Kuroko no Basket © Tadatoshi Fujimaki
The Story Between Us is Another Section of A Theme Park © altaira verantca
Rated : K
Genre (s) : Friendship | Romance
.
.
Summary : Namaku Aomine Daiki, 19 tahun, seorang bodyguard. Tugasku hanya satu dari Pak Tu—Tuan Besar Masaomi : menjaga anaknya dari segala mara bahaya. Tidak. Aku tidak akan memberitahumu identitas dari Sei—crap! Aku tidak mengatakan apa-apa! Diam kau! Jangan tertawa!
.
warning : this series has several genderbend characters and straight pairings. if these criteria are not your cup of tea, this is the right time to hit close or back panel.
.
.
.
"Nona, ada surat lagi untukmu. Kartu pos, tepatnya."
"Siapa pengirimnya?"
"Tsuki...Tsukino. Tsukino Mikoto." Daiki meletakkan selembar kartu pos bergambar pemandangan eksotis dari sebuah rumah ibadah di hadapan majikannya, kemudian kembali berkomentar pendek. "Aku belum pernah mendengar nama itu."
"Ah, Tsukino-san," gumam gadis berkulit putih itu, seulas senyum terbit di bibirnya, "beliau adalah presiden direktur dari satu rumah produksi yang menjanjikan. Ingat pertunjukan adu bakat yang berlangsung dua bulan lalu di Shibuya?"
Perlu waktu untuk Daiki mengingatnya. Shibuya itu besar, dan dua bulan lalu itu sudah cukup lama.
"Kau bertemu Himekawa-san di gedung itu."
"Oh! Wanita berambut pendek dengan dada besar itu, kan!"
"Kau seharusnya malu dengan kemampuan mengingatmu, Daiki."
Daiki mengedikkan bahunya singkat, tak peduli. "Ngomong-ngomong, Tuan Masaomi langsung ke Sapporo malam ini. Besok sore baru kembali. "
"Ibuku?"
"Ikut bersama tuan."
Mendengarnya, gadis itu menarik napas panjang, seolah kesal dengan jawaban Daiki. "Kupikir akan bisa mengajak ibu ke Mitama Matsuri selagi ayah tidak ada."
"Saya mohon untuk tidak merepotkan kami semua dengan acara jalan-jalan kalian yang tidak direncanakan dengan matang, Nona Seira." Daiki tanpa sadar membenamkan wajah di kedua telapak tangannya yang terbuka. Frustasi. Baru minggu lalu ia dan segenap rekannya dibuat bingung karena pasangan ibu dan anak itu tiba-tiba tidak ada dimana-mana. Pergi belanja aksesoris rambut, kilah mereka berdua.
Tekanan darah Tuan Masaomi saja sampai naik mendengar kabar mereka melancong tanpa penjagaan sama sekali. Masih untung Daiki tidak dipotong gaji atau malah dipecat sekalian.
"Tidak sopan," tukas anak tunggal dari pasangan Akashi itu, meletakkan kartu pos yang ternyata dikirim dari Bali (sebuah pulau di Indonesia, ia ingat, dan berencana akan liburan ke Pulau Dewata itu lain kali) di lacinya. "Aku sudah berencana akan mengajakmu juga sebagai pengawalan."
"Kalau Nyonya Shiori turut serta, setidaknya ada dua orang lagi yang harus ikut. Tsuruma—"
"Hanya kau atau aku dan ibu akan pergi tanpa pengawalan sama sekali."
"Nona, setidaknya sadari posisimu sedikit, duh!"
"Kau yang seharusnya lebih pengertian sedikit, Daiki."
"Anda yang tidak mengerti bagaimana sakitnya kalau digetok oleh Ichigo gara-gara penjagaan kalian terlalu longggar! Belum lagi diceramahi oleh pak tua itu juga!"
Diam sejenak dan Akashi Seira hanya melempar satu tatapan tajam kepada Daiki. "Pak tua, eh?"
"E-eh—!" Rasanya Daiki ingin menjahit mulutnya sendiri yang sering kelepasan seperti ini. "Pak tuan besar! Maksudku, pak tuan besar, Nona!"
"Pak tua," ulang Seira, tak tahan untuk tidak tersenyum saat mengatakannya. "Kau seharusnya bersyukur karena ayahku tidak mendengarnya, Daiki."
Tidak saat ini, batin Daiki, mereka ulang beberapa kejadian ketika Tuan Masaomi menjewernya saat ia tidak sengaja mengatakan itu dulu. Dulu, sepuluh tahun yang lalu.
