DAUN DAUN BERGUGURAN

Original Character by Masashi Kishimoto

Original Story by Cristine MT

Daun-daun berguguran yang menyedihkan terseok-seok udara bertebaran tak tentu arah, ingin hidup tak mampu mati tidak sanggup.

Warning ! Tiap naskah bisa memengaruhi sedikit-banyak gaya berpikirmu untuk sementara. Tidak dianjurkan membaca dalam keadaan emosi negatif (sedih dan marah) atau sedang dalam suasana hati yang ekstrem.

Chapter 1 : KEPUTUSAN MASA LALU

keputusan masa lalu

Manik indah itu menyayu, merasakan tengkuknya memanas, bibirnya bergetar dan kepalanya terasa melayang. Perlahan ia merebahkan dirinya, membiarkan dirinya direnggut dan ditindaki. Ia pasrah; berteriak pun tiada guna-sudah terlambat.

Air yang terasa hangat melintasi permukaan wajahnya yang pasi menghangatkan sejenak, itulah yang menjadi pacuan dirinya untuk tetap tersadar; karena ia masih menangis barusan, artinya dia adalah manusia, setidaknya ia masih diberikan kesempatan oleh Yang Maha Agung untuk merasakan air matanya;

Yang Maha Agung, ya? Apa Dia akan mengampuni dia? Dengan keputusan yang berujung keterpurukan dirinya? Akankah?

Yang Maha Agung pastilah mengampuni dirinya, apalagi Ia pasti tahu, wanita itu berbuat demikian demi sesuatu yang tak dapat ia sembunyikan dari penciptanya. Pasti, Tuhan akan mengerti … tapi akankah demikian kepada orang-orang yang mengenalnya?

Kemudian pilu terngiang di antara penyesalan dirinya, ia menangis lagi dalam diam. Kepalanya makin sakit; menangisi dirinya yang menyedihkan. Keputusan gila ini dianggap jebakan bagi dirinya, ia sangat bodoh dan hina! Rasanya ingin sekali ia mengambil pisau kecil yang ia sediakan di balik celana jeansnya yang sekarang berada di samping kasur, menikam semua orang di sini termasuk dirinya, menyudahi kehinaan dan kebodohan yang sudah terlanjur atasnya. Ia ingin mati.

Tidak, kau akan tetap bersamaku

Gadis itu membelalak. Terngiang pelan janjinya kepada seorang anak yang sangat ia cintai, bahkan rela ia mati bagi dirinya.

Hanya jika ia mati hanya karena kesalahan ini, seberapa besar lagi penyesalan dirinya nanti?

Tidak.

Kesalahan kedua tidak akan pernah lagi ia lakukan. Apalagi penyesalan bodoh ini, tidak akan lagi ia rasakan lain waktu. Ia bersumpah.

Jangan takut, jangan sedih lagi. Aku selalu di sini, tenang saja

Ya. Seperti kata-katanya, gadis itu tidak boleh takut. Ia tidak sendirian, Tuhan bersamanya. Tuhan melihat, Ia tahu segalanya bahkan tiada yang tersembunyi bagi Dia!

'Aku akan bertahan,' serunya dalam hati, 'siapa yang tahu aku akan kalah atau menang nanti, yang pasti aku harus tetap maju'

keputusan masa lalu

..

Menerima pernyataan diterima yang dikirim lewat e-mail membuat matanya menyalang lebar dan senyum mengembang sempurna di antara pipi tembamnya.

Akhirnya aku akan masuk universitas impianku ia berteriak dalam hati. Bila ia bisa melompat ke udara, ia akan melompat ke atas langit karena saking bahagia dirinya. Penantian panjang setelah dua tahun meninggalnya kedua orang tua gadis itu, setelah ia berjuang mendapatkan sedikit uang untuk biaya sekolah menengah atas dan sekolah dasar adiknya, sampai jua.

Universitas yang ia dambakan, dapat juga ia pijak dua hari mendatang.

"Kakak!" Gadis bermahkota amethyst itu menoleh kemudian tersenyum menaggapi panggilan gadis kecil di belakangnya. Ia mengacak pelan surai cokelat milik Hanabi Hyuga, adik tunggalnya.

"Sudah siap?"

Hanabi mengangguk. "Apa yang harus kita beli untuk Ibu Dokter itu, kak?"

Ditanya demikian, gadis itu mengadahkan kepalanya lagak berpikir. Akhirnya ia mendapat ide yang siap dibagikan kepada adiknya. "Bagaimana kalau kue jahe?"

