Disc: I don't own BLEACH and LONG VACATION
Note: this fanfic is inspired from a J-Dorama, Long Vacation starred by Kimura Takuya of SMAP. Enjoy!
Thought/Past
Present.
.
-Cerita Cinta-
1
.
"Maukah kau menikah denganku?"
"Tentu saja!"
-o-
Ia berlari secepat mungkin. Ia tidak menghiraukan tatapan orang-orang di sekitarnya, mereka tampak terkejut dan ia tidak menyalahkan mereka. Siapapun pasti akan terkejut. Ia mengerti mengapa semua orang menatapnya seperti itu, ini karena pakaian yang dikenakannya. Ia tidak punya banyak waktu untuk memusingkan tatapan orang-orang itu.
Ia terus berlari, tidak menghiraukan nafasnya yang semakin pendek. Tidak ada waktu untuk beristirahat. Ia menyemangati dirinya dalam hati, "Sebentar lagi," pikirnya, "sebentar lagi!" Dan ia pun terus berlari sambil menyeret pakaiannya yang kelewat panjang dan berat.
"Aku tidak bisa berhenti disini, sekarang..." ia memberitahu dirinya sendiri, "Tidak sekarang... Ketika akhirnya semua mimipiku tercapai..."
Ia mengkhawatirkan banyak hal sambil terus berlari. Ia khawatir kalau riasannya akan luntur karena keringat, ia khawatir kalau ia berlari terlalu cepat maka ia akan terjatuh dan merusak pakaiannya yang dikenakannya, ia khawatir kalau rambut palsu yang dikenakannya akan jatuh... Ia berlari sambil memegangi kepalanya dengan satu tangan untuk menjaga agar rambut palsunya tidak terjatuh saat ia berlari. Ia lelah dan berantakan tapi ia tidak mengeluh sama sekali.
Tidak ada waktu untuk mengeluh.
-0-
"Ceritakan tentang mimpimu."
"Aku ingin jatuh cinta pada seorang pemuda tampan, menikah dengannya dan hidup bahagia selamanya bersamanya… Hei... Nii-chan jangan tertawa!"
-o-
Gadis itu memasuki sebuah bangunan apartemen tua. Ia berjengit saat sadar bahwa tidak ada lift di apartemen itu. Ia pun bergegas mencari tangga terdekat. Lantai tiga, pikirnya mengingat-ingat tujuannya, lantai tiga.
Akhirnya sampai juga.
Ia tidak mau repot-repot mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum mulai mengetuk pintu di hadapannya sekuat tenaga. Ia tidak marah sama sekali, dia hanya panik.
Dimana dia?
Ia terus memukuli pintu tidak bersalah itu sekuat tenaga.
Dimana dia? Oh jangan bilang dia masih tidur!
-o-
Seseorang mengetuk pintunya-lebih tepatnya menggedor pintunya tanpa ampun. Ia menggerutu dan membuka mata cokelatnya perlahan. Jam berapa sekarang? Ia menguap dan melihat jam digital yang ada di atas meja di sisi tempat tidurnya. Jam sembilan pagi. Ia mengumpat kesal dan mengerutkan dahinya. Ia baru saja tidur tiga jam yang lalu dan ia tidak ingat kalau ia akan kedatangan tamu hari ini, lalu mengapa seseorang tega membangunkannya dengan cara yang begitu brutal?
Pemuda itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang berwarna oranye dengan malas, orang itu masih menggedor pintu depannya dengan penuh semangat. Ia tidak punya pilihan lain untuk menghentikan semua kebisingan itu kecuali membukakan pintu untuk siapapun orang yang telah membangunkannya itu.
Ia membuka pintu utama apartemennya hanya untuk kembali menutupnya beberapa detik kemudian. Pemuda itu mengerjapkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan dirinya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ini pasti mimpi. Yang benar saja...
