Awal musim semi, 2017.
"Eomma!" Nyonya Jeon nyaris menjatuhkan cangkir tehnya ketika mendengar Jungkook berteriak, lalu disusul suara berisik adeulnya yang terburu-buru menuruni tangga. Wanita dalam balutan hanbeok itu berdecak gemas saat Jungkook berdiri di depannya dengan wajah berantakan.
"Lihat suratku tidak? Suratku hilang dari atas meja!" Jungkook merengek dengan suara meninggi beberapa oktaf dan binar cemerlangnya berkaca-kaca. Siap menangis jika Ibunya juga tidak tahu kemana hilangnya surat yang semalam ia tulis untuk Taehyung.
"Surat apa sih? Eomma tidak tahu. Lagipula, kenapa sekarang belum mandi huh? Pemberkatannya pukul sepuluh, Kookie." Hidung bangir Jungkook dicubit gemas oleh sang Ibu dan Jungkook hanya bisa mengerang protes sembari menghentakkan kakinya ke lantai dengan sebal. "Cepat mandi, suratnya bisa dipikirkan nanti. Appa menelepon barusan, katanya Taehyung gelisah sekali di ruang ganti."
Jungkook mengerjap pelan, kemudian sadar jika hari ini adalah hari pernikahannya. "Ya ampun, Eomma! Kaus kakiku kan belum ketemu!"
A Vkook/TaeKook Fanfiction
(Kim Taehyung x Jeon Jungkook of BTS)
.
Marry You ©peachpeach
A Love Letter's Spin Off
Taehyung's reply letter belongs to: glowrie
.
All cast belongs to God, themselves, family and management. Story line is mine. No profit taken.
.
Then you who gazed at me with your warm smile.
Was so precious.
I was not even able to meet your eyes.
[ DBSK – 時ヲ止メテ ]
.
Awal musim semi, 2016.
"Pulang pukul berapa hari ini?" Taehyung menggigit ujung pena di tangannya saat ia menerima telepon dari Ibunya, kemudian manik kembarnya beralih menatap jam dinding di kantornya. Sudah pukul lima sore, dan ia ingin mengerang begitu ingat tujuan Ibunya menelepon.
"Taehyung?" Suara Ibunya menarik kembali dirinya yang sempat melamun.
"Sebentar lagi, Eomma. Tenang saja, kali ini aku benar-benar akan menepati janji." Helaan napas terdengar oleh Taehyung dari Ibunya di seberang line telepon.
"Baiklah, hati-hati di jalan hmm? Saranghae."
"Hmm, na do saranghae." Taehyung mengusap wajahnya, kemudian dengan cepat merapikan tumpukan berkas kasus yang akan ia tangani.
"Ibumu merencanakan perjodohan lagi?" Perhatian Taehyung teralihkan saat rekan dekatnya menegurnya. Ah, sepertinya Taehyung baru ingat jika ia berbagi ruangan dengan dua pengacara lainnya. Yang baru saja menegurnya adalah Park Jimin, sedangkan salah satu rekannya lagi—Yook Seungjae— hanya memperhatikan tanpa suara dari mejanya. Sudah rahasia umum jika akhir-akhir ini orang tua Taehyung sedang gencar menjodohkan putra sulungnya dengan beberapa kandidat. Padahal, kedua orang tuanya tahu jika putranya tak lagi lajang dan sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis.
"Apa lagi?" Taehyung mengangkat bahunya dengan acuh dan menimbulkan kekehan pelan meluncur dari Jimin.
"Sepertinya kau memang harus menyerah soal hubunganmu dengan Joohyun, dude. Ibumu benar-benar tidak menyukainya untuk menjadi menantu keluarga Kim," Jimin berujar tanpa beban, sepuluh jarinya kembali menari di atas keyboard komputer untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya hari ini.
"Memangnya apa yang membuat Joohyun tidak lolos kualifikasi untuk menjadi menantu keluarga Kim?" Kali ini Seungjae bertanya dengan menopangkan dagunya di atas jalinan jemarinya. Jimin menggeleng sebagai jawaban, sementara Taehyung menatapnya dengan raut wajah bosan.
"Nanti ku telepon jika aku tahu apa kualifikasi untuk menjadi seorang menantu keluarga Kim. Barangkali diantara keluarga kalian berminat untuk mendaftar." Dengan gerak ringkas, Taehyung memasukkan sisa berkas di atas mejanya ke dalam map dan menumpuknya menjadi satu bersama berkas lainnya. "Aku pulang dulu."
