Somewhere Under the Rainbow

By : Deer Luvian

Main Cast:

Lu Han

Oh Sehun

Disclaimer ::

Lu Han milik semua orang .. Loh ? Hahahaha, Luhan dan Sehun milik Tuhan YME dilahirkan di keluarga masing-masing..

Ini cerita pernah saya post di AFF dengan cast KaiLu, jadi saya remake dgn cast HunHan. Kayaknye lebih banyak HunHan Shipper deh ...

It's BL, YAOI, rated aman, Angst, Sad dan apapun lah itu ..

Noted :

Bercetak miring berarti Flashback ..

Happy Reading ^^,


"Hyung, kau tahu ? Apa pemandangan paling indah ?"

"Uh ? Ani.. Apa ?"

"Pemandangan paling indah adalah ketika lengkungan warna itu menghiasi langit cerah dengan kau berada di bawahnya. Pelangi, akan selalu menjadi pemandangan indah nomor satu dan kau hyung juga akan selalu menjadi nomor satu di hatiku."

"Hahahaha, kau lucu sekali Sehun-ah."

Kedua sisi bibir itu terangkat tipis kala mata cantiknya memandang nanar lukisan Tuhan yang muncul setelah hujan turun. Busur spektrum warna besar berbentuk lingkaran yang diakibatkan karena pembiasan cahaya matahari oleh bulir-bulir air. Indah, lengkungan itu indah menciptakan gumaman kekaguman dari siapapun yang melihatnya.

Tubuhnya sedikit menggigil seketika angin menyentuhnya. Segera ia memasukkan kedua pergelangan tangan ke dalam kantung hoodie yang tengah ia pakai. Mata rusa itu masih menyorot fokus tatanan warna berbentuk busur yang membentang jauh darinya. Sekali lagi, ia hanya bisa mengukir senyum tipis ketika ingatan tentang seseorang berputar pelan di benaknya. Seseorang yang cukup lekat untuk tetap berada di ruang hatinya meskipun ia telah meninggalkannya sendiri.

Sekejap binar cerah obsdian itu memudar seiring dengan kubangan air yang tercipta. Kelopak tipis mata itu mengerjab berulang, berusaha untuk membendung genangan yang memaksa untuk dibebaskan. Ia mendongak, berusaha mengembalikan air mata itu.

"Sehun-ah, aku merindukanmu."

Tutur katanya melirih seketika lelehan air hangat lolos begitu saja dari sudut matanya. Sesenggukan melengkapi kesenduan wajah akibat jalur bening yang terukir tipis di wajah imutnya. Reflek, kedua tangannya menutupi dan membiarkan suara terdengar menyayat hati dari mulut mungilnya.

Detik demi detik berlalu masih diisi dengan sesenggukan yang seakan merampas ketenangan tempat ia berada. Masih, lelehan hangat itu tak berhenti mengalir kala otaknya dengan sengaja membuka kembali memori yang telah tersimpan sejak dua tahun silam. Dimana ketika ia harus menerima takdir hidupnya. Seseorang yang selama ini menyita seluruh perhatiannya telah pergi dan tak akan pernah kembali lagi.

Pagi itu mentari sepertinya enggan untuk bersinar. Angin berhembus lebih dingin dari biasanya. Luhan mengintip dari balik jendela kamar. Ah, ia baru sadar mengapa tak ada semburat yang selama ini membangunkannya. Ternyata musim salju datang lebih dulu dari seharusnya. Senyumnya mengembang perlahan ketika ada sesuatu yang menyentil benaknya.

Sebentar ia melihat ke kalender yang menggantung. Tanggal 05 Januari, ada satu catatan kecil terselip di bawahnya. Kembali, senyum indah itu merekah. Segera saja ia beranjak untuk menyiapkan segalanya.

Beberapa hari yang lalu Luhan berjanji untuk menemani Sehun, kekasihnya melakukan check kesehatan sebelum operasi. Sang kekasih memang telah mengidap sebuah kanker di salah satu rangkaian tulangnya. Membuatnya harus rela duduk di kursi roda. Dengan sangat sabar dan perhatian, Luhan mengantarkan kemana saja Sehun ingin pergi.