"Kakak selalu cerdas!" teriak Hanabi antusias, "Ayo cepat! Aku sudah tidak sabar bertemu Ibu yang baik hati itu!"

Gadis itu mengiyakan dengan menatap sendu Hanabi yang berjalan dengan semangat. Ia menarik napas dalam, menyiapkan mentalnya untuk menemani Hanabi untuk menjalankan pengobatan yang sangat sakit luar biasa.

Seperti biasa tiap akhir pekan menjelang siang hari, Hanabi rutin dibawa ke rumah sakit menemui Dokter spesialis yang menangani bocah berumur Sembilan tahun itu.

"Halo Hanabi," seorang wanita baya menyapa, "Apa kabar?"

Hanabi tersenyum pula mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.

Tsunade Senju, si dokter hebat yang baik hati itu mengajak Hanabi untuk berbaring. Di periksa sekitar dadanya dan mulut dalamnya. "Kita perlu bicara, ya anak sehat?"

Melihat gadis kecil itu mengangguk percaya, menjadi kerinduan yang amat mendalam bagi gadis yang berdiri menatap keduanya di ambang pintu ruang periksa. Anak itu, Hanabi Hyuga dengan seorang wanita cukup tua, mengingatkan dirinya akan Hanabi yang dulu sering ditimang. Senyum tulus Hanabi, semangatnya untuk terus hidup membuat dirinya tak memiliki alasan untuk mengakhiri semua.

Kadang ia merasa malu jika tertangkap basah menitikan air mata di depan bungsunya, mengapa aku sangat lemah? Selalu itu yang ia tanyakan. Kembali menghadapi kenyataan bahwa Hanabi lebih memiliki nyawa yang terancam, tapi dia terlalu semangat dan percaya bahwa Tuhan mengasihi dia.

"Kakak!" gadis itu tersadar dari lamunan yang melayangkan pikriannya. Ia menyahuti panggilan adiknya dengan sahutan gagap. "Ibu Tsunade memanggilmu, tahu," lanjut Hanabi.

Gadis bersurai indigo itu terkekeh, "Maaf aku melamun," katanya. "Ada apa, Nona Tsunade?"

Melihat kakaknya terkekeh, sang gadis kecil pula tertawa pelan.

"Aku juga perlu bicara denganmu ya, Hinata,"

Wanita yang dinamai Hinata mengangguk pelan. "Tapi sebelumnya aku perlu bicara kepada Malaikat kecil ini dulu," Tsunade menggoda Hanabi dengan menggelitik perut kecilnya, "Nah, Hinata, biarkan aku bicara berdua dengan adikmu,"

"Aku pasti akan penasaran," terkekeh, ia menutup pintu sedikit dan berdiri agak jauh. Tapi tidak dengan dirinya yang tidak bercanda dengan kata-katanya barusan. Hinata membelakangi tembok antara dirinya dengan ruang periksa, ia menutup matanya. Siap-tidak siap, ia akan mendengar pernyataan dari Tsunade yang menggampar relungnya. Ia tahu itu, kenyataan pahit akan segera ia dengar. Sederet doa ia bisikan sebagai penenang hatinya.

Samar ia dengar Hanabi tertawa kecil dan Tsunade mengikutinya. "Aku juga sangat suka wajah cantiknya jika sedang melamun," sangat pelan suara Hanabi melemah, "Kalau benar begitu, aku minta Ibu Tsunade selalu menemani Kakak, ya? Jangan sampai dia kesepian,"

Hinata merunduk, bibirnya bergetar dan matanya mengatup kencang. Ia biarkan air matanya menetes untuk kata-kata Hanabi yang mejurus, ia terisak tertahan.

"Karena kalau Kakak sudah menangis, ia akan seperti anak bayi, menangis lamaaaa sekali,"

Bahunya bergetar hebat, ia mengusap pipinya entah dirinya terkekeh atau menangis seperti yang dikatakan Hanabi, layaknya anak bayi. Hinata tidak pernah menduga Hanabi berkata seperti itu, artinya ia sangat memerhatikan Hinata, tentunya ia terkejut Hanabi memiliki pikiran yang melebihi anak sebayanya.

"Hanabi sangat menyayanginya?"

Gadis itu mengintip dari balik sedikit celah yang terbuka, dapat ia lihat Hanabi mengangguk lemah.