"Ibuku juga tidak akan setuju jika kekasihku semacam Bae Joohyun," gumam Seungjae ketika pintu telah tertutup setelah Taehyung pergi dan menyisakannya berdua bersama Jimin. Mereka berdua sepakat untuk menambah jam kerja karena keduanya sama-sama memiliki jadwal sidang esok hari.
"Kenapa? Joohyun cantik, mandiri, pintar, dan berasal dari keluarga terpandang."
"Lalu, apa kau berpikir jika wanita yang tak pernah kekurangan materi dan selalu menenteng Hermes di lengannya seperti Joohyun mau membiarkan kukunya robek karena membuat kimchi bersama ibu mertua?" Pertanyaan Seungjae membuat Jimin berdecak dan mengangguk setuju.
"Kau benar. Kadang aku penasaran, kapan Joohyun mau melepas sepatu hak tingginya dan memakai sepatu flat lalu tersenyum dengan ceria. Bukan jenis senyum terlatih seperti yang biasa kita lihat. Ku pikir, tidak semua wanita harus memenuhi standar ratu kecantikan seperti yang Joohyun lakukan."
Lucu ketika mengingat bagaimana takdir mempermainkan kita, dan kita terpaksa mengikutinya.
Bahkan ketika aku bertemu denganmu pertama kalinya, aku tak memiliki perasaan padamu.
Aku masih menjalin hubungan selama tiga tahun dengan seorang gadis.
'Pacarmu hamil anakmu?'
Taehyung memejamkan matanya sejenak saat mengingat perkataan calon pilihan orang tuanya saat mereka bicara berdua. Ia baru saja bertemu dengan Jeon Jungkook malam ini, tapi calon pilihan orang tuanya itu dengan mudahnya mengatakan hal yang membuatnya marah saat ia mengatakan jika sedang menjalin hubungan dengan seseorang dan tidak bisa melanjutkan rencana perjodohan yang telah diatur.
Taehyung jadi ragu jika Jungkook benar-benar seorang calon spesialis dokter bedah jantung di Yonsei. Wajah Jungkook boleh terlihat begitu manis dan menggemaskan seperti bayi kelinci, tapi tidak dengan perkataannya. Atas dasar apa ia menuduh Taehyung menghamili kekasihnya? Hah! Bahkan Taehyung diam-diam berharap jika saja ia punya sedikit keberanian untuk membuat Joohyun hamil dan mereka berdua—terpaksa—direstui untuk menikah.
"Memikirkan apa?" Taehyung menoleh, dan mendapati Ibunya mendekat dengan cangkir yang masih mengepulkan uap dan wangi teh hijau yang menenangkan.
"Sudah malam, bukannya kau harus kembali ke Seoul besok pagi?" Cangkir teh diletakkan di depan Taehyung, sedangkan Ibunya mengambil tempat untuk duduk di sampingnya. Hening kemudian menyelimuti atmosfir mereka berdua selama kurang dari enam puluh detik. Hening yang tenang dalam pikiran masing-masing sembari menikmati angin musim semi yang hangat dari gazebo rumah mereka.
"Eomma sendiri belum tidur," ujar Taehyung sebelum menyesap tehnya dan melemparkan sebuah senyum tipis ke arah Ibunya.
"Kau memikirkan tentang acara malam ini?" Senyum di bibir Taehyung belum hilang, tapi manik kembarnya beralih untuk menatap taburan bintang di atas langit Daegu.
"Bohong jika aku berkata tidak memikirkan apapun setiap Eomma menarikku dalam sebuah perjodohan," satu helaan napas terdengar lolos dari belah bibir Taehyung, "—aku hanya bertanya dalam setiap diamku menjelang tidur, kenapa Eomma bisa tidak menyukai Joohyun?"
"Taehyung—"
"Setidaknya beri aku satu alasan kuat untuk berhenti memperjuangkan Joohyun dan membuatnya terlihat baik untuk kalian." Ada jeda sejenak ketika keping kembar dengan warna yang sama itu sama-sama menyelami satu sama lain. Ibu Taehyung kemudian meraih tangan besar putranya untuk digenggam hangat.
"Firasat seorang ibu tidak akan pernah salah, Taehyung-ah." Taehyung hendak menyela kalimat Ibunya karena tidak puas dengan alasan yang sama setiap saat ia bertanya, tapi Ibunya lebih dahulu meremas lembut tangannya. "Ada banyak sekali hal kenapa Eomma selalu berakhir menjodohkanmu dengan orang lain setelah kau memperkenalkan Joohyun kepada kami. Tidakkah kau melihat jika Joohyun tidak siap membangun sebuah rumah tangga denganmu?"
