepedanya menuju tempat Nozomi berbiri.

"Ohayo, Nanase" sapa anak laki-laki berumur 14 tahun itu. Nozomi tersenyum.

"Oh ya, aku akan memberikan satu koran untukmu," ujarnya sambil merogoh keranjang sepeda berisi koran-koran baru

"Heh? Tak perlu!" tolak Nozomi halus. Kanji tak peduli dan menyodorkan koran itu dengan paksa di kedua tangan Nozomi.

"Tenang saja! Anggap ini gratisan!" seru Kanji sambil mengayuh sepedanya dan kembali melanjutkan pekerjaanya. Nozomi hanya diam mematung dan menatap koran yang diberikan Kanji.

"Terima kasih!" teriaknya. Kanji tak menoleh, namun ia melambaikan tangan kanannya.

"Baiklah, kita lanjutkan perjalanan kita menuju sekolah!"

"Oh, ada baiknya jika aku membaca berita pagi ini. Sudah lama aku tak baca koran," Nozomi membuka lipatan koran itu lebar-lebar dan membacanya sambil berjalan.

Matanya membesar melihat topik utama di koran itu. Dia melihat wajah seorang laki-laki setengah baya sedang berdiri tegak meladeni wartawan dan reporter di halaman depan koran itu.

"Anak tunggal Perdana Menteri, Masayuki Shiro, masih tak kunjung pulang dari luar negeri"

"Lihat, bahkan ia berani berbohong kepada semua orang bahwa aku sedang belajar di luar negeri. Ini pasti demi jabatannya,"

"Ayah ..." bisiknya kecil sambil menatap beku laki-laki dengan nama Masayuki Shiro. Nozomi menatap tiap garis di wajah ayahnya yang terpotret dan sedang terpampang di halam depan koran itu. Matanya berkaca mengingat semua kejadian masa lalu yang mengaitkan ayah dan ibunya, dan juga ketika ia masih berumur 4 tahunan.

Sret!

"Tidak! Aku tidak akan pernah bersimpati kepada pria yang meninggalkan istri dan anaknya sendirian!"

(M~S~B)

Bang!

Nozomi membantik tutup rak sepatunya dengan kasar. Beberapa anak di sekelilingnya bergidik ngeri melihat wajah dan aura yang terpancar di sekeliling Nozomi. Rieko, salah satu sahabatnya bahkan tak berani mendekatinya.

"Ne, Rie-chan, apa yang terjadi dengan Nozomi-chan?" tanya Tamiko dengan suara takut-takut. Rieko hanya menelan ludah dan berbalik paksa.

"Ahh ... dia sedang bad mood pasti! Mungkin ada hal buruk yang menimpanya pagi ini. Bahkan dia tak mendengar sapaan selamat pagi dari teman-temannya. Itu bukan Nozomi yang kau kenal bukan? Aku sudah mengenalnya sejak SMP, makanya aku tahu." Bisik Rieko hati-hati. Sesekali matanya melirik Nozomi yang masih dengan aura mengancamnya.

"Kira-kira ada masalah apa ya?"

"Entahlah, pasti ini ada kaitannya dengan ay -" Rieko menutup mulutnya cepat. Tamiko mengerutkan keningnya.

"Ay? Ay apa?" Tamiko bertanya dengan nada antusias. Rieko menggeleng sambil tersenyum.

Di kelas ...

"Kau dengar tidak berita pagi ini? Anak perdana menteri ternyata tak pernah pulang ke Jepang sejak belajar di luar negeri!"

"Benarkah?"

"Um! Bukankah perdana menteri mendirikan suatu perusahaan? Masayuki Group? Kalau anaknya tak pulang juga, bisa-bisa perusahaan itu akan mati kutu. Ayahnya saja sudah berumur 40-an lho,"

"Entahlah, dasar anak tak tahu diri,"

Telinga Nozomi menjadi sensitif mendengar pembicaraan terakhir dari temannya itu. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, dan menutup kedua matanya perlahan.

"Anaknya di sini, bodoh! Di kelas kalian ini! Sedang duduk menggalaui diri sendiri!"

Duk! Duk! Duk!

"Hii ... apa itu?" Tamiko bergidik melihat Nozomi yang mengetuk-ngetukkan jidatnya di atas meja sambil menggerutu seram.

Tep!

Nozomi menghentikan serudukannya dan mendongakkan kepalanya. Dia melihat Seorang gadis berambut hitam lebat dengan kucir kuda sedang tersenyum mengacungkan jempolnya.