Seira kembali membaca dokumen di hadapannya, seolah adu mulut yang terjadi semenit lalu tidak pernah terjadi. Daiki pun kembali tenang duduk di sofa, mengecek ponselnya sesekali untuk memastikan tidak ada jadwal majikannya yang terlewat di sisa hari itu.
"Daiki, aku ingin makan takoyaki nanti malam."
Bertahun-tahun bekerja untuk keluarga Akashi membuat pekerjaan Daiki tak hanya menjadi seorang bodyguard dari anak semata wayang dari pasangan Akashi Masaomi dan Akashi Shiori. Ia mengecek jadwal, menerima surat-surat dan dokumen, sampai bertugas memilihkan warna kuteks untuk Nonanya—kalau diperintah, tentu saja.
"Akan kukatakan kepada orang dapur kalau begitu." Daiki sudah bangkit dari sofa ketika Seira kembali bicara.
"Yakisoba, kemudian juga permen apel. Sudah lama sekali juga aku tidak makan gula kapas."
"Ha?" Daiki mengernyit. Apa yang diminta oleh nonanya ini agak tidak biasa. Ia tahu betul kalau nonanya ini tidak tahan panas—baik udara maupun makanan. Tapi, apakah musim panas tahun ini terlalu panas sampai membuat nonanya tidak koheren begini bicaranya?
"Kenapa begitu berbelit hanya untuk minta diajak ke festival, sih?"
Seira tidak menjawab, namun Daiki menangkap tawa tanpa suara yang terbentuk dalam ekspresi wajahnya. Kalau memang nonanya ingin ke festival, ia hanya perlu menemaninya, bukan? Toh, kalau hanya nonanya sendiri, Daiki tidak memerlukan pengawalan dari yang lain.
Keselamatan Nona Seira itu tanggung jawab Daiki. Bukan karena titah dari Tuan Masaomi. Tapi, Daiki yang mendeklarasikannya sebagai janji kepada dirinya sendiri. Setidaknya, dengan adanya janji itu, juga tekad baja dan keras kepalanya, ia berhasil lulus dari satu institusi pelatihan bodyguard dengan nilai terbaik dan waktu tersingkat. Menjadikan dirinya sebagai andalan dalam bidang proteksi keseharian Nona Seira.
"Mau pergi ke festival dekat sini? Hanya satu stasiun dari sini, tapi tidak sebesar festival lentera di Kuil Yasukuni." Selain itu, menurut Daiki, festival yang ia maksud tidak akan seramai Mitama Matsuri.
Seira diam sejenak, menimbang. Ia sangat ingin pergi ke Mitama Matsuri bersama ibunya, mengingat ibunya sangat menyukai jejeran lentera yang tampak benderang di malam gelap. Sayangnya, keinginannya itu harus menunggu tahun depan karena hari ini adalah hari terakhir festival lentera itu. Terima kasih kepada ayahnya yang turut membawa serta ibunya ke Sapporo dan menggagalkan rencananya sekaligus.
"Tidak apa," jawab Seira akhirnya, "Mitama Matsuri pasti juga akan luar biasa ramai malam ini. Berangkat setelah matahari terbenam?"
Daiki mengangguk, sembari menyelipkan kembali ponselnya ke saku celana. "Dengan mobil."
Kali ini Seira berhenti menulis dan melemparkan satu tatapan penuh ketidaksetujuan kepada Daiki. "Kereta saja...," ucapannya terdengar pelan berikut dengan kerut kecewa di bibirnya.
"Lebih aman naik mobil, Nona Sei."
"Aku ingin naik kereta." Ucapannya terdengar seperti perintah bagi Daiki. "Hanya satu stasiun dari sini, bukan?"
Daiki mengusap tengkuknya, setengah lelah setengah pusing. "Memang hanya satu stasiun," gumamnya, tidak puas dengan jawaban yang keluar dari bibirnya sendiri. "Baiklah. Kita akan naik kereta."
Puas dengan keinginannya yang, lagi-lagi, terpenuhi, Seira melanjutkan pekerjaannya yang kini hanya tersisa beberapa map. Tanpa merasa perlu mendongak, ia memberikan perintah baru kepada penjaganya tersebut.
"Kalau begitu, lebih baik kau mulai memilihkan pakaian untuk kukenakan nanti selagi aku menyelesaikan pekerjaanku, Daiki."
Bodyguard itu terhenyak di tempat, menatap nonanya tak percaya. Namun, segera ia bangkit dari kursi dan keluar dari ruang belajar tanpa bicara apa-apa. Baru ketika pintu di belakangnya tertutup, dan Daiki sudah berjalan agak jauh dari koridor tersebut, ia diam dan menarik napas panjang.
