Disclaimers:

Naruto © Masashi Kishimoto, miliknya kemarin, sekarang & nanti

Fluorescent © Jinsei Megami

.

Rated: T

Genre: Friendship, a grain of hurt/comfort

Pairing: Ino x Sai

Warning: AU, OOC, Typo(s), ide yang pasaran & kebanyakan deskripsi (mungkin?)

Summary:

Tak ada lagi yang namanya cinta. Yang ada hanya rasa kasihan. Yamanaka Ino benci dikasihani. Dia tak perlu. Walau hatinya remuk dan hancur sekalipun. Ruang bahagia di hatinya bagai tertutup begitu saja. Tapi pintu lain terbuka ke ruang gelap gulita. Namun memberikannya harapan.

Read first, baru boleh nilai suka apa nggak... ^^

Enjoy read, Minna~

.

Jinsei Megami Proudly Present

FLUORESCENT


[chapter 1: gloom]

.

.

.

.

"Pig! Jadi bagaimana?" Suara itu langsung menyerbu begitu gadis yang tetap mempertahankan rambut panjangnya itu mengangkat telepon dari sahabat cerewetnya. Rupanya gadis di seberang sana tak ingin melewatkan berita walaupun sebentar saja.

"Nggak bisakah kau berbasa-basi dulu walaupun hanya sekedar bilang 'moshi-moshi'?" Balas si gadis berambut pirang dengan tidak bersemangat. Dia juga melangkahkan kakinya di trotoar tanpa tujuan. Dia hanya ingin berjalan-jalan saja. Setidaknya dia tak lagi di café dengan si pria bersurai merah itu. Walaupun di sana lebih hangat daripada di luar sini. Wajar saja, sekarang memang musim gugur.

"Moshi-moshi kalau begitu," Balas gadis di seberang sana dengan ringan. Seakan tak peduli.

Si gadis pirang mendengus dan sudut bibirnya tertarik sedikit, "Telat kau, Forehead!"

"BODOH! Kan kau yang menyuruhku berbasa-basi!" Seru sahabatnya lagi.

"KAU YANG BODOH! Maksudku tadi, Forehead!" Serunya tak kalah lantang. Kini kedua sudut bibirnya tertarik membentuk lengkungan senyuman tipis. Senang sahabatnya itu mengajaknya bertengkar. Setidaknya pikirannya akan sedikit teralihkan walaupun sebentar.

"Huh!" Suara dengusan terdengar dari seberang sana.

Setelah itu tak ada lagi suara dari kedua pihak. Keduanya diam dengan pikiran masing-masing. Ada jeda yang lumayan lama, padahal si gadis yang kini tengah melangkah di jembatan penyebrangan itu berharap sahabatnya kembali memancing pertengkaran.

"Ino...," Ah, akhirnya. Tapi jika dia memanggilnya bukan dengan panggilan cacian yang biasa, itu artinya dia tidak sedang berniat bergurau. Sahabatnya yang cerewet itu mengulangi pertanyaan pertamanya lagi, dengan nada yang berbeda, "Jadi bagaimana?"

Senyuman tipis yang tadi menghiasi wajah cantiknya seketika itu pudar. Ino menarik napas dalam-dalam. Dia tak ingin membuat sahabatnya itu khawatir padanya. Maka dia paksakan untuk tersenyum lebih lebar dan berkata dengan nada ceria, "Apanya yang bagaimana, Sakura? Ya, aku putus dengan Gaara. Apalagi?"

"Kau aneh kalau berpura-pura begitu, kau tahu?" Sakura tahu Ino hanya memaksakan dirinya untuk terdengar biasa saja. Gadis bermata emerald itu terlalu mengenal Ino hingga ia dapat tahu jika ada yang salah dengannya, walau itu hanya sedikit perubahan di nada suaranya. Sebagai sesama wanita, iapun tahu, putus cinta selalu tak mudah bagi wanita manapun. Sesiap apapun wanita itu, "Jangan berpura-pura! Yamanaka Ino sahabatku adalah orang paling ekspresif dan paling jujur dengan apa yang dirasakannya."

Ino kembali tersenyum mendengar ucapan Sakura. Dia bisa saja menangis dan menuangkan perasaannya kini pada gadis itu. Tapi dia tak ingin merepotkan Sakura. Dia tak ingin membuat Sakura khawatir, "Aku baik-baik saja, Sakura."

