Kalian dengan ambisi kalian. Aku dan adikku dengan mimpi kami. Mimpi? Ataukah harapan? Bukan. Bukan itu, tapi impian. Impian kami tidaklah muluk. Kami― Aku dan adikku hanya ingin bertemu Ayah Ibu, lalu berkumpul dan makan bersama./"Kakak... terimakasih."/ For ES21 Awards april-mei : Dream (Mimpi=Harapan=Impian=cita-cita?)
.
Eyeshield 21 © Riichiro Inagaki & Yusuke Murata
Aku Kamu dan Impian kita © Saitou senichi
.
Perhatian! AU, Kekurangan disana-sini, OOC (kuharap tidak terlalu), bukan SARA, setting tempat diambil dari akhir jaman perang dunia ke II. No Pairing just relationship of Family.
Kritik, saran, Kesan diterima dengan senang hati.
.
Pagi itu terdengar kembali suara desingan memenuhi cakrawala. Apakah itu pesawat Amerika? Aku terbangun dan menemukan Ibu yang tengah berkemas. Memasukan pakaian dan obat-obatan. Aku menoleh pada sisi kiriku. Disana masih terbaring adik tercintaku― Suzuna.
"Ibu..."
Ketika aku memanggil, Ibuku menoleh lalu tersenyum. "Mamori... cepat bangun, makan lalu kubur bahan makanan ini," Ibuku menunjuk beberapa bahan makanan yang sudah dimasukan kedalam tempat besar. Suara Ibuku lembut namun penuh ketegasan didalamnya.
Aku mengangguk lalu membersihkan diri dan mulai melakukan apa yang diminta Ibuku. Ketika aku menuju pekarangan belakang rumah, mataku melihat sosok Ibu tengah mencangkul. Aku segera membantunya. Di usiaku yang menginjak sebelas tahun, kami― Aku dan Ibuku yang ditinggalkan Ayah berperang, harus mandiri. Melakukan apapun sendiri. Namun aku bahagia, aku hanya berharap perang segera usai lalu kami bisa berkumpul lagi.
Peluh membasahi bajuku. Di jaman ini memang tidak aneh lagi jika melihat gadis seusia kami mengenakan celana dengan tambalan disana-sini, menanggalkan kimono bagus. Rambut panjangku dipotong sebahu. Ibu masuk kedalam rumah lalu mengeluarkan bahan makanan yang tadi sudah disiapkan.
"Kau bisa?" Ibu bertanya ketika aku berusaha mengangkat tiga ember besar berisikan air.
Aku mengangguk pelan. Sembari tersenyum aku berusaha meyakinkan. Lalu kembali memasukan bahan makanan yang lain. Ibu menepuk kepalaku lalu mengikat rambutku. Dia berkata, "Mamori... Ibu pergi dahulu, mengunjungi Ayahmu. Kau jaga Adikmu."
Sebelum aku menjawab, suara langkah kaki kecil mengalihkan pandangan kami. Disana berdiri Adikku― Suzuna. Kepalan tangannya yang kecil mengusap-usap matanya. Ibuku hanya tersenyum ketika Suzuna menggumamkan namaku terlebih dahulu sebelum Ibuku.
"Nah. Mamori, Suzuna..."
"Ya. Ibu?"
"Ibu berangkat."
Sebelum meninggalkan kami. Adikku bertanya. "Ibu... Nanti kalau pulang jangan lupa belikan aku dan kakak permen."
"Iya," Ibu mengelus puncak kepala Adikku. "Ibu berangkat."
Saat itu punggung Ibu terlihat samar-samar. Tidak biasanya aku begini, namun entah kenapa... Aku rasa hari ini akan sangat aku rindukan. Suzuna duduk memperhatikan kegiatanku. Sesekali ia bertanya; kenapa Ayah belum juga pulang? Dan aku hanya menjawab sebentar lagi.
"...Sebentar lagi Ayah Ibu akan pulang, membawakan Suzuna dan kakak sesuatu," aku meyakinkan adikku dan diriku sendiri.
Ketika tanah terakhir meratakan hasil galian Ibu. Aku segera mengambil tas selempangku lalu mengambil kain panjang. Aku harus cepat-cepat, karena semuanya telah mengungsi. Sekolah pun diliburkan.
"Aku benci sekali suara burung raksasa itu," Suzuna― Adikku yang berusia empat tahun mengeluh sembari memajukan bibirnya. Ia segera berdiri ketika aku memperlihatkan tali― kain putih panjang. Aku membelit punggungnya, kakinya dengan punggungku agar merapat. Aku ikat simpulan kain dengan kuat di pinggangku. Agar Suzuna tidak jatuh ketika aku berlari.
"Jangan mengeluh, ini hanya sebentar."
