The Godfather Waltz

By: Ietsuna G. Ventisette

G27

Cast: Giotto (Ieyasu Sawada); Tsunayoshi Sawada; Lambo

Rated: T

Genre: Drama, Family

Katekyo Hitman Reborn!

©Akira AmanoAmano


[!]

OOC

Yaoi

•••


Angin sejuk di pagi hari berembus menerpa surai cokelat dari sang Don Vongola. Hari yang cocok untuk sedikit berjalan-jalan di pagi hari. Ia memutuskan untuk pergi ke kota barang sebentar. Ia ingin menghirup udara segar di sana.

Dengan ditemani salah satu keluarganya, Sawada Tsunayoshi duduk di bangku belakang mobilnya yang sebelumnya telah disiapkan. Mobil melaju melewati sebuah air mancur yang berada di pelataran rumahnya. Hingga keluar dari gerbang kediamannya.

Toko-toko tradisional yang berjajar di tepi kota mulai terlihat. Cukup ramai didatangi oleh para pembeli. Terutama para ibu rumah tangga yang menginginkan bahan-bahan yang masih segar. Terlihat damai sekali kota ini.

Ketika melihat sebuah toko yang menjajakan buah-buahan segar, Ia meminta pada orang yang tengah mengemudi agar berhenti.

"Lambo, berhenti di depan."

"Baik, Decimo."

Mobil berhenti tepat di depan toko yang menjadi tujuannya. Ia tersenyum tipis. "Aku ingin membeli buah-buahan di sana."

"Saya..."

"Aku yang akan membelinya, Lambo," potong sang Decimo.

"Baik, Decimo." Lambo mematikan mesin mobil. Ia segera turun dan membukakan pintu untuk sang Decimo.

Don Vongola keluar dari mobil. Tak banyak orang yang berlalu-lalang di sana. Ia melangkah mendekati sang penjual buah-buahan.

"Buon giorno, Signore! Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" sapa sang penjual ramah seraya memberikan senyuman khasnya.

"Buon giorno," sahut sang Decimo. Ia terlihat tengah berpikir. Hingga matanya tertuju pada salah satu buah segar di sana. "A, iya. Aku ingin..."

Sang Don menunjuk buah jeruk dan ia meminta yang segar. Sang penjual mengambil buah-buah yang ditunjuk oleh pembelinya dengan cekatan. Ia memasukkannya ke dalam sebuah kantong kertas dan segera menyerahkannya.

"Grazie."

"Prego, Signore."

Baru sang Don menerima buah-buahannya, intuisinya memperingatkan akan adanya bahaya. Sang Don berbalik dan menemukan dua orang bermantel dan bertopi berlari ke arahnya. Lambo yang menunggu di depan mobil tak menyadarinya.

Sang Don bergegas menuju mobilnya, namun kedua orang itu mengeluarkan masing-masing senjata api dari balik mantel tebalnya. Satu dari mereka menarik pelatuk dan peluru itu menembus dada kiri dari sang Don dengan cepat. Sementara sang pedagang buah berlari ke dalam tokonya untuk berlindung.

Lambo yang menyaksikan syok. Ia ikut mengeluarkan senjatanya. Namun ia tak berdaya ketika satu tembakan lainnya telah melubangi perut dari sang Don. Lambo mencoba untuk memegang pistolnya dengan benar. Tangannya bergetar hebat. Pelatuk pun tak mampu diraih oleh jarinya.

Kantong kertas yang dibawa oleh sang Don terlepas dari pegangannya. Sang Don berlari ke arah mobil membelakangi dua penembak itu dengan sisa tenaganya. Ia bermaksud meminimalisir luka di tubuhnya. Mereka tak berhenti. Tiga tembakan di punggung telah menembusnya. Tubuh sang Don terjatuh tepat di depan wajah mobilnya.

Kedua penembak itu segera melarikan diri setelah mereka yakin bahwa tak mungkin Don Vongola bisa bertahan lagi.

"Decimo!" Lambo menghampiri sang Don. Ia tak berkutik sedikit pun. Melihat tubuh yang tak berdaya itu membuatnya mengeluarkan air mata.

"Papà!"

Satu per satu orang berdatangan. Mengerumuni orang yang sudah di ambang batasnya. Mereka berbisik-bisik tentang kejadian tersebut.

•••

Ini...

Jangan, kumohon!

Tidak!

Jangan!

Aku masih memiliki keluarga...

Tidak!

Ampuni aku...

Ini adalah peristiwa waktu itu...

Sang Don mengedarkan pandangannya. Kenapa tempat ini gelap dan sesak? Apa aku akan... mati?

"Decimo."

Suara ini... Sang Don segera berbalik ke arah asal suara. Dia... Vongola Primo. "Primo," gumam sang Don.