Sakura mendengus lagi, "Kau bohong, Yamanaka Ino."

Dan Ino menghela napas. Memang sulit mempunyai sahabat secerewet Sakura, "Baiklah, Baiklah, Haruno Sakura. Kuralat penyataanku. Aku 'akan' baik-baik saja."

"Kau ada di mana? Kususul!"

"Buat apa kau menyusulku? Aku nggak apa-apa, Sakura. Memangnya kau nggak kuliah?"

"Ada. Malah aku sedang di kelas."

Ino terbelalak mendengar jawaban Sakura. Tak percaya dengan sahabatnya itu. Maka ia berseru padanya, "KAU GILA! Kau ada kelas dan sempat-sempatnya meneleponku? Hey Forehead, kelak hidup matinya orang bergantung di tanganmu! KULIAH YANG BENAR!"

Terdengar suara tawa dari seberang sana, "Kau terdengar seperti Kaa-san-ku. Lagipula mungkin kelasku akan batal, dokter spesialis saraf yang jadi dosenku ada operasi cito di –. Oh, Sial! Nanti kita lanjutkan, ya. Dosenku ternyata datang. APA? Gawat! Kenapa dia mengadakan kuis dadakan, sih? Sial!"

Sekarang Ino yang tertawa terbahak-bahak membayangkan kesialan Sakura, "Rasakan!"

"Pokoknya nanti malam aku akan datang dan menginap di rumahmu. Dan aku nggak menerima penolakan. Jaa...," Sakura bicara dengan terburu-buru sambil berbisik, "Dan kau nggak boleh stress. Kau tahu kan, pusat stress juga di hipotalamus, tempat yang sama dengan pusat kerja organ tubuhmu. Kalau kau stress, keseimbangan hormon di tubuhmu juga akan terganggu. Kau ingat kan, kalau aku pernah bilang penyakit itu lebih dari lima puluh persennya diakibatkan karena stress? Stress juga bisa menyebabkan stroke dan serangan jantung, tahu! Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, jadi ka –"

"Iya, aku mengerti, Sakura. Aku nggak akan memikirkannya," Ino terpaksa harus memotong ucapan Sakura. Ino tak percaya Sakura masih sempat-sempatnya memberikan kuliah singkat tentang apa itu tadi? Hipotalamus? Dan bukankah dia bahkan ada kuis mendadak? "Aku akan memikirkan saja strategi mengerjai Naruto di ulang tahunnya nanti. Jaa ne, Sakura."

Ino ingat. Lusa –yang kebetulan jatuh pada hari minggu –memang hari ulang tahun sepupunya yang pecicilan itu yang kedua puluh.

"Jaa," Balas Sakura.

Ino menutup handphone-nya begitu Sakura memutus sambungan telepon mereka. Dia menghela napas lagi.

Saat itu dia baru sadar bahwa dia telah berjalan lumayan jauh dari café tadi. Pantas betisnya terasa kaku, apalagi dia memakai sepatu dengan heels setinggi empat inchi. Kalau dia tahu dia akan berjalan jauh seperti itu, tentu saja dia akan memakai sepatu yang lebih pendek. Diapun duduk di anak tangga terbawah salah satu gedung di dekatnya dan mulai memijat tumitnya.

Matanya memandang ke pepohonan di seberang jalan yang daun-daunnya telah berubah warna menjadi coklat. Saat angin berhembus, beberapa daun yang mengering itupun tercabut dari inangnya, terombang-ambing sejenak sebelum menghempas tanah untuk kemudian membusuk.

Ino mendengus lagi. Dia tersenyum miris.

Keadaan daun itu sungguh mirip dengan keadaan hatinya kini. Cintanya dan Gaara gugur seperti dedaunan itu. Tidak! Salah! Yang benar cinta Gaara padanya telah gugur jauh sebelum ini.

Tangannya meremas handbag etnik di pangkuannya. Matanya mulai memanas dan pandangannya mulai berkabut. Oh, tidak! Dia tidak mau mengeluarkannya di sini atau orang-orang yang berlalu-lalang akan melihatnya dengan tatapan iba. Dia tak mau dikasihani. Sudah cukup dia dikasihani. Dia merapatkan cardigannya. Angin musim gugur mulai menusuk tubuhnya. Apalagi petang telah datang. Dia memang butuh tempat yang lebih hangat dan lebih tenang.