Aku mulai mengenakan tas selempangku yang berisi foto keluarga dan beberapa barang yang berharga. Ketika akan memakai sepatu, terdengar lagi desingan itu. tapi dibarengi oleh suara benda jatuh.
"Merunduk."
Setelah suara itu berhenti. Aku segera keluar rumah dan memeriksa keadaan. Mataku terbelalak saat melihat di langit banyak sekali pesawat menjatuhkan sesuatu diatas desa kami. Desa kami dijatuhi banyak sekali benda aneh. Dalam hitungan detik atap-atap penduduk desa mulai terbakar. Semua penduduk sepertinya sudah mengungsi. Hanya tinggal kami. Aku segera berlari menghindari benda-benda itu. Berharap segera keluar dari sini.
Samar-samar aku mendengar suara ringisan adikku. Suzuna memang tidak senang dengan suara itu. Siapa juga yang senang dengan suara memekakan seperti itu. aku berlari menuju tempat yang dibilang khusus untuk mengungsi. Ditengah-tengah saat aku berlari, terlihat truk besar dengan beberapa penduduk disana. Seorang tentara berteriak pada supir, lalu memerintahkan kami segera berlari dan menaiki truk itu dengan gerakan tangan.
"Cepat! Nak."
Saat aku berlari, Suzuna sedikit berguncang-guncang namun tetap memeluk erat leherku. Tentara itu turun dan mendekati kami. Membantuku menaiki truk itu. Sambil melihat keadaan aku mencari-cari sosok Ibu. Ibu tidak ada disini. Ibu bilang akan menemui Ayah. Apakah kami menaiki truk yang berbeda? Pasti begitu.
Didalam truk yang atapnya ditutupi kain terpal tebal berwarna hijau tua. Kami berdesak-desakkan. Adikku bersikukuh tetap digendong olehku. Ia takut tertinggal katanya. Beberapa orang berbisik-bisik. Mereka bercerita tentang kekejaman Amerika dan kejayaan Jepang. Aku tidak mengerti.
Kami diturunkan disebuah desa didalam hutan namun dengan banyak sekali tentara. Aku dibantu turun oleh tentara itu lagi. Ia menggiringku memasuki desa, disana aku tidak melihat Ibuku. Lalu dengan suaranya yang besar dan dalam ia berkata.
"Nah. Masuklah kedalam, disana lebih aman."
"Paman..." Suzuna berbicara dengan suara yang agak serak, "Ibuku dimana?"
Paman itu tersentak. Dengan wajahnya yang keras ia mencoba tersenyum, "mungkin di kamp yang lain."
"Musashi!" seseorang dengan tubuh tambun dan wajah yang ramah memanggil tentara itu. "Kau dicari oleh jendral Doburoku― eh? Adik ayo cepat masuk. Disana ada makanan."
"Ya. Sampai jumpa lagi, Nak."
Kemudian mereka meninggalkan kami yang masih bingung. Perut kami berbunyi saat mencium aroma masakan yang dibuat oleh dapur dadakan tersebut. Dengan segera kami duduk lalu menunggu masakan itu matang. Aku membuka ikatan simpul dipinggangku, lalu mendudukan Suzuna disampingku. Setelah matang, mereka memberikan kami makanan. Jika boleh aku jujur, makanan ini sungguh tidak seenak buatan Ibuku. Tapi aku tidak boleh mengeluh, aku harus kuat dihadapan adikku.
Kami tidur beralaskan tikar tipis dan selimut tipis. Malam itu aku dan Suzuna tidak bisa tidur. Kami terbangun, lalu duduk dengan termangu. Sesekali Suzuna merengek meminta sesuatu yang manis. Dan ingin pulang. Aku bingung dibuatnya.
"Baiklah..." aku memetik kuncup bunga berwarna merah yang belum mekar disamping pohon dekat tenda itu, lalu aku mencabut batang daun yang dekat― dibawah mahkota bunga. Aku menyodorkan bunga yang belum mekar tersebut. Tanpa batang dan daun.
"Apa?"
"Hisap ini. Disini," aku menunjuk bekas kuncup daun yang sudah ku buang. Aku mempraktekannya dihadapan Adikku. Dengan raut wajah yang penasaran, Suzuna mengikuti apa yang aku lakukan.
"Manis, tapi lebih manis permen." gumamnya.
Aku hanya tersenyum. Untunglah kebiasaan Ayah yang selalu aku perhatikan sangat berguna sekali. "Suzuna.. Ingat ya, yang bisa dihisap hanya bunga ini saja, bukan bunga yang lainnya." Aku memperingatkan, yang dijawab dengan anggukan.
.
Seorang kakak selalu ingin melindungi adiknya, dengan berbeda cara.
Dia yang menurut kalian menyebalkan. Dia yang menurut para adik benar-benar mengatur. Sebenarnya didalam hatinya ia tidak pernah menginginkan hal itu.