"Kau siap ?" Luhan berjongkok menyamakan tingginya dengan Sehun.

Pemuda bersurai cokelat tua itu mengulas senyum cerah. Di mata Luhan, Sehun selalu memiliki aura riang ketika bersamanya. Atau hanya sekedar perasaannya ?

"Uh, hyung ! Bolehkah aku meminta sesuatu ?" mata sayunya menatap Luhan penuh harap.

Luhan menghentikan usapan tangannya dan mengangkat sebelah alis. Bertanya apa yang ia inginkan tanpa suara.

"Ajak aku jalan-jalan ke taman yang sering hyung kunjungi." Jawabnya semangat.

Luhan hanya mengulas senyum lalu mengangguk. Tak ada salahnya mengajak Sehun ke tempat yang membuat Luhan merasa tenang. Salju hari ini masih belum terlalu dingin, sehingga ia yakin akan membawanya kesana. Sebuah tempat yang sering Luhan gunakan untuk menghilangkan segala kepenatan dalam dirinya.

Tangisannya menjadi setelah ingatan itu melayang. Kala itu, salju pertama yang dilewati Luhan bersama Sehun. Sejak dua bulan mereka menjalin kasih. Sejak dua bulan Luhan mulai meninggalkan kodratnya sebagai seorang lelaki sejati. Sejak dua bulan ia memilih untuk melepas hasratnya demi Sehun seorang.

Terjatuh, Luhan terjatuh karena tak mampu menahan tubuhnya yang melemas akibat semua energi terkuras untuk menangis. Ia memegang kedua lututnya. Tak peduli lagi bagaimana rupanya saat ini. Asalkan segala kegundahan yang menyelimutinya bisa sedikit demi sedikit tersingkap.

Dada sebelah kiri ia remas kuat. Layaknya ada sesuatu yang mencengkram dan merajang. Otaknya kembali mengingatkan saat pertama kali salju turun yang mereka lewati. Bodoh, Luhan mengumpat dalam hati. Dirinya sangat bodoh. Luhan memang bukan ahli medis yang mampu membaca apa yang terjadi jika ia melakukan sesuatu. Luhan tak tahu menahu tentang akibat salah bertindak dan bermain-main dengan tubuh Sehun. Luhan tak paham dengan resiko yang dirasakah Sehun bila pemuda milky skin itu pergi tanpa sepengatuhan dokter pribadi ataupun orang yang bertanggung jawab akan hal itu.

Yang ia tahu dan mengerti adalah bagaimana membuat Sehun senang dan tertawa dalam pelukannya. Tersenyum dalam dekapan tangannya. Bersemangat disetiap inci sentuhannya. Yang ia tahu hanya memberikan semangat untuk Sehun dengan mengabulkan segala keinginannya. Asalkan pemuda itu bisa merasakan bahagia.

Rintikan air mata itu kembali menghujam deras membasahi kedua kakinya. Kesalahan yang sangat fatal dan tak mampu ia perbaiki terus menghantuinya. Bagaimana bisa senyum kala itu yang merekah cerah harus berganti dengan rintihan pesakitan ?

Luhan tak pernah tahu jika salju yang ia bayangkan akan mampu menambah segala kecerahan dan semangat dalam tubuh Sehun malah membalikkan keadaan. Luhan tak pernah tahu jika hembusan angin dingin itu membekukan tubuh Sehun hingga menggigil tak karuan. Luhan tak pernah tahu bola-bola lembut itu bagaikan jarum yang menusuk tubuh ringkih Sehun.

Pemuda mungil itu terus memeras produksi liquid dari matanya sekedar mengingat saat-saat Sehun melemah dalam pelukannya, saat Sehun dengan suara lirih memanggilnya, saat Sehun perlahan memejamkan kelopak matanya. Luhan terus menyumpah serapahi dirinya sendiri. Merutuki tindakan bodoh yang selamanya akan terus menjadi boomerang dalam sisa hidupnya.