Dia menyusuri matanya ke bangunan di sekitarnya. Mall? Tidak! Dia tidak sedang mood ke sana. Mungkin jika dalam situasi normal, dia akan sukarela menghabiskan waktunya di mall sampai malam. Tapi tidak sekarang. Café? Oh, tentu saja tidak. Tidak setelah kejadian tadi. Lalu matanya melirik ke anak tangga yang didudukinya. Kemudian menelusuri pandangannya ke tangga pualam putih hingga ke bangunan megah beraksitektur Yunani dengan delapan pilar tinggi tepat di belakangnya.

Dia tahu bangunan itu. Konoha Art Castle. Bangunan tua peninggalan zaman kolonial yang sudah dipugar dan kini menjadi pusat pameran seni paling bergengsi di kota ini. Ino bangkit dari posisi duduknya. Memperhatikan orang-orang yang keluar masuk bangunan dengan langit-langit tinggi itu. Mungkin sekarangpun tengah ada pameran di sana. Yah, setahu Ino, di sana memang selalu ada pameran, sih. Entah tunggal atau kolaborasi. Yang pasti, hanya seniman-seniman luar biasa saja yang bisa memamerkan hasil karya seninya di sini.

Ino tertarik untuk masuk. Sebenarnya lebih untuk mencari sedikit kehangatan –dan sedikit ketenangan –. Bukankah biasanya di galeri atau pameran atau museum atau semacamnya ini suasananya tidak ramai?

Ino diberikan pamflet tentang pameran itu di pintu masuk oleh seorang gadis –mungkin dia panitia –. Ino membaca sekilas. Pameran lukisan? Surealisme? Sebagai seorang calon designer profesional, dia juga memang harus bisa menggambar. Tapi jujur saja, dia sama sekali buta kalau masalah aliran-aliran seperti ini. Dia hanya tahu soal menggambar sketsa design pakaian. Itupun dia tak tahu aliran gambarnya apa. Lalu nama Sai tertera di sana. Eh? Sai?

Nama pelukis yang sedang memamerkan lukisannya adalah Sai. Nama itu sangat familiar. Seperti nama teman SMA-nya dulu yang selalu membawa buku sketsa ke manapun. Wajah pucat dengan rambut sangat hitam plus senyuman yang tak pernah absen menghiasi wajahnya langsung terbayang di benak Ino. Di mana ya, dia sekarang? Sejak mereka lulus SMA dua tahun yang lalu, sebagai orang yang update soal gosip, dia tak pernah mendengar kabar tentang Sai. Cowok itupun tak pernah menghadiri reuni. Ada yang berkata dia keliling dunia, ada juga yang berkata dia beternak domba di Hokkaido, bahkan ada yang bilang Sai disengat ubur-ubur di Suna. Entah yang mana yang benar. Yang pasti kabar yang terakhir itu sangat ngaco. Di Suna mana ada laut?

Suna? Gaara? Ino menggelengkan kepalanya. Dia kan tidak ingin memikirkan pria itu. Dia berusaha memikirkan hal lain. Bagaimana kalau dia memikirkan Sai lagi saja?

Di saat Ino tengah mencoba memikirkan hal yang mungkin terjadi pada Sai, dia malah menangkap sosok dengan ciri-ciri yang sama dengan cowok pucat itu baru muncul dari ruangan lain, bersama dengan satu orang di sebelahnya yang kelihatannya adalah kurator tempat ini, dan beberapa pria berpotongan seperti pejabat mengelilinginya.

Itu memang Sai. Tak ada yang berubah dari dirinya dari terakhir kali Ino melihatnya. Rambutnya masih sangat hitam, kulitnya masih pucat, dan senyumannya yang melebar hingga membuat matanya tinggal segaris itu masih tetap sama. Yang beda adalah kini dia tampak lebih dewasa. Mereka semua memang sudah dewasa sekarang.

Berarti pelukis yang mengadakan pameran ini adalah Sai teman SMA-nya.

'Hebat kau, Sai,' Pikirnya, mau tak mau dia tersenyum juga. Mengingat kebiasaan temannya dulu, 'Nggak percuma kau sering mengunjungi gallery dari buka sampai tutup."