"Jika Joohyun tampak tak siap menikah denganku, apa Jungkook dan calon-calon yang selalu Eomma perkenalkan kepadaku siap untuk menikah?" Sebuah senyum kembali hadir dalam garis bibir Nyonya Kim ketika pertanyaan yang sudah ia duga meluncur dari Taehyung.
"Mereka mungkin sama tidak siapnya membangun sebuah rumah tangga, tapi Eomma bisa melihat jika mereka berbeda dari Joohyun. Kau tahu apa yang berbeda?"
Taehyung menggeleng pelan sebagai jawaban. "Setidaknya mereka mau menuruti perkataan orang tua mereka untuk menikah, menurut untuk datang ke sebuah pertemuan dengan label perjodohan sebagai bukti mereka berbakti kepada kedua orang tua meskipun tidak suka. Sedangkan Joohyun? Tidak. Ia mungkin punya nilai lebih karena kau memperkenalkannya kepada kami beberapa waktu yang lalu, tapi saat Eomma bertanya kapan kami bisa bertemu dengan orang tuanya, Joohyun menolak. Ia bahkan dengan tegas berucap jika ia tidak mempunyai rencana dalam waktu dekat untuk menikah denganmu. Tidakkah kau berpikir jika Joohyun menjalin hubungan denganmu hanya untuk sebuah status? Akan aneh dan menimbulkan pembicaraan jika pengacara cantik sepertinya belum mempunyai pasangan."
"Eomma…wajar jika Joohyun seperti itu, dia wanita mandiri yang berpikiran liberal."
"Taehyung," kini lengan Ibunya merangkul pundak Taehyung dengan segenap kehangatan yang tak akan pernah tergantikan, "—Joohyun boleh saja mandiri, cantik, pintar, dan kau mencintainya…tapi itu semua bukan hal utama dalam membangun sebuah keluarga. Apa lagi yang kalian tunggu? Tidakkah tiga tahun menjalin sebuah hubungan dapat menjadikan sebuah bekal yang cukup untuk menikah? Kau sudah dewasa dan mapan Taehyung, mau sampai kapan seperti ini?"
"Beri aku kesempatan satu kali lagi untuk Joohyun." Taehyung mengecup lembut punggung tangan Ibunya sebelum melanjutkan, "—jika memang hanya aku yang menginginkannya menjadi pendamping hidupku, tapi tidak dengannya, aku setuju untuk pelan-pelan menyukai Jungkook."
"Baik, tapi tolong tegas terhadap pilihanmu. Pasti ada yang tersakiti disini, maka tugasmu sebagai seorang calon pemimpin keluarga adalah menyelesaikannya dengan kepala dingin."
Hingga tanpa sadar, aku menghafal setiap kebiasaanmu.
Cara makanmu dengan pipi menggembung lucu, berantakan namun imut sekaligus.
Taehyung akhirnya berdiri di depan Rumah Sakit Yonsei untuk menemui Jungkook dan mantap untuk memulai langkah pertamanya mengenal calon pilihan orang tuanya. Ia tersenyum dengan ramah begitu sampai di depan resepsionis dan membuat beberapa orang disana memekik tertahan.
"Saya bisa menemui Dokter Jeon Jungkook dari Departemen Bedah Jantung?" tanya Taehyung kepada seorang gadis yang bertugas menjadi resepsionis hari ini.
"O-oh…uhm, kami tidak tahu pasti jadwal Dokter Jeon hari ini, tapi kami bisa membantu Anda. Silahkan duduk terlebih dahulu." Taehyung mengangguk ringan, tapi bukannya duduk di sofa lobby, ia memilih tetap berdiri di depan resepsionis yang sedang melakukan panggilan telepon.
Jungkook muncul lima menit kemudian dengan raut wajah yang sama kusutnya dengan jas putih yang dikenakannya. Seharusnya Jungkook terkejut mendapati Taehyung tiba-tiba muncul di tempat kerjanya, tapi ia hanya menatap bosan ke arah Taehyung. Mungkin saja, pemuda Jeon itu kurang tidur karena harus menyelamatkan banyak nyawa di atas meja operasi.
"Hei, ada apa kemari?" Kening Jungkook membuat kerutan dalam, tapi Taehyung hanya membalasnya dengan sebuah senyum menyebalkan.
