Eternity Aim Sasori's
"Di dunia ini, ada suatu fakta nyata dalam kehidupan sesudah kematian.."
.
"Manusia yang meninggal tetapi menyisakan tujuan kuat dan penyesalan di dunia, akan mengalami suatu keajaiban, yaitu menjadi roh abadi yang dapat melakukan apa saja ke manusia hidup di dunia.."
.
.
.
.
.
Eternity Aim Sasori's
[Akasuna Sasori x Ryuuno Megumi]
Horror/Romance/Mystery
Rated T
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Author: Natsume Rokunami
.
Warning: OC, judul super aneh, cerita ikutan gaje, dll
.
Don't Like, Don't Read!
.
.
.
.
.
.
.
Crrrrssss...
Suara keran air yang terbuka saat seorang wanita berumur 23 tahun berambut raven panjang, menemani sepinya malam dalam kamar mandi rumahnya. Wanita itu bernama Megumi Ryuuno. Ia bekerja sebagai petugas penjual tiket pesawat di bandar udara internasional Sunagakure.
Megumi saat itu sedang membasuh wajahnya. Tetapi ditengah ia sedang membasuh wajahnya, ia termenung, otaknya memutar kembali memori lamanya yang indah juga menyedihkan.
Satu tahun yang lalu, tunangannya, Akasuna Sasori, tewas kecelakaan mobil.
Benar-benar kejadian yang tragis. Ironis bagi mereka berdua.
Megumi mendesah berat. Ia kembali menunduk untuk membasuh wajahnya lagi dengan air keran wastafelnya itu.
Tanpa disadari, ada sosok transparan berada di belakangnya, tak jauh darinya, sedang memandangnya. Sosoknya terlihat dari cermin wastafel.
Megumi takkan menyadarinya. Karena pada saat ia menegakkan tubuhnya, sosok itu hilang bagaikan asap. Bagi yang melihatnya, tentu membuat bulu kuduk merinding.
Kyuutt...
Megumi menutup keran wastafelnya. Ia mengeringkan wajahnya menggunakan handuk kecil berwarna putih yang berada di dekatnya, kemudian mengembalikan handuk itu ke tempat semula.
Megumi keluar dari kamar mandi yang berada di sebelah kamar tidurnya. Ia pergi ke dalam kamar tidurnya. Setelah masuk, ia mengganti pakaiannya yang tadinya adalah seragam kerjanya dengan pakaian tidurnya.
Sosok transparan tadipun ikut dengan Megumi tanpa disadari oleh Megumi.
Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian sejuk yang nyaman dipakai, Megumi berjalan ke arah lemari kecil yang berada di sebelah tempat tidurnya yang single size itu. Di atas lemari itu, ada figura foto diletakkan disana. Megumi mengambilnya, memandang lekat foto itu.
Foto tunangannya yang telah tewas..
Megumi tersenyum kecil, "Hari ini kulalui dengan berat, tetapi aku tetap berusaha, Sasori-kun."
Megumi mengusap foto itu memakai ibu jarinya, "Semoga kamu tenang disana ya, Sasori-kun.". Megumi tersenyum lebih lebar lagi, "Oyasuminasai."
Megumi meletakkan figura foto itu ke atas lemari kecil itu. Megumi naik ke atas tempat tidur, menarik selimut tebal berwarna biru cobalt yang senada dengan sprei kasur juga bantalnya, kemudian barulah ia tidur. Tidak butuh waktu yang lama untuk Megumi sampai ke alam mimpi. Karena tubuhnya yang letih sehabis bekerja itu menjadi obat tidurnya.
"Ya, Oyasuminasai, Megumi. Aku akan menjagamu."
Andai Megumi bangun, mungkin ia bisa mendengar suara berat yang berasal dari sosok transparan yang sekarang tidur di sebelahnya. Memeluknya dengan hangat.
Kita bandingkan saja wajah lelaki tampan yang ada di foto itu dengan wajah si sosok transparan itu, mereka adalah orang yang sama.
Setelah kematian Sasori, Sasori berubah menjadi roh yang diberi kesempatan oleh-Nya untuk melakukan apapun yang ia mau sampai jiwanya tenang dan bisa dengan mudah pulang ke surga.
Sejak kematian itu pula, jiwa Sasori selalu mengikuti Megumi kemanapun ia pergi. Tak pernah lepas. Sasori selalu melindungi Megumi dari marabahaya atau sesuatu yang tak bisa diterima oleh Sasori. Sasori akan bisa pergi ke surga asalkan kemauannya terpenuhi. Tetapi sekarang keinginannya belum ia wujudkan karena sedang mencari waktu yang tepat.
"Aku akan selalu berada di sisimu. Apapun itu."
.
.
.
.
[Natsu: Eternity Aim Sasori's]
.
.
.
.
"Megumi, sebaiknya kamu cepat-cepat cari cowok baru, deh."
"Eh?"
Megumi bingung akan perkataan Sakura Haruno, salah satu sahabat baiknya. Mereka berdua, bersama dengan Ino Yamanaka yang juga sedang bersama mereka, sedang berada di salah satu kedai teh minimalis di Suna.
" 'Eh', apanya! Kamu sudah lama sekali sendirian, tahu! Aku kasihan melihatmu." Sambung Ino setelah meneguk 2-3 kali ice lemon tea-nya.
"Iya, benar apa kata pig! Kamu sudah satu tahun sendirian tanpa lelaki pendamping setelah kematian tunanganmu. Kamu harus move on, Megumi! Jangan terus-terusan terikat dengan masa lalu!" ucap Sakura.
"Eeh, tapi aku sedang tak berminat." Megumi mengusap tengkuknya.
"Haah, itu saja jawabanmu selama setahun ini. Sudah lewat setahun, masa jawabanmu selalu itu saja?" tanya Sakura.
"Tapi, aku memang.."
