Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi

2D © creau

Pair: AKAKURO! YEAAAH~! GIMME APPLAUSE! XDD (?) #ricuhsendiri #digunting nyempil KiseAka

Genre: Romance/Fantasy—maybe

Rate: Kid-teen

Warning: OOC, nista, typo, bad EYD, romanceless kayaknya #OTL don't like, don't read! #snip

Catatan: uhm, sebelumnya saya pernah buat romance, hasilnya fail banget. Semoga yang ini gak sefail yang lalu and hope you like it, guys~ ^^

Sebuah rumah, di suatu pagi yang cerah. Banyak kotak-kotak dan barang-barang lainnya yang dimasukan ke dalam rumah. Rumah itu baru dibeli satu minggu yang lalu oleh keluarga Akashi. Catnya masih bagus, halamannya luas, dan letaknya strategis. Kenapa sang pemilik rumah yang terdahulu menjual dengan harga yang terbilang murah? Terkadang pikiran setiap manusia itu sulit ditebak.

Akashi Seijuurou, enam belas tahun, calon siswa dari Teiko High School, sedang melangkan kakinya menuju rumah yang akan ditempatinya bersama keluarganya. Ia ingin membereskan kamarnya yang berada di lantai dua. Saat menaiki anak tangga, terdengar suara.

Tuk.

Tuk.

Tuk.

Seperti ada yang mengetuk. Akashi memperhatikan sekeliling. Pintu luar terbuka lebar. Tak ada orang sama sekali. Ayah dan ibunya masih di luar, mengambil beberapa barang penting sepertinya. Orang-orang yang bertugas membawa barang ada di lantai dua. Jelas-jelas suaranya berasal dari sana, sekitar ruang tamu. Ah, sudahlah, mungkin itu hanya imajinasinya saja karena ia kurang tidur selama perjalanan.

.

Makan malam tadi berkesan biasa saja. Masakan ibu yang hangus dengan dapurnya yang juga agak hangus itu memang biasa. Kalau hasil masakan ibu seperti Parah Kuin itu baru luar biasa. Luar biasa anehnya, bisa dicurigai beli di restoran terdekat dengan via pesan antar.

Akashi menarik selimutnya. Hari ini ia merasa lelah karena perjalanan yang panjang. Perlahan... mata dwi warna itu menutu—

Tuk.

Tuk.

Tuk.

—suara apa barusan? Akashi membalikan badannya dan mengabaikan suara itu. Namun, lama-kelamaan suara itu makin keras terdengar. Seperti suara orang menggedor. Bukan, bukan menggedor pintu. Seperti suara seseorang menggedor kaca—jendela mungkin.

Suaranya berasal dari lantai dasar.

Akashi kesal. Ia mengibaskan selimutnya dengan kasar dan beranjak dari sana. Ia turun ke lantai dasar, mencari sumber suara. Siapa tahu itu suara jendela yang belum ditutup. Tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Pandangannya jatuh pada sebuah cermin yang sangat besar. Cermin itu melekat pada dinding. Terdapat ukiran tumbuhan di setiap sudutnya.

Tunggu...

Rasanya di ruangan ini—ruang tamu—ia tidak melihat cermin ini.

Ia berjalan menuju cermin itu. Refleksi dirinya terpantul, surai merah dengan warna mata ganda—kuning dan merah, turunan dari ayah tercinta. Tangannya iseng, ingin menyentuh cermin itu. Tepat ketika ia menyentuh permukaan cermin itu, refleksi dirinya berubah—"Hello."

Akashi tidak bisa menutupi rasa kagetnya. Hal itu terjadi secara spontan.

Bayangan Akashi pada cermin itu berubah. Di depannya bukan dirinya, melainkan seseorang yang lebih pendek dari dirinya dengan rambut berwarna biru terang. Kulitnya seperti porselen, putih dan nampak lembut.

"Halo," sapa bayangan itu untuk yang kedua kalinya.

"Ha—"

"—Sei-chan? Apa yang kau lakukan?"

Akashi menengok ke sumber suara. "Tidak bisa tidur, kaa-san."

"...Kalau begitu tidur dengan kaa-san, Sei-chan~"

Dengan tiba-tiba tangan Akashi ditarik oleh ibunya. Akashi berusaha untuk melepaskan diri tapi tidak bisa. Sesaat pandangannya kembali pada cermin itu lagi—tunggu! Dimana cermin itu? Ah, sudahlah, lupakan! Yang harus dipikirkan adalah bagaimana cara untuk melepaskan diri dari ibunya ini. Oh, demi apapun, dia itu sudah ENAM BELAS TAHUN! Kenapa ibunya selalu memperlakukannya seperti ini?!