"Kalau Hanabi punya kesempatan untuk meminta satu permintaan dan secara ajaib dapat dikabulkan, apa yang Hanabi minta?"

"Aku…akan meminta agar Kakak sekolah dengan tenang-" napasnya mulai terengah-engah, sedang Tsunade langsung memasangkan oksigen untuk membantu si gadis kecil bernapas. "-jangan lagi diganggu oleh teman-temannya yang jahat…"

Tsunade mengangguk-angguk lemah dengan mengusap air mata yang ada di ujung matanya.

"…aku sangat menyayangi…Kakak."

Tidak lagi tersadar, Tsunade memanggil tim medisnya untuk segera memulai jalannya operasi segera.

Hanabi, aku tidak meminta kau sembuh

Aku hanya ingin kau mengerti

Bahwa aku banyak berdosa

Aku tidak layak menjadi Kakak dari anak pintar sepertimu

Aku tidak bisa terus menerus menyuapimu dengan tangan yang penuh dosa

Tidak bisa berbaring denganmu, karena tubuhku penuh kehinaan

Aku seharusnya waras membiayaimu dengan uang iblis

Aku bukan orang baik

Kadang menjadi sebuah tamparan dahsyat ketika kau memanggilku Kakak

Entah Kakak macam apa aku

Aku hanya ingin kau tidak membenciku

Ketika kau mengerti segalanya kelak

Jangan menjauh dariku

Tidak

Kau boleh pergi, karena manusia macam diriku, tidak layak didekati

Tapi aku mohon, ampuni aku dan jangan benci aku

Hanabi, aku sangat menyayangimu

Kalau Tuhan berkehendak rasa sakitmu ada padaku, aku akan sangat bahagia

keputusan masa lalu

...

Berdebar jantung sang gadis memasuki gedung universitas dambaannya, mengelilingi antero koridor dengan amethystnya dengan senyuman tipis menahan jeritan bahagia. Ia berjalan menyusurinya mencari aula di mana mahasiswa baru berkumpul untuk mendengar arahan dari para dosen.

Ketemu

Setelah ia menyalam panitia di depan yang mengabsen mahasiswa baru yang hadir, ia memasuki ruangan itu dan tampaknya acara masih lama dimulai.

Ia mendudukan dirinya di barisan kelima dari depan paling kanan agar ia nyaman agak jauh dari keramaian. Gadis itu mengeluarkan buku panduan dari universitas itu dan membacanya dengan saksama.

Rupanya pemilik universitas ini tidak hanya Orang Jepang, juga orang Rusia tanggapnya dalam hati. Ia makin antusias karena saham yang ditanam adalah oleh sepasang suami-istri. Laman berikutnya, ditunjukannya kedua investor yang merupakan keluarga itu, dengan Istri berambut merah dan suami berambut pirang terang. Pengusaha muda, tambahnya. Lagi ia membuka laman-laman berikutnya, diperkenalkan struktur organisasi yang menjadi pilar inti di sini.

Mata gadis itu membulat kala buku yang ia pegang diambil paksa oleh seseorang.

"Pelacur sepertimu, tidak layak memegang buku," Hinata menyipit kala mendapatkan gadis berambut hitam pekat dengan menatap tajam Hinata yang terduduk.

"Tidak ada urusanku sama sekali denganmu, Shizuka."

Yang dinamai Shizuka mendecih, "Tidak ada? Setelah kau rebut Kiba dariku?"

"Aku tidak melakukan apapun!"

"Jangan mengelak, perempuan rendahan!"

"Cukup, Shizuka, kau hanya salah paham,"

Shizuka terkekeh, kemudian menaikan sedikit sudut bibirnya. "Dengar, pelacur," katanya dengan wajah yang makin mendekat pada Hinata, "Aku tidak sabar melihat kehancuranmu!"

Hinata hanya menggeleng heran. "Kau bukan masalah bagiku, Shizuka," merasa geram direndahkan, Shizuka mengangkat tangannya berniat melayangkan satu tamparan tepat di wajahnya, namun tangannya ditahan oleh seseorang.

"Bila kau ingin jadi seorang preman, jangan berada di sini, karena di sini hanya menerima orang-orang waras,"

Temari Nara!? Hinata begitu tekejut, melihat seorang gadis dengan wujud nyata yang tadi ia lihat ada di buku panduan. Wanita itu lumayan tinggi dengan tubuh ramping, rambut pirang yang ia ikat menjadi dua sisi dan yang paling memukau adalah tatapan dari jambrudnya yang seolah tidak dapat dibantah oleh siapa pun.