Dia berhenti memandangi Sai dari jauh dan mulai menyusuri pinggir ruangan demi ruangan dengan lukisan-lukisan karya Sai tergantung di dinding dengan rapi.

Ino memandang lukisan pertama yang dilihatnya dengan ternganga. Banyak warna yang digoreskan Sai di kanvas itu. Tapi apa ini? Ino memiringkan kepalanya, mengikuti gambar sesuatu yang seperti menara Eiffel yang meliuk seperti meleleh. Lalu dia beralih ke beberapa lukisan selanjutnya dan... apa ini Stonehenge? Kenapa jadi colorful begini? Dan kenapa tumpukan batu prasejarah itu ditempatkan pada sesuatu seperti jamur?

Ino sesekali menggelengkan kepalanya. Sesekali tersenyum. Sesekali menyipitkan mata. Mencoba melihat dengan jelas bagian-bagian kecil lukisan. Sesekali Sesekali mengerutkan alis, berpikir. Dia tak mengerti dengan lukisan aneh yang dibuat Sai. Tapi jujur saja, lukisan-lukisan ini berbeda. Aneh dan berbeda tak selalu berkonotasi negatif, kan?

Tanpa disadarinya lukisan-lukisan colorful yang dianggapnya aneh tapi unik itu, sukses membuatnya lupa bahwa hari ini dia resmi kehilangan cintanya.

Tanpa disadarinya sang tokoh utama dibalik semua karya aneh tapi unik itupun melihatnya, membelalakkan matanya, menunjukkan ekspresi tak percaya. Ekspresi ganjil di luar kebiasaannya.

Gadis itu di sini? Gadis itu tak seharusnya di sini. Semoga dia cepat pergi.

.

.

.

.

Entah berapa lama Ino duduk di kursi panjang di tengah ruangan itu. Yang ia tahu pengunjung tempat itu sudah mulai berkurang dan dia tetap di sana. Memandangi lukisan dengan ukuran terbesar di pameran itu. Tak ada yang menarik pada lukisan itu. Malah aneh. Dan berbeda dengan lukisan yang lainnya. Kali ini dengan konotasi setengah negatif.

Apa yang dipikirkan Sai saat memutuskan kanvas itu layak dipajang di pamerannya? Nyatanya lukisan itu tak berisi apapun. Benar-benar dalam arti denotatif. Lukisan itu kosong. Sama sekali tak ada goresan warna lain di sana. Sebercak titikpun tidak. Seperti hanya selembar kanvas yang dicelup ke dalam bak tinta cumi. Hitam.

Lukisan –atau lebih tepat disebut kanvas hitam saja –itu terasa hampa. Ino meremas handbag-nya lagi. Seperti dirinya.

'Bodoh kau, Sai! Kenapa kau memasang kanvas seperti itu, sih? Sai baka!' Batinnya memaki Sai yang telah membuat kanvas hitam itu.

Ino menangkupkan kepalanya di kedua telapak tangannya. Meyakinkan kirinya sendiri agar tidak melankolis. Namun nyatanya rasa sesak di dadanya membuat matanya mulai basah. Dia memutuskan untuk ke rest room sejenak. Mencuci muka dengan air mungkin bisa menghilangkan sedikit kepenatannya.

.

.

.

.

Kemana semua orang?

Dia menolehkan kepalanya mengitari ruang-ruang pameran. Sejak dia keluar dari rest room, tak satupun pengunjung yang dilihatnya. Jam berapa ini? Ino melihat jam tangannya. Jam sembilan malam. Oh, mungkin pameran telah tutup. Pantas saja. Tak terasa sudah lebih dari empat jam dia di sini, merenungi nasib buruknya sendiri. Ah, berarti diapun harus cepat pulang. Dan dia ingat Sakura akan menginap di rumahnya malam ini.

Namun...

Mendadak lampu-lampu yang menyinari ruang-ruang pameran semuanya mati. Tak menyisakan cahaya sedikitpun.

"AAAAAH!" Ino berteriak terkejut. Apa yang terjadi?