Ia baru saja akan berteriak memanggil namanya ketika seorang pemuda membukakan pintu untuknya. Pemuda itu bertubuh tinggi dan berambut oranye, wajahnya terlihat lelah seolah ia baru saja terbangun dari tidurnya. Mereka saling berhadapan dan menatap satu sama lain sebelum beberapa detik kemudian pemuda itu menutup pintu itu tepat di depan muka gadis itu.
Gadis itu baru tersadar akan apa yang terjadi beberapa detik kemudian dan kembali menggedor pintu itu sekuat tenaga. Bagaimana bisa seseorang tega berbuat seperti itu padanya setelah apa yang dilakukannya untuk mencapai tempat ini?
Beberapa detik kemudian pintu itu terbuka lagi menampakkan pemuda yang sama dengan yang membanting pintu tersebut sebelumnya. Pemuda itu tampak bingung dan terkejut. Bagaimana pun kali ini ia tidak akan membiarkan pemuda itu menutup pintu itu lagi jadi sebelum ia sempat membanting pintu itu di depan wajahnya lagi, gadis itu pun segera menyelinap masuk ke dalam ruangan itu. Pemuda itu tidak dapat melakukan apa-apa untuk menghentikan gadis itu saat ia menyelinap masuk ke dalam rumahnya dan bergegas menuju salah satu kamar di dalam ruangan itu. Ia hanya tercengang tanpa bisa melakukan apa-apa.
Apa-apaan...
Gadis itu tidak menepukan apapun di ruangan itu, ia pun kembali ke ruang tamu, lagi-lagi tidak menemukan apapun yang memuaskan. Ia segera berlari ke dapur kecil yang ada di seberang ruangan hanya untuk sekali lagi kembali ke ruang tamu karena tidak ada apa-apa di dapur. Tidak ada apapun. Ia tidak menemukan apapun.
Mata kelabu miliknya menjelajahi seluruh penjuru ruangan namun gadis itu tidak menemukan apa yang dicarinya.
Itu membuatnya frustasi.
Gadis itu masih bergerilya ke seluruh penjuru ruangan saat pemuda itu akhirnya mendapatkan kembali akal sehatnya. Wajar saja kalau ia sampai tertegun seperti itu, gadis ini memang terlalu... aneh.
Gadis itu mengenakan pakaian tradisional pengantin Jepang, kimono putih yang tebal lengkap dengan mantelnya. Wajahnya dilapisi bedak tebal berwarna putih dan bibirnya dilapisi perwarna merah seperti yang biasa dikenakan geisha. Tampak jelas dari kondisi pakaian yang dikenakannya, ia berlari menuju tempat ini.
Ia menaikkan sebelah alisnya saat ia menyadari bahwa gadis itu juga mengenakan geta. Ini sangat... menarik. Bagaimana ia bisa berlari dengan semua yang ia kenakan itu? Mata pemuda itu tertumpu pada rambut palsu yang dikenakannya. Itu adalah wig tradisional lengkap dengan hiasan rambut yang tampak sangat berat.
Akhirnya ia mendapatkan suaranya kembali.
"Siapa kamu?" ia mencoba untuk tidak terdengar kasar, ia tidak ingin menakuti gadis ini.
Gadis itu berpaling padanya tanpa repot-repot menjawab pertanyaanya, "Mana Grimmjow?"
Tiba-tiba ia tersadar tentang kemungkinan akan apa yang sebenarnya terjadi, "Dia sudah pindah, aku..."
"Apa?" Jeritnya mengejutkan pemuda itu. Pemuda itu hanya bisa mengangguk sementara gadis itu menatap ke dalam mata cokelatnya, mencoba mencari tahu apakah ia berbohong padanya atau tidak. Ketika ia sadar bahwa pemuda itu mengatakan yang sebenarnya ia menjadi panik, "Apa maksudmu dia pindah? Dimana dia? Kau pasti bercanda kan? Dia pasti ada di sini di suatu tempat! Tidak mungkin ia meninggalkanku begitu saja di hari pernikahanku!"
