Chapter 1 : Maze

"Putri Bellona, misimu yang sebenarnya belumlah dimulai. Aku menunggu kedatanganmu, Pahlawan Muda."

"Siapa kau? Misi apa?"

"Bantu mereka keluar, dan mereka akan membantumu. Tak lama lagi ingatanmu akan kembali."

"Apa maksudmu?"

"Hati-hatilah, Reyna. Tempat bermain Daedalus selalu penuh kejutan."


PJO and HOO belongs to Rick Riordan

The Maze Runner Trilogy belongs to James Dashner

.

.

Warning(s) : OOC, author newbie, maybe typo(s), dll, dst, dsb..

Enjoy ^^


Reyna tidak tahu apa yang terjadi. Sekejap setelah ia membuka mata, ia sudah berada di tempat asing ini. Terbangun dalam keadaan sekeliling dihalangi oleh dinding-dinding yang tinggi menjulang, beberapa bagian ditumbuhi oleh tanaman rambat yang sulurnya begitu lebat.

Ia merasa baru terbangun dari tidur panjang. Berapa lama dia tidak sadar? Reyna tidak bisa mengingat bagaimana dia bisa berakhir di tempat ini, atau apapun. Satu-satunya hal yang bisa diingatnya adalah mimpinya. Mimpi yang hanya berupa suara lembut seorang wanita yang mengatakan tentang misi.

Mengerjapkan matanya, gadis itu terduduk sambil memegangi kepalanya yang terasa pening karena gerakan yang tiba-tiba. Setelah kesadarannya kembali, barulah ia memperhatikan sekeliling dengan seksama. Tidak ada apa-apa selain dinding-dinding tinggi yang membentuk lorong, dan langit biru dengan gumpalan awan tipis.

Reyna mengecek barang-barang yang terdampar di tempat ini bersamanya. Pakaiannya tampak baik-baik saja, hanya sedikit bernoda debu. Ia menggunakan kaos ungu bertuliskan SPQR yang ia tidak tahu maksudnya, celana jeans, dan sepasang sneakers. Belati panjang berwarna emas tersimpan manis di pinggangnya. Di sebelahnya teronggok sebuah tas ransel berisi sepasang baju ganti, botol air dan makanan ringan. Ia juga menemukan sebuah termos penuh cairan berwarna merah bening seperti sari apel dan beberapa plastik zip-lock berisi makanan yang tampak seperti biskuit.

Nektar dan ambrosia. Reyna tidak tahu darimana pemikiran itu datang, tapi ia yakin itu sebutannya.

Reyna mulai melangkahkan kakinya menyusuri koridor-koridor bercabang, yang ia duga sejenis labirin, mencoba mencari jalan keluar dari tempat ini. Matahari semakin condong ke barat dan ia tak mau mengambil resiko mengelilingi labirin ini dalam gelap. Ditambah, firasatnya mengatakan tempat ini berbahaya saat malam.

Tiap kali Reyna bertemu persimpangan, ia menggeretu karena tidak tahu jalan mana yang harus diambilnya, akhirnya ia melewati secara asal tiap jalan bercabang yang ditemuinya berdasarkan insting. Satu-satunya petunjuk arah yang bisa ia gunakan adalah matahari. Ia hanya bisa berharap semoga ia tidak berputar-putar dan malah semakin jauh masuk ke labirin. Reyna tidak tahu sudah berapa lama dia berjalan, namun kakinya letih juga untuk terus melangkah.

Baru saja ia akan beristirahat sejenak ketika telinganya menangkap bunyi keras di kejauhan, seperti sesuatu yang berat sedang bergesekan, membuat tanah yang dipijaknya sedikit bergetar. Reyna menajamkan indranya, memacu langkah menuju sumber suara. Dia berlari semakin cepat saat bunyi itu berakhir dengan debuman keras, tepat sebelum dia melewati belokan terakhir dan sadar bahwa dia terlambat.

