Bab 1
Kata orang, bila bermimpi digigi ular, tandanya seseorang akan mendaptkan jodoh. Apalagi kalau ular yang menggigitnya berukuran besar, jodoh yang menghampiri pun biasanya besar alias orang kaya. Tapi mimpi digigit ular juga memiliki arti yang lain. Itu juga tanda akan datangnya masalah. Jadi kalau menggigit ular besar, masalah yang dating pun besar. Hehehe…boleh percaya, boleh nggak…
Namanya Jongin kini belum genap 17 tahun. Saat ini, dia sekolah di HS negeri di pinggir kota. Jongin tidak percaya pada arti mimpi. Tapi hari itu setelah mimpi digigit ular rasa tidak percayanya perlahan-lahan mulai meluntur. Di hatinya, timbullah praduga mimpi itu adalah awal terjadinya hal-hal yang luar biasa disalam hidupnya yang super biasa-biasa saja. Hari ini Jongin kesiangan. Nggak biasanya cewek itu bangun setelah matahari mulai menampakkan diri seutuhnya di permukaan bumi. Tergesa-gesa Jongin mengambil handuk yang tersampir di sisi ranjang tidurnya yang kecil. Sebelah kiri kamar itu, tampak lemari pakaian yang engsel pintunya sudah tidak berfungsi dengan benar pintunya mengangga. Di dalamnya, terlihat tumpukan pakaian yang berantakan, nyaris seperti tidak pernah tersentuh tangan.
Buku-buku tersusuan tidak beraturan di bawah meja kecil. Jenisnya kalau tidak komik, pasti novel horor. Hampir seluruh dinding kamar tidur itu tertutup oleh poster-poster segala bentuk monster lucu. Sehabis mandi Jongin segera mengenakan seragam abu-abunya. Seperti sepatu kets butut yang bagian pinggirnya sudah koyak dan solnya sudah mulai lepas tidak ketinggalan menghiasi kaki cewek kelas 2 HS itu. Disambarnya tas dekat pintu dan segera berlari keluar rumah. Melewa meja makan merangkap ruang kekuarga, Jongin mengerling kentang goreng diatas meja yang mengundang selera. Hhmmm…yummy, tedeng aling-aling, langsung kentang itu diserbu tanpa kompromi. Tampak bibinya, seorang wanita setengah baya berambut keriting dengan postur tubuh pendek dan sedikit gemuk sedang bersiap membuka warung lotek yang ada di depan beranda rumah. Pantatnya yang tambun seprti beduk bergoyang-goyang kiri-kanan. Jongin menghampiri bibinya, mencium tangannya dan hh, tidak lupa pipi juga, lalu belari ke halaman rumah untuk mengambil sepeda.
"Sial! Bannya kempes!" gerutu Jongin sambil menendang ban sepedanya hingga mengaduh sendiri. Lagian, siapa suruh tuh sepeda ditendang-tendang! Tergesa cewek itu berlari keluar rumah menuju jalan besar. Napasnya tersengal-sengal. Dengan cepat, Jongin menyetop angkot pertama yang lewat. Citt…. Jongin langsung meloncat masuk. Jeduggghhh…Alhasil dahinya pun sukses mencium pinggiran angkot. Lumayan…seluruh penghuni angkot langsung menoleh kearahnya sambil meringis atau menahan senyum. Hehehe…malunya itu lho! Sampai di gerbang sekolah, Jongin dicegat Kangin, satpam sekolah.
"Halo Jongin, telat lagi?" sapa Kangin yang langsung membuka pagar sekolah. "Cepetan masuk!Sudah lima belas menit,"kata Saem Kangin lagi sambil mengukurkan pergelengan lengan kirinya, memperlihatkan jam. "Iya Saem, terima kasih!" Jongin segera berlari masuk. Sesampainya di lapangan, guru piket mencegat Jongin dan memaksa Jongin mengisi daftar keterlambatan.
"Lagi-lagi terlambat, Jongin. Sekarang apa alasan kamu?" Tanya guru piket dengan galak. "Gini ceritanya, Pak. Semalam saya mimpi digigit ular…Besar banget! Sebesar pohon kelapa, Pak. Ya… sayanya jadi bangiun kesiangan gitu, trus karena ban sepeda saya masih kempes, ya terpaksa deh naek angkot…. Eh tuh angkot ngetem pula! Tidak paham kalau saya lagi buru-buru!"cerocos Jongin panjang lebar.