"Megumi, kamu sudah berumur 23 tahun. Sudah seharusnya kamu cari pengganti Sasori. Sasori juga pasti senang bila kamu move on, Megumi!" sahut Ino.
"Tidak, aku tidak menyenanginya."
Sasori yang selalu mengikuti Megumi, pastilah mendengar percakapan mereka. Suaranya ia buat agar hanya ia saja yang mendengarnya. Sosoknya pun ia buat kasat mata.
"Eeh, begitu kah?" Megumi bertanya.
"Tentu!"
"Tidak, itu tidak benar."
"Nanti aku cariin deh, cowok yang lebih baik dari Sasori!" tawar Sakura.
"Apa katamu?"
"Sudaah, terima saja ya, Megumi! Tenang saja, cowoknya ganteng kok!" ucap Ino sambil memeluk Megumi.
"Iya! Dia lebih baik dari Sasori!" tambah Sakura.
"Ya? Ya? Ya?" Ino terlihat antusias.
Megumi diam sejenak, tak tahu harus jawab apa. Di sisi lain ia masih punya perasaan kuat pada mantan tunangannya, di sisi lainnya juga merasa bahwa ia sendiri juga harus move on. Bila menjawab tidak, Sakura dan Ino pasti ngambek. Jadi lebih baik ia menjawab..
"Baiklah."
"Yeeeeeyy!" Sakura dan Ino teriak kegirangan.
"Aku benci kalian."
Sasori menatap tajam ke arah Sakura dan Ino. Tatapannya menyiratkan kemurkaan, kebenciaan, dan ada satu lagi yang lebih mengerikan dari itu. Matanya yang berwarna hazel itu berubah warna menjadi merah darah. Raut wajahnya datar, tapi sorot matanya bisa menjelaskannya.
Sasori semasa hidupnya memang tidak suka kepada Sakura dan Ino. Ia selalu menjauhkan Megumi dari mereka disaat ia dan Megumi bertemu dengan Sakura dan Ino. Kenapa ia tidak suka kepada Sakura dan Ino? Sakura dan Ino terlalu centil dan seenaknya saja. Tapi mereka adalah sahabat baik Megumi. Beruntung baginya Megumi tidak berubah selama bergaul dengan Sakura dan Ino. Megumi tetap polos dan tidak peka. Tapi memunculkan daya tarik tersendiri bagi Sasori. Itulah alasan Sasori sangat menyukai Megumi.
Yah, sebenarnya Sasori sudah menyukainya sejak masih kelas 1 SMP sih. Mereka berdua selalu satu sekolah sejak SD.
"Eh, aku pulang dulu ya. Sudah mulai malam." pamit Megumi sambil bangkit dari kursinya. Ia menaruh sejumlah uang di meja untuk tehnya.
"Oke! Kami juga sebentar lagi pulang kok!" Sakura tersenyum.
"Ya. Jaa ne!" Megumi berlari meninggalkan mereka sambil tersenyum dan melambaikan tangan kepada Sakura dan Ino. Sakura dan Ino membalas dengan melambaikan tangan juga.
Sasori? Sasori tidak mengikuti Megumi. Ia diam di tempat.
"Ayo kita pulang." Ajak Sakura sambil menaruh sejumlah uang untuk teh yang diminumnya. Begitu juga dengan Ino.
"Yuk." Mereka pulang berdua sambil berbincang-bincang dengan asyiknya. Sasori masih diam di tempat. Tak lama, ia menyeringai. Begitu mengerikan seringaian Sasori. Sasori mengikuti mereka berdua.
"Eh, Ino. Kamu merasa merinding, gak?" bisik Sakura kepada Ino, membuat Sasori lebih melebarkan seringaiannya.
"Iya. Kenapa ya?" bisik Ino.
"Kita cepat-cepat pulang saja. Aku belum telepon Naruto nih!"
"Ya. Aku juga belum telepon Sai."
Sakura dan Ino berpisah di persimpangan jalan karena arah jalan mereka pulang berbeda. Mata tajam Sasori mengikuti kemana Sakura pergi. Kemudian ia mengikuti Sakura.
Sepertinya akan ada sesuatu terjadi..
.
.
.
=Natsu: Eternity Aim Sasori's=
.
.
.
"Huaaahhm...aduuh, tidurku tidak nyenyak. Mimpi buruk sih." Megumi menguap sambil menutup mulutnya. Ia berjalan menuju kamar mandi. Pagi ini ia akan bekerja.
"Huh, masa mimpi jatuh dari tebing yang tinggi sih. Dewa pengatur mimpi bercandanya gak lucu." Oh, Megumi. Apakah ada dewa yang bertugas mengatur mimpimu? Rasanya dewa seperti itu tak ada.
"Hahaha, kamu masih tetap bodoh seperti biasanya, Megumi."
Sasori tertawa melihat tingkah lucu Megumi. Megumi yang sewot sendiri selama di kamar mandi dan menyerukan 'Dewa pengatur mimpi bercandanya gak lucu!' itu benar-benar membuat Sasori geli sendiri. Tatapannya kepada Megumi tetap lembut dan penuh kasih sayang, beda dengan yang kemarin, tatapannya kepada Sakura dan Ino.
Bila tatapan bisa membunuh Sakura dan Ino, Sakura dan Ino pasti sudah mati dengan mudah. Tapi ini lain lagi...
Telepon genggam Megumi berbunyi dari dalam tasnya yang diletakkan di atas tempat tidur.
"Argh! Lagi asyik ngomel-ngomel, malah telepon bunyi! Siapa sih yang telepon pagi-pagi begini!? Awas saja yang telepon itu adalah Miachi-chan yang menyuruh dibuatkan bekal kembali!" Megumi berjalan sambil menghentak-hentakkan kaki menuju tempat ponselnya berbunyi. Sasori tertawa melihat tingkah Megumi.
"Aah, tetap tak berubah.."
Megumi mengambil ponsel lipatnya, membukanya, kemudian menekan tombol hijau. Barulah ia mendekatkan telepon itu ke telinga kanannya.