Langkahnya memelan, beberapa meter di depannya, dinding yang diduganya semula adalah pintu labirin telah menutup dan secara otomatis menjadi jalan buntu. Jika asumsinya benar, ia sudah sangat dekat dengan jalan keluar.

'Bagaimana sebenarnya cara kerja labirin ini?' Reyna bertanya-tanya.

"Kerja bagus, Greenie. Kau baru saja bunuh diri." Sebuah suara terdengar dari dekat pintu labirin yang menutup. Suara laki-laki.

Alis Reyna terangkat. Mungkin seseorang di dekat pintu itu bisa ia mintai tolong. Sesaat tadi Reyna mengira laki-laki itu bicara padanya, tapi setelah ia melihat lebih dekat barulah ia sadar ada dua laki-laki lain bersamanya. Salah satunya tampak tidak sadarkan diri terbaring di lantai.

Reyna mengamati mereka. Ketiga orang itu tampak masih remaja, mungkin tak jauh berbeda dari umurnya. Pakaian mereka tampak lusuh, wajah dan tubuh mereka bercoreng debu dan kotoran.

Reyna perlahan mendekati ketiga pemuda itu dan berkata, "Permisi, bisa aku―"

"Whoah!" Dua pemuda terperanjat kaget begitu menyadari keberadaan Reyna. Mereka mematung, memandang Reyna seolah-olah dia adalah hantu.

"Umm, maaf mengagetkan kalian, tapi aku ingin menanyakan jalan keluar dari tempat ini… kalian mendengarku?" tanya Reyna yang bingung dengan reaksi dua orang asing di hadapannya.

"Siapa kau?" laki-laki berambut coklat tua menatap Reyna dengan pandangan menyelidik. Dia memakai kaos biru polos lengan panjang, celana kargo abu-abu gelap, dan sepasang sepatu hitam bertali.

Reyna ragu sejenak. Ia merasa tidak sopan jika tidak memperkenalkan diri terlebih dulu. "Aku Reyna."

Laki-laki berambut coklat tua itu beradu pandang dengan kawannya. "Apa dia datang bersamamu, Minho?"

"Yang benar saja, shuck-face. Aku bahkan baru melihatnya." Laki-laki satunya, yang berambut hitam berantakan dan wajah oriental, memutar bola mata. Dia memakai kemeja biru pudar yang lengannya digulung sampai atas siku, memperlihatkan sedikit otot bisepnya, dengan celana kargo dan sepatu boot yang sama lusuhnya, menandakan terlalu sering dipakai. Dipunggungnya terpasang ransel kecil dengan tali yang melingkari pundak dan dadanya.

Setelah beberapa saat Reyna berdeham. "Jadi, bisa beritahu aku bagaimana caranya keluar dari sini?"

Laki-laki yang bernama Thomas kembali mengarahkan pandangannya pada Reyna. Tatapannya sulit dibaca. "Umm.. Kurasa kita harus menunggu sampai pintu labirin kembali terbuka," katanya ragu-ragu sambil melirik pemuda di sampingnya.

"Yeah, dan itu artinya kita baru bisa keluar besok pagi, dengan asumsi kita masih hidup," jawab Minho cepat. Wajahnya tampak begitu letih, seakan-akan dia habis berlari sepanjang hari. "Bagaimana kau bisa ada di dalam sini?" tanya pemuda itu kemudian.

"Entahlah, tiba-tiba saja aku di sini. Sepertinya ingatanku bermasalah karena aku tidak bisa mengingat apa-apa."

Kedua laki-laki itu terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Perhatian Reyna kemudian tertuju pada seorang laki-laki berkulit gelap yang tergeletak tak sadarkan diri di belakang mereka. Kaos putih polosnya kotor dan terdapat luka di dahinya.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Reyna sambil menunjuk laki-laki berkulit gelap itu.