Ia mencoba membuka mulutnya untuk bicara lagi, tapi agaknya ia terlalu terkejut untuk mengatakan sesuatu.
Sekali lagi ia mengelilingi ruangan itu untuk mencari tunangannya.
"Grimmjow! Dimana kamu? Cepat keluar, aku tidak akan marah soal keterlambatanmu!" ia terdengar memohon dan pemuda itu merasa kasihan padanya, "Tolong keluarlah…"
Gadis itu terlihat lelah dan meskipun ia tidak menangis sekarang, ia tahu kalau gadis itu bisa menangis kapan saja. Ia harus melakukan sesuatu.
Ini tidak benar!
"Em, aku kurang paham ada apa ini, tapi Grimmjow sudah pindah sejak seminggu yang lalu."
"Dia tidak bisa meninggalkanku begitu saja! Ngomong-ngomong... kamu siapa?" gadis itu bertanya seolah ia baru sadar kalau sejak tadi pemuda itu berdiri di sana. Ia memiringkan kepalanya dan menatap pemuda berambut oranye itu dengan tatapan polos.
"Uh, aku Kurosaki Ichigo, teman sekamar Grimmjow…" ujarnya berhati-hati, ia menunggu selama beberapa detik sambil mengawasi gadis itu sebelum mengulangi pertanyaannya, "Siapa kau?"
Suaranya tercekat di tenggorokannya namun gadis itu memaksakan diri untuk berbicara, "Inoue Orihime. Tunangan Grimmjow.."
Ia dapat melihat gadis itu menghela nafas saat mengucapkan kata 'tunangan'. Ia bisa mengerti apa yang dirasakan gadis itu saat ini.
Ia menunggu sampai gadis itu melanjutkan kata-katanya.
"Upacara pernikahannya sudah dimulai sejak sejam yang lalu, tapi Grimmjow terlambat. Kupikir tadinya ia masih tidur, aku tahu dia paling susah bangun pagi. Jadi aku kabur dari kuil saat yang lainnya tidak sadar..." ia menatap pemuda itu, mencoba meyakinkan dirinya atas informasi yang baru saja diterimanya, "Apa maksudmu dia sudah pindah?"
Sebelum ia dapat mengatakan apapun gadis itu memotongnya, "Ah, dia pasti hanya ingin mengejutkanku, itu dia! Dia memang penuh kejutan! Dia sekarang pasti sudah ada di kuil, menungguku... Bodohnya aku lari sejauh ini untuk menjemputnya! Rumah baru itu pasti untuk kami berdua, makanya dia pindah! Dia selalu seperti ini, mengejutkanku!"
Gadis itu berbalik hendak meninggalkan ruangan tapi ia mencegahnya.
"Maaf, tapi setahuku Grimmjow pindah ke luar negeri."
Kata-kata itu berhasil menghentikannya. Ia berpaling sekali lagi pada pemuda itu dan tergambar jelas kepanikan di wajahnya yang berlapis bedak tebal itu. Entah mengapa saat melihat ekspresi gadis itu, ia merasa bersalah padanya.
Selama lima menit keduanya tidak bergerak. Udara di ruangan itu terasa berat dan pemuda pemilih ruangan itu merasa hampir putus asa, ia harus melakukan sesuatu.
"Aku akan memeriksa ruangannya, siapa tahu Grimmjow meninggalkan sesuatu untukmu, tunggu di sini, ok!"
Ia berlari menuju salah satu kamar yang tadi telah diperiksa gadis itu. Matanya menjelajahi kamar itu, ia mencoba menemukan sesuatu... apa saja! Ia mengecek di bawah bantal dan kasur, di atas meja, di dalam laci... dan matanya akhirnya tertumpu pada sesuatu. Itu adalah sebuah surat. Ia meraih surat itu dan segera meninggalkan kamar itu.