"Ini akhir pekan, kenapa Jeon-uisanim tidak bersenang-senang sedikit hmm?" Taehyung sengaja menggoda calon dokter spesialis di depannya dengan sebuah senyum miring yang tampak mengejek.
"Jika kau berpikir orang-orang yang membutuhkan bantuanku akan libur saat akhir pekan, kau salah besar Tuan Kim." Satu kekehan terdengar meluncur dari bibir Taehyung. Ia lalu mengamati ekspresi Jungkook yang—sialnya—menggemaskan dan membuatnya ingin menggodanya lagi.
"Chill, Jungkook-uisanim. Aku kemari juga setelah menyelesaikan kasus domestic violent untuk sidang hari Senin, jadi kita sama-sama sibuk di akhir minggu. Kenapa tidak kau katakan jam berapa shift-mu selesai dan aku bisa mengajakmu untuk menikmati buritos atau burger yang enak di Hongdae? Aku tahu kau belum makan siang."
Taehyung menunggu Jungkook dengan sabar, ide tiba-tiba untuk mengajak Jungkook makan siang sepertinya bukan hal yang buruk. Ia sudah penat dengan beban kerjanya selama satu minggu, dan Jungkook sepertinya orang yang tepat untuk menghabiskan sisa hari Minggu yang cerah.
"Tunggu sepuluh menit lagi, aku akan bersiap untuk pulang."
"Oke, aku akan menunggu…" Taehyung memamerkan senyum rectangle menawan miliknya, kemudian dengan kurang ajar mengacak helaian kecoklatan milik Jungkook. Perawat di balik meja resepsionis bahkan berbisik ribut, dan dengan cepat gosip mengenai Dokter Jeon yang sudah tidak lajang lagi menyebar seperti api yang membakar daun kering.
"Ini, untukmu…" Taehyung menyodorkan segelas latte dingin yang baru saja ia beli saat Jungkook masih bersiap, sedangkan figur di depannya tampak memandangnya dengan sangsi sebelum akhirnya menerima gelas berembun itu dari Taehyung dan menyesapnya pelan.
"Terima kasih," gumam Jungkook. Taehyung hanya mengangguk kecil, lalu membiarkannya mengekori langkahnya menuju tempat parkir dan bersiap untuk pergi.
Keduanya terdiam, tidak mempunyai topik untuk sekedar dibicarakan dan mengisi waktu luang. Jungkook sibuk dengan latte di tangannya, sesekali memandang padatnya jalanan Seoul saat jam makan siang lewat jendela. Sedangkan Taehyung tampak fokus menyetir. Ia menginjak rem ketika lampu lalu lintas di depannya berubah menjadi merah dan telunjuknya menekan tombol play pada pemutar musik. Mendengarkan siaran radio mungkin akan sedikit mengurangi kecanggungan dengan Jungkook.
Taehyung baru saja akan memindah saluran radionya ke saluran berita Seoul sampai tangannya di tahan oleh Jungkook dengan cepat. "Jangan dipindah! Lagu BTS sedang diputar!" Taehyung terperangah, lagi-lagi Jungkook menarik semua ekspetasinya. Ia pikir seorang dokter akan cenderung kaku dan tidak menyukai musik hip-hop. Seorang dokter dalam bayangan Taehyung tentunya lebih memilih jenis musik dengan tempo lebih tenang dan ringan seperti ballad atau jazz.
Taehyung baru kembali dari masa trans-nya ketika suara klakson kendaraan di belakangnya menyalak dengan berisik dan membuatnya mengumpat pelan.
"Berapa usiamu, Jeon-uisanim?" Taehyung berdeham di akhir kalimat tanyanya untuk mengurangi kecanggungan setelah memperhatikan Jungkook sedikit lebih lama. Sedangkan Jungkook menghabiskan sisa latte dinginnya sampai menimbulkan suara berisik dari sedotan yang terjepit di bibirnya. "Dua puluh tujuh usia Internasional, kau?"
"Aku dua puluh sembilan, mungkin mulai sekarang kau harus terbiasa memanggilku Hyung." Jungkook mengangguk paham, dalam hati ia mencatat jika laki-laki di sampingnya berusia lebih tua.
"Ngomong-ngomong, usiamu dua puluh tujuh dan kau menyukai idol group seperti BTS?! Luar biasa. Jangan bilang kau juga mengoleksi pernak-pernik dan album mereka? Atau kau menggilai salah satu dari mereka?" Taehyung terkekeh tapi tetap fokus dengan kemudi di tangannya, sedangkan Jungkook hanya bisa cemberut selera musiknya diejek. Ah, Taehyung menjadi semakin ragu jika Jungkook benar-benar berusia dua puluh tujuh tahun dan seorang dokter.