"Decimo."

Suara dari Primo terus bergema. Decimo melangkahkan kakinya mendekati pendahulunya. Ia tersenyum. "Apakah sekarang aku telah satu alam denganmu, Primo?" kata Decimo setelah menghentikan langkahnya tepat di depan pendahulunya.

Primo tak menjawabnya. Ia mengulurkan tangannya lembut. "Decimo."

Tanpa ragu Decimo menyambut uluran tangan primo. Seketika satu tangan kokoh itu melingkar di pinggang Decimo. Irama dari sebuah lagu yang tak asing di telinganya mengalun.

Sang Decimo terkesiap. "Primo?" ia merasa keheranan.

Primo membimbing Decimo ke dalam sebuah gerakan dansa wals. Dengan perlahan dan sabar, ia terus membimbingnya hingga latar mereka berdiri menjadi sebuah ruangan dansa yang megah.

Decimo tak mengerti. Namun dari setiap langkah kakinya memunculkan sebuah ingatan yang terkubur dan menjadi penyesalannya.

"Kau akan membawaku ke duniamu?" tanya sang Decimo.

Perlahan, namun disadarinya, Decimo yakin kakinya tak berpijak lagi di bumi. Ia memejamkan matanya. Membiarkan pendahulunya terus membimbingnya dalam irama dansa yang perlahan membuat tubuhnya ringan.

Bersamaan itu pula, segala sesuatu yang ingin ia lupakan muncul kembali, membayangi langkahnya. Dosa yang tak termaafkan...

"Apakah mati itu sakit?" tanya sang Decimo sekali lagi. Namun tak ada jawaban.

Primo tetap tak mengatakan apa pun. Ia hanya membimbingnya dalam alunan dansa yang dilumuri dosa.

Satu... Dua...

Jeritan demi jeritan menggema. Rasa sakit, kehilangan, penderitaan menyatu dalam satu wadah hitam.

Satu... Dua...

Teriakan memohon ampunan terus keluar untuk mempertahankan sebuah kehidupan.

Satu... Dua...

Tetesan demi tetesan darah mengalir. Melumuri tangan kotor yang tak henti-hentinya menginginkan sebuah keadilan.

Satu... Dua...

Tubuh tanpa nyawa bergelimpangan bagai raga yang tak ada harganya di mata dunia.

Semua tergambar sempurna. Inilah beban hidup yang selama ini terus ia pikul di pundaknya. Jika ini adalah sebuah akhir dari perjalanan hidupnya, semua akan menghilang tanpa bekas?

Decimo membuka matanya. Menatap langsung mata dari sang pendahulunya. Hangat. Itulah yang terpancar dari matanya. Apakah orang ini adalah malaikat kematiannya?

Memasuki irama yang selanjutnya, Primo baru mengeluarkan suaranya.

"Decimo."

Sang Decimo tersentak. Ia menatap kembali wajah dari sang pendahulunya.

"Perjalananmu di dunia belum berakhir," kata sang Primo. "Ini adalah peringatan. Ini adalah kesempatan. Ini belum saatnya kau pergi..."

Sang Decimo membelalak. Peringatan? Kesempatan? Decimo mengerti akan satu hal. Ia harus memperbaiki kehidupan sebelumnya.

"Semua ini kulakukan demi mereka. Keluargaku," kata sang Decimo tegas tanpa keraguan.

Sebanyak apa pun nyawa yang melayang karena ucapannya, semua ini demi hal yang selama ini ia jaga. Sesuatu yang sangat berharga di dunia ini.

"Aku percaya padamu, Decimo..."

Suara Primo bagai melebur dalam angin. Sosoknya menghilang tertelan kegelapan. Matanya kembali menatap sebuah warna gelap. Kakinya pun telah menyentuh bumi kembali. Tepat saat itu, secercah cahaya muncul.

Aku kembali...

•••

Sepasang mata telah terbuka. Pandangannya kabur. Langit-langit putih... Ia tahu tempat macam apa itu. Rumah sakit. Ia melengkungkan senyuman tipis.

Ia sadar tubuhnya kaku. Tak bisa bergerak. Entah sudah berapa lama tubuhnya terbaring di rumah sakit ini. Selang infus menjadi asupan kehidupannya selama ini. Sang Don menoleh dan menemukan sosok yang selama ini dekat dengannya.

"Decimo...?" Lambo seakan tak percaya dengan penglihatannya. "Dia kembali!" Ia berteriak. "Decimo kembali!"

Suara-suara itu terdengar sangat lega. Mereka senang karena Don mereka telah kembali. Lima peluru yang bersarang di tubuhnya ternyata tak mampu merenggut nyawanya.

Tiga bulan lamanya tubuh itu terbaring. Tertidur antara hidup dan mati. Namun "Keluarga" yang terus menanti dan menjaganya menjadi sebuah pacuan untuk kembali ke kehidupan nyata.