Oh, tidak! Ini tidak mungkin. Gedung ini jangan-jangan telah dikunci. Lalu apakah dirinya akan terjebak di sini sampai pagi? Di kegelapan seperti ini? Yang benar saja? Kami-sama tak mungkin setega ini padanya, patah hati dan terkurung di ruangan gelap menyesakkan dalam satu hari. Tidak mungkin dia sesial ini hari ini. Atau jangan-jangan ini memang hari sialnya. Dan Ino sama sekali tak suka kegelapan. Gelap membuatnya terasa sulit bernapas.

Gadis itu panik. Bagaimana tidak? Dia tidak bisa melihat apapun. Dia segera mencari handphone dalam handbagnya. Dia berniat menelepon seseorang. Namun sulit sekali mencari benda dalam keadaan tanpa cahaya begini.

Beberapa saat setelah matanya terbiasa dengan kegelapan itu, sebuah pendar cahaya di sampingnya mengejutkannya. Ino menegakkan badannya. Penasaran.

Cahaya yang hanya sedikit itu mula-mula samar, namun kemudian menjadi jelas. Berbentuk sulur-sulur tanaman. Ino mengulurkan tangannya dan tangannya menyentuh sesuatu. Pigura? Dan cat itu sedikit menempel pada jemari Ino. Menjadikan tangannya ujung jarinya sedikit bercahaya. Ah, ternyata ada yang merusak lukisan-lukisan ajaib Sai dengan menimpanya dengan cat fluorescent di atasnya.

Ino menoleh ke pigura yang harusnya ada di sebelah pigura lukisan yang tadi disentuhnya. Disanapun juga ada goresan yang sama. Goresan seperti itu seperti terhubung antara satu dengan yang lainnya. Terus dan terus sampai menghilang di tempat yang Ino simpulkan sebagai pembatas dengan ruangan yang lainnya.

DItelusurinya goresan demi goresan dengan tangan tetap menyentuh dinding. Tentu saja dia tak mau tertabrak sesuatu, kan? Rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Dia penasaran di mana sulur-sulur ini akan berakhir. Ino merasa akan menemukan sesuatu di ujungnya.

Dia makin bersemangat ketika dilihatnya di sisi seberang dirinya juga terlihat sulur-sulur seperti yang ada di sisi dindingnya. Sepertinya terhubung dengan apa yang dituju Ino.

Mulai ada yang lain di sulur itu. Bunga. Yang tadinya hanya beberapa jadi bertambah banyak seiring dengan langkah Ino. Gadis itu terkesiap ketika dia sampai di tengah- tengah antara sulur dan bunga fluorescent itu. Matanya mengerjap-ngerjap ketika sampai di suatu tempat di mana sebelumnya adalah lukisan kanvas hitam kosong.

Ino salah.

Kanvas itu sama sekali tidak kosong.

Nyatanya kini berisi lukisan fluorescent seorang wanita. Goresan dengan cat berpendar itu membuat sosok wanita dalam lukisan itu terlihat begitu indah. Benar-benar cantik. Namun kemudian matanya terbelalak. Karena dia mengenal wanita dalam lukisan itu.

"Aku?" tanyanya tercekat pada dirinya sendiri.

Dia sedikit tak yakin. Tapi gadis di lukisan itu memang dirinya. Ia sungguh tak mengerti bagaimana bisa lukisan dirinya ada di sini. Ia ingin meminta penjelasan pada Sai. Tapi kini Sai maupun orang lain tak ada. Hanya dirinya sendirian di sini.

Dan Ino salah.

Lagi.

.

.

.

.

[to be continued]

.

.

.

.


A/N

Helloww... Apa kabar readers?

Meg balik nge-publish fic dengan pair SaiIno, belom ada SaiIno-nya di sini, sih... di chapter depan bakalan ada :D, karena sebenarnya awalnya ini fic oneshot, tapi kepanjangan & Meg pecah, deh

Fic-fic Meg terlalu banyak deskripsi ga, sih?

Kok kayaknya Meg kalo bikin oneshot, word-nya bisa banyak banget, ya?

Ah, Meg bingung!

Semoga fic Meg yang ini berkenan di hati readers semua *haduuh... apa sih, Meg?*

Ya udah deh, silakan diisi kolom review-nya...

Boleh ketik apa aja disitu, bebas. Kesan, pesan, kritik, saran, pendapat, & masukan atau apapun itu, semuanya berarti buat Meg.

Jaa ne...