Dalam hati ia terus memanjatkan seribu do'a untuk keselamatan Sehun. Berharap pemuda yang sangat ia sayangi itu baik-baik saja dan tindakan bodoh yang ia lakukan tak akan membuatnya semakin memburuk. Luhan terus menangkupkan kedua tangannya dan bergumam dalam tangis. Memohon kepada Tuhan untuk membiarkan ia melihat senyum manis dari Sehun.

Suara gesekan yang ditimbulkan dari daun pintu dan lantai itu mengalihkan fokus Luhan. Segera ia bangkit untuk menemui dokter. Wajahnya sedikit menguarkan kekecewaan, namun senyum hangat masih ia tunjukkan untuk Luhan sebelum melangkah pergi.

Luhan menghela nafas panjang ketika sepasang lensa rusa miliknya menangkap sosok Sehun tengah terlelap. Senyum pedih terulas tipis di wajah Luhan. Ia mendekati Sehun dan menggenggam tangannya. Selembut sutra ia mengecup berulang tangan lemah itu. Pedih, perih dan sesak ketika wajah sayu Sehun tampak semakin tirus. Layaknya di tusuk berpuluh tombak, Luhan merasakan begitu perih dan menyayat. Sehun, pemuda yang ia kenal saat berkunjung ke rumah teman barunya telah berjuang melawan kanker itu selama dua tahun.

"Hyung .." Suara parau membuyarkan lamunan Luhan dalam rasa pedihnya. Ia mendongak dan mendapati sosok Sehun tersenyum melihatnya.

Luhan mengusap pipi Sehun lembut. "Maaf .." gumamnya lirih disertai lelehan air yang entah sampai kapan berhenti mengalir.

Sehun mengerutkan ekspresi wajahnya agar tampak marah. Ia kesal dengan sosok Luhan yang seperti ini. "Kenapa ? Hyung tidak salah. Aku memang sedang tidak sehat .." Sahutnya.

"Tidak, kau seperti ini karena mengijinkanmu."

"Hyung .."

Luhan memperhatikan wajah Sehun yang semakin tenggelam dalam rasa sakit. Ia menggenggam tangan Sehun dengan sesekali mengecup kilat.

"Hyung .."

"Uh ?"

"Aku ingin melihat sesuatu .. Tapi sepertinya tidak akan ada kesempatan untuk itu."

Senyum penuh semangat dari sosok Sehun terulas manis. Luhan menyukai sikap positif dari Sehun. Walaupun ia mengatakan hal yang menyakitkan, senyum cerah itu tak pernah lepas dari bibirnya, Seolah Sehun mengerti hanya dengan mengukir sebuah senyum dapat mengendalikan emosi dari diri Luhan.

"Kau ingin lihat apa ? Kenapa kau berpikir tidak akan ada kesempatan ?"

Sehun terkekeh saat melihat ekspresi lucu Luhan yang menurutnya sangat menggemaskan. "Pelangi .. Mustahil bukan aku bisa melihat pelangi.."

"Kenapa tiba-tiba pelangi ?"

"Dari kecil aku sangat ingin melihat pelangi. Tapi belum ada kesempatan untuk itu. Hyung, kau tahu pemandangan paling indah itu apa ?"

Luhan berkerut, bibir mungilnya bergerak-gerak ingin menjawab namun takut salah.

"Uh ? Ani .. Apa ?"

Sempat ia lirik kekehan kecil muncul dari bibir Sehun lalu dilanjutkan dengan senyum mengembang.

"Pemandangan paling indah adalah ketika lengkungan warna itu menghiasi langit cerah dengan kau berada di bawahnya. Pelangi, akan selalu menjadi pemandangan indah nomor satu dan kau hyung juga akan selalu menjadi nomor satu di hatiku."

"Uh ?" Luhan tersipu mendengar kata-kata Sehun. Walaupun itu hanya sederhana entah mengapa ada saja semburat yang muncul mewarnai pipi mulusnya. Sedikit berkedip, ia menghindari sorot serius dua lensa sayu itu.

