Summary: Dua orang pembunuh bayaran bercode name Thunder dan Wind, menjadi sorotan polisi dan sebuah organisasi yang mengincar mereka. Bagaimana jadinya jika mereka ditugaskan untuk membunuh seorang anak kecil yang sudah dilindungi organisasi itu?

Dan pertarungan pun dimulai...

.

.

Naruto by Masashi Kishimoto

.

.
Dae Uchiha present

Thunder and Wind

©2011

.

.

Rated: T+(gak bakal melenceng jauh kok!)

Warning: OOC—maybe, AU, Typo(s), Miss-Typo, etc.

.

.

Cklek...

Pintu kayu itu terbuka, menampilkan sebuah ruang kerja minimalis, dengan sesosok lelaki paruh baya yang duduk di kursi, cekikikan tak jelas di depan laptopnya. Lelaki itu sama sekali tak berniat untuk mengalihkan wajah dari laptop, meski dua orang tamu yang membuka pintu sudah berdiri di depan mejanya.

"Hei! Kakek hentai!" salah satu dari mereka menggebrak meja itu, berusaha membuat sang lelaki menatap mereka.

Ia menggeram ketika kakek itu masih fokus terhadap laptopnya, tak menghiraukan ucapan sang pemuda. "Kakek tua!"

"Berisik! Uang bayaran kalian sudah kutransfer! Jangan menggangguku, Wind!" sang lelaki akhirnya menatap pemuda yang menggebrak mejanya.

"Hei! Dasar! Apa-apaan itu? Sama sekali tak mencerminkan sikap seorang pemim—"

"Sudahlah Wind," pemuda di sebelahnya berkata datar, memotong ucapan pemuda yang dipanggil Wind.

"Kau benar-benar tak membantu, Thunder!" Wind mengerucutkan bibirnya, menatap pemuda di sebelahnya dengan mata menyipit. Tak mendapat respon dari pemuda itu, ia mengembalikan pandangan ke arah sang lelaki paruh baya, "berhentilah menonton hal-hal yang seperti itu! Kau sudah tua, kenapa tak tahu malu seperti itu?"

"Sudah! Kalian keluarlah! Jika ada tugas lagi, aku akan memberitahu kalian melalui e-mail." Kakek itu menjawab santai, kembali memfokuskan pandangan pada laptopnya.

"Hn. Kami pergi," sahut Thunder, menarik—menyeret—Wind yang masih mencak-mencak tak jelas saat keluar ruangan.

"Awas saja jika sekali lagi aku menemukanmu dengan film brengsek itu! Akan kubanting laptop kesayanganmu itu!" teriakannya terdengar samar, menggema di koridor yang panjang.

.

.

.

Sorano Senior High School, salah satu sekolah di Konoha. Bukan sekolah terbaik atau terelite di Konoha, memang, namun cukup banyak siswa-siswi yang berminat melanjutkan sekolah ke sekolah itu. Fasilitasnya cukup lengkap, dan gedungnya pun tak kalah bagus dengan KHS yang terkenal itu. Hanya saja, sebagai sekolah yang baru sekitar sepuluh tahun didirikan, membuatnya belum bisa menyaingi KHS yang sudah meraih berbagai penghargaan di bidang akademis maupun non akademis.

Sekolah ini terdiri dari tiga lantai, masing-masing lantai menampung enam kelas di tingkatan masing-masing. Lantai satu menampung kelas 1-1 sampai 1-6, lantai dua menampung kelas 2-1 sampai 2-6, dan lantai tiga menampung kelas 3-1 sampai 3-6. Sebuah aula multifungsi berdiri di seberang ruang kelas, menampung berbagai macam kegiatan siswa seperti lomba antar kelas, festival, dan banyak lagi. Juga fasilitas lain yang tak kalah lengkap seperti laboratorium, perpustakaan gymnasium, dan lapangan sepak bola.

Pagi yang cerah ini tentu saja tak disia-siakan oleh sebagian besar anak SSHS. Berbagai kegiatan tampak di sekolah luas ini; seperti membaca buku, mengobrol, bahkan mojok di atap sekolah—kesempatan kecil sebelum otak mereka jenuh dijejali materi pelajaran.