"Moshi moshi."
'Moshi moshi! Megumi, ada berita gawat!'
"Apa yang gawat, Tenten-nee?" Megumi mengernyit.
'Sakura-san dan Ino-san!'
"Hah? Ada apa dengan Sakura dan Ino?"
'Mereka meninggal secara berbarengan di rumahnya!'
.
.
.
=Natsu: Eternity Aim Sasori's=
.
.
.
Hujan...
Payung hitam terbuka..
Langit gelap..
Manusia-manusia menggelilingi dua batu nisan dengan berpakaian serba hitam..
Tangisan menemani suara hujan yang mengguyur bumi..
Megumi menatap nanar ke arah Naruto dan Sai yang menangis dengan deras. Mereka tak peduli tubuhnya diguyur hujan deras. Sasuke dan Shikamaru mencoba menenangkan Naruto dan Sai, tetapi sia-sia. Yah, itu memang sia-sia di keadaan yang seperti ini.
Ibu Sakura dan Ino menangis keras sampai menjerit. Bahkan, ibu Ino pingsan saking shock-nya. Sedangkan Ayah Sakura dan Ino hanya bisa diam, meneteskan air mata sambil membisikkan satu kalimat. Yaitu 'Aku adalah ayah tak berguna'.
Hinata memeluk batu nisan Sakura sambil menangis keras. Jas Sasuke setia menyelimuti tubuh mungilnya. Temari mengelus figura foto Ino yang bersandar di batu nisan makam Ino sambil menangis dalam diam. Gaara memayungi Temari sambil menatap kosong dua makam di depannya.
Dilihat dari keadaan, Sakura dan Ino sangatlah dibutuhkan oleh banyak orang.
Megumi pun menangis deras dalam diam. Ia biarkan Tenten memeluknya erat dan menjadikan bahunya sebagai tempat menangis Tenten. Ia tak menyangka akan jadi begini.
Menurut cerita Sasuke yang seorang detektif daerah Suna bagian barat, penyebab kematian Sakura dan Ino adalah mati karena terkejut. Raut wajah kematian mereka berdua itu kaku dan seperti sehabis melihat sesuatu yang sangat menyeramkan. Sehingga jantung mereka berdetak sekali lebih keras, darah membeku, jantung perlahan berhenti, dan nyawa mereka terenggut karenanya. Tapi Sakura dan Ino tewas dalam keadaan bersujud di lantai, seperti memohon ampun. Itu membuat Sasuke heran.
Tak ada tanda-tanda kekerasan fisik di tubuh Sakura dan Ino saat tim forensik memeriksa tubuh mereka. Tak ada tanda-tanda reaksi luminol dari hemoglobin darah dari tempat Sakura dan Ino tewas. Mereka tewas di ruang yang sama tetapi tempat berbeda. Yaitu di kamar pribadi mereka dalam rumah masing-masing. Tak ada tanda-tanda mencurigakan di kamar Sakura dan Ino. Lagipula kamar mereka dikunci dan jendelanya terkunci rapat. Lalu, siapa yang teganya melakukan ini kepada Sakura dan Ino? Bagaimana caranya dia melakukannya?
Saat kejadian, orang tua Sakura dan Ino mendengar jeritan keras dari kamar Sakura dan Ino. Karena panik, mereka mendobraknya. Kemudian mereka menemukan jenasah Sakura dan Ino. Anehnya, waktu terjadinya jeritan Sakura dan Ino itu berbarengan. Yaitu pada jam 22:10.
Apa yang sebenarnya terjadi di kamar Sakura dan Ino pada sebelum jam 22:10?
Sasori menatap tajam ke arah dua makam Sakura dan Ino. Sasori bisa melihat roh Sakura dan Ino. Roh Sakura dan Ino keluar dari dalam makam, kemudian menangis keras ke arahnya dan meminta ampun kepadanya. Minta dihidupkan kembali.
Jadi, Sasori yang melakukannya?
"Tak ada ampun bagi orang yang dengan sengaja memisahkanku dari Megumi."
Walau Sakura dan Ino menangis, bersujud di depan Sasori, minta dihidupkan kembali, Sasori tak bisa mengabulkannya. Atau lebih tepatnya, tak mampu melakukannya. Sasori hanya bisa mencabut nyawa manusia hidup, ia tidak bisa menghidupkan manusia mati.
Tak lama kemudian, ada banyak tangan kasat mata dari dalam makam Sakura dan Ino. Mencoba menggapai Sakura dan Ino. Mereka berdua menjerit ketakutan. Sasori diam saja dengan wajah datar, seakan tak peduli.
Tak butuh waktu yang lama, tangan-tangan itu berhasil menggapai kaki Sakura dan Ino, kemudian menarik paksa Sakura dan Ino masuk ke dalam kubur. Sakura dan Ino menjerit, memohon kepada Sasori untuk menolongnya. Tetapi Sasori tak peduli. Jeritan itu tak terdengar saat Sakura dan Ino telah masuk secara paksa oleh tangan-tangan misterius itu ke dalam kubur mereka masing-masing. Tangan-tangan apa itu? Sasori tak tahu. Karena ia tak mengalaminya. Lagipula di dalam makamnya, tak ada tangan-tangan seperti itu.
Sasori beralih kepada Megumi yang sedang menangis. Sudah banyak yang pulang. Yang tersisa hanyalah Naruto, Sai, Sasuke, Hinata, Shikamaru, Gaara, Temari, Megumi, Tenten, dan orang tua dari Sakura dan Ino.
Melihat Megumi yang tak peduli kehujanan dan tetap menangis untuk Sakura dan Ino, Sasori tak bisa berdiam diri saja. Oleh karena itu, Sasori mengarahkan tangannya ke atas langit. Tak lama, langit yang tadinya penuh akan awan hujan itu, menjadi cerah seketika.
Naruto dan yang lain menyadari langit kembali cerah dari kegelapan, mereka mendongak ke atas langit.