"Kamu ini! Kemarin, alasannya ban sepeda kempes, jadi harus memompa sepeda dulu. Kemarin yang lalu, alasannya ada tabrakan di depan rumah, jadi kamu nonton dulu! Tidak pernah ada satu pun alasanmu yang benar. Istirahat nanti, kamu menghadap ke sini!" „Ya ampun, Pak. Kok pakai prosedur rumit segala sih?" Jongin meringis.
"Siapa suruh kamu terlambat?" "Iya…nggak ada. Tapi kan ban sepeda saya kempes dan di jalan terjebak macet. Saem, udah dong?! Saya bias dihukum Mr Kyuhyun nih…." "Oh jam pertama matematika ya?" Guru piket itu tersenyum membunuh. "Ya sudah, sana ke kelas." Jongin mengganguk, sedikit meringis membayangkan hukuman paling memalukan dalam sejarahnya di HS tersebut. Wah, apa kata teman-temannya nanti di kelas? pikir Jongin sambil berlari kek kelas. Mr Kyuhyun berdehem ketika Jongin membuka pintu kelas.
Semua mata temannya terpaku menatap Jongin yang baru masuk. Senyum mereka dingin dan beku kayak es batu. Jongin membalas senyum teman-temannya dan tersenyum malu-malu melihat Mr Kyuhyun. Sekali lagi Mr Kyuhyun berdehem penuh wibawa,"Hmmm, telat lagi Jongin? Sudah berapa kali kamu telat pelajaran Tuan ? Lihat sudah dua puluh lima menit. Kamu tahu hukumannya kan? Hukuman langganan?"
"Iya, Saem," ujar Jongin perlahan. "Kamu sudah siap?" Tanya Mr Kyuhyun. Tangannya tampak dipukul-pukulkan ke mistar yang dipegangnya.
"Kalau begitu, kita semua bias menikmati hiburan sejenak. Silakan!" Mr Kyuhyun menyingkir ke samping, memberi ruang pada Jongin untuk berdiri di muka kelas. Dengan lagak cuek dan bergaya bak seorang penyanyi terkenal, Jongin memasang gaya, berdehem sejenak, lalu menyanyi.
"Mencintaimu…seumur hidupku…selamanya…" Jongin menyanyi penuh semangat, ditambah sorak-sorai teman-temannya. Satu lagu selesai. "Lagi…lagi…lagi!" Semua anak sekelas bersorak dan meminta Jongin menyanyi lagi. "Nah Jongin, spertinya para penggemar kamu menyukainya. Tidak masalah kan kalau jadi seleb sebentar?! Silakan kamau menyanyi lagi. Itu permintaan teman-temanmu," ujar Mr Kyuhyun sambil tersenyum di mejanya. "Tapi…," protes Jongin, tanda tidak setuju.
"Tidak ada tapi-tapian. Hukuman baru berakhir kalau menyanyi dua lagu," perintah Mr Kyuhyun galak. Sekarang hukumannya jadi dobel. Jongin mengangkat bahu. Sialan! Tapi dituruti juga permintaan gurunya. "Pelangi…pelangi, alangkah indahnya…merah kuning hijau…" Belum selesai Jongin menyanyi, suara gaduh dan riuh-rendah terdengar menggema di kelas. "Huh, jelek, jelek!" teriak para siswa sambil melempar gulungan kertas kecil ke arah Jongin.
Reflek, Jongin melindungi wajahnya dari lemparan kertas. Dalam waktu singkat, kelas pun penuh kertas-kertas berserakan. Jadilah semua anak dapat jatah harus menyapu lantai sampai bersih, termasuk Jongin. Hehehe…rasain! Jadi ada teman deh gue! Jongin tersenyum jail. Selesai pelajaran matematika Jongin meloncat keluar dari temapt duduknya dan menghampiri Jongdae, sohib baiknya yang duduk di pojok kiri bangku ketiga.
"Suara kamu makin bagus Jong," puji Jongdae ketika Jongin sudah duduk disampingnya. "Baru tahu ya?" seru Jongin dengan pongah. "Sayang pas lagu terakhir ending-nya nggak seru!" komentar Jongdae sambil tertawa.