"Pulang ini, kau kerja?" tanyanya sambil mengepalkan tangan kanan. Nozomi mengangguk lemas dan membalas kepalan tangan Rieko.

"Umm," Rieko tersenyum simpul melihat sahabatnya merespon dengan nada lesu.

"Aku sudah tahu berita pagi ini, tapi ... jangan membuat semangatmu lumpuh ya ..." Nozomi tak menjawab dan menarik sweater jingga Rieko. Memberi isyarat agar duduk di sampingnya sebentar.

"Tapi Rie, aku tak tahu kalau Ayah tidak menikah untuk kedua kalinya. Bahkan tahan menyimpan rahasia itu," bisik Nozomi kecil. Rieko meletakkan tangan kanannya dan menopang dagunya.

"Barangkali, dia masih menyanyangimu dan masih menganggapmu sebagai anak satu-satunya." Bisik Rieko dengan suara yang lembut. Nozomi menaikkan sebelah alisnya kurang percaya.

"Bagaimana mungkin ia masih menyanyangiku?! Dia meninggalkanku! Enak saja!" bentak Nozomi.

Grek!

Seluruh pasang-memasang mata menatap Nozomi lekat-lekat. Nozomi terdiam dengan keringat dingin dan wajah biru pucatnya. Rieko hanya menepuk keningnya sendiri dan menarik napas.

"Yah, seperti yang kalian tahu, masalah kare-kano ..." ujar Rieko memberi alasan. Beberapa anak yang tadinya sedang seru-serunya membicarakan masalah berita pagi ini mendesah kecewa. Mereka berpikir bahwa bentakan Nozomi menganggu pembicaraan yang mudah penasaran segera menghampiri mereka berdua.

"Ne, apa Nozomi punya pacar ya?"

"Tentu saja tidak!" sergah Nozomi. Tamiko meletakkan telunjuknya di pelipis kanannya.

"Tapi ... tadi ... tadi ..."

"Hai, hai ... pergilah ke kantin dan beli beberapa makanan. Jangan kembali sampai bel istirahat habis oke?" Rieko mendorong pelan punggung Tamiko agar menjauh.

"Eeeehh ... tapi aku tak punya uang,"

"Kuberikan 30 yen, tapi menghilanglah sementara, oke?" Tamiko menatap kepingan di kedua tangannya dan berbalik dengan muka cemberut. Rieko menghelakan napasnya lega dan kembali masuk ke kelas. Dilihatnya Nozomi yang senyum-senyum sendiri.

"Apa?"

"Tidak, aku hanya lucu melihat wajah cemberut Tamiko," Rieko menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban Nozomi dan hanya menggelengkan kepalanya.

"Oh ya, kau tidak pernah memberitahukan soal ayahku ke Tamiko atau siapapun 'kan? Bahkan di keluargamu sendiri?" tanya Nozomi penuh selidik. Rieko menengadahkan bahunya.

"Tidak mungkin. Demi sahabatku, aku juga tahu bagaimana perasaanmu. Sebenarnya kau kurang senang menjadi anak dari seorang perdana menteri 'kan?" Nozomi tak menjawab dan menggulingkan kepalanya di atas meja. Menatap langit biru di luar jendela.

"Terakhir kali aku merasakan pelukan Ayah ketika aku berumur 4 tahun, semenjak perceraian itu, Ayah tidak pernah mengunjungiku. Tapi dia berkata pada orang-orang kalau aku dirawat olehnya dan sekarang sedang belajar di luar negeri."

"Nozomi, pasti Ayahmu tidak ingin kau pergi dari sisinya. Tapi ia mengalah dan mebiarkan ibumu yang merawatmu, dia pasti punya alasan tersendiri"

"Kaalau memang dia sengaja, mengapa tak pernah menjengukku? Menjenguk ibu? Bahkan ketika Ibuku sakit?!" kilah Nozomi tak mau kalah. Ia merasa kurang suka melihat Rieko membela di sisi yang lain. Melihat sahabatnya yang terus berkilah, Rieko menarik napasnya dalam-dalam.

"Dengar Nozomi, bahkan harimau sekalipun tidak akan memakan anaknya sendiri. Suatu saat, akan datang hari dimana Ayahmu akan berkorban apapun demi dirimu, ingat itu ..." bisik Rieko dengan nada yang agak ditekankan. Mungkin ia agak kesal melihat kelakukan Nozomi. Nozomi terdiam sejenak dan mengepalkan kedua tangannya yang gemetaran.