"Hyung, kau sungguh cantik kalau sedang malu. Ahh, aku jadi ingin melihatnya.." Sehun tertawa kecil.

Semakin lama rona merah itu semakin terlihat hingga ia menutupinya dengan kedua telapak tangan.

"Hahahaha, kau lucu sekali Sehun-ah."

Semenjak itu Luhan selalu berharap pelangi bisa terbentuk setelah hujan turun di musim semi. Do'a dan harapan yang sama setiap kali air mata langit jatuh membasahi segala yang ada di bumi. Namun, rupanya Tuhan tak menghendaki apa yang menjadi keinginannya. Selama Sehun berjuang untuk bisa bersama Luhan di sisa usianya, sama sekali lengkungan warna itu tak menampakkan diri.

Berusaha untuk bisa memenangkan dirinya dari kesedihan juga rasa bersalah itu, Luhan bangkit dari jongkoknya. Merangkak mendekati tatanan warna yang membentang indah di hadapannya. Seakan tangan mungil itu mampu meraih dan membungkus dalam dekapannya. Membawa bersamanya untuk dipersembahkan kepada Sehun.

"Se-Sehun-ah .." Luhan tak berfikir akan menjadi sejauh ini jika ia datang ke tempat yang sangat diinginkan Sehun. Air mata yang selama ini ia tahan untuk tak jatuh serta membuktikan dirinya mampu memegang teguh janji yang didendangkan Luhan kepada Sehun dua tahun silam seakan menghianatinya. Mereka dengan sesuka hati mencemooh Luhan dan mengumpat padanya. Luhan tak pernah bisa berhenti menangis jika itu berkaitan dengan Sehun.

"Kau bahagia sekarang ? Maafkan aku yang tidak bisa memenuhi janjiku untuk tidak menangis. Kau tahu ? Kelemahanku adalah menitikkan cairan yang aku miliki dari mata rusa ini. Mata yang sangat kau sukai.. Hahahaha.." Tiba-tiba Luhan tertawa sendiri.

Entah mengapa kenangan yang ia bungkus rapi bersama waktu yang berjalan seolah terbuka satu persatu. Menggores sisa luka Luhan yang masih belum kering sepenuhnya. Menambah sayatan-sayatan yang ada untuk melengkapi setiap luka yang terukir. Tawa Luhan semakin bertambah keras disertai lelehan air yang tak tahu sampai kapan habis mengering.

"Sehun-ah ! Sehun-ah ! Bertahanlah aku mohon bertahanlah..." Seru Luhan dengan tangan masih menggenggam Sehun seraya ikut berlari seiring dorongan tempat tidur Sehun yang dibawa ke UGD. Tiba-tiba saja ia jatuh ketika akan mengganti pakaiannya. Wajah manisnya berubah pucat pasi dengan gigilan yang cukup kuat dari tubuhnya.

Pikirannya melayang-layang entah kemana. Perasaannya diaduk-aduk tak karuan. Tumpah ruah membanjiri ketenangan jiwanya. Tubuh mungilnya juga ikut terbawa arus yang mengalir dari dirinya sendiri. Berjalan kesana kemari seraya menggigit kecil bibirnya. Berdo'a dalam gumamam lirih.

Luhan masih merasa sedih belum lama waktu lalu ia harus melihat Sehun kehilangan dua kakinya karena kanker yang semakin buas menggerogoti tulang kaki. Saat ini, pemuda milky skin kesayangannya harus kembali berjuang di dalam ruangan pesakitan itu. Rupanya pengorbaan terhadap dua kakinya tak menjamin dirinya bebas dari cengkraman sang kanker.

Tangkupan tangan Luhan semakin mengerat sejalan dengan degupan jantung yang seolah senang menggoda. Ia menunduk dalam sesenggukan masih terus berdo'a. Asanya untuk bisa melihat senyum Sehun dan tawa yang menentramkan hatinya masih kuat bertahan.