"Ada yang salah memangnya?" Jungkook berujar dengan nada ketus, Taehyung kemudian menggeleng pelan sembari tersenyum, "—tidak, tidak ada yang salah. Hanya lucu saja mengetahui fakta jika kau menyukai idol group. Setelah makan siang kau mau kemana?"
"Bagaimana jika ke toko kamera? Cairan pembersih lensaku habis, dan aku belum sempat membelinya." Satu fakta lagi tentang Jeon Jungkook yang Taehyung dapat hari ini. Pecinta fotografi. Diam-diam dalam hati kecilnya, Taehyung bersyukur mereka berdua memiliki kesamaan hobi.
"Boleh, ikut aku juga untuk membeli kertas dan buku ya?" Ajak Taehyung yang dijawab oleh sebuah anggukan ringan dari Jungkook.
Mereka berdua duduk di samping jendela dengan pesanan masing-masing. Jungkook segera melahap buritosnya setelah selesai mencuci tangannya dengan hand sanitizer yang selalu ia bawa dalam tasnya. Sedangkan Taehyung dengan santai membuka pembungkus buritosnya setelah selesai mencuci tangannya dengan hand sanitizer milik Jungkook.
"Pelan-pelan saja makannya, tidak akan ada yang mengambil buritosmu." Jungkook mengerjap sejenak ketika Taehyung menyodorkan selembar tisu dan menunjuk noda di sudut bibirnya. Taehyung mengulum sebuah senyum sebelum melahap buritos miliknya. Taehyung kembali mengamati Jungkook diam-diam. Ia ingin tertawa saat melihat pipi Jungkook terisi penuh oleh makanan dan sudut bibirnya kembali ternodai oleh saus. Jungkook terlihat seperti haksaeng di mata Taehyung, ketimbang seorang calon dokter spesialis bedah jantung di Yonsei.
"Taehyung? Sedang apa disini?" Atensi Taehyung yang sedang mengamati Jungkook teralihkan ketika namanya dipanggil dan bahu tegapnya disentuh dengan lembut.
"Joohyun?" Jungkook ikut mengangkat kepalanya, dan mendapati seorang wanita muda dalam balutan dress cantik sedang menyapa Taehyung.
"Siapa?" Joohyun bertanya kembali, sekarang ia juga memaku atensinya kepada Jungkook yang masih belepotan saus mustard di sekitar bibirnya. Joohyun mengulum sebuah senyum yang begitu cantik, lalu membuat Jungkook meletakkan begitu saja sisa buritos di atas piringnya. Lewat sudut matanya, Taehyung bisa melihat jika Jungkook sedang membersihkan sisa saus di bibirnya dengan selembar tisu.
"Halo, kau pasti adik sepupu Taehyung dari Daegu? Kenalkan, aku Bae Joohyun…kekasih kakakmu." Jungkook mengerjap sejenak, kemudian dengan cepat berdiri dengan tas yang sudah tersampir di bahu begitu paham dengan situasi yang terjadi. Belum lagi pengunjung lainnya yang berbisik ribut membicarakan mereka bertiga.
"Senang bertemu denganmu, Joohyun-Noona. Maaf tidak bisa menjabat tanganmu, tanganku sedang kotor. Dan…ah, sepertinya aku harus pulang. Nikmati waktu kalian—"
"Jungkook, kau pergi bersamaku itu artinya kau harus pulang bersamaku." Taehyung dengan cepat mencekal lengan Jungkook, tapi figur yang lebih muda menggeleng pelan sembari tersenyum dan menyingkirkan tangan Taehyung.
"Tidak usah Hyung, aku bisa pulang sendiri. Jangan khawatir soal Ibu…"
"Jungkook—"
"Taehyung, apa masalahnya? Adikmu sudah besar untuk bisa pulang sendiri dengan bus." Punggung Jungkook sudah menghilang di balik pintu ganda restauran, menyisakan Joohyun yang masih berdiri di depannya.
Taehyung menatap Joohyun, kemudian menyerah dan memilih untuk kembali duduk. "Kebetulan kau ada disini, Bae…kita memang perlu bicara." Kening Joohyun mengerut dalam saat mendengar panggilan Taehyung kepadanya. Marganya memang Bae, dan Taehyung juga kerap memanggilnya dengan sebutan yang sama, meskipun dalam konteks berbeda.
