Musim dingin baru saja berlalu, musim semi menyambut. Seperti anak-anak yang tertawa setelah menangis akibat kehilangan ibunya. Menguburkan air mata ketakutannya di balik tawa lebar kelegaan. Tapi bagi beberapa orang, musim dingin terus berlanjut … dan entah sampai kapan baru akan berhenti.

.

…*…

.

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto.

Saya tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.

Warning: Stright, AU, drack-fict, death chara, OOC, miss typo(s), etc.

Dipersembahkan untuk Ambar Lopita Allagan yang sudah menebakku dengan tepat. Dengan prompt 'SasuSaku, sepasang kekasih yang terjebak dalam kasus pembunuhan.'

Selamat membaca ^^

.

…*…

.

Langkah kaki …

melangkah … melangkah … melangkah …

di mana?

Di antara detik jam

di antara celoteh riang anak-anak yang bermain boneka

di antara kata-kata busuk para pemilik mulut celaka

Langkah kaki …

menari … menari … menari …

di mana?

Di antara memori yang terlupakan

.

…*…

.

Sasuke baru saja meletakkan dokumen terakhir yang harus dibacanya saat mendengar derap langkah yang terdengar tidak wajar. Bukan langkah-langkah kaki berat dan terseret seperti yang didengarnya saat menonton film horor, bukan juga langkah kaki dengan kelotakan lembut nyaring hak perempuan yang berusaha merayu telinga mereka yang mendengarnya. Suara langkah kaki itu terdengar seperti derap kaki kuda di antara ricuhnya perang, penuh adrenali, penuh tekanan—penuh ketakutan.

Wajah pucat istrinya mengintip di antara pintu yang sedikit terbuka. Tingginya kurang dari satu meter di atas lantai, duduk bersimpuh. Mata hijau yang dulu pernah Sasuke sanjung dalam hati sebagai mata paling cantik di dunia, memandangnya dengan tatapan yang tidak dapat digambarkannya lagi dengan kata 'indah'. Kantung mata gelap menggelanyut, seperti noda kopi di kemeja putih. Serat-serat merah mewarnai konjungtivanya—mungkin kurang tidur akibat diganggu mimpi buruk.

"Sakura," Sasuke memanggilnya dengan suara pelan. Tidak membiarkan sang istri ada dalam posisi tengah duduk bersimpuh itu, berlama-lama memberinya teror pandangan mata. Menghela napas panjang, seakan sudah bosan dengan kebiasaan yang terus dan terus diulang itu. "Kembalilah ke kamarmu dan tidur."

Wanita dengan rambut merah muda itu mengedipkan sekali matanya. Wajahnya yang berubah kelewat pucat sama sekali tak menggambarkan ekspresi apapun. "Di mana Sarada?"

Sasuke memandang wanita yang telah lima belas tahun menjadi pendamping hidupnya, menyandang nama Uchiha, berjanji untuk tetap bersamanya dalam janji sehidup semati. Wanita ayu yang tersenyum bahagia di depan altar saat mereka mengucapkan ikrar. Dia sama sekali tidak mengenal siapa wanita yang ada di balik pintu itu. Masih tidak dapat masuk dalam benaknya jika 'Haruno Sakura' bisa berubah menjadi seperti ini.

"Di mana Sarada?" Pertanyaan itu kembali diulang.

Sasuke membuang muka. Jari-jarinya meraih acak dokumen di atas meja. Kembali membukanya, tidak peduli jika dokumen itu sudah diselesaikannya satu jam lalu. "Tidak mungkin dia ada di sini."

"Dia tidak ada di kamarnya atau di kamarku. Dia biasanya duduk di sudut sambil membaca buku … menolak untuk tidur sebelum menghabiskan kisah yang tengah dibacanya. Dia tidak ada."

"Sakura …"

Wanita berambut merah muda acak-acakan itu memandang sekelilingnya dengan cemas, mencari sesuatu—Sarada. Jari-jarinya yang kurus dan pucat menyentuh pintu, sedikit mendorongnya untuk memberi celah yang lebih lebar. Melongok masuk. Mencari dengan teliti, seolah dia akan menemukan seorang anak gadis tengah tidur di sudut ruangan, meringkuk sambil memeluk bukunya, terlelap akibat lelah dan bosan menunggu ayahnya selesai dengan pekerjaannya. "Dia bilang dia merindukanmu. Dia ingin tidur denganmu malam ini. Aku sudah mengatakan jika kau sibuk dan tidak bisa diganggu, tapi dia bersikeras. Di mana Sarada?"

"Sakura."

"Dia harus kembali ke kamarnya sekarang juga. Besok pagi dia harus sekolah." Sakura bergumam dengan nada serak. Sedikit merajuk karena Sasuke sama sekali tak menjawab pertanyaannya, hanya memanggil namanya tanpa henti. Tangannya mencengkram erat pintu. Pandangan matanya terlihat mengerikan—seperti hewan liar yang kelaparan. "Jika dia tidak tidur sekarang … dia akan terlambat ke sekolah esok hari … dia harus tidur …"

"Sakura!" Sasuke menggembrak meja. Membanting dokumen yang tengah dibacanya dan memandang istrinya dengan tatapan marah. Wanita itu—wanita berambut merah muda acak-acakan dengan tatapan liar itu—dia sama sekali bukan istrinya. Dia bukan Sakura yang Sasuke kenal seumur hidupnya. Bukan Sakura yang dinikahinya …. Sasuke membuang muka "Sarada tidak ada di sini! Dia tidak ada di manapun! Dia tidak ada di dunia ini!"

Wanita itu menjatuhkan satu tetes air matanya saat Sasuke berteriak padanya. Air mata itu … Sasuke diam melihatnya. Air mata yang sama dengan yang dilihatnya empat tahun lalu, saat bencana itu datang dan mengubah hidup sempurnanya. Wanita itu … wanita yang menangis dengan keputusasaannya itu … wanita itu adalah istrinya. Uchiha Sakura. Wanita tempat dia meletakkan janji untuk terus melindungi dan membahagiakannya selama sisa hidupnya.

Sasuke mengepalkan tangannya. Hingga dirasakannya kuku-kuku pendeknya menancap di telapak tangan, menembusnya dan mengalirkan setetes darah. Sasuke membuang muka. Saat dia membuka mulut, dirasakannya tenggorokannya kering dan suaranya serak, pertanda jika sesungguhnya dia tak ingin menyampaikan kata-kata itu. "Sarada … dia sudah kembali ke kamarnya. Dia sudah tidur. Kau tidak perlu cemas … Sakura."

Sebuah cahaya kembali mengisi mata hijau kosong. Senyum lega dan paras ayunya kembali, mengisi ekspresi hampa dan ketakutan yang tadi ditunjukkannya. Sakura menghela napas penuh kebahagiaan. tersenyum dan mengusap dadanya. Bergumam, "Syukurlah," sebelum memberikan kecupan selamat tidur untuk suaminya dan kembali ke kamarnya sendiri, bersiap untuk melanjutkan tidurnya—walau pada akhirnya mimpi buruk akan kembali menyentakkannya.

Sasuke hanya memandang saat istrinya menutup pintu, mengucapkan "Selamat malam, semoga bermimpi indah," seperti yang selalu dikatakannya pada wanita itu selama lima belas tahun usia pernikahan mereka. Meski akhir-akhir ini dia merasa sudah kehilangan makna di balik kata-katanya itu.

Ditutupnya matanya dan dijatuhkannya tubuhnya di atas kursi. Menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri. Dirasakannya cairan hangat dan kental menetes dari telapak tangannya, jatuh ke karpet dan meninggalkan noda gelap di sana.

"Uchiha … Sarada …"

Sasuke membuka bingkai foto yang direbahkannya di atas meja, mengusap debu yang sedikit menutup permukaan kaca yang melapisi foto di dalamnya. Memandang sosok gadis kecil dengan rambut hitam yang ada di dalam sana. Berdiri tanpa mengumbar emosi—sangat mirip dengannya baik secara fisik maupun sifat. Memandang malas pada siapapun yang menatap foto itu.

"Sampai kapan kau akan menyeret Sakura bersamamu, Sarada?"

.

…*…

.

Dulu …

dia selalu ada di sisiku dengan senyuman

membagi tawa

melenyapkan duka …

Sekarang …

dia selalu ada di sisiku dengan tangisan

membagi gila

melenyapkan fakta

Dia …

meniti benang rapuh bernama kehidupan

yang dituntun oleh malaikat jatuh dengan sayap sehitam arang.

.

…TBC…

.

A/N:

Terima kasih sudah membaca kisah ini.

Entah mengapa aku ingin membuat kisah yang sedikit menyakitkan tentang mereka. Aku tahu ini akan sedikit mencederai imej Sakura, namun kuharap kalian bisa menerimanya untuk chapter-chapter berikutnya. Kurasa kalian pasti sudah bisa menangkap alurnya. Dan oh … tolong ingatkan aku untuk tidak membuatnya lebih dari 1K tiap chapternya. Aku sedang mencoba menulis singkat. ^^

Mungkin itu saja yang bisa aku sampaikan, mohon kritik dan sarannya ya. ^^

Hime Hoshina.

Yogyakarta, 11 September 2015