Di kelas 2-2, suasana riuh sudah mendominasi ruang kelas itu. Tawa canda, sampai obrolan yang bersifat rahasia pun dibisikkan disana, menunggu waktu menunjukkan pukul 07.30 a.m, saat dimana mata pelajaran dimulai.

Kelas ini, yang menjadi kelas terbaik dalam pemilihan 'Lomba Kelas Terbaik' beberapa waktu lalu, memang kelas yang unik. Siswa-siswi dengan berbagai karakter berbaur disana, menjadikan kelas itu lebih semarak.

Sebut saja Hinata Hyuuga—gadis paling pemalu, sampai Ino Yamanaka—gadis centil yang gemar berdandan ada di kelas itu. Dan juga pemuda paling berisik dan bersemangat—Rock Lee, sampai sang pangeran Sorano—

"Kyaa! Sasuke-kun!" seorang gadis berambut pink seketika menoleh ke arah pintu geser kelas yang terbuka, menampilkan dua sosok pemuda, salah satunya adalah sosok yang dipanggil gadis itu. Ia, yang memang duduk di dekat pintu, tersenyum ramah. "Pagi, Sasuke-kun..."

"Pagi, Sakura-chan!" sosok di samping pemuda bernama Sasuke menjawab, tentu dengan cengiran khasnya.

Sakura menggembungkan pipinya, "aku bicara pada Sasuke-kun, Naruto!" ujarnya kesal, kemudian memandang Sasuke yang terdiam sambil tersenyum.

Naruto ikut tersenyum, "Sasuke tidak akan menjawab, Saku-chan... dia kan semeku~" ucapnya jahil, berniat menggoda kedua orang itu—

Bletakk!

—yang sukses membuat satu pukulan mendarat di kepalanya. Dari Sasuke.

"Jangan sembarangan, dobe!" ucapan Sasuke yang bernada menusuk itu membuat Naruto cemberut.

"Sakit, teme!"

"Hn," sahut Sasuke singkat, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Ya, dialah pangeran Sorano Senior High School, Uchiha Sasuke. Ketampanannya yang tak tertandingi memang sanggup membuat perempuan berbagai usia—dari anak-anak sampai remaja—jatuh hati padanya. Belum lagi kejeniusannya yang tak perlu dipertanyakan, menambah nilai plus bagi seorang gadis untuk jatuh hati padanya.

Dan Naruto Namikaze, adalah sahabatnya. Sahabat resminya. Pemuda blonde yang ceria dan selalu meramaikan keadaan kelas jika kelas itu sepi. Walaupun penggemarnya tak sebanyak Sasuke, namun wajah tan-nya yang selalu dihiasi senyum—dan tak bisa dibilang jelek, karena dia adalah anak dari Minato Namikaze, seorang mantan aktor terkenal—tak jarang menimbulkan semburat merah di wajah gadis yang memandangnya.

"Hei teme! Jangan tinggalkan aku dong!" seru Naruto, mengejar 'teme'-nya. Meninggalkan Sakura yang mau tak mau tersenyum melihat tulusnya persahabatan mereka.

"Mendokusai~" seorang pemuda menghela napas sebelum menelungkupkan kepalanya, tidur.

"Heii! Shikamaru! Bangun dong!" gadis blonde yang duduk di sampingnya mengguncang-guncang bahu pemuda yang tertidur itu.

Itulah kelas 2-2, dengan segala keriuhannya.

.

.

.

Hinata Hyuuga melangkahkan kaki, menyusuri koridor lantai dua gedung di sayap kanan, di tangannya terdapat setumpuk buku yang hendak dikembalikannya di perpustakaan. Perpustakaan berada di ujung koridor, membuatnya tak habis pikir, mengapa perpustakaan terletak sangat jauh dari koridor utama. Jangankan berada di koridor ujung seperti ini, berada di koridor utamapun Hinata belum yakin akan ada siswa yang berkenan dengan ikhlas masuk ke perpustakaan itu.

Tinggal dua ruangan lagi, ia akan mencapai perpustakaan. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar dentingan piano dari ruang di sebelah kirinya. Siapa? Pikirnya. Ia ragu saat memutuskan hendak masuk atau tidak. Dipandangnya pintu ruangan itu. Ruang musik. Siapa yang memainkan musik di jam pulang seperti ini?