"Huh, cuma dua lagu itu saja yang aku inget…"
"Yang bener?" Jongdae dengan gemasnya menarik rambut Jongin yang dikucir dua. Jongin mengelak dengan licahnya.
"Biarin! Wee!" Jongin menjulurkan lidahnya. Jongdae geleng-geleng, lalu merogoh tas dan mengeluarkan coklat. "Mau?"
"Thanks! Tau aja deh kalau akau belum sarapan. Kesiangan tadi." "Kesiangan? Tumben, biasanya kesorean!" cibir Jongdae.
"Ngeledek?!" "Becanda, Jong! Idih gitu aja ngambek!" Jongdae mengancungkan bogem mentahnya.
"Aku mimpi aneh, Dae." "Mimpi apa? Mimpi ketemu pangeran tampan atau mimpi jadi orang kaya?" goda Jongdae. "Serius, Dae!" Jongin berubah kesal. "Lho, serius nih? Aduh Jong, biasanya kamu nggak percaya sama yang begituan?" "Iya sih, mulanya. Tapi Dae, mimpinya seram banget. Aku mimpi digigit ular. Mana ularnya gede lagi," ujar Jongin sambil merentangkan tangannya.
"Nih, segini gedenya." "Alah, cuma mimpi. Mana ada ular segede itu? Tapi kalau mau jelasnya, Tanya aja Suho. Dia suka baca yang namanya buku primbon. Kali aja dia tahu!" Jongdae celingak-celinguk mencari Suho. ketika yang dicari kelihatan, segera dipanggilnya, "Ho, sini deh!" Jongdae melambai kearah Suho yang sedang mengobrol dengan teman sabngkunya. Suho me ok lantas berjalan menghampiri Jongdae dengan wajah sedikit bingung. "Ada apa sih, Dae?" tanya Suho. "Eh kamu kan sering baca buku primbon?! Kamu pasti banyak tahu tentang arti mimpi kan? Nih, Jongin mimpi digigit ular besar. Dia pengen tahu artinya," terang Jongdae.
"Wah mimpi mujur kamu, Jong…!" ujar Suho dengan ekspresi ceria. "Mimpi digigit ular bias berarti bakal dapat jodoh, apalagi kalau gigit ular gede. Wah…jodohnya mungkin tajir…," tambah Suho.
"Benar tuh, ho?" tanya Jongin setengah berteriak. Ada naada senang di suaranya. "Menurut buku yang aku punya sih begitu. Tapi…." Wajah Suho mendadak berubah serius. "Lho kok ada tapi-tapinya segala?" Jongin mengawasi dengan sedikit was-was.
"Sebenarnya mimpi digigit ular itu ada dua arti. Yang pertama yah itu, dapat jodoh. Tapi yang kedua bisa berarti akan ada masalah besar mendekat." Masalah? Alamak, itu sih bukan kabar baik! Jongin memandang Jongdae dengan ragu, tapi Jongdae dengan bijaksana segera menepuk lengan Jongin
"Alah Jong! Itu cuma mimpi! Jangan dipikirin deh?! Kamu kan biasanya nggak percaya yang begituan." "Yah, mulanya sih nggak percaya, tapi lamalama kepikiran juga. Mana ularnya gede banget.
Mungkin masalah yang akan dating juga gede. Iya kan, Ho?" tanya Jongin. "Bisa jadi!" jawab Suho. "Eh ho, jangan nakut-nakutin si Jongin dong. Dia kan penakut…" Jongdae mendelik kepada Suho.
"Lho, aku kan hanya ngejawab pertanyaan kamu doang. Kalau masalah itu sh, ya aku kan nggak tanggung akibatnya!" ucap Suho membela diri.
"Yah, mungkin aja bukan masalah. Siapa tahu kamu malah dapat jodoh, Jong. Eh kalau jodohnya tajir, bagi-bagi yah," goda Jongdae yang disambut dengan cubitan Jongin. "Sialan lu!" teriak Jongin. Belum lagi Jongin menghantamkan tinju ringannya ke pundak Jongdae,
Yesung Saem, guru Bahasa Indonesia, sudah masuk ke dalam kelas. Segera Suho dan Jongin kembali ke tempat duduknya. Hari itu tetap berjalan seperti biasa. Jongin tetap ceria dan spertinya mimpi tersebut terlupakan begitu saja, hanya sebuah bunga di tidur Jongin. Sepulang sekolah, Jongin ikut membonceng sepeda Jongdae. Kalau pulang naik angkot lagi, ongkosnya lumayan, mending kan buat ditabung. Kebetulan rumah Jongdae terlalu jauh jaraknya dari rumah Jongin.