"Hujan sudah berhenti." Gumam Sasuke.
"Awannya terbang ke arah timur bersamaan dengan berhentinya hujan." Sambung Hinata.
"Aneh, sepertinya hujan baru berlangsung selama beberapa menit. Tapi kenapa cepat sekali redanya?" heran Gaara.
"Ah, benar juga." Temari membenarkan.
Ya. Ini memang aneh. Hujan tadi cukup lebat dan baru berlangsung tak lama saat peti mati Sakura dan Ino dalam perjalanan ke makam umum dari rumah sakit. Kenapa hujan cepat sekali berhenti? Padahal tadi hujan cukup lebat, kenapa tiba-tiba bisa berhenti?
Megumi juga merasa heran. Awan hitam tadi terlihat cukup tebal dan kelihatannya hujan akan turun lama. Tapi ini berhenti cepat sekali. Lagipula, kenapa awan hitam itu bergerak ke timur seolah-olah menghindar dari area makam?
Ah, sudahlah. Mungkin hanya fenomena alam biasa, begitulah pikir Megumi.
Tapi itu pemikiran yang sangat salah.
.
.
.
=Natsu: Eternity Aim Sasori's=
.
.
.
Sudah 5 hari setelah pemakaman Sakura dan Ino ke perut bumi. Megumi melalui hari-harinya dengan terus murung. Murung dan murung. Bahkan hampir lupa makan bila tak diingatkan oleh rekan kerjanya.
Malam ini, Megumi pulang dari bandar udara tempat ia bekerja. Ia melepas letih dengan mengguyuri tubuhnya di bawah pancuran air shower hangat.
Crrrsss...
Megumi yang telanjang bulat di bawah guyuran air shower, hanya bisa berdiri diam. Menunduk dan termenung. Ia memikirkan sahabatnya, Sakura dan Ino. Ia sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi pada mereka.
Tapi yang menganehkan, Sakura dan Ino sehat-sehat saja satu hari setelah ia bertemu dengan mereka.
Megumi dan mereka berdua sempat berjalan-jalan di pusat kota. Megumi tidak melihat ada kejanggalan dari mereka berdua. Bahkan Megumi tak punya firasat yang buruk sama sekali.
Sebenarnya...ada apa?
Dua nyawa telah meninggalkanku. Sudah tiga nyawa yang telah meninggalkanku. Ini sungguh berat sekali setelah kematian kedua orang tuaku dan Tomo nee-san.., batin Megumi. Benar, kedua orang tua Megumi sudah meninggal sejak ia masih kelas satu SMU. Kakaknya meninggal sejak ia masih kelas tiga SMU semester akhir. Kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan pesawat saat mereka berdua bermaksud menghabiskan liburan berdua di Sapporo. Tomoka Ryuuno, kakak perempuan Megumi, yang merupakan kekasih Deidara, meninggal karena leukimia turunan dari kakeknya. Megumi tidak mengidap leukimia turunan dari kakeknya itu, itu merupakan suatu keberuntungan.
Megumi menghela napas berat. Ia meremas poninya. Ia mengingat kembali kenangannya bersama tunangannya dulu.
"Sasori..kun.."
Roh transparan yang berada di pojokan kamar mandi, menoleh ke arah Megumi. Dialah Sasori, tunangan Megumi yang telah meninggal. Roh yang selalu menjaga Megumi apapun keadaannya. Dialah penyebab kematian Sakura dan Ino. Dialah yang membuat hujan di waktu pemakaman, berhenti.
Megumi mulai menangis. Ia menggigit bawah bibirnya. Bahunya bergetar. Ia menangis sesengggukan. Megumi terus menggumamkan nama Sasori di tengah ia menangis.
Sasori yang melihat itu, merasa sakit. Pedih di hatinya. Ia menautkan dua ujung alisnya ke atas.
"Jangan menangis, Megumi."
Sasori mendekati Megumi. Ia berdiri di samping Megumi. Tangannya terulur, mencoba menyentuh pundak Megumi. Tetapi sia-sia, tangannya tembus. Tentu saja.
Yang hanya ia bisa lakukan, berdiri dan melihat Megumi menangis. Ia ingin memeluknya, hanya saja, ia harus memadatkan tubuhnya. Tentu sosoknya akan terlihat, Megumi pasti terkejut dan ketakutan. Sasori tak mau itu terjadi. Ia akan melakukannya di waktu Megumi tak sadarkan diri, yaitu, di waktu Megumi tidur.
Megumi mengusap pipinya yang dibanjiri air mata juga air shower itu. Kemudian mematikan showernya. Ia mengambil handuk yang berada di dekatnya kemudian mengeringkan tubuhnya menggunakan itu.
Megumi berjalan mendekati wastafel bercermin. Megumi memandang sosok dirinya sendiri. Megumi menghela napas berat, ia mulai memakai pakaian dalamnya dan pakaian tidurnya.
Sasori yang berada di dekat Megumi, hanya bisa menatap nanar, sedih, kepada tunangannya itu. Sasori menutup matanya, kemudian membukanya kembali.
"Tunggulah, Megumi. Aku sedang mencari waktu yang tepat."
.
.
.
=Natsu: Eternity Aim Sasori's=
.
.
.
"Eh? Ingin menginterogasiku?" Pagi itu, Megumi mendapat telepon dari detektif polisi, Sasuke Uchiha. Sasuke adalah teman sekelasnya semasa SMP dan SMU. Megumi mengenalnya dan menjadi temannya karena Sasuke adalah kekasih dari sahabatnya, Hinata Hyuuga. Tetapi, sekarang status Sasuke dan Hinata adalah bertunangan.
'Ya. Aku mendengar dari orang tua Sakura, bahwa kamu bersama dengan Sakura dan Ino satu hari setelah kematiannya. Mereka tahu karena mereka sempat bertanya kepada Sakura saat Sakura baru saja pulang berpergian bersamamu dan Ino.' Jelas Sasuke dari seberang sana.