"Kaa-san, aku akan tidur sendi—"

"—No, no, no! kita akan tidur bertiga lagi—sama seperti kau waktu kecil~" ibunya mencubit pipinya. Cuma sekedar memberitahu, kuku ibunya itu indah dan panjang. Mungkin di pipi Akashi ada bekas goresannya sedikit.

Akashi menepuk dahinya. Hello~! Memang muat apa satu tempat tidur untuk tiga orang? "Kaa-san, aku sudah besar. Tidak mungkin kasur itu muat untuk kapasitas tiga orang dewasa."

"Dewasa? Kamu itu masih kecil, sayaaang~" Nyonya Akashi ini benar-benar kekeuh. Sebenarnya, kata-katanya ada benarnya juga sih—Akashi itu belum dewasa, remaja lebih tepatnya. "Lihat, tinggimu saja belum melampaui kaa-san."

DOR! DOR! DOR! DUARARARARA! #tidak #kamujanganpromofandomlain #dijitak

Suara hati Akashi. Itu jleb banget. Sumpah. Ciyush deh. Tinggi Akashi itu cuma 173 centi, dibanding ibunya... 183 centi. Cantik pula, maklumlah ibunya itu kan model ternama se-Jepang.

"Heee? Sei-chan marah ya?" pegangan tangan ibunya melepas. Kemudian mengelus surai kemerahan milik Akashi. Ah, ia sangat ingat kalau 'Sei-chan'nya itu sangat suka diperlakukan seperti ini. Ia mengatkan, "Ya sudah, selamat malam, Sei-chan~" dan mencium pucuk kepala Akashi.

"Selamat malam, Kaa-san." Kata Akashi sambil tersenyum. Tersenyum. Tersenyum. Tersenyum. Tersenyum.

Sepertinya penulisnya lupa menambahkan: Akashi Seijuurou, enam belas tahun, calon siswa dari Teiko High School, memiliki perilaku yang berbeda saat bersama ibunya—kedua orang tuanya, lebih tepatnya.

.

Dua hari berikutnya, Akashi sudah masuk sekolah.

Ia benci ini—benci lingkungan baru maksudnya. Jika sudah berada di lingkungan baru berarti ia harus beradaptasi. Beradaptasi dengan suasana di kota ini, teman-teman di sini... tunggu, memang selama ini ia mempunyai teman? Oh, jika gunting merah yang selalu dibawa-bawa olehnya di setiap detik, setiap tempat, dalam keadaan banjir, angin topan dan sebangsanya itu bisa dikatakan teman, berarti ia punya.

Saat menuju ruang guru, aura hitam menguar. Membuat setiap murid merinding. Oh, bukan, Akashi Seijuurou itu bukan setan atau hantu, tapi kalau iblis masih bisa dipertimbangkan. Tak sengaja ia menabrak seseorang yang uhuklebihtinggidarinyauhuk. Eh, tidak! Tidak! Ia bukannya tak sengaja menabrak orang, Akashi bukan orang yang teledor. Ada juga orang itu yang menabraknya. Iya, itu yang benar—dan Akashi selalu benar. #snip

Buku-buku yang dibawa orang itu terjatuh di lantai. Orang itu memungutnya. "Ah, maaf." Ujar orang itu sedikit menundukan kepalanya supaya bisa melihat orang yang ditabraknya. "Maafkan aku."

Bagi Akashi ini penghinaan. Biarpun uhukpendekuhuk tapi ia punya harga diri! Akashi agak mendongak melihat orang itu. "Hn, sudahlah." Balas Akashi sambil meninggalkan orang itu.

Tapi, ketika Akashi akan pergi dari sana, tangannya ditarik. Ckckck, sudah enak-enak dibebasin tanpa harus kehilangan sehelai rambut, malah cari masalah. Pegang-pegang pula. Iuh, upay deh. Orang itu mengulurkan tangannya, "Namaku Kise Ryouta, enam belas tahun, model (khusus surat yasin), and I'm single." dan di akhir kalimatnya ia memberikan kedipan mata. Seharusnya ia menambahkan aku bosan hidup di akhir kalimatnya.

Akshi mengabaikan uluran tangan Kise. "Akashi Seijuurou." Dan meninggalkan Kise dengan tangan yang masih melayang di udara.

Kise mematung di sana. Masih dengan tangan yang melayang. Momoi, teman sekelasnya, yang kebetulan lewat di sana dan melihat Kise, hanya bisa sweatdrop. "Ki-chan! Kembalilah ke bumi." Katanya sambil mengibaskan tangannya di depan muka sang model.

Kise kembali ke bumi dengan semangat. "Kyaaa~ Momoicchi~!" katanya seraya memeluk Momoi.

Momoi yang tak tahu apa-apa hanya membalas pelukannya. "Ada apa, Ki-chan? Kau terlihat... err... senang sekali."

Kise melepaskan pelukannya. "Tadi aku bertemu—"

"—Oi! Satsuki! Kalau kau tidak masuk kelas—"

Kriiiiiiing~

.

Sebelum pelajaran dimulai, di ruang kelas 1-A kedatangan murid baru. Siapa lagi kalau bukan tokoh utama kita, "Akashi Seijuurou. Mohon bantuannya." sambil membungkuk.

Akashi mendapat tempat duduk dekat jendela, pojok. Terdengar suara guru yang menjelaskan. Namun Akashi tidak fokus. Jadi, ia menatap keluar jendela. Mengamati langit indah berwarna biru cerah seperti warna rambut orang yang ditemuinya pada cermin aneh itu.

Ah, kalau diingat-ingat ia sudah tidak pernah melihat cermin itu lagi. Pernah sekali ia mencoba untuk ke ruang tamu pada tengah malam tapi cermin itu tidak muncul juga. Ia menghela napas. Sejujurnya, ia ingin melihat cermin—menemui orang—itu lagi. Tapi apa daya? Mungkin saat itu, ia hanya berhalusinasi. Tapi! Tapi! Saat itu benar-benar seperti nyata.

Iris mata itu...

Pluk.

Secarik kertas mendarat pada mejanya. Ia membaca apa yang tertulis pada kertas itu.

Halo~

Lunch together? (ڡ˘ς)

The Magical Prince,

-Kise Ryouta

Akashi mencari siapa pengirim kertas itu. Pandangannya menangkap seseorang blonde dengan wajah menyebalkan—karena ia melempar kiss bye ke Akashi, makanya Akashi menganggap dia menyebalkan—menatap ke arahnya.

...Magical Prince?

Hidih.

Annoying Prince sih, iya aja.

Akashi memberinya tatapan tajam kemudian mengabaikannya. Ia memperhatikan angka-angka di buku yang lebih menarik ketimbang si-blonde-menyebalkan itu. Oh, shit... kenapa di hari pertamanya sekolah, ia harus diganggu oleh orang seperti itu. Sepertinya takdir senang mempermainkan hidupnya.

.

Akashi sampai di rumah dengan selamat—tanpa ada yang mengikutinya. Oh, apa ia sudah cerita tentang insiden pulang sekolah barusan? Belum, ya? Kalau begitu, biar penulis kita yang cantik ini (hee? Jangan muntah di keyboard dong! Muntahnya di plastik sono) yang akan menjelaskan apa yang tadi terjadi.

Bel tanda pulang sekolah sudah berdering sejak setengah jam yang lalu. Akashi masih duduk di bangkunya dan menatap langit. Sebenarnya, ia tahu bel telah bordering tapi, ia tak mempedulikannya. Yang ia lihat hanya langit itu. Langit biru muda itu. Langit yang mengingatkannya pada orang itu. Oh, kenapa ia tak bisa melupakan orang itu barang sedetik pun? Ada apa dengannya ini?!

"Akashicchi~"

Ia ingat wajah orang itu yang begitu... pokerface.

"Akashicchi~"

Ia ingat tatapan mata itu. Tatapan yang menghanyutkannya dalam pusaran penasaran.

"Akashicchi~"

"Tidak bisakah kau berhenti menggangguku?" Akhirnya Akashi menggubris orang di sebelahnya yang menyebalkan ini.

"Kenapa masih di sini? Bagaimana kalau kita pulang bersama~?" Tanya Kise. Entah mengapa Akashi bisa melihat dua kuping anjing pada kepala Kise dan ekor yang bergoyang-goyang di belakangnya. "Ayolah, Akashicchi~" Pinta Kise dengan tatapan anak anjing. Heran deh, Akashi yakin makhluk di sebelahnya ini manusia tulen. Atau jangan-jangan... Kise ini sebenarnya siluman anjing yang bisa menunggangi elang?—oh my... apa yang baru saja ia pikirkan? Mungkin ia harus berhenti menonton drama kolosal yang sering ditonton oleh ibunya ketika senggang itu.