"Hei, tadi katamu kau Inoue Orihime?"Ia mengangguk.
"Kalau begitu ini untukmu, ini dari Grimmjow..." dia belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika gadis itu merampas amplop itu darinya.
Ia menatap amplop putih di tangannya itu untuk beberapa saat sebelum akhirnya menyodorkannya kembali pada pemuda itu.
"Tolong bacakan untukku."
Ia mengangguk, namun sebelum ia sempat meraih surat itu, gadis itu menarik kembali surat itu.
"M-mungkin sebaiknya kubaca sendiri." Suaranya bergetar saat mengatakannya.
Baru saja ia akan membuka amplop itu ketika akhirnya ia berubah pikiran.
"Uh,tidak, lebih baik kamu yang baca."
Pemuda itu menggerutu kesal saat sekali lagi gadis itu berubah pikiran. Gadis itu menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri yang entah mengapa samar-samar terdengar seperti mantra di telinganya. Dalam waktu beberapa detik saja ia sudah berubah pikiran lagi dn menyerahkan surat itu padanya.
Dengan tidak sabaran pemuda itu merampas amplop itu darinya kalau-kalau ia berubah pikiran lagi.
"Ah, tunggu," katanya gugup, "aku harus menyiapkan diri..." lagi-lagi ia menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri. Ia memejamkan matanya dam menarik nafas dalam-dalam sebelum memberi tanda pada pemuda itu untuk membacakan surat itu.
"Hime-ku tersayang,
"Saat kau membaca surat ini, aku sudah tidak ada di sisimu lagi. Aku sangat menyesal. Aku tahu aku berhutang penjelasan padamu, jadi kali ini aku akan menjelaskannya padamu. Beberapa bulan yang lalu aku bertemu dengan gadis ini dan kami mulai sering pergi bersama. Entah sejak kapan, tahu-tahu saja aku telah jatuh cinta pada gadis ini...
"Maafkan aku, Hime sayang, seharusnya aku mengatakan ini padamu sejak awal, tapi setiap kali aku melihat senyumanmu saat aku bertemu denganmu, atau saat aku mendengar suaramu saat aku menelponmu, aku tidak bisa mengatakannya. Aku tidak pernah bisa mengatakannya secara langsung padamu karena jauh di dasar hatiku aku masih menyimpan perasaan padamu. Tapi aku harus melakukan ini, karena itu aku memutuskan untuk menulis surat ini.
"Aku harap kau mengerti betapa menyesalnya aku, aku masih mencintaimu namun gadis ini membutuhkanku. Gadis ini adalah tipe yang tidak bisa hidup tanpaku, sedangkan kau, Hime, kau adalah jenis wanita yang sanggup hidup ratusan tahun tanpaku. Senyumanmu adalah kekuatan terbesarmu, Hime. Percayalah, kau bisa hidup tanpaku. Karena itulah aku lebih memilih gadis ini dibandingkan dirimu...
"Cobalah untuk memaafkanku. Aku akan selalu mengenang saat-saat bahagia kita. Jaga diri, Tuan Putriku…"
"Cukup!" Tiba-tiba gadis itu menjerit, "Aku tidak sanggup mendengar kelanjutannya!"
"Mm, memang hanya itu..." gumamnya.
Gadis itu menatapanya dengan tatapan tidak percaya dan entah mengapa terlihat sedikit kecewa, "Hanya itu?"
Ia menggigiti bibir bawahnya yang dilapisi lipstik berwarna merah terang. Entah mengapa pemuda itu mendapat kesan kalau gadis dalam balutan baju pengantin itu tengah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Ia mencoba menahan diri untuk tidak bertanya tapi ia tidak bisa menahannya lagi.
"Kau tidak apa-apa?"
Pertanyaan bodoh, yang benar saja…
Ia tidak menjawab.