"Pasti, pasti Ayahmu akan kembali untukmu."

Nozomi pura-pura tak menanggapi omongan Rieko. Tapi di dalam hati dan pikirannya kacau sekali mencerna apa yang barusan disampaikan Rieko kepadanya.

(M~S~B)

"Terima kasih atas kunjungan anda!"

"Ne, Rieko. Ini sudah jam berapa?" tanya Nozomi sambil melepaskan topi hitamnya. Nozomi melirik jam dinding dan kembali mengelap meja-meja yang kosong.

"Sudah mau jam sepuluh. Kalau kau mau pulang duluan, pulanglah. Aku sepertinya masih lama," jawab Rieko sambil menyemprotkan pembersih di atas meja dan mengelapnya dengan rata.

"Benar tidak apa-apa?" tanya Nozomi agak ragu. Dia sudah siap pulang.

"Tidak apa-apa kok. Lagipula, ini giliranku piket. Pulang saja duluan, nanti malah kemalamam. Belum lagi aku mau mengunci restoran. Selesainya pukul sebelasan lho,"

Nozomi tak berkomentar apa-apa dan memilih untuk segera pulang. Dia membuka pintu belakang dan menggosok kedua tangannya.

"Sebentar lagi sepertinya musim dingin. Malam ini begitu dingin," gumamnya kecil.

Nozomi berjalan menyusuri jalan-jalan yang masih agak ramai. Namun, karena rumahnya yang kecil, maka ia menyusuri jalan-jalan yang sempit dan terpencil pula. Terkadang sepatu boot bertalinya suka tergelincir menyusuri jalan yang becek. Dan tentu saja itu membuatnya susah untuk berjalan.

Grek!

Langkah kaki Nozomi terhenti sejenak mendengar bunyi hentakan sepatu di telinganya. Tak lama, ia segera berjalan kembali.

Tek ... tek ...

Keringat dingin Nozomi bercucuran. Ia takut akan terjadi sesuatu padanya. Padahal, rumahku masih jauh, pikirnya. Tangan dan kakinya agak gemetaran.

"Po-pokoknya aku jalan terus saja!"

Tap ... tap ... tap ...

Tap ... tap ... tap ...

Nihil, semakin cepat Nozomi berjalan, semakin cepat juga hentakan kaki itu berdenging di telinganya. Tubuhnya yang beku berusaha untuk berbalik menoleh ke belakang.

"Si-"

Tap ...

"Siapa di sana?!" bentak Nozomi. Namun, ketika ia melihat ke belakang, tak ada seorangpun. Matanya berusaha mencari dan menjelajahi tiap tempat itu, tak ada siapa-siapa. Nozomi mengambil napas lega dan mengusap dadanya.

"Hahh .. ternyata tak-"

"MMMFFFHH!"

Matanya membulat ketika seseorang membekapnya dari belakang. Ia meronta-ronta menggenggam tangan besar yang masih mencengkram mulutnya itu.

"Tidak! Lepas!" Nozomi masih berusaha melawan. Sekilah dia melihat orang yang membekapnya itu, seorang pria berkacamat hitam, berkulit putih dengan rambut pirang. Lebih terlihat seperti orang asing. Pria itu terlihat kewalahan menahan Nozomi. Beberapa komplotannya keluar dari persembunyian mereka dengan pistol di masing-masing tangannya. Nozomi melotot terkejut melihat pistol-pistol yang tersampir di tangan mereka.

"MMFFFHMM!"

"Shut up or I'll shoot you!" ancamnya. Nozomi hanya memejamkan matanya paksa.

"She's that person, right?"

"Yeh, the daughter of Masayuki Group!"

"TIDAAK!" mendengar nama itu, Nozomi menggigit tangan pria itu.

"AWW MAN!" pria itu melepaskan cengkramannya.

"Gotcha!" salah seorang dari mereka kembali mencengkram Nozomi. Pria berambut pirang meringis kesakitan dan menatap kesal Nozomi.

"You bitch! Hurry! Prepare the drug!"

Nozomi menangis tersedu meratapi nasibnya. Saat ini, pasti komplotan ini tahu dia adalah anak satu-satunya Masayuki Shiro. Dan tentu saja mereka berniat menculik Nozomi. Di malam yang gelap ini, Nozomi menangis meronta, merintihi nasib yang harus ia terima.

~ To Be Continued ~