Ia hanya ingin kamu hidup dengan semestinya. Katakanlah egois.
Namun satu hal yang harus kalian percayai.
Seorang kakak benar-benar menyayangi dan ingin melindungi adiknya.
.
.
"Aku bermimpi... bermimpi bertemu Ibu.. Ada gerangan apakah?"
.
.
Terdengar suara riuh disekitar. Tubuhku diguncangkan cukup keras. Beberapa kali kudengar adikku menangis. Saat membuka mata, disana terlihat wajah adik kecilku yang basah oleh air mata dan ingus. Hidung dan pipinya memerah. Dengan gerakan cepat, aku langsung berdiri dan memperhatikan keadaan sekitar. Semua pengungsi lari pontang panting. Terdengar suara gaduh diluar.
"Kakak... aku takut," Suzuna menangis sembari memelukku.
Aku juga takut aku membatin, namun rasa takut itu harus kutelan bulat-bulat. Jika aku takut, siapa yang akan melindungi Adikku. Aku berlari ditengah-tengah orang dewasa. Sembari berlari aku menangis saat melihat seorang wanita rubuh dengan darah yang mengucur dikepalanya. Aku dekap kepala Suzuna, agar ia tidak melihat pemandangan ini.
Kami semua masuk kedalam hutan. Beberapa wanita dewasa menjerit mendekap anaknya yang kini bersimbah darah. Aku takut. Kami semua ketakutan. Aku tak membiarkan adikku melihatnya. Aku masuk lebih dalam lagi.
"Kakak..."
"Ssstt. Jangan berisik, nanti ketahuan." Aku takut musuh-musuh itu malah berada di hutan ini.
"Kita sedang bermain petak umpet?"
"Iya. Kalau kita mau jadi pemenangnya, Suzuna harus mendengarkan kakak baik-baik," aku berhenti sejenak. Mengambil napas dalam-dalam. Kakiku pegal sekali.
"Aku ingin pulang..."
"Iya. Kita akan pulang. Sekarang dengarkan kakak," aku menatapnya tepat dikedua bola matanya. "Jangan menoleh kebelakang, jangan bicara terlalu keras. Mengerti?" ia mengangguk.
Tujuanku adalah mencari jalan pulang. Aku terus berjalan, berharap menemukan jejak truk tadi yang kami naiki. Mungkin dengan mengikuti jejak truk tersebut, kami bisa kembali lagi ke desa. Ibu pasti menanti disana.
"Kakak. Kakiku sakit," aku perhatikan kedua kakinya yang kecil nampak membengkak.
"Yasudah. Sini kakak gendong," aku menyodorkan punggungku, dengan sigap ia memeluk leherku.
Diperjalanan yang jauh dan lama, adikku sesekali bermain tebak-tebakkan. Lalu bersenandung pelan. Ketika matahari terasa terik sekali. Aku duduk sebentar disamping sungai. Lalu menurunkan Suzuna yang tengah tertidur. Disela dengkuran halusnya, aku mendengar suara perutnya yang berbunyi. Kami lapar, namun perjalanan masih jauh.
Aku diam duduk memandangi aliran sungai yang seperti berlian. Aku jadi ingat kata-kata guruku beberapa hari yang lalu. Yang menjadi pekerjaan rumah. Yang seharusnya aku kumpulkan hari ini.
"Apa mimpimu?" saat itu Ako sensei bertanya padaku.
mimpiku?
"Apa impianmu?"Ako sensei kembali bertanya padaku.
Aku selalu berpikir. Mimpi itu seperti Harapan. Dan Harapan seperti Impian, bukankah impian itu adalah cita-cita? Ah Ako sensei memberikan tugas rumah yang sulit sekali. Jadi jika maksud sensei adalah mimpi yang seperti aku pikirkan, aku akan menjawab.
Aku... Mimpiku... Impianku, sekaligus harapanku untuk saat ini hanya satu.
Bertemu dengan Ayah dan Ibu. Lalu berkumpul bersama. Ya. Itu... impianku saat ini.
. . .
.
.
Tbc
.
.
A/n : Ya. Saya dan jalan pikiran aneh saya. Pertama kali saya mengikuti challange seperti ini, dan saya benar-benar malu dengan definisi "DREAM" dari otak saya. Menurut saya DREAM itu Mimpi, Mimpi itu seperti Harapan, Harapan itu seperti Impian, dan Impian itu adalah cita-cita. Entah menurut panitia ini termasuk "Dream" yang dimaksud apa tidak? (berlindung dibawah ketek Hiruma).
Maafkan saya... jika ada yang menegur akan kekeliruan tentang definisi Mimpi dari otak saya, itu mungkin lebih baik.
Terimakasih.
Review?