"Baiklah. Tapi dimana kita bisa membicarakannya?"
'Kita ke kedai teh tempat kamu dan mereka berdua disana saat itu.'
"Baiklah. Aku segera kesana."
'Hn, kutunggu.'
Megumi menutup teleponnya. Ia segera bersiap-siap dan pergi menuju kedai teh yang dimaksud Sasuke. Tentu sang roh yang selalu mengikuti Megumi, juga ikut.
.
.
"Sasuke!" Megumi memanggilnya sambil berjalan ke arah meja tempat Sasuke berada. Ia sudah berada dalam kedai teh.
"Duduklah." Sasuke mempersilahkan.
"Terima kasih." Megumi menarik kursi di depan Sasuke, kemudian duduk di kursi itu.
"Bisa kita mulai?" tanya Sasuke sambil mengambil buku kecil bersampul coklat dari kantong balik jas hitamnya. Sasuke mengambil pulpen tinta dari saku jas di dadanya.
Megumi mengangguk.
"Jam berapa kamu, Sakura, dan Ino berpergian bersama?" tanya Sasuke.
"Kami berjalan-jalan di pusat kota setelah Sakura selesai bekerja. Kami memang sudah janjian lewat telepon sebelumnya. Sekitar jam 12:20 siang kami ketemuan di taman kota." Jawab Megumi. Sasuke segera mencatatnya.
"Bagaimana keadaan Sakura dan Ino setelah kamu bersama mereka berpergian?"
"Eeh, baik-baik saja kok. Tak ada yang aneh, seperti biasanya. Aku tidak melihat mereka stress, tertekan, atau sejenisnya."
"Tempat apa yang terakhir kalian kunjungi?"
"Kedai teh ini."
"Jam berapa kalian sampai di sini?"
"Sekitar...kalau tidak salah, jam 15:30."
"Kamu pulang jam berapa dari sini?"
"Aku pulang jam 17:00. Aku pulang duluan dari mereka karena aku harus belanja makan malam."
"Jadi saat kamu pulang, mereka masih disini?"
"Ya. Saat aku beranjak dari tempat ini, mereka masih disini. Tapi katanya sebentar lagi juga mereka akan pulang. Aku tak tahu mereka pulang jam berapa."
"Kalian disini cukup lama ya."
"Ya. Kami lelah karena habis jalan-jalan."
"Apa kalian lama disini karena ada yang diperbincangkan? Aku bisa membayangkan, berapa cangkir teh kalian minum selama berada disini."
"Ya. Mereka menyarankanku untuk segera mendapat pasangan karena sudah terlalu lama sendirian. Yah, aku sebenarnya tak mau mereka repot-repot mencari pasangan untukku. Aku belum ada niat." Megumi menggaruk pipinya menggunakan telunjuknya.
Sasuke terdiam sejenak. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu.
"Eeh, Sasuke?" Megumi menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Sasuke. Megumi mengira Sasuke sedang melamun.
"Megumi, setelah mereka membicarakan tentang itu, mereka meninggal, kan?" Sasuke bertanya dengan wajah serius dan seperti menyadari sesuatu.
"Iya."
"Mereka meninggal di hari yang sama dengan hari dimana mereka membicarakan itu denganmu."
"Benar."
"Mereka meninggal 5 jam setelah kamu pulang dari kedai."
"Eeh, ya benar."
"Ini aneh, Megumi. Mereka meninggal setelah membicarakan itu kepadamu. Menurut kesaksian orang tua Sakura dan Ino, mereka berdua langsung mengurung diri di kamar setelah pulang dari kedai karena lelah. Kamar pun mereka kunci. Waktu kematian mereka sama. Mereka menjerit menjelang kematian juga pada waktu yang sama. Apakah kamu tak merasakan keanehan?"
Megumi terdiam sejenak. Ia mencoba mencerna perkataan Sasuke. Tak lama, ia membelalakkan matanya, menyadari sesuatu.
"Ooh!"
"Sepertinya topik pembicaraan kalian lah pemicu dari kematian mereka berdua."
"Apa?" Megumi tak mengerti. Memangnya apa yang salah dari pembicaraan mereka saat itu?
"Kalau begitu, kenapa aku tidak mati?" tanya Megumi.
"Coba kamu pikir lagi, Megumi. Mereka menyarankanmu untuk mencari pasangan baru dan menawarkan diri untuk mencarikannya. Setelahnya mereka meninggal. Coba kamu sambung lagi perkataanku ini dengan perkataanku tadi."
Megumi terdiam. Ia sedang berpikir. Barulah ia mengerti. Ditandai ekspresi wajahnya yang sadar akan itu.
"M-Masa sih?"
"Ini pembunuhan, Megumi. Ada orang yang tak mau kamu mendapatkan pasangan baru lagi."
Megumi memasang raut wajah tak percaya, "M-Mana mungkin. Mereka berdua meninggal secara bersamaan, bagaimana caranya? Dan lagi, aku tidak pernah dekat dengan lelaki lain setelah kematian tunanganku."
"Itu dia yang jadi pemikiranku. Mungkin pelakunya dua orang dan merencanakan rencana pembunuhan sematang mungkin seperti ini?"
"Dua orang? Maksudmu orang yang tak mau aku dapat pasangan lagi? Rasanya aku tak punya teman atau kenalan yang seperti itu."
"Ini akan kupikirkan. Coba kita tanya kepada pelayan kedai teh, apakah ada orang mencurigakan berada di sekitar kalian saat kalian berada di kedai."
"Baiklah."
.
.
"Benarkah?"
"Ya. Tak ada orang yang seperti itu saat itu. Saya yang terus-terusan melayani mereka saat itu. Saya juga menyimak pembicaraan mereka. Mereka memang membicarakan itu." jawab sang pelayan kedai teh yang menjadi saksi saat Megumi, Sakura, dan Ino berada disana.