Hinata menggigit bibir bawahnya, kemudian menghela napas dan menguatkan hati sebelum akhirnya ia masuk ke dalam ruangan yang setengah terbuka itu.

Ruang musik adalah sebuah ruangan dengan meja dan kursi murid yang melingkar di pinggir ruangan itu. Sebuah lemari besar—tempat menyimpan peralatan musik, berada di salah satu sudut ruangan, berdampingan dengan soundsystem. Drum besar berada di tengah ruangan, bersama sebuah piano hitam—dengan kursi yang membelakangi pintu masuk. Kursi yang biasanya kosong di jam-jam seperti ini, kini diduduki seorang pemuda, yang masih asyik memainkan piano dan sepertinya tidak menyadari kehadiran Hinata.

Pemuda dengan rambut raven yang sangat dikenali Hinata.

"Siapa?" tanya pemuda itu, menghentikan langkah Hinata yang semakin mendekatinya. Ia menghentikan permainannya, kemudian menoleh, menatap mata lavender yang membelalak sedikit ketakutan.

"U-uchiha-san... gomen... a-aku tidak berma-maksud mengganggu," Hinata membungkukkan badannya, pelukan buku di dadanya semakin mengerat. Gadis itu takut jika ia sudah mengganggu sang pangeran sekolah, walau ia masih sedikit heran bagaimana pemuda itu mendengar langkah kakinya, karena setelah Sasuke menoleh, Hinata menyadari kedua telinga pemuda itu tertutup headset.

Sasuke bangkit, melangkah mendekati Hinata yang berjalan mundur. Terus mundur hingga punggung gadis itu menyentuh dinding kelas.

"U-uchiha-san?" tanyanya takut-takut. Badannya gemetar samar saat melihat mata elang Sasuke yang menatap mata lavendernya.

"Hn?" sahut Sasuke santai ia semakin mendekat, hingga mereka hanya berjarak setengah langkah, kemudian ia mengurung Hinata dengan kedua tangannya yang disandarkan di tembok sebelah kanan-kiri gadis itu.

Brakk!

Buku-buku di pelukan Hinata terjatuh saking takutnya gadis itu, matanya mengerjap, seolah tak percaya dengan apa yang dilakukan Sasuke.

"Apa yang kau lakukan disini, Hyuuga?" bisik Sasuke di telinga kiri gadis itu, sepertinya ia menikmati ketakutan Hinata.

"A-ano... itu... a-aku..." bibir mungil itu bergetar, tak sanggup menjawab pertanyaan Sasuke. Belum lagi ketika Sasuke tiba-tiba mendekatkan bibirnya ke bibir Hinata, membuat wajah gadis itu semakin memerah. Blushing total.

"Hn? Aku apa?" Sasuke semakin menggodanya, wajah Hinata kini sudah merah padam. Seakan belum puas, ia menjulurkan lidah, menyentuh bibir pink itu dengan lidahnya yang dibasahi saliva.

Membuat Hinata hampir pingsan saat itu juga.

Sasuke hampir saja memasukkan lidahnya ke mulut Hinata yang sedikit terbuka, andai saja sebuah teriakan cempreng—"Teme~"—tidak mengganggu kegiatannya.

"Shit!" desisnya yang tak didengar Hinata, ia melepaskan kedua tangannya dari dinding dan pergi meninggalkan Hinata begitu saja.

Meninggalkan Hinata yang langsung merosot ke lantai karena menerima perlakuan Sasuke tadi. Niatnya pergi ke perpustakaan hilang sudah. Malah ia bersumpah—seandainya ia tak benar-benar membutuhkan buku dan harus pergi ke perpustakaan, ia tak akan melewati koridor sunyi ini. Ya, ia berjanji.

.

.

.

"Kau sedang apa sih teme? Di koridor sepi seperti itu?" protes Naruto saat Sasuke datang menemuinya di samping tangga menuju lantai satu.

"Hn?" Sasuke mengangkat sudut bibirnya, memperlihatkan sebuah senyum tipis. "Hanya sedikit bermain-main," jawabnya singkat. "Ada apa kau memanggilku?"

Naruto mengangkat bahu, "tidak, aku hanya ingin mengajakmu pulang. Ini hampir jam lima sore, teme!"

"Hn," Sasuke menyahut singkat, ujung lidahnya masih merasakan manisnya bibir Hinata—yang diyakininya karena gadis itu memakai lipgloss.