"Bercandamu keterlaluan, Sei," gumamnya, sembari menggaruk tengkuknya yang memanas tanpa sebab.
Udara sudah terasa lebih sejuk ketika Daiki menyusuri koridor dengan membawa satu keranjang anyaman segi empat yang berisi satu set pakaian untuk nonanya. Seharusnya nonanya sudah selesai latihan sekarang. Mungkin saja ia akan berpapasan dengannya di tengah jalan.
Benar saja, nonanya tengah bersandar di dinding koridor. Pakaian senam berlengan panjang masih melekat di tubuhnya, handuk berwarna putih tergantung bebas di lehernya, pita ritmik warna merah terselip di sikunya, leher dan pundaknya mengapit ponselnya selagi tangannya sibuk menutup botol minumnya.
Tidak perlu komando untuk Daiki meletakkan bawaannya, mengambil botol minum lalu merapatkan tutupnya, sampai mengambil untaian pita yang belum sempat dilipat. Segalanya ia lakukan tanpa bicara apa-apa, hanya memasang telinga kalau-kalau pembicaraan yang nonanya lakukan memerlukan atensinya.
Daiki baru selesai melipat pita—ya, dia sudah bisa melakukannya dengan rapi sekarang—ketika nonanya menyodorkan ponselnya padanya, kerut halus di antara kedua alisnya menjadi sinyal akan adanya berita yang mengejutkan setelah ini.
"Kita ke Inggris minggu depan."
"Ha? Inggris?"
"Inggris. London, tepatnya. Perlu kuulangi?"
Daiki menggeleng cepat. Balasan nonanya yang singkat, padat, dan cepat itu cukup menggambarkan kekesalannya sendiri. Ada angin apa sampai ia pun diminta untuk ikut serta ke negeri seberang?
Seberang dunia sebelah mana itu yang akan Daiki cari tahu nanti.
"Ada apa di Inggris?"
"Kerajaan," jawabnya pendek, setengah kesal dengan pemberitahuan yang begitu mendadak. "Ayah memberiku kelonggaran selama satu minggu untuk berwisata ke sana."
"Tumben sekali...," gumam Daiki hampir tidak terdengar kalau Seira tidak awas pendengarannya. "Hanya kita berdua?"
"Berempat. Aku, kamu, Tetsuna, dan Taiga."
"Bakagami itu juga?"
"Kalau kau mau protes, coba ajukan pada nenek Tetsuna. Beliau sendiri yang tadi menelpon dan memberitahuku soal ini. Aku sudah berusaha meyakinkan beliau bahwa keberadaannya tidak diperlukan."
"Haaaaahhhhh!" Daiki mengeluh panjang. Tidak seru sekali kalau harus bertugas mengawal bersama selama satu mingggu bersama dengan bodyguard dari nona keluarga Kuroko itu. Kabar baiknya memang jadi ada yang membantunya membawa bagasi dan barang belanjaan. Tetapi, ini berarti ia harus berkoordinasi dengan bodyguard sahabat nonanya itu selama di Inggris. Iya. Dengan Bakagami!
"Setidaknya kebodohan kalian bisa menghiburku selama perjalanan." Seira tertawa singkat sebelum meraih kembali botol minumnya dari tangan Daiki. "Sudah selesai memilihkan pakaianku?"
Daiki menunggu sampai nonanya selesai meneguk minuman baru menyodorkan keranjang anyaman yang ia bawa. Terdapat sehelai yukata yang terlipat rapi di sana. Berwarna biru tua dengan pola kupu-kupu dan rumpun bunga di bagian ujungnya, berikut sehelai obi berwarna merah ceri segar. Seira tidak tahan untuk tidak tersenyum ketika melihat satu benda yang ditaruh di atas obinya.
"Kanzashi, eh? Tidakkah kau terlalu bersenang-senang dalam memilihkan apa saja yang harus kukenakan nanti, Daiki?" Seira mengambil hiasan rambut berbahan perak tersebut, diam-diam mengapresiasi untaian bunga morning glory di ujung taji perak tersebut. Hiasan yang sesuai untuk festival di bulan Juli.
"Ahahaha...boleh tidak kau pakai, Nona. Tadi hanya kebetulan melihatnya dan karena biasanya di festival panas...err...mungkin saja nona ingin..." Daiki diam, tidak berani melanjutkan ucapannya.
"Ingin? Lanjutkan ucapanmu, Daiki." Seira menunggu. Sembari menimang hiasan rambut itu di tangan dan matanya tak melepaskan ekspresi Daiki yang seolah tengah tertangkap basah.
Perlu waktu sampai Daiki akhirnya buka suara, mereka sudah berdiri di depan pintu kamar Seira ketika itu. Melihat nonanya yang bergeming tidak segera masuk ke kamar, Daiki paham bahwa ia wajib meneruskan kalimat yang tadi sengaja ia potong.
"...digulung rambutnya...," ucapnya lirih. Ia buang pandangannya ke langit-langit dan berusaha tidak mendengar tawa ringan yang lolos dari sepasang bibir merah muda itu.
"Kenakan pakaianmu yang paling nyaman, Daiki. Kita bertemu di pintu depan tiga puluh menit lagi."
"Kaos dan celana pendek?" tanya Daiki, sedikit berharap.
Seira hanya mengangguk, seraya mengambil keranjang anyaman yang berisi pakaiannya dari tangan Daiki. Sesaat sebelum ia menutup pintu kamarnya, Seira melemparkan satu senyum peringatan padanya.
"Jangan pakai sandal jepit. Kenakan saja salah satu sepatu yang kubelikan untukmu."
Protes keras dari Daiki sudah tidak terdengar begitu pintu kamarnya tertutup. Nona muda itu kembali menatap pakaian di tangannya dan senyum di bibirnya melembut.
"Mungkin sudah waktunya aku membelikan Daiki yukata juga untuk musim panas tahun depan," gumamnya ringan sembari menekan tombol untuk memanggil beberapa pelayannya.
Berapa lama waktu yang Daiki perlukan untuk bersiap-siap?
Sepuluh menit.
Dua puluh menit sisanya ia habiskan dengan mengisi ulang baterai ponselnya dan mencari informasi mengenai rencana perjalanan ke Inggris minggu depan. Bahkan, setelah ia menunggu di pintu depan selama sepuluh menit sambil berbincang dengan tukang kebun yang tengah membersihkan taman, Nona Seira belum juga muncul.
Wanita dan waktu dandannya yang kadang hanya bisa membuat Daiki geleng-geleng kepala tak paham.
Lima puluh menit, Daiki menghitungnya, dan pintu depan akhirnya terbuka. Namun, bukan suara halus engsel pintu yang sering diminyaki atau bunyi sandal kayu beradu dengan keramik yang membuatnya mendongak dari layar ponselnya.
"Daiki, aku sudah siap."
Suara itu selembut sutra, Daiki bersumpah. Karenanya ia selalu menoleh ketika suara itu menyebut namanya, memanggilnya, menyedot seluruh perhatiannya dalam satu fokus yang bernama Akashi Seira. Hanya untuk mendapati sosok yang tengah berdiri tak jauh darinya itu mencuri seluruh napasnya dalam satu hentakan pesona.
Nonanya berdiri di depan pintu, seorang pelayan wanita masih sempat membetulkan pita obi merahnya yang merekah di punggung berlekuknya. Yukata berwarna dasar biru tua itu melapisi tubuh nonanya dengan apik, begitu mulus menampilkan postur tubuh nonanya yang sempurna, dengan cetakan rumpun bunga di kain yang menutupi mata kakinya, sedangkan beberapa kupu-kupu tampak terbang dan hinggap di bahunya.
"Daiki?"
Wangi mawar itu mendobrak indra penghidu Daiki. Jarak yang kini hanya selangkah itu membuat Daiki dapat melihat dengan jelas pulasan merah jambu di bibir tipis nonanya. Juga bagaimana rambut yang tampak begitu lembut itu ditata bagaikan kerang yang bertahta hiasan rambut perak. Lehernya tampak putih, dan semakin jenjang, dan ramping karena lekuk tengkuk yang kini dapat Daiki perhatikan.
"Daiki."
Panggilan ketiga berikut satu cubitan di pipi Daiki membuatnya sadar, sekaligus mengambil satu langkah mundur untuk kembali menciptakan jarak. Nona di hadapannya tampak kesal dengan keterpanaannya, membuat alis yang tampaknya lebih gelap daripada biasanya itu terlihat nyaris menyatu di atas bentukan hidung.
"A-ah—maafkan aku, Nona," ujar Daiki, setelah kembali mencengkram kesadarannya dan menyuplai lagi oksigen ke paru-parunya. Daiki sekali lagi menatap nona di hadapannya, menelisik dari atas sampai bawah.
"Anda yakin tidak mau naik mobil saja?"
Hanya bunyi langkah dari geta Seira yang terdengar seiring nona itu berjalan meninggalkan sang bodyguard yang tidak rela berbagi sosok cantik majikannya dengan seluruh orang di stasiun, kereta, bahkan festival itu sendiri.
Keramaian di festival malam itu lebih dari apa yang Daiki perkirakan. Baru saja mereka sampai di pintu gerbang kuil, beberapa orang sudah—entah sengaja atau tidak—menyenggol nonanya hingga nyaris jatuh. Kalau sudah begitu, entah mengapa harga dirinya sebagai bodyguard serasa sedang disenggol juga. Jaraknya kurang dari sepuluh sentimeter dengan sang nona tapi tetap saja tubuh ramping itu oleng.
"Nona." Daiki sengaja menunduk agar tak perlu mengeraskan suaranya. "Pulang saja, bagaimana? Ini terlalu ramai."
Seira melirik tajam kepada orang yang tumbuh besar bersamanya itu, hanya mendapati kerut serius penuh pertimbangan membingkai kedua bola mata sewarna permukaan laut biru dalam. Ia ingin Daiki bersantai dan menikmati festival ini bersamanya. Bukan terus-menerus menjaganya bagai artefak suci milik kerajaan.
"Kau takut aku jatuh atau terde—"
Ucapan itu tidak selesai karena seorang anak berlari di sela-sela langkah kerumuman orang. Menyepak geta Seira tanpa sadar dalam langkah tergesanya mengejar pentas pertunjukan topeng. Bahkan, Seira yang kesehariannya bermain dengan kelenturan dan keseimbangan tubuh, harus oleng dibuatnya. Lebih karena terkejut dibandingkan tidak mampu mempertahankan pijakan tubuh.
Hanya untuk segera diselamatkan oleh bodyguard terbaiknya.
Daiki gesit, tentu. Tangannya yang panjang dan terbentuk ototnya dengan sigap meraih pundak nonanya. Dalam satu hentak cepat, ia tarik sang nona ke arahnya. Tak peduli dengan wajah sang nona yang menempel di kausnya, meninggalkan satu noda kemerahan bekas perona bibir di warna biru muda itu.
"Nona, kau tidak apa?" Daiki belum melepaskan tangannya, mengerat sekejap malah sebelum ia merutuki bocah cilik yang kelewat aktif tadi—meski sosoknya pun sudah tidak terlihat termakan lautan manusia. "Ini terlalu ramai, Nona. Anda bisa saja terjatuh, terinjak, atau dicul—"
"Daik—"
"Aku belum selesai, Nona. Keselamatanmu itu tanggung jawabku. Aku tidak akan membiarkanmu melenggang menikmati festival dan nanti pulang hanya tinggal nama."
Kali ini Seira memilih untuk mencubit pinggang Daiki yang sama sekali tidak berlemak itu, kuat-kuat. Biar saja Daiki langsung melonjak dan melepaskan tangannya, mengaduh sambil menggosok bekas cubitan yang pasti memerah di balik kausnya. Cubitan nonanya ini memang luar biasa, kok, sakitnya. Untung saja ia pakai baju jadi tidak akan ada bekas lukanya.
"Ayahku tidak membayarmu mahal untuk pekerjaan mudah, Daiki."
Kedua mata sewarna batu rubi itu menatap Daiki lekat-lekat. Tampak lebih bersinar terkena bias lentera yang tergantung pada sekitar gerbang di belakangnya. Rambut merahnya yang digelung tampak mengkilat dan berbaur dengan meriah sekitarnya, membuat Daiki diam dan memilih mendengarkan. Tanpa sadar terbuai dengan warna yang makin meriah di hadapannya.
"Kalau kau takut aku terinjak, maka kau harus terus siaga bersamaku. Kalau kau takut aku terjatuh, maka kau harus siap untuk terus menangkapku. Seperti tadi."
Senyum mulus yang terbit di wajah Seira kembali membuat Daiki lupa bernapas. Tidak lama sampai ia menarik napas panjang dan menahannya, ketika satu lembut meraih tangan berkapalnya. Menggenggamnya dalam halus dan hangat yang tak pernah membuatnya jemu.
"Kalau kau takut seseorang menculikku, maka jaga aku seperti diri ini milikmu, Daiki. Sehingga tidak ada orang yang bisa mengambilnya darimu."
Daiki tidak berkata apa-apa. Hanya genggam tangannya yang mengerat sesaat sebelum ganti menjadi taut rapat dengan jemari lentik dengan kuku berwarna merah jambu.
A/N : because fem!Akashi is justice. Decided to split this part into 2 chapter. further character will be revealed later. Thank you! comments would be lovely! [also, this series is part of "111 Days Between Me and You" because Aomine and Akashi's birthday is 111 days apart.]
A/N II : Pinjam nama Tsukino Mikoto dan Himekawa dari Tsukiuta serta Ichigo, Tsurumaru dari Touken Ranbu. This is not crossover, tho. Short A/N because hospital's PC is suck