Tuhan tak selamanya mengabulkan apa yang diinginkan hamba-Nya. Terkadang rencana yang tak sesuai dengan harapan manusia lebih baik bagi mereka. Meskipun menjalaninya harus dengan segala yang ia miliki. Termasuk salah satunya air mata. Seakan hal itu wajib selama ritual kehidupan.

Tubuhnya membeku seketika bersamaan dengan otak yang tak mampu berpikir cepat. Berputar lambat tak mau memberikan kesempatan bagi Luhan untuk mengerti sepenuhnya. Hingga jalur bening telah sempurna menjejak di kedua pipi mulusnya. Mata rusanya penuh dengan kubangan air. Kelopak matanya sibuk menghalaui paksaan dari liquid-liquid itu. Ia baru menyadari seketika dadanya sesak dan perih tergores.

Sepasang lensanya menampilkan refleksi tubuh Sehun yang terbaring kaku di atas tempat tidurnya. Baru beberapa menit yang lalu dokter mengumumkan waktu meninggalnya. Perlahan Luhan mendekat dan langsung mendekap tubuh Sehun. Sesenggukannya masih terdengar semakin mengiris hati siapapun yang melihat. Bibir mungilnya tak berhenti memanggil nama Sehun agar kembali membuka kelopak matanya. Tapi, Luhan sadar bahwa Tuhan jauh lebih membutuhkan dan menyayangi Sehun daripada dirinya. Tuhan lebih menginginkan Sehun untuk menempati surga disana.

Meskipun hatinya hancur lebur, meskipun tubuhnya tak mampu berdiri tegar, meskipun wajahnya muram akibat air mata yang terpatri disana, meskipun sedari tadi kedua pundaknya tak berhenti naik turun akibat senggukannya. Luhan masih sanggup melihat Sehun dikremasi. Luhan masih bisa menerima kepergian Sehun.

Mungkin semuanya ini adalah yang terbaik baginya. Mungkin semua ini adalah takdirnya yang memang tak bisa bersama dengan Sehun. Dalam kepedihan itu, bibir Luhan dipaksa untuk tersenyum. Agar Sehun juga ikut tersenyum dalam tidur lelapnya.

Apa yang harus ia lakukan saat ini ? Tubuh mungilnya menolak untuk dibawa pergi dari sana. Ia merasa tempat ini adalah tempat yang paling nyaman untuknya. Berada di atas bukit dengan mata terus menyorot sendu pelangi itu. Seakan Sehun terbayang jelas di pelupuk matanya. Luhan hanya bisa menangis dan terus menangis. Ingatan yang selalu berada di benaknya itu tak akan pernah bisa menghilang apapun yang terjadi. Bagaimanapun itu, Sehun telah mematri dengan kuat di dalam memori Luhan.

Tubuhnya melemas seketika. Terjatuh dan menatap dalam tanah yang ada ditumpuannya. Sesenggukannya semakin lama semakin menyayat. Bahkan suara yang biasanya hadir perlahan melirih dan menghilang. Dengan sisa kekuatan yang ada, Luhan bangkit. Menatap tegar lengkungan warna itu. Ia membentangkan kedua tangannya dengan tarikan kuat dalam nafasnya. Seraya berujar lirih.

"Sehun -ah ! Kau lihat ini ? Seperti yang kau inginkan, aku berada di bawah pelangi. Apa kau bisa melihat dari sana ?"

Sebentar ia mengontrol tangisannya. Lalu kembali berujar.

"Aku berharap kau bisa melihat betapa indahnya aku berada di bawah pelangi ini. Sehun -ah .. Aku merindukanmu.. Aku merindukanmu .."

".. Apa kau bahagia disana ? Apa kau selalu tersenyum disana ? Apa kau juga merindukanku disana ?"

Luhan tersenyum dalam lelehan air yang tak memiliki keinginan untuk berhenti.

"Aku mencintaimu sampai kapanpun .. Tetap tersenyum di Surga Tuhan .. Semoga kita bisa bertemu kembali nanti .."

"... Saranghaeyo Oh Sehun .."

End


Bagaimana ? Reviewnya yaa ... :D

Kamsahamnida ..

Regards

~DeerLuvia~