Pernikahan.

Satu kata yang teramat sakral bagi keturunan Nabi Adam.

Setiap manusia apalagi kaum wanita, tentu mengharapkan moment paling berharga dalam hidupnya itu, dipenuhi kesan bahagia agar menjadi kenangan terindah dalam hidupnya nanti. Seperti resepsi yang dihadiri orang-orang tersayang, gaun pengantin cantik bak Cinderella, cincin tanda cinta dalam sebuah perkawinan, dan yang terpenting menikah dengan orang yang kau cintai dan juga mencintaimu.

Coret hal terakhir dari daftar keinginan normal tersebut. Karena bagi Yaya, harapan itu takkan pernah berlaku bagi dirinya. Angan-angan pupus yang hanya tinggal harapan.

Warning: HALIYAYA, slight HaliYing, TauYa, OOC, rate T semi M for theme(?), diusahakan tidak typo. Romance, Drama, Hurt, and maybe Angst(?)

Boboiboy punya monsta, fict ini punyaku.

Gadis cantik yang tubuhnya terbalut kebaya putih dengan model gaun modern itu menatap kedua punggung tangannya yang dilapisi sarung tangan berwarna serupa dengan busananya. Lebih tepatnya, gadis itu menatap pada tetesan air yang jatuh dari matanya. Menimbulkan bintik-bintik sedikit gelap pada sarung tangan putih itu.

Gadis itu mengusap jejak air pada pelupuk matanya. Hari ini dia akan menikah! Dia akan menjadi seorang istri. Dia tidak boleh menangis. Dia harus kuat menghadapi semua ini, demi keluarganya, nama baik keluarganya, dan juga… janin dalam kandungannya.

Walaupun melakukan pernikahan di usia 20 tahun samasekali tidak masuk dalam daftar rencana hidupnya, tapi ini harus. Reputasi ayah dan keluarganya bisa hancur seketika bila public mengetahui putri dari keluarga salah satu pemilik perusahaan raksasa yang ada di Malaysia ini, hamil di luar nikah.

Tentu saja dia tidak pernah mengira hal seperti ini akan menimpa dirinya. Samasekali tidak.

Ini semua gara-gara pria brengsek yang pernah dia anggap sebagai salah satu sahabat terbaiknya.

Taufan.

Dulu, Yaya begitu bahagia bila berbicara mengenai Taufan. Segala hal tentang pria itu mampu membuat Yaya tersenyum, bahkan tertawa lepas. Taufan adalah pelabuhan tempat Yaya mencurahkan isi hatinya, tentang segala hal. Tak ada satu rahasiapun yang dia tutupi dari pria itu, termasuk perasaannya terhadap kakak kembar mantan sahabatnya itu sendiri.

Ya, itu dulu. Kini, jangan pernah menyebut nama Taufan lagi di hadapan Yaya. Karena nama itu hanya akan menguak kembali kisah terkelam Yaya dalam hidupnya. Malam itu… pemaksaan itu…

Harusnya Yaya tidak akan mengalami pernikahan dini seperti ini. Andai saja waktu itu dia mampu mempertahankan diri, sayang tubuh mungilnya tak memiliki tenaga yang besar. Andai saja waktu itu dia ikut bersama keluarganya. Andai saja malam itu Taufan tidak datang ke rumahnya. Andai saja waktu itu Taufan tidak dalam pengaruh hebat dari alkohol dan sejenisnya. Seandainya… seandainya…

Yaya mengatupkan rahangnya kuat-kuat dan meremas kedua sisi kepalanya sambil terus menggeleng, hampir membuat hijabnya yang tertata berbagai perhiasan menjadi berantakan.

"Yaya"

Sebuah suara membuyarkan lamunan Yaya, iris hazelnya menoleh pada sumber suara yang tak lagi mengintip di balik pintu. Yaya segera membenarkan tampilannya. Bagaimanapun, dialah aktris utama dalam drama pernikahan pagi ini.

Wanita paruh baya yang beberapa menit lagi akan menjadi ibu mertuanya itu melangkah masuk ke dalam kamar rias tersebut. Menunduk dan menyentuh pipinya dengan lembut.