Inilah keluarga. Tempat yang akan selalu menerima kehadiranmu meskipun kau menghilang tanpa jejak. Sebuah tempat pulang dan menjadi satu-satunya tempat keberadaanmu yang selalu terakui. Meski darah yang mengalir berbeda satu sama lain.

Kehangatan keluarga takkan pernah kau rasakan pada kehangatan lainnya. Meskipun berlumur dosa, semua bersatu untuk satu tujuan yang sama. Dalam satu wadah, dalam satu hukum mutlak yang hanya dimiliki oleh mereka.

"Papà..."

"Lambo." Sang Don menatap sosok yang selalu setia menemaninya.

"Beri aku hukuman. Apa pun itu..." Ia sadar. Ia gagal melindungi sang Decimo.

Sang Don hanya tersenyum. Dia adalah salah satu orang yang paling ia kasihi dalam keluarga. Seorang anak yang menganggapnya sebagai seorang ayah.

Seorang anak yang sangat lemah. Membutuhkan perlindungan. Namun memiliki keloyalan yang sangat tinggi. Sang Don tak ingin mendengar tangisannya lagi. Ia masih mengingatnya dengan sangat jelas saat itu. Antara hidup dan mati. Segar dalam ingatannya, Lambo menangis di sampingnya.

"Kemarilah, Lambo..." Sang Don mengulurkan tangannya lemah. Lambo menyambutnya dengan haru campur gembira. Ayahnya tetap ada untuk dirinya.

Waktu satu tahun telah membuatnya mampu bergerak kembali. Berjalan dengan kedua kakinya tanpa bantuan apa pun dan siapa pun. Dosa tetap ia lakukan. Demi mempertahankan keluarganya, kedudukannya, sebuah "Keluarga" telah binasa. Musnah dari muka bumi ini. Darah yang tumpah akan dibayar lagi dengan pertumpahan darah.

Sang Decimo teringat akan sebuah ruangan dansa yang pernah ia datangi. Sebuah tempat yang telah membuka tabir hidupnya. Ia melenggang dengan kesadaran tubuhnya.

Sendirian, ia berdiri di tengah-tengah ruangan. Sebuah lagu kembali mengalun. Sebuah lagu kenangan.

Puncak kejayaan, kehormatan, tahta, kekuasaan, harta, kebanggaan, loyalitas, suka cita, kesedihan, penyesalan, rasa kasih, semua menyatu dalam sebuah alunan lagu yang menyayat hati.

"Aku ingin kita menyelesaikannya," kata sang Decimo.

Sebuah bayangan yang kabur muncul di hadapannya. Perlahan sosoknya semakin jelas. Pria terkuat di Vongola yang pernah ada. Vongola Primo. Sang Decimo mengulum senyuman.

"Decimo." Kembali tangan itu terulur. Kedua tangannya terulur menunggu sebuah sambutan. Mata mereka bertemu. Cokelat dan jingga.

"Dengan senang hati," kata sang Decimo. Ia menyambutnya. Kedua tangan mereka bersatu. Dalam satu tarikan, keduanya saling mendekat, bertatapan, dan dengan segera, keduanya melangkah dalam satu gerakan yang padu.

Tak ada gambaran dosa. Hanya ada suara ketukan dari langkah yang tersaingi alunan lagu.

Satu... Dua...

Mereka berputar dalam satu gerakan.

Satu... Dua...

Langkah mereka yang seragam menyatu dalam alunan lagu.

Satu... Dua...

Tangan yang kokoh itu semakin erat membalut pinggangnya.

Satu... Dua...

Tubuh mereka terpisah dan menyatu kembali dalam satu tarikan tangan.

Satu... Dua...

Keduanya kembali terpisah dengan satu tubuh jatuh dalam balutan pelukan.

Satu... Dua...

Sebuah keindahan terpancar dari sorotan dua pasang mata.

Satu... Dua...

Tangan kokoh itu kembali membalut pinggangnya.

Satu... Dua...

Langkah mereka kembali beriringan.

Satu... Dua...

Kaki mereka menyapu lantai dansa. Berputar, berputar, dan berputar mengikuti irama lagu yang disuguhkan.

Mendekati akhir, keduanya berhenti. Ada rasa puas di dalamnya. Untuk beberapa saat, kedua pasang mata mereka bertemu kembali. Hingga sosok Primo kembali menghilang tertelan kegelapan. Setelah sebelumnya sang Decimo menerima sebuah kecupan singkat dari Primo.

"Grazie mille."

•••

•Fin•


Thanks for reading minna-san!

Song: The Godfather Waltz - Nino Rotta.

Ciao!

[Ietsuna G. Ventisette]