"Tidak. Berhenti menggangguku," Ucap Akashi menyebarkan aura-aura gelap. "dan berhenti memanggilku 'Akashicchi'!" dan kalimat terakhir diakhiri dengan adanya tiga buah gunting melayang.

Kise bersyukur karena gunting-gunting itu tidak mengenai wajah modelnya. Apa yang akan dikatakan managernya jika wajah sang model yang halus-mulus-bersih-tanpa-adanya-jerawat itu terkena gunting?

Akashi pergi meninggalkan kelas. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan orang itu. Orang itu menghantui pikirannya!

Suaranya masih terngiang di benaknya.

Ia bahkan—"Cih, aku tahu kau mengikutiku, Kise Annoying."

Kise yang bersembunyi di balik semak-semak, menampakan dirinya. Diantara helaian emas itu terselip dedaunan. "Eeeh? Ketahuan, yah?" katanya seraya membersihkan dirinya. "Rumahku juga lewat sini, bagaimana kalau kita pulang bareng?" ucapnya bohong. Rumahnya itu bukan di sekitar daerah ini. Kise mengikuti Akashi karena ia ingin tahu dimana Akashi tinggal. Jadi, ia bisa menjemputnya untuk berangkat sekolah bersama~

"Aku tahu rumahmu bukan lewat sini. Kau sengaja mengikutiku supaya kau tahu dimana aku tinggal dan kau akan datang ke rumahku untuk berangkat sekolah bersama."

Strike! Hah! 'Bagaimana Akashicchi bisa tahu?!' batin Kise.

Akashi kembali melanjutkan perjalanan. Kise mengikuti dari belakang. Langkah kaki Akashi dipercepat. Kise mempercepat langkahnya juga. Akashi lari. Kise juga lari. Author poco-poco (?)

Ketika dibelokan, Akashi menambah kecepatannya dan ketika Kise melewati belokan itu, Akashi sudah tidak ada.

Yah, kira-kira begitulah yang terjadi sebelum Akashi sampai di rumah. Ketika Akashi sampai, ia disambut oleh pelukan hangat dari sang ibu. Dilihatnya ruang tamu itu, berharap cermin itu akan muncul. Tapi nihil. Tidak ada apa-apa di sana kecuali ayahnya yang sedang menyesap kopi dengan seseorang berjas putih. Sepertinya dia klien ayah.

Tuan Akashi menaruh kopinya dan memperkenalkan Akashi dengan pria berjas putih itu. Akashi membungkuk. "Akashi Seijuurou." Kata Akashi.

"Midorima Shintarou."

"Dia akan tinggal di sini selama beberapa waktu." Ujar Tuan Akashi.

Akashi memperhatikan orang di hadapannya. Ia memiliki surai hijau dan berkacamata.

.

Tengah malam, Akashi kembali mengecek ruang tamunya. Lampunya tidak dinyalakan, sengaja. Khawatir ayah dan ibunya mengetahui kebiasan anehnya ini. Terlebih lagi ada orang lain yang tinggal di sini.

"Hello!"

Akashi mendengar suara itu. Suara yang selalu terngiang di benaknya. "Ha... halo," jawab Akashi.

"Kuroko Tetsuya."

"Huh?"

"Itu namaku."

"Bolehkah aku memanggilmu... Tetsuya?"

Tetsuya tertawa kecil. "Tentu saja, Sei-chan." Tetsuya tersenyum dan jantung Akashi meledak jadi serpihan-serpihan kecil. Oke, itu berlebihan. Lalu, Tetsuya tertawa.

Akashi menaikan sebelah alisnya. Ia bertanya, "Apa ada yang lucu? Dan kenapa kau ikut memanggilku 'Sei-chan'?"

"Tidak, hanya saja—"

—Ctik. Lampu menyala. Oh, rupanya lelaki berkacamata itu yang menyalakan lampunya. Ia melihat Akashi berdiri di depan tembok. Ia bertanya, "Apa yang kau lakukan di sana, Akashi-san?"

| TBC |

Kok kayaknya banyak adegan KiseAka ya ketimbang AkaKuro? ( ;A;) padahal kan saya niatnya buat AkaKuro... KENAPA JADI BEGINIII?! Niatnya juga cuma oneshot... #OTL

Eniwei, apa ada yang bisa nebak si Shin-chan itu ngapain tinggal di rumah Sei-chan? Yang bisa, saya kasih satu dus piring pecah, lol

Thank you for reading~ ^^

Wanna give me review? :3