Sasuke dan Megumi saling pandang sejenak, kemudian kembali memandang si pelayan.
"Lagipula saat itu kedai sedang sepi karena sudah sore. Biasanya kedai ini ramai bila di siang hari. Malam hari kadang ramai, kadang sepi." Lanjut si pelayan.
"Lalu, kapan mereka pulang?" tanya Sasuke.
"Setelah nona ini pulang," si pelayan menunjuk ke arah Megumi. "Tak lama dua nona berambut merah muda panjang dan pirang panjang juga pulang. Sekitar 5 menit setelah nona rambut hitam kebiru-biruan ini pulang."
"Berarti Sakura dan Ino pulang sekitar 5 menit setelah aku pulang!" ucap Megumi.
"Itu waktu yang singkat. Apa ada orang yang mengikuti mereka berdua?" tanya Sasuke lagi.
"Tidak ada. Sudah saya bilang, kedai ini sepi, tuan." Jawab si pelayan yang diketahui bernama Ayame dari tag name-nya di seragam kerjanya.
"Begitu. Baiklah, terima kasih atas penjelasannya." Ucap Sasuke.
"Eh, tunggu. Sebenarnya ada apa ya? Kalian ini siapa? Kok nyelidikin begitu?" tanya Ayame penasaran.
"Saya adalah detektif polisi, Sasuke Uchiha. Dan dia adalah saksi yang kemungkinan menjadi daftar tersangka pembunuhan dua nona berambut merah muda dan pirang. Saksi ini bernama Megumi Ryuuno." Jawab Sasuke.
"Uwooh! Detektif! Lalu, apa maksudnya pembunuhan?"
"Pelanggan anda yang dulu tempo hari berkunjung kesini bersama nona Ryuuno, terbunuh secara misterius."
"Haaa!? Pelanggan yang berambut merah muda dan pirang itu!?"
"Ya. Mereka bernama Sakura Haruno dan Ino Yamanaka. Anda harus menjalani interogasi di kantor polisi sebagai saksi."'
"Lho, kenapa saya juga?" Ayame bingung.
"Karena anda saksi. Dua hari ke depan, saya akan menjemput anda dari sini ke kantor polisi. Tolong anda berada disini dua hari ke depan pada jam 9 pagi. Saya akan menjemput anda pada jam itu."
"Ohh, baiklah."
"Permisi." Sasuke berjalan meninggalkan kedai. "Megumi, kamu belum selesai kuinterogasi. Kita ke taman kota."
"Baiklah." Megumi segera menyusul Sasuke.
Setelah Sasuke dan Megumi cukup jauh dari kedai, Ayame berkata. "Pembunuhan..hiii! Seram!"
Sasori yang masih disana, hanya diam saja mendengar perkataan Ayame. Kemudian, barulah ia mengikuti Sasuke dan Megumi.
Sasori mendengar semua percakapan Sasuke dan Megumi. Tetapi ia hanya diam saja. Hanya mendengarkan. Tak berekspresi apa-apa. Entahlah apa yang ia pikirkan.
.
.
.
=Natsu: Eternity Aim Sasori's=
.
.
.
"Kamu mengerti, Megumi? Kamu harus berhati-hati mulai dari sekarang. Sekarang kamu adalah saksi yang ada kemungkinan menjadi tersangka. Kamu tidak kutahan di kantor polisi, tetapi hanya kuawasi saja. Sama seperti yang lain."
"Mengerti. Tapi, siapa saja yang kamu interogasi selain aku?"
"Si baka dobe, Sai, Gaara, Temari, Tenten, Hinata, Shikamaru, orang tua Sakura dan Ino. Mereka masuk dalam daftar saksi yang kemungkinan menjadi tersangka. Yang lain dibebaskan karena mereka punya alibi kuat."
"Alibi kuat?"
"Yang lain sudah lama tidak bertemu Sakura dan Ino. Mereka baru bertemu pada saat Sakura dan Ino telah jadi mayat di dalam peti mati."
"Oh, begitu."
"Sebenarnya aku tak mau memasukkan Hinata ke dalam daftar kemungkinan menjadi tersangka, tetapi karena Hinata sempat teleponan dengan Ino sebelum Ino tewas, apa boleh buat." Sasuke menghela napas.
"Karena dia kekasihmu, eh, bukan, maksudnya tunangan. Ehehe..!" goda Megumi dengan wajah jenaka.
"Hn. Jangan berwajah jelek begitu."
"Iya iya."
"Berikutnya yang akan kuinterogasi adalah anggota-anggota organisasi nii-san."
"Ha? Akatsuki?"
"Memangnya ada yang lain?"
"Tidak, sih. Tapi kenapa?"
"Mereka juga teman Sakura dan Ino. Ino dan Deidara punya hubungan darah. Mereka juga harus kuinterogasi."
"Nii-sanmu juga?"
"Sebenarnya aku tidak mau, tapi ini pekerjaan, jadi dia juga."
"Menangani kasus yang melibatkan teman, kekasih, dan saudara sendiri itu menyulitkan ya?"
"Tentu saja. Sampai sekarang, aku masih susah bertemu dengan Naruto dobe. Kalau Sai, dia masih bisa kutemui dengan mudah. Dia sudah mulai bisa menenangkan diri."
"Naru-chan? Kenapa dengan dia?"
"Kushina-san mengatakan kepadaku bahwa sejak kematian Sakura, Naruto susah sekali diajak keluar dari kamarnya. Dia terus menangis dan menjerit frustasi di dalam kamar."
Megumi terdiam. Ini memang wajar. Naruto pasti akan bersikap seperti itu. Megumi tahu, seberapa besar Naruto mencintai Sakura walau Sakura sering kali menyakiti Naruto. Tetapi kisah mereka benar-benar seperti drama dalam novel-novel cinta berkonflik.
"Begitukah.." Megumi mulai murung. Ada saja kejadian tak mengenakkan menimpa mereka semua.