"Kau caantik sekali." Pujian yang begitu tulus terlontar dari bibir wanita itu. "Ayo, sebentar lagi akadnya akan dimulai. Semua orang sudah tak sabar melihat menantuku." Sambungnya lagi, sambil membantu Yaya berdiri dan berjalan menuju wilayah rumah yang menjadi lokasi utama akad nikah.

Keluarga Aba memang tak perlu menyewa gedung besar untuk melangsungkan berbagai acara. Karena halaman dan rumah itu sendiri, sudah terlalu besar untuk menampung ribuan tamu undangan. Apalagi hitungannya kali ini tak sebesar itu. Kurang dari seribu orang yang diundang dalam pernikahan pertama penerus Aba Corporation ini, tentu saja karena minimnya waktu persiapan yang dimiliki kedua pihak.

Sesampainya, Yaya memosisikan dirinya di samping sang calon suami dibantu sang calon mertua. Di depannya ada penghulu dan ayahnya yang bertindak sebagai wali. Dengan penghalang berupa seperangkat peralatan ibadah, dan 270 butir mutiara air laut sebagai maskawinnya.

"Karena mempelai wanitanya sudah hadir, mari kita segera mulaikan acara suci ini…"

Pernikahannya pun dimulai, berbagai acara pembuka telah dilewati. Tinggal menunggu beberapa menit untuk tiba pada acara inti.

"Alhamdulillah, akhirnya kita sampai pada ijab kabul, pengantin pria mungkin mau latihan dulu?"

Yaya melirik pada pria tampan di sebelahnya. Pemuda itu menggeleng dengan wajah datar. Lalu dengan mantap menyalami pria di hadapannya yang berstatus sebagai ayah Yaya.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya yang bernama Yaya binti Yah dengan maskawin berupa seperangkat alat solat, serta 270 butir mutiara. Tunai."

"Saya terima nikahnya Yaya binti Yah dengan maskawin tersebut, Tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah"

"Alhamdulillah"

Gema lafadz hamdalah pun terdengar di seluruh penjuru. Yaya menyalami dan mencium tangan pria yang kini menjadi imamnya tersebut, berharap memperoleh senyum dari suaminya. Namun jangankan hal sesimpel itu, menoleh pun tidak. Oke, Yaya mengubur dalam angannya untuk mendapat ciuman di keningnya, sebagaimana pengantin yang barusaja sah menjadi suami istri.

Cincin pernikahan pun dipasangkan dengan begitu cepat di jari manisnya.

"Cium dong"

Terdengar beberapa sahutan dari para wanita di sekitarnya, termasuk ibu mertuanya sendiri. Yaya hanya tersenyum malu. Untuk menghindari kecurigaan dari para tamu undangan, karena pengantin pria yang tak bersikap seperti seharusnya. Sang ibu mertua memberi senyuman penuh arti yang diartikan mempelai pria sebagai ancaman.

Dengan terpaksa pria itu menangkupkan tangannya pada pipi Yaya dan mencium keningnya. Sebentar, tak lebih dari sedetik. Membuat sang ibu mertua kembali melancarkan protes.

"Aduh Halilintar, jangan malu begitu dong. Yaya kan sudah jadi istrimu, ibu yakin kau sudah ahli bersamanya kan." Ujar sang mertua tersenyum mesem-mesem kemudian berbisik-bisik dengan ibu-ibu di sekitarnya, membuat muka kedua mempelai memanas karena malu, terlebih beberapa keluarga lainnya semakin memanasi keadaan. Padahal yang dikatakan sang ibu sungguh jauh dari kata benar.

Dengan lebih terpaksa lagi Halilintar kembali mengecup kening Yaya. Kali ini lebih lama, dan dihiasi dengan senyum palsu di wajahnya. Tamu undangan pun bertepuk ria.