"Makasih tumpangannya, Dae. Kalau pulang jalan kaki kan capek." ujar Jongin sambil mengetatkan lengannya pada pinggang Jongdae. "No problem, Jongin. Kebetulan juga aku Oh t ke rumah kamu. Mau beli lotek. Nyokap pesan tadi pagi." Jawab Jongdae sambil membelokkan sepedanya ke arah rumah Jongin.
Ketika sampai di depan rumah yang tidak seberapa besar itu, Jongin dan Jongdae terkejut melihat sebuah sedan silver metalik terparkir di halamannya. Jongdae memarkir sepedanya tepat dekat sedan tersebut. Mereka berdua saling berpandangan bingung. "Wah ada tamu, Jong. Sedan pula," ujar Jongdae dengan decak kagum.
"Ada apa ya?" tanya Jongin kebingungan. Diamatinya sedan itu dengan penasaran. "Kalau gitu aku pulang aja, Jong. Nanti aku balik lagi deh!" Jongdae segera memutar sepedanya kembali. "Eh jangan lupa ada PR!" teriaknya dan disambut anggukan Jongin.
Jongin memandang sepeda Jongdae yang semakin menjauh. Lalu, dipandanginya lekat-lekat mobil tersebut sambil mengangkat bahunya. Ada apa ya? Siapa tamu yang datang ke rumah? Perasaan Paman dan Bibi nggak pernah punya teman orang kaya. Jongin merasa cemas. Entah kenapa dia jadi ingat mimpinya semalam. Tiba-tiba tubuhnya menggigil…. Apa akan ada masalah? Dengan perasaan was-was, Jongin masuk kedalam rumah. Di ruang tamu yang sempit dengan kursi sofa yang sudah menyusut ke bawah, Jongin melihat Bibi Cho duduk berhadapan dengan dua orang lelaki berperawakan sedang. Pakaian mereka rapikemeja, dasi dan jas hita. Yang seorang memakai kacamata dan terlihat lebih tua, yang satu lagi masih muda. Diatas meja terhidang dua gelas teh. Koper milik kedua orang tersebut terletak disusut meja. Kedua orang berpenampilan rapi tersebut tersenyum ketika Jongin mengucap salam dan masuk ke ruang tamu.
"Ini anaknya,," ujar Bibi Cho sambil menunjuk kearah Jongin dengan sikap sopan. "Jongin, duduk dulu, Nak," pinta Bibi Cho.
"Tuan -Tuan ini dating ke sini untuk menemuimu, Jong." Dahi Jongin mengerut, heran. Laki-laki yang berkacamata segera berdiri dan menjabat tangan Jongin. Jongin membalas jabatan tangan tersebut dengan canggung. "Selamat siang, Jongin," ujar laki-laki tersebut. Suaranya tampak ramah.
"Siang," jawab Jongin curiga. Jongin melihat Bibi Cho memberi isyarat padanya untuk segera duduk. Dengan patuh Jongin pun ikut duduk. "Oh iya, kenalakan ini Bumsoo, pengacara," jelas Bibi Cho, tepat sebelum Jongin bertanya.
Pengacara? Hei ada apa ini? Jongin jadi semakin bingung. "Pengacara?" desisnya. Dia memandang kedua orang yang duduk di depannya. "Ah, iya! Kenalkan saya Bumsoo dan ini asisten saya, namanya Hwijae. Kami kemari sehubungan dengan surat wasiat yang ditinggalkan oleh ayah , sekaligus sebuah surat perjanjian yang melibatkan diri Jongin," jelas Bumsoo. "Apa? Surat wasiat? Tapi Appa udah meninggal lama, sepuluh tahun lalu. Jangan-jangan…. Apa maksud Tuan mungkin berkaitan dengan utang yang dimiliki Appa ?" Jongin mulai bergetar. Jantungnya menjadi tidak terkendali. Kalau tentang utang, Jongin merasa tidak mungkin bias membayarnya. Bayar?! Untuk hidup sehari-hari saja sudah syukur bias makan dan sekolah.