"Maaf!" Shizuka segera melepaskan tangannya dari cengkraman Temari dan mendengus kesal. Ia memicing sebentar ke arah Hinata lalu pergi meninggalkan dia. Universitas ini juga tidak layak di tempati oleh pelacur sepertinya!

Wanita yang menjadi pemisah antara dirinya dengan teman SMU-nya berjalan lurus ke depan menuju kursi panitia yang telah disediakan di depan. Ia sudah berada di sana dengan beberapa orang dan menurut Hinata, acara dimulai tidak akan lama lagi.

"Boleh aku duduk di sini?" Tanya seorang gadis berambut merah muda dengan seorang gadis lainnya yang berambut pirang panjang. Hinata menoleh, ia tersenyum dan memersilahkan ia duduk di sebelahnya. "Namaku Sakura Haruno,"

Pipi Hinata memerah melihat tangan gadis dengan mata emerald terulur dekat dirinya, ia menyambut tangan Sakura dengan gugup, "A-aku Hinata Hyuga,"

"Ino Yamanaka!" Hinata makin gugup melihat gadis berponi panjang yang baru saja menyebutkan namanya tersenyum amat lebar. Ia pula menjabat tangan gadis bernama Yamanaka itu, "H-hinata Hyuga," balasnya.

"Kuharap kita dapat menjadi teman baik!"

Hinata mengangguk pelan. Kuharap demikian, menjadi teman baik meski pun kau tahu keadaanku

Sepertinya hari ini Hinata sangat senang, mendapat teman baru di aula yang ternyata satu jurusan. Di tambah lagi ia tidak lagi bertemu Shizuka, itu membuat Hinata terus-menerus bersyukur.

Gadis itu sekarang berada di taman belakang kampus, berusaha membiasakan diri dengan berkeliling sebentar dan mengenal beberapa tempat di sini. Sebelum ia memutuskan untuk ke rumah sakit untuk menemui Hanabi, ia terduduk sebentar mengistirahatkan dirinya.

Ia sengaja menutup matanya, menyembunyikan kedua iris indahnya di balik kelopak, merasakan sapuan angin lembut di wajahnya. Sangat damai, setidaknya ia pikir, bisa membiarkan sedikit lelahnya bersama angin.

KLIK!

Hinata terkejut, ia menoleh dengan cepat sambil menyingkapkan surai lembutnya yang menghalangi pandangan gadis itu karena tertiup angin.

Makin terkejut karena ternyata ia tidak sendirian di taman ini, ada seorang pria berambut pirang yang kini sedang memerhatikan kameranya dan kembali mengarahkan lensa itu kepadanya, "Err... Bisa tolong-sekali lagi?" Tanyanya.

Pipi Hinata memerah ketika ia matanya melihat mata biru terang pria itu.

Pria itu mendekat, ia menggaruk tengkuknya dengan cengiran, "Maaf kalau aku dengan lancang memotretmu,"

"T-tidak apa-apa," Sekarang, Hinata benar-benar slaah tingkah dan beranjak dari batu yang ia duduki sebelumnya.

"Hei, nanti dulu," pria itu menghadang tubuh mungil Hinata dan menyatukan telapak tangannya, "Kumohon sekali lagi, Nona?"

Asap imajinasi keluar dari kedua telinganya, dengan wajah serba memerah. Ia sangat gugup apalagi pria itu tersenyum dengan lebarnya. "B-baiklah," katanya sambil merunduk menyembunyikan rona merahnya, "A-apa yang harus kulakukan?"

"Kau sangat baik hati!" ujarnya, "Namaku Naruto Uzumaki, namamu?"

Uzumaki? Apakah ada hubungannya dengan Kushina Uzumaki si empunya kampus ini? "Aku Hinata Hyuga,"

"Baiklah, Nona Hinata kumohon bantuanmu untuk jadi modelku, ya!"

Gadis itu mengangguk pelan.

Begitulah Hinata, selalu tidak sanggup menolak permintaan orang lain.

"Maafkan aku, Hinata…aku hanyalah seorang Dokter yang terbatas, maafkan aku,"

-end of keputusan masa lalu-

TBC

a/n Halo para readers yang terhormat! Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk membaca, dan saya minta tolong sekali lagi mengganggu waktu Anda untuk menyempatkan diri untuk review :) Terima kasih, dan mohon lupakan janji saya pada FIC sebelumnya :(

...

salam,