Selanjutnya adalah acara yang paling melelahkan bagi Yaya. Menyalami hampir seribu orang yang mengantre memberi ucapan selamat tentu pasti sangat melelahkan. Tapi Yaya yakin, Halilintar jauh lebih lelah dari dirinya karena 'dipaksa' oleh sang ibu mertua agar terus tersenyum sepanjang waktu.

Hal itu tampak jelas di wajah suaminya. Pria itu hanya tersenyum datar yang sangat dipaksakan, tak mengucap sepatah katapun. Ingin mengajak berbicara, Yaya takut salah ngomong. Akhirnya ia urungkan niat tersebut dan kembali bungkam, sambil sesekali mencuri pandang pada air muka sang suami dalam diam hingga resepsi tersebut selesai.

-o-

"Hah…!"

Halilintar menghembuskan nafas kasar sambil menjatuhkan dirinya di sofa, dilepasnya peci putih yang dia kenakan lalu melemparnya sekenanya. Yaya masuk menyusul Halilintar. Tak seperti lawan mainnya ini, wanita itu kini lebih rileks dari sebelumnya. Karena ia berhasil melakukan tugasnya. Walaupun dia tahu, setelah ini, segalanya akan lebih sulit.

Wanita itu mendudukkan dirinya di ranjang yang telah dihiasi berbagai jenis bunga. Memandang pria yang tampak kelelahan di sofa hadapannya. Walaupun dia tahu pria itu sangat terpaksa menikahinya, Yaya tetap berusaha ingin menjadi istri yang baik.

"Kalau kau lelah, lebih baik-"

"Jangan harap aku akan menyentuhmu!" Halilintar langsung memotong ucapannya dengan kasar. "Kau tidak mendadak amnesia dan melupakan kesepakatan kita kan."

Hatinya serasa tertusuk mendengar pernyataan tegas itu dari suaminya, Yaya mendesah, "Aku tahu, aku hanya ingin menyuruhmu mandi agar kau lebih nyaman."

Halilintar mendengus dan segera melepaskan sebagian atributnya dan menyabet handuk menuju kamar mandi.

Yah, perjanjian itu. Yaya takkan pernah lupa, meski dari awal dia memang mencintai pemuda itu, dan kini ia berstatus sebagai istrinya. Wanita ini tetap tak bisa memaksakan perasaan pria yang memiliki dua adik kembar tersebut.

Sembari Halilintar mandi, Yaya sendiri memilih melepas segala atribut yang dikenakannya, menghapus make up tebalnya di wastafel kamar, dan meregangkan badan bersiap mengistirahatkan badannya.

Beberapa jam berlalu, Halilintar sudah pulas di sofanya. Sementara Yaya, wanita itu masih belum bisa memejamkan mata. Wanita itu merenungkan segala hal yang dianggapnya kesialan yang menimpanya selama kurang lebih satu bulan belakangan ini. Sembari mengelus perutnya yang masih ramping, wanita itu mengeratkan kepalanya dengan bantal. Memejamkan mata, berharap segalanya takkan sesulit yang dia bayangkan.

.

.

.

TBC

A/N

Ya ampun… mimpi apa aku bikin fict begini. Oke aku tau fict ini gak pas banget sama mayoritas pembaca di sini. Tapi mau gimana lagi, idenya udah ada dari dulu dan sekarang cuma ide ini yang bisa ku tulis (gomen buat fict aku yang belum lanjut), aku tau ini pasaran banget. But, aku tetap mau coba sedikit beda.

Oke, meski temanya terlalu dewasa, tak apa kan? Saya harap masih ada yang mau baca, dan tolong jangan nge-flame ya *plakk

Mungkin ada yang bingung, kenapa di awal ada Taufan tapi ternyata Yaya nikahnya sama Halilintar, kalau ada yang mau lanjut, jawabannya ada di chapter depan. Aku udah bikin 2 chapter buat fict ini, dan sengaja chap.1 pendek dulu karena aku gak yakin fictku bisa diterima.

Jadi aku tunggu respon dulu, mau lanjut, atau fict ini aku rewrite dan publish ulang di fandom sebelah. *plakk *authorgakbertanggungjawab *janganditiru

So, ada yang mau review?