"Kau marah karena aku mencegahmu untuk mengantar adikmu?" Garis mata Joohyun menyipit tak suka, gadis itu bahkan melupakan tujuan awalnya untuk memesan semangkuk salad favoritnya untuk makan siang.
"Dia bukan adikku, Joohyun. Namanya Jeon Jungkook, dan ia adalah orang yang Eomma jodohkan denganku." Taehyung mendengar Joohyun mendengus malas, gadis di depannya bahkan mengibaskan tangan cantiknya yang berhias cat kuku berwarna toska.
"Ibumu belum menyerah juga ya? Padahal sudah jelas ada aku, yang punya status sebagai kekasihmu. Kenapa harus beliau menjodohkanmu dengan orang-orang random setiap bulannya?" Joohyun terkekeh pelan, merasa ia perlu menertawakan perkataannya barusan.
"Kalau begitu, menikahlah denganku."
Manik Joohyun melebar mendengar perkataan Taehyung. Gadis itu sama sekali tidak dapat memprediksi kalimat yang baru saja Taehyung ucapkan. "A-apa? Taehyung, kita—"
"Lihat 'kan? Kau tidak mau menikah denganku, lalu apa yang salah dengan Ibuku yang mengenalkanku kepada orang lain yang menurutnya pantas untuk putranya?"
Joohyun memejamkan matanya sejenak, ia juga menarik napas dalam-dalam. "Taehyung, kau jelas tahu kenapa aku belum mau menikah. Tidak denganmu, ataupun pria lainnya. Karirku sedang berada di puncak, begitu juga denganmu. Aku tidak mau harus berhenti bekerja lalu terjebak dengan segala pekerjaan rumah tangga setelah menikah. Kita—"
"Bae," Taehyung menggenggam jemari Joohyun yang berada di atas meja. "Seburuk itukah pikiranmu tentang menikah?" Joohyun memandang manik kembar Taehyung, kemudian menundukkan kepalanya untuk mengalihkan perhatian.
"Aku hanya berpikir realistis, Taehyung."
"Tidak, yang kau lakukan adalah sebuah ketakutan, Joohyun. Aku merasa aku sudah mapan dan siap untuk menikah. Membangun keluarga kecil yang bahagia bersama orang yang ku cintai. Kau tahu jika aku mencintaimu, tapi kau bahkan tidak mau untuk mengikat sebuah komitmen dengan sebuah pernikahan. Aku juga bukan tipikal laki-laki yang haus untuk dilayani selama dua puluh empat jam selama satu minggu. Aku tidak akan melarang pendampingku kelak untuk bekerja sesuai passionnya."
Hening menguasai mereka selama beberapa detik, sampai Taehyung kembali membuka suara. "Atau kau belum siap menikah denganku karena kau berpikir aku tidak sanggup menafkahi keluargaku kelak? Apa aku jauh di bawah standar pria yang berhak meminangmu?" Joohyun tersentak, ia menatap Taehyung dengan sebuah ekspresi rumit di wajahnya. Lidahnya juga terasa kelu hanya untuk menyanggah pendapat Taehyung.
"Pikirkan baik-baik semuanya, Bae Joohyun. Jika kau mencintaiku, dan hubungan ini bukan sekedar sebuah status pelengkap untuk kesempurnaanmu di mata orang lain, maka berjuanglah bersamaku. Aku selalu menunggumu di titik yang sama, jangan membuatku lelah lalu berhenti berjuang untuk kita." Taehyung melepas genggaman tangannya dengan Joohyun, kemudian beranjak bangkit dari kursinya setelah melirik jam tangannya.
"Jam makan siang sudah berakhir, tapi pastikan sesuatu masuk ke dalam perutmu. Aku pergi dulu." Ia menepuk sejenak pundak Joohyun sebelum benar-benar melangkahkan tungkainya untuk meninggalkan tempatnya. Membiarkan Joohyun larut dalam pikirannya sendiri setelah punggung Taehyung benar-benar menghilang di balik padatnya pengunjung restauran siang ini.
-To be continue-
a/n : halo, aku bawa side story Love Letter loh. Hehe XD
Buat yang masih penasaran sama hubungan Dokter Jeon x Pengacara Kim, here you go!
Special for ma dearest, kukiiie.
Maaf jauh dari ekspetasi karena saya masih dalam fase pemulihan dari writer block TT
Ini twoshoot, sama porsinya seperti Love Letter.
Fix You akan update minggu depan jika ada yang menunggu ^^
Review?