"Yah, bias dibilang begitu…." "Aduhhh! Kalau menyangkut utang, maaf-maaf saja…!" teriak Jongin menggenggam tangan bibinya erat.
Apa ini benar-benar buruk? Apa Appa meninggalkan utang yang akan membebani dirinya. "Tenang dulu, . Ini tidak seperti yang kira. Memang ini bisa juga dibilang merupakan utang, tapi tidak seperti yang perkirakan." , tolong jangan membuat keponakan saya ketakutan. Saya juga ketakutan mendengarnya.
Jadi tolong berbicara yang jelas," ujar Bibi Cho tidak sabar. "Baiklah. Begini Bu Cho, keponakan ibu yang bernama Jongin, benarkan namanya Jongin Kim?" Tanya Mr Bumsoo yang dijawab anggukan Jongin dan Bibi Cho membenarkan.
Setelah menerima pembenaran tersebut, Bumsoo meneruskan penjelasannya. "Jongin, Tuan Kim, telah membuat surat perjanjian yang disepakatinya dengan Tuan Oh eam belas tahun yang lalu. Surat itu telah disahkan oleh pengacara, yaitu saya sendiri, sehingga perjanjian itu memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan oleh pihak yang terbebani perjanjian tersebut."
"Perjanjian?" mulut Jongin berdesis heran. "Ya, di dalam perjanjian itu Tuan Oh menyetujui permintaan Mr Kim untuk menjodohkan anak perempuan pertamanya yang bernama Jongin Kim dengan anak Mr Oh yang pertama, yaitu Sehun Oh . Disini, juga tertulis, perjanjian ini harus dirahasiakan dari kedua anak tersebut sampai Jongin, sendiri, berusia 17 tahun. Saat itulah, perjanjian ini dibacakan, baik Jongin Kim sendiri maupun Sehun Oh . Dan saat Jongin berusia 19 tahun atau lulus dari HS maka Sehun Oh diwajibkan menikahi Jongin. Perjanjian ini dibuat dengan disaksikan oleh dua orang saksi dan seorang pengacara. Jadi perjanjian ini memiliki kekuatan hokum,"ujar Mr Bumsoo.
Jongin terkejut. Ekspresi wajahnya berubah dari ketakutan menjadi rasa kaget yang luarr biasa. Saat itu, aliran darahnya seakan beku sekejap.
"A…apa?" kata-kata itu meluncur dari mulut Jongin yang setengah menganga, "Yang benar saja, apa-apaan ini?! Siapa yang mau mematuhi perjanjian konyol itu! Aku menolak!" Jongin langsung berdiri dan setengah berteriak marah, "Itu hanya perjanjian konyol yang dibuat Appa waktu dia hidup. Tapi Pengacara, sekarang Appa sudah meninggal. Aku nggak memiliki kewajiban untuk memenuhi perjanjian konyol itu!" Jongin marah. Rambutnya bergerak-gerak mengikuti leher dan napasnya yang tidak teratur.
"Jongin, tenanglah," Bibi Cho berusaha menenangkan Jongin yang sudah mulai histeris. Dengan lembut dituntunnya kembali Jongin untuk duduk. "Kita belum mendengar penjelasan seluruhnya," ujar Bibi Cho dengan bijaksana. Mendengar perintah Bibi Cho Jongin pun duduk di tempatnya semula. Kakinya sudah bergetar gelisah.
" Memang kalau dipandang sekilas, perjanjian ini tampak konyol. Tapi seperti yang sudah saya katakan tadi, perjanjian ini memiliki ketentuan hokum. Dalam kekuatan hukum, tentu ada sanksi yang diberikan pada pihak yang tidak ingin mematuhi perjanjian ini. Supaya mengetahuinya, di dalam perjanjian ini juga dituliskan apabila salah satu pihak membatalkan hal yang sudah diterangkan di dalam perjanjian - dalam artian perjodohan ini – maka pihak yang membatalkan akan dikenakan denda yang harus dibayarkan pada pihak yang dirugiakn sebanyak dua ratus juta won. Itu artinya apabila Jongin memutuskan untuk menolak, harus membayar denda sebanyak dua ratus juta won pada keluarga Oh . Lebih tepatnya pada Sehun Oh ," Pengacara tersenyum.
"Nah pertanyaannya adalah apakah memiliki uang sebanyak itu untuk membayar denda tersebut?" tanyanya lagi masih dengan tersenyum ===
