Disclaimer: Kuroshitsuji © Toboso Yana-sensei. Kalau punya saya, akan saya buat lebih parah dibandingkan Junjou Romantica #PLAK
Warning: AU. OOC. OC bertebaran sana-sini. Lagi-lagi, Fem!Ciel terdeteksi. Rada-rada lebay dikit gitchu dech *author mengalaykan diri *digorok readersnya
Yang pasti, intinya: Don't like don't read, dear.
Title: Loving Each Other (Iya, iya. Emang nggak cocok sama ceritanya.)
Pair: Sebastian x Fem!Ciel
Genre: basic, Romance. Tapi ada empat unsur genre: Romance-Comedy-Drama-Tragedy(akibat Jessica Ng ituloh.:P). Jadi? ;)
Rate: T. Mana ada anak dibawah 9 tahun baca fic romance. Kecuali saya, waktu umur 7 tahun 10 bulan udah nonton shounen-ai… *garukgaruk aspal
Summary: "Aku dan Vincent akan amat senang jika kalian benar-benar berhubungan hingga tingkat lanjut."
*u*
Loving Each Other, Chapter 1.
"Kau … maukah kau menjadi kekasihku?" tanya laki-laki yang lebih tua itu kepada gadis di depannya.
"Umur kita sudah berbeda jauh … memangnya kita bisa?" tanya gadis itu balik dengan lugu.
"Hk—" Laki-laki itu mencoba menahan tawanya. "Demi Moore dan suaminya berbeda 20 tahun. Kita hanya berbeda sekitar … 2 tahun. Mengapa harus ragu?" Laki-laki itu mengecup kening gadis di depannya.
"Jika itu tanggapanmu, aku mau," jawab gadis itu pada akhirnya. Ia menatap wajah laki-laki berambut hitam harajuku itu dengan mantap. Bibir tipisnya membuat lengkungan senyum.
"Terima kasih, Ciel …," bisik laki-laki itu seraya memeluk tubuh ringkih itu dengan rasa sayang.
*u*
Kabar berhembus cepat. Desas-desus hubungan antara Ciel Phantomhive, murid SMP Lensington dan Sebastian Michaelis, murid SMA Lensington makin menghangat saja. Di sisi lain, banyak siswa yang tidak percaya primadona Lensington itu lebih memilih siswa yang jauh lebih tua dibandingkan dirinya. Sementara siswi Lensington hanya tidak terima. Laki-laki yang amat sangat sempurna itu, memilih bersama gadis SMP yang sama sekali—menurut mereka—jauh kalah dengan mereka.
Banyak yang cemburu dan ingin membunuh keduanya. Sebastian menjadi incaran para siswa Lensington sementara Ciel menjadi incaran siswi Lensington. Mereka terlalu sempurna untuk … bersama.
Dan mungkin, jika ada satu saja murid Lensington yang melihat mereka saat ini, tak segan-segan mereka akan masuk majalah mingguan sekolah dan jantung mereka akan kehilangan darah secepatnya.
"Aku bosan berdebat dengan otak dingin terus menerus, Sebastian …," keluh Ciel seraya menjatuhkan kepalanya ke bahu Sebastian.
"Aku juga … banyak yang menerorku. Tapi aku—" Sebastian berhenti berbicara saat Ciel menaruh jari telunjuknya ke bibir Sebastian. "Terlanjur sayang kepadaku," lanjut Ciel sambil mencium pipi Sebastian perlahan.
"Argh! Sialan. Tertebakkah?" tanya Sebastian.
"Sangat. Dari wajahmu terlihat jelas kau akan mengatakan hal itu," jawab Ciel sembari tersenyum kecil. "Ingatlah, ayahku ini menginterogasi orang dengan melihat mimik wajahnya, dan cara itu turun kepadaku."
"Sial juga memiliki pacar sepertimu." Sebastian mengeluh. Ciel mengangkat kepalanya dan melotot ke arah Sebastian.
"Apakah aku tidak salah dengar?" tanya Ciel sinis.
"Eeh? Iya, sial. Ayahmu agen penginterogasi FBI, sangat mudah melihat mimik wajah seseorang." Sebastian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ciel makin melotot ke arah Sebastian. Ia menyikut pinggang Sebastian keras.
"Aw!" teriak Sebastian seraya meringis kesakitan.