Pemuda itu menghela nafas, "Nona?"
"Aku bukan kura-kura."
Ia sama sekali tidak menduga akan mendapatkan jawaban seperti itu.
"A-apa?"
Apa hubungannya kura-kura dengan semua ini?
Ia mengerjapkan matanya bingung saat gadis itu menatapnya dengan mata kelabunya yang besar.
"Aku bukan kura-kura," katanya lagi, "Katanya aku bisa bertahan hidup ratusan tahun tanpanya, bagaimana mungkin aku bisa? Aku bukan kura-kura... Hanya kura-kura yang bisa hidup selama itu."
Pemuda bermata cokelat itu tidak tahu harus berkata apa, wanita di hadapannya ini benar-benar berbeda dari siapa pun yang pernah ditemuinya. Keduanya terdiam dan ia tidak bisa berkata apa-apa untuk mencairkan suasana. Ia mengumpat dalam hati, ia tidak pernah menyukai suasana yang canggung seperti ini.
Akhirnya setelah tiga menit tanpa berkata apa-apa, gadis itu mengatakan sesuatu, "Aku rasa sudah saatnya aku kembali," Ia menghela nafas dalam-dalam, "
Ia mencoba untuk membaca raut wajah gadis itu, meskipun itu sangat sulit karena wajahnya dilapisi riasan tebal saat itu.
Gadis itu tengah berjalan lunglai ke arah pintu saat pemuda itu menyadari sesuatu.
"Bagaimana caramu datang kemari?"
Ia terdiam sejenak sebelum menoleh ke arahnya.
"Aku lari." katanya perlahan.
Tentu saja…
Ia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya. Bahkan untuk seseorang sepertinya, semua ini sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. Gadis ini...
"Seberapa jauh kuilnya dari sini?"
Gadis itu berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara kecil, "Aku tidak tahu," jawabnya jujur, "Mungkin sekitar sepuluh atau lima belas kilometer..."
Pemuda bertubuh tinggi itu ternganga mendengarnya. Ini gila, batinnya. Ia tidak tahu berapa kali ia harus meyakinkan dirinya sendiri namun ia tahu semua ini benar-benar gila.
"Dan kau berlari sejauh itu? Dengan semua yang kau kenakan sekarang ini?"
Ia mengangguk. Gadis itu tidak tahu kemana arah pembicaraan ini. Ia mengangguk sekali lagi saat sang tuan rumah memintanya untuk menunggu sebentar. Ia bergegas memasuki kamar tidurnya sebelum kembali sesaat kemudian. Ia menghampiri gadis itu dengan uang di tangannya.
"Ini," ia menyerahkan uang itu pada gadis yang tampak kebingungan itu, "Pakai uang ini untuk membayar taksi. Tidak mungkin kau kembali ke kuil dengan berlari." Ia mengerutkan dahinya, masih tidak habis pikir bagaimana mungkin gadis itu dapat berlari sejauh itu dengan semua perlengkapan yang dikenakannya itu.
Gadis itu menatap uang yang kini ada di genggamannya itu sebelum kembali berpaling pada pemuda itu, "Kau yakin?"
Ia mengangguk.
Ia membasahi bibirnya yang mendadak kering dengan canggung, "Terima kasih. Aku akan mengembalikannya segera, Kurosagi-san…"
Pemuda itu menggelengkan kepalanya, "Tidak perlu," lalu ia mengerutkan dahinya,"dan namaku Kurosaki, nona…Kurosaki Ichigo."
Gadis itu hanya tertawa pahit sebelum akhirnya menunduk tanda terima kasih dan berjalan menuju pintu.
-o-
"Ketika kau memutuskan untuk menikahi seseorang, maka pastikan ia akan mencintai dan menjagamu!"
"Tentu saja Nii-chan…"
Tapi ia selalu jatuh cinta pada orang yang salah...
Author's note:
terjemahan dari : "LOVE STORY"