"Ayo pulang!" ajak Naruto, melangkahkan kaki diikuti Sasuke.

.

.

.
"Ini tugas kalian selanjutnya." Seorang pria berambut perak meletakkan map merah di meja yang memisahkan sofa tempat mereka duduk.

Wind meraih map itu, membuka-bukanya. Kemudian jeritan kecil protesnya terdengar. "Apa-apaan ini? Kenapa kami diberi tugas untuk membunuh seorang anak kecil?" ia menatap pria yang duduk di seberangnya dengan tatapan menuntut. "Apa ini, Shadow?"

"Hn? Aku tak tahu. Hanya itu yang diberikan si Hentai itu." Sahutnya singkat. Ia menyandarkan tubuh di sofa biru itu.

"Kakek tua itu!" gerutu Wind, tangannya mengepal. "Pasti matanya sudah rusak karena sering menonton film hentai!"

"Shut up, Wind," sahut pemuda di sampingnya, ia akhirnya mengalihkan pandangan dari ponselnya.

"Lagi-lagi kau tak membantuku!" Wind menatap pemuda itu. Emosinya hampir meledak. "Apa kau mau menerima tugas ini, Thunder?"

"Hn. Apa masalahnya?"

"Masalahnya, ini anak kecil! Tak perlu peluru kita untuk menembus jantungnya." Kata Wind, matanya berkilat-kilat penuh amarah.

"Selesaikan saja," sahut Shadow kalem, menyulut sebatang rokok dan mengisapnya.

"Hn, baiklah." Jawab Thunder, ia meraih sebuah buku berwarna orange yang terletak di atas meja, mengabaikan Wind yang memandangnya dengan tatapan kau-bercanda.

"Jangan baca itu!" teriak Wind melihat partnernya mengambil sebuah buku yang sangat ia kenal, merampas buku kecil itu dan melemparkannya ke sudut ruangan. "Buku itu berbahaya, Thunder!"

.

.

.

"Thunder?" tanya gadis itu sedikit tak percaya.

"Ya. Thunder dan Wind. Dua code name pembunuh bayaran yang terkenal karena kecepatan mereka. Yeah, seperti kilat dan angin." Seorang wanita menjelaskan pada dua orang remaja yang duduk di hadapannya.

"Thunder? Aku tak pernah mendengarnya," Sahut gadis itu lagi, ia duduk berdampingan dengan pemuda yang sama sekali belum bersuara.

"Tentu. Mereka hanya pernah masuk koran sekali—pemerintah bermaksud mencari tahu jati diri mereka berdua, namun gagal. Bukannya mendapatkan keterangan tentang mereka, saat itu hampir terjadi lebih dari sepuluh pembunuhan dalam seminggu diakibatkan oleh pengusaha terkenal yang ingin saling menjatuhkan dan memakai jasa mereka. Mereka semakin terkenal setelah penerbitan itu—nama mereka menjadi rahasia umum sebagai salah satu cara menjatuhkan bisnis seseorang."

Sang gadis menatap pemuda di sampingnya, "bagaimana menurutmu, Love?"

Sang pemuda mendengus, "jangan memanggilku seperti itu, Rose. Hn, kita harus secepatnya menangkap mereka, sebelum kejahatan mereka meluas lagi."

"Tentu." Sahut Rose, senyum terkembang di bibir pinknya yang tipis.

"Aku punya info terbaru tentang mereka—ini dia," wanita itu menyodorkan selembar kertas yang diterima oleh Rose.

"Anak kecil?" pekiknya tak percaya. Matanya menatap wanita di depannya. "Benarkah ini, Nona?" tanyanya.

"Ya, benar. Dan kurasa, kalian sudah tahu apa tugas kalian kali ini."

"Ayo kita cepat selesaikan," Jawab pemuda yang dipanggil 'Love', "aku tak sabar ingin melihat aksi mereka."

.

.

To Be Continue...

.

.

A/N: Hai~ *nyengir* umm... gak tau dah harus koment apa... ini SasuHina pertama aku... salam kenal semua SasuHina lovers... *ogiji*

Mudah-mudahan nyenengin kalian ya... Updatenya sesuai respon kalian lho... ^,^

Terakhir, review, please?