Melihat Megumi mulai murung dan putus asa, Sasuke berkata. "Tenang saja, pelakunya akan kutangkap. Pasti."
Megumi menoleh, ia tersenyum. "Ganbatte kudasai ne, Meitantei-sama."
"Hn."
"Aku ingin bertanya, apa kamu masuk dalam daftar kemungkinan menjadi tersangka? Kan kamu ini detektif polisi." Tanya Megumi.
"Tentu saja aku masuk ke dalam daftar. Detektif polisi sepertiku ini kemungkinan bisa melakukan pembunuhan seperti itu dengan kemampuanku. Bukankah begitu?"
"Hah? Kemampuan?"
"Aku ini detektif merangkap polisi. Aku bisa saja melakukannya dengan kemampuan selama aku belajar di akademi kepolisian."
"Memangnya polisi punya akademi? Sekolah ya?"
"Tentu saja, bodoh. Calon polisi harus disekolahkan dan diberi materi bagaimana menjadi polisi yang baik. Bila punya kemampuan menganalisa yang bagus, polisi bisa naik pangkat menjadi detektif polisi sepertiku. Sama seperti gubernur, walikota, dan semacamnya. Mereka perlu dilatih dan diberi materi bagaimana cara menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana. Bila tidak begitu, mereka akan seenaknya saja dan rakyat akan menderita."
Megumi membulatkan mulutnya, tanda mengerti. "Oohh.."
"Huh, kamu ini banyak bertanya." Sasuke mengeluh. Ia menghela napas. Cukup lelah menjawab pertanyaan Megumi.
Megumi cengengesan, "Hehe, kan ada pepatah 'malu bertanya, sesat dijalan'."
"Tapi kalau terlalu banyak bertanya, itu tandanya bodoh."
"B-Benar juga ya, haha." Megumi menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Aku masih tetap bodoh ya, Sasori-kun, Megumi tersenyum lemah sambil menunduk. Tunangannya itu memang selalu mengatainya 'bodoh' sambil mencubit pipinya bila ia banyak bertanya.
Melihat adanya perubahan sikap dari Megumi, Sasuke bertanya.
"Kata 'bodoh' mengingatkanmu pada Sasori, ya?"
Megumi terperanjat, ia menoleh ke arah Sasuke. "H-Hah?"
"Jangan tanya. Aku tahu karena aku sering melihatnya mengataimu 'bodoh' sambil mencubit pipimu."
Megumi tersenyum kecil, "Ya."
Sasuke menoleh ke arahnya, "Sasori mengataimu 'bodoh', bukan berarti dia mengejekmu dengan serius dan kesal kepadamu."
"Apa?" Megumi memiringkan sedikit kepalanya, tak mengerti.
"Itu tandanya dia sayang kepadamu. Dia selalu melakukannya sambil tersenyum lebar, kan? Dari raut wajahnya, kelihatan bahwa dia tidak serius mengatakannya kepadamu. Itu tanda ia hanya menggodamu saja."
"Darimana kamu tahu?"
"Bodoh, aku ini juga lelaki. Aku tahu bagaimana rasanya bila aku di posisi Sasori. Aku juga sering mengatai Hinata 'siput pemalu' karena sifatnya yang benar-benar pemalu, tetapi aku menyukai sifatnya." Sasuke tersenyum saat mengucapkan nama Hinata. Memang terlihat bahwa Sasuke sangat menyukai Hinata.
"Begitukah.."
"Begitulah."
"Benar apa yang dikatakan Sasuke, Megumi."
Sasori tersenyum mendengar perkataan Sasuke. Lelaki memang mengerti tentang sesama lelaki.
Megumi melihat ke arah jam tangannya, "Hei, aku harus pulang. Sudah sore."
"Hm, pulanglah. Aku juga mau pulang." Sasuke berdiri saat Megumi juga berdiri.
"Jaa ne." Pamit Megumi sambil berlalu pergi.
"Jaa." Pamit Sasuke yang juga pergi. Mereka berjalan ke arah yang berlawanan.
.
.
.
=Natsu: Eternity Aim Sasori's=
.
.
.
Megumi berjalan menuju ke rumahnya. Saat berjalan di sepanjang trotoar, ia melewati sebuah minimarket yang sering dikunjuginya. Ia berhenti, kemudian berbalik badan dan masuk ke dalam minimarket.
Saat masuk, Megumi disapa ramah oleh penjaga kasir yang dikenalinya.
"Selamat datang, Megumi-chan. Sudah lama tidak kesini ya." Sapa penjaga kasir yang bernama Shizune.
"Iya, Shizune-san." Megumi membungkuk, memberi salam. "Aku mau beli makanan ringan. Buat cemilan nonton film Resident Evil di rumah. Ehehe!" Megumi nyengir. Shizune tertawa kecil.
"Dasar. Ya sudah, kamu pasti sudah tahu kan letak tempat bagian makanan kecil?"
"Emh!" Megumi berlari menuju rak khusus makanan ringan.
Shizune tertawa kecil, "Tetap tak berubah ya."
Sasori tersenyum geli melihat Megumi. Ia menyukai Megumi yang apa adanya. Megumi yang menjadi diri sendiri, tidak dibuat-buat. Sasori sangat menyukai itu. ia mengikuti Megumi.
Megumi memilih-milih cemilan disana. "Aah, banyak yang baru-baru. Kelihatannya enak-enak. Bingung mau yang mana." Megumi menempelkan telunjuknya di dagu sambil menyapu pandangan ke seluruh isi rak-rak di depannya.
Saat sedang bingung, Megumi menemukan satu. Yaitu potato chip rasa sapi panggang. Megumi mengambilnya, memandangnya.
"Ini.." tangannya yang memegang bungkusan potato chip itu mulai mengerat.
"Disini.." Megumi melihat sekeliling. Ia seperti menyadari sesuatu. Ia teringat sesuatu kenangan.
Megumi tersenyum kecil.
Sasori sadar akan itu. Jadi ia hanya diam dan memandang lekat Megumi.