Pemuda berambut hitam, Minho, menjawab, "Tersengat. Aku terpaksa membuatnya pingsan." Menyadari tatapan bertanya gadis misterius di depannya ia menambahkan, "Dia tersengat Griever, monster yang berkeliaran di sini. Kau tidak akan ingin tahu apa yang dilakukannya jika dia sadar."

Reyna baru akan bertanya lagi ketika ia mendengar sebuah suara. Kali ini suaranya berbeda dengan suara pintu labirin yang menutup. Terdengar seperti tongkat besi yang diketuk dan sedikit diseret pada permukaan keras nan kasar. "Apa itu?"

"Makhluk yang sedang kita bicarakan," Minho mendesis.

"Kita harus membawa Alby ke tempat yang aman. Minho, bantu aku!" ucap Thomas. Ia segera menghampiri tubuh besar berkulit gelap itu dan berusaha membopongnya dengan sempoyongan.

Minho tampak berpikir keras. Reyna menebak ia sedang memilih di antara dua pilihan : menolong Thomas untuk mengevakuasi Alby dengan resiko bertemu Griever, atau melarikan diri dan mencari tempat aman dengan asumsi ada tempat aman di dalam labirin. Namun akhirnya pemuda berparas oriental itu memilih menolong Thomas, meski dengan berat hati.

Dua laki-laki itu segera berlari sambil membawa teman mereka dengan susah payah. "Hei, kau. Cepat ikut kami!" seru Thomas pada Reyna.

Mereka bertiga berlari dengan Reyna di belakang. Minho menuntun mereka melewati dinding-dinding labirin, langkahnya penuh keyakinan seolah-olah dia hapal setiap belokan. Mereka terus berlari dengan beban tubuh Alby di pundak Minho dan Thomas. Sesekali Reyna membantu membetulkan posisi Alby agar tidak terlalu menghambat dua pemuda yang sedang membopongnya.

Mereka berhenti untuk mengambil nafas di salah satu sisi dinding labirin. Cahaya bulan menerangi wajah berkeringat mereka. Mereka baru akan bernafas lega ketika ada sebuah suara mendekat. Reyna bisa merasakan hawa tegang dan ketakutan dari dua pemuda yang baru dikenalnya, yang juga mulai merambati hatinya.

Secara instingtif tangan Reyna meraih belatinya, bersiap mengeluarkannya dan menggunakannya untuk melawan makhluk bernama Griever itu jika keadaan memburuk. Insting bertarungnya aktif, bisa ia rasakan makhluk itu mendekati tempat mereka berdiri saat ini.

Perlahan nampaklah sesosok monster berbentuk seperti laba-laba raksasa― yang kemudian Reyna sadari bahwa makhluk itu lebih mirip kalajengking dengan ekor sengatnya. Kaki-kakinya tinggi mengkilap, kepalanya bulat seperti bola raksasa, dan mulutnya yang mengerikan penuh gigi-gigi tajam meneteskan air liur menjijikan. Kaki-kakinya seperti automaton, terbuat dari mesin. Namun Reyna yakin tubuh dan kepalanya bukan dari logam.

"Oh, shuck!" Minho mengumpat pelan. Pemuda itu bersiap melarikan diri saat Griever melangkah semakin dekat dan mulai menggeram. Namun ia membatalkan niatnya ketika melihat Reyna berlari menyerbu monster itu. "Hey, apa yang―"


-TBC-


A/N :

Debut fanfic adventure pertamaku, fyuuhh~ berawal dari baca-baca fanfic tentang gimana kalau ada cewek selain Teresa yang datang ke Glade, lahirlah cerita ini. Dikarenakan saya ini terkena virus crossover, jadi kepikiran untuk mengambil Reyna sebagai karakter perempuannya. Ave Praetor, Super Perfect Queen Reyna!

Anyway, let me know what you think. Semua kritik dan saran saya terima ^^