"Bayaran atas kata-katamu," ucap Ciel sambil mendengus. Namun tak lama kemudian, ia tertawa.
"Sekonyolkah wajahku hingga membuatmu tertawa, hm, sayang?" tanya Sebastian.
"Hmm, bisa dikatakan begitu." Ciel masih tertawa. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium lagi pipi Sebastian.
"Sebentar lagi malam," ujar Sebastian sembari melihat arloji yang melingkar di tangan kanannya. "Mau makan malam?" tanya Sebastian sambil menatap Ciel.
"Hm, boleh saja," jawab Ciel seraya meraih ponselnya. "Well, kau sadar tidak …." Ciel menggantungkan kata-katanya.
"Apa?" tanya Sebastian. Ia mengkerutkan dahinya.
"Aku pernah meng-capture wajahmu saat kamu sedang tidur, di bus pulang dari Oklahoma," Ciel menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan wajah pucat Sebastian yang terlelap.
"Heeei!" amuk Sebastian. Ia mencubit-cubit pipi Ciel. Sementara gadis yang dicubit pipinya hanya mengaduh-aduh sambil tertawa.
"Aaah! Pantas saja aku sempat merasa ada yang memotretku! Aaaaah!" Sebastian tetap mengamuk. Ia melepaskan cubitannya dan melipat tangannya di dadanya.
"Setidaknya, aku memiliki wajah paling konyolmu di ponselku, Sa-yang!" canda Ciel sambil menyelipkan badannya ke tengah-tengah tangan dan tubuh Sebastian, dan melingkarkan tangannya.
"Ah, ya sudahlah, tak apa." Sebastian mengelus-elus pelipis Ciel dan rambut panjangnya.
"Badanmu hangat …," bisik Ciel, "enak …," lanjutnya lagi sambil memejamkan matanya. Tak lama kemudian ia mengembalikan posisinya seperti semula dan bertanya, "Kita makan di mana jadinya?"
"Terserah," kata Sebastian.
"Erm, aku tak tahu di mana tempat makan yang cocok untuk seleraku dan seleramu," jawab Ciel. "Jadi, kau pilih."
"Hmm … bagaimana kalau di rumahku?" tawar Sebastian.
"Eeeh? Bertemu orangtuamu? Haaah?" Ciel membulatkan mata dan mulutnya. "Aku sedang hancur! Malu!" tolaknya.
"Kau tidak pernah hancur. Kau hanya … agak berantakan. Jujur saja, kau memang seringkali berantakan," kata Sebastian. "Toh wajahmu tetap cantik, kok."
Tiba-tiba saja, dari ponsel Ciel mengalun Let My Love Open the Door-nya Sondre Lerche. Telepon.
"Tunggu sebentar," katanya seraya meraih ponselnya dari saku celananya. "Phantomhive."
"Em, Ciel, kau ada di mana?" tanya suara berat dari sana. Vincent Phantomhive.
"Ayah!" serunya girang. "Aku sedang ada di taman dekat sekolah," jawabnya.
"Bisa kau jauhi tempat itu?" pinta Vincent.
"Baiklah. Kami juga akan pergi kok, Ayah."
"'Kami'?"
"Sebastian, Ayah. Putra dari Jennifer Michaelis."
"Oh, baiklah. Cepatlah pergi dari daerah situ." Dan, tep. Konservasi selesai.
"Ayahku bilang kita harus cepat-cepat pergi dari daerah sini. Jadi, ayo," ajak Ciel seraya menarik tangan Sebastian.
"Ke rumahku?" tanya Sebastian.
"Mana saja!" seru Ciel. Ini memang masih agak terang, namun dalam keredupan sore ini, pembunuh jalanan pasti tak segan-segan membunuh mereka.
*u*
"Aku datang!" seru Sebastian seraya membuka pintu rumahnya.
"Welcome home, Son!" sahut Jennifer Michaelis. "Ah, ada putri Vincent juga ternyata."
"Ha-hai, Agen Michaelis …," jawab Ciel canggung.
"Tidak perlu begitu formal jika privat seperti ini, Ciel. Cukup 'Jennifer' saja," kata Jennifer seraya mendekati mereka berdua. "Jadi, kalian ke sini karena Vincent berkata jangan berada di taman dekat sekolah kalian, hm?"
"Eh? Bagaimana … Agen Michaelis tahu?" tanya Ciel.
"Jennifer, Ciel. Jen-ni-fer," eja Jennifer.
"…Bagaimana Jennifer tahu?" tanya Ciel ulang.
"Hmm, tadi Vincent menelepon," jawab Jennifer sambil mempersilahkan keduanya duduk.
"Omong-omong, kalian belum makan malam, kan?" tanya Jennifer yang berjalan ke arah dapur.
"Belum," jawab Sebastian. "Aku memang sengaja membawanya ke sini untuk menumpang makan malam di rumah kita, Ibu."
"Eh? Baguslah … Ibu juga memang berencana membuat kari ayam kesukaanmu*)," kata Jennifer seraya beranjak ke dapur.
"Erm, tidak usah repot …," tolak Ciel halus.
"Aku tidak repot, kok. Aku juga terbiasa dilayani batas akhir oleh ayahmu, bahkan akibat hubungan mitra kami, aku di rumah sakitpun ia tetap menunggu. Yah, kau harus bangga dengan Vincent, Sayang." Jennifer berkata
"Err, dia memang Ayah yang protektif kepada keluarganya, sih …," sahut Ciel seraya menggigit bibir bawahnya.
"Setidaknya, Ayah masih lebih baik, kan, Ibu?" tanya Sebastian.
"Well, ya. Arthur memang lebih baik," jawab Jennifer yang tetap berkutat dengan masakannya.
"Oh ya, Ciel, Sebastian," panggil Jennifer. "Aku dengar kalian berpacaran," kata Jennifer. "Itu benar?" lanjutnya dengan pertanyaan.
Bagi kedua orang yang sedang duduk di sofa hitam itu, lontaran kata dari bibir Jennifer Michaelis barusan adalah pertanyaan retoris yang sangat tidak ingin mereka bahas.
"Well … Ibu," jawab Sebastian. Ia menelan ludahnya sejenak. "Kami memang. Ya, kami memang. Berpacaran," lanjutnya. Iris merahnya mulai membuat guratan aku-tidak-suka-keadaan-ini.
"Tenang saja, Sebastian. Ibu tidak akan marah," ucap Jennifer tenang. "Aku dan Vincent akan amat senang jika kalian benar-benar berhubungan hingga tingkat lanjut."
"Maksud Agen Michaelis, menikah?" tanya Ciel.
"Yap, itu maksudku." Jennifer menjawab mantap.
Keadaan hening seketika. Tak ada suara selain desahan napas tiga manusia di dalam ruangan ini sebelum pintu utama dibuka.
"Ah, ada putri Vincent juga," kata Arthur Michaelis sembari menutup pintu di belakangnya.
"Kau datang tepat waktu, sayang," ucap Jennifer seraya mendekati Arthur dan mengecup bibirnya sejenak.
"Ya, sekalian aku tahu siapa yang tengah digosipkan dengan anakku di majalah People," Arthur melirik ke arah Sebastian.
"…Gosip. Mengenai. Kami. Ada. Di. Majalah. People? FATHER!" seru Sebastian kesal. Ciel yang duduk di sebelahnya hanya diam. Pedulilah dia dengan apapun. Toh sampai kapanpun jika ia tetap bersama Sebastian, akan banyak paparazzi muncul mengejar mereka—dan itu hanya karena pamor Sebastian sebagai violinist dan pianist ternama.
"Sudahlah," timpal Ciel singkat. "Bersama siapapun kau, walau bukan denganku, paparazzi akan mengejarmu. Camkan itu, Michaelis Sebastian."
"Ta-tapi ...," elak Sebastian.
"Camkan apa yang kukatakan tadi, sayang," ulang Ciel.
"Sudaaah, berhenti bertengkar, pasangan baru. Makan saja sana. Sudah selesai," lerai Jennifer.
Ciel mendengus kesal. Kenapa aku mau-maunya menerimanya?
*u*
Vincent masih sibuk-sibuknya membuka arsip kejahatan Jessica Ng dalam kurun 10 tahun di daerah sekitar New York City, Las Vegas, dan Washington D.C..
"Agen Phantomhive," panggil Agen Dev. "Spencer tadi menelepon."
"Apa katanya?" sahut Vincent tanpa mengalihkan pandangannya dari arsip-arsip Jessica Ng itu.
"Ciri-ciri pembunuhan a la Jessica," jelas Dev. "Ia mengincar laki-laki yang asli atau keturunan Inggris. Kau harus berhati-hati, Agen Phantomhive."
"Erm …." Vincent tetap berkutat dalam arsipnya dan melihat-lihat nama belakang para korban Jessica Ng. Betul juga. Morgan … Pendragon … Constant … Michaelis …
Tunggu, Michaelis?
"Dev, pinjam ponselmu sebentar," kata Vincent.
"Untuk apa?" tanya Dev seraya menyerahkan ponselnya.
"Sudahlah, akan kuceritakan nanti."
*u*
"Agen Michaelis."
"Jennifer, bisa tolong hubungkan ke Arthur?"
"Ada apa?"
"Dalam arsip pembunuhan Jessica Ng."
"Ya?"
"Michaelis pernah menjadi korbannya di tahun 2001."
"Sebentar."
"…."
"Arthur Michaelis."
"Arthur, kau memiliki famili bernama … William Michaelis?"
"Ya, dia sudah meninggal di tahun 2001 karena tusukan di jantungnya."
"Aku tahu pembunuhnya."
"Hah?"
"Jessica Ng."
"Jessica Ng … err, seingatku Jessica adalah teman SD William di Manhattan Elementary."
"Kalau begitu, berhati-hatilah. Jaga dirimu dan Sebastian. Korban Jessica Ng seluruhnya adalah laki-laki asli atau keturunan Inggris—seperti kita berdua."
*u*
"Sebastian, kau bisa jaga dirimu dan Ciel, kan?" tanya Arthur setelah menyelesaikan pembicaraan di ponsel istrinya itu.
"Tentu saja, Ayah. Ada apa?" tanya Sebastian.
"Pembunuh William, pamanmu, dikenali sebagai Jessica Ng dan ia mengincar laki-laki asli atau keturunan Inggris. Walaupun hanya laki-laki selama ini, Ciel bisa juga jadi incaran." Arthur menjelaskan setelah menyeruput kopinya.
"Akan, Ayah. Aku akan menjaga diriku sendiri dan Ciel." Sebastian menjawab sambil merangkul Ciel.
"Setidaknya, aku memiliki izin memiliki senjata. Aku tidak perlu dijaga oleh Sebastian sebegitu ketat, dr. Michaelis," kata Ciel seraya menepuk-nepuk kakinya.
"Senjata tidak cukup. Jessie Ng melakukannya amat singkat," kata Jennifer. "Layaknya pembunuh kompas di NYC*)), ia secara singkat menghabisi korbannya."
"Dia punya riwayat kebrutalan juga, sih," kata Sebastian sambil menunjuk-nunjuk Ciel dengan telunjuknya, "Kevin Ashley pernah ia tampar hingga tidak bisa bangun selama satu hari penuh."
"…Vincent must be very proud of you, Ciel …," kata kedua orangtua Sebastian sambil bergidik.
"Tidak juga."
*u*
Wanita pirang berumur 30 tahunan itu masih saja bercakap-cakap dengan Prof. Dr. Grell Sutcliff, seorang doktor laki-laki yang bekerja menjadi dosen di Angelique University, Las Vegas, Nevada. Mata kuning kehijauan sang doktor itu beradu dengan mata cokelat jernih wanita di depannya tanpa melepaskan sejengkalpun gerak-gerik irisnya.
Wajah cantik Grell tidak henti-hentinya mengeluarkan aura tersenyum. Rambut merah panjangnya yang dibiarkan tergerai agak berkibar akibat hembusan angin. Gugurnya daun-daun dari pohon maple yang menghalangi sinar bulan bagi mereka berdua makin membuat wajah laki-laki itu makin cantik.
Ia sadar kalau dekan Angelique University, William T. Spears, mengikutinya. Namun entah dengan apa dekan itu meninggalkan kedua manusia di taman kampus. Wanita pirang berketurunan Singapura itu masih sibuk saja berbicara dengan Grell tanpa menghentikan sedetikpun gerak bibirnya.
Suara tawa menggelegar dari taman itu, menandakan keduanya sedang tertawa keras. Asrama Angelique pun menjadi ricuh karena mendengar tawa melengking dari dosen jurusan forensik dan seorang wanita Asia itu.
"Ha-ha-ha! Lucu sekali, Sica. Jadi, siapa korbanmu sekarang?"
*u*
Mobil-mobil beradu padu dalam kemacetan kota Washington. Juga dengan mobil Arthur Michaelis yang digunakan untuk mengantar Ciel pulang.
"Aku bilang juga apa, dr. Michaelis … aku tidak perlu diantar, kok," kata Ciel.
"Justru harus. Jessica Ng bisa saja ada di mana-mana, Ciel," sahut Arthur.
"Tapi melihat jalanan sini ramai … apakah itu tidak apa-apa?" tanya Ciel.
"Tentu saja," jawab Sebastian yang duduk di sebelah Ciel sambil merapatkan Ciel ke rangkulannya.
"Hhh …." Ciel mendesah keras. Rumahnya yang dekat kantor FBI—atau dalam kata lain, di tengah-tengah kota Washington—membuatnya harus berkutat dengan kemacetan.
Tiba-tiba ponsel Ciel berbunyi. Lagi-lagi, telepon.
"Ciel, kau ada di mana sekarang?" tanya wanita di ujung sana.
"Di mobil, arah rumah. Ada apa memangnya, Ibu?" tanya Ciel balik.
"Ah …," ucap lega Ibunya terdengar jelas dari ponsel Ciel. "Tidak ada apa-apa. Ibu hanya bingung kenapa sampai pukul ini kau belum pulang. Em, kau memangnya diantar siapa?"
"dr. Arthur Michaelis. Itu … kepala dokter yang bekerja di St. Aloysius Hospital Centre Washington."
"Fuh. Baguslah. Em, cepatlah pulang, ya, Sayang."
"Haaaah. Hanya bertanya 'Kau ada di mana' saja," kesal Ciel.
"Setidaknya Rachel masih perhatian denganmu, Ciel," timpal Arthur yang membelokkan mobilnya.
"Haaaaaaaaaaah," desah Ciel.
"Sampai. Silahkan turun," kata Arthur.
Sebastian—yang juga ikut turun untuk mengantar Ciel—mengetuk pintu kediaman Phantomhive pelan.
"Ya—ah, Ciel. Akhirnya kau pulang," kata Rachel Phantomhive yang berdiri di ambang pintu.
"Ciel!" seru seorang anak perempuan sebaya Ciel yang berlari ke arah Ciel dan memeluknya. Sebastian yang berdiri tidak jauh dari Ciel dan Rachel tersenyum lebar. Ia masih ingat saat ia selalu—ya, selalu—dekat dengan sepupunya, Ash Landers dan Claude Faustus.
"Masuk saja, Sebastian. Tidak apa-apa," kata Rachel.
"Terima kasih, Dr. Phantomhive. Tidak usah, kami akan segera pulang. Jalanan sangat ramai tadi. Saya pergi dulu. Malam," ujar Sebastian seraya tersenyum ke arah wanita berambut brunette itu dan kembali ke arah mobil sedan hitam milik ayahnya.
*u*
To Be Continued to Loving Each Other Chapter 2
*u*
*) Anggaplah Sebastian memfavoritkan kari ayam. Kasihan, kan, kalau dia dibuat suka terus sama yang namanya Zhe Mhur Jheng Kuol dan Peh Tek Rem Bus.
*)) Silahkan tonton C.S.I.: New York. Author lupa season berapanya tapi kalau gak salah judul episodenya itu Compass Killer
*u*
Hai. Yak, kalian bertemu lagi dengan author bernama Arleena Lauren ini. Saya akhirnya memutuskan untuk membuat fic multi-chaptered ber-genre Romance yang ber-basic pada: White Collar, Criminal Minds, C.S.I.: Crime Scene Investigation, C.S.I.: New York, C.S.I.: Miami, Lie to Me, dan Bones.
Tapi—tidak untuk komedi romansanya. Kedua genre itu saya ambil setengahnya dari Bones dan setengahnya lagi dari ... udah, ah. Jangan kasih tau, aku malu~ aku malu~ *eh ini author malah nyanyi *disembelih
Uuh~ Udah ah, sebelum author mati …
Silahkan mereview, fave, atau flame. :3