.
.
.
"Huuh, yang mana yang enak ya?" Megumi memilih-milih makanan ringan yang menurutnya cukup enak. Ia mondar-mandir di depan rak khusus bagian cemilan itu sambil mencari-cari makanan ringan yang enak.
"Ugh, semuanya terlihat enak. Bagaimana ini?" ini merupakan pilihan yang berat bagi Megumi. Megumi termasuk penggemar makanan ringan. Tapi anehnya ia tidak gemuk-gemuk walaupun sering makan makanan ringan. Tubuhnya tetap biasa, antara langsing dan biasa saja.
"Hm, sepertinya ini enak." Megumi mengambil sebungkus potato chip rasa sapi panggang. Ia memandangnya. Kemudian melihat daftar gizi di belakang kemasan.
"Aha, ini enak. Beli berapa ya?" Megumi tersenyum senang.
"Hah!" Megumi tersentak saat ada yang memeluk pinggangnya dari belakang. Ada seseorang yang memeluknya dan menumpukan dagunya di kepalanya.
Megumi bisa mengenali siapa orang itu dari aroma parfum yang dipakai orang di belakangnya.
"Sasori-kun?"
"Sedang bingung, Megumi?" Ternyata benar. Orang itu memang Sasori.
Megumi merona hebat. "H-Hei, ini di tempat umum, jangan peluk."
"Tenang, tak ada yang melihat."
"Tapi.."
"Hm, tubuhmu wangi. Parfum wangi blueberry ya?" Sasori mengalihkan pembicaraan. Ia mencium leher Megumi.
Jantung Megumi berdegup kencang, wajahnya merona merah padam. Padahal sudah saling kenal sejak lama, tetapi Megumi masih malu bila diperlakukan seperti itu oleh Sasori.
"Parfum baru?" tanya Sasori. "Biasanya kamu pakai yang wangi vanilla."
"I-Iya. H-Habis, mencirikan K-Karakterku sih." Jawab Megumi terbata-bata.
"Begitu. Aromanya manis dan segar ya. Rasanya ingin 'memakanmu' sekarang juga." Sasori memang pria yang nakal. Ia menggigit kecil bagian sensitif pada leher Megumi.
"Uh!" Megumi merona parah. Tangannya yang memegang kemasan potato chip itu menguat dan makin menguat hingga...
Daarr!
Syuuurr...
Kemasan itu meledak. Isinya tumpah semua.
Megumi menganga terkejut. Sasori sedikit melebarkan matanya.
"Aaah! Aku meledakannya!"
"Haah, bodoh seperti biasanya ya. Haha." Sasori mencubit pipi Megumi.
"Ittai!"
"Suara apa tadi?" Shizune datang menghampiri mereka. "Waah." Shizune hanya bereaksi seperti itu melihat isi-isi dari sebuah kemasan potato chip berserakan di lantai.
"Gomenasai! Aku akan membayarnya!"
"Ah, baiklah. Ini biar aku saja yang membereskan."
"Jangan! Kan aku yang meledakannya, Shizune-san."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena dia malu dan terkejut saat aku menggigit bagian sensitifnya di lehernya. Iya, kan, Megumi?" Sasori melirik Megumi sambil menyeringai jahil.
"Uuh.." Megumi merenggut sambil merona. Ia membereskan potato chip itu.
"Wah wah. Hahaha." Shizune tertawa renyah. "Biar kubantu."
"Jangan! Aku yang meledakannya, jadi aku yang harus membereskannya."
"Aku bantu ya." Tawar Sasori.
"Sudah kubilang, biar aku saja."
"Nanti kugigit lagi, lho."
"Aah! Jangaan!"
"Hahaha, dasar kalian ini."
.
.
.
Megumi tertawa sedih saat mengenangnya. Disini ada kenangan bersama Sasori. Itu membuatnya sakit dan sedih.
"Sasori-kun.." Megumi hendak menangis, tetapi...
Daarr!
Syuuurr...
Kemasan yang dipegangnya meledak karena tanpa sadar ia menggenggamnya terlalu kuat. Megumi tersentak.
"Waaaaa! Meledak!"
Shizune datang menghampirinya, kemudian tersenyum. "Ara, kamu melakukannya lagi."
"Gomen ne! Aku akan menggantinya! Biar ini kubersihkan!"
"Hm, baiklah."
Shizune memerhatikan Megumi yang kelabakan membereskan potato chip itu sambil mengomeli diri sendiri. Shizune tersenyum sedih. Ia tahu kenapa Megumi meledakannya kembali.
Karena disini, juga potato chip itu, tersimpan kenanganmu bersamanya kan. Megumi-chan?, batin Shizune. Ia sedih melihat Megumi yang sekarang. Tetapi ia tak bisa berbuat lebih kepada Megumi.
Kamu teringat tentangnya, kan?, batin Shizune lagi. Saat Sasori dimakamkan, Shizune juga ikut berkabung. Ia melihat, Megumi yang menangis keras sambil memeluk figura foto Sasori. Sampai beberapa jam Megumi terus menangis dan duduk di sebelah makam Sasori bila Sakura dan Ino tidak segera menampar Megumi untuk jangan terlalu larut dalam kesedihan.
"Selesai. Akan kubayar potato chip itu." Megumi memberi sejumlah uang yang pas dengan jumlah harga potato chip yang ia ledakkan tadi kepada Shizune. Shizune menerimanya.
"Tidak membeli lagi yang lain?" tanya Shizune.
Megumi tersenyum lemah, ia menoleh ke rak tempat potato chip yang menyimpan kenangannya dan Sasori. "Aku membeli yang lain saja."
"Tidak potato chip yang dulu?"
"Tidak." Megumi mengambil dua batang coklat. "Aku mau yang ini saja."
Shizune tersenyum maklum, "Baiklah. Ikut aku ke kasir."
"Ehm."
Sasori yang sedari tadi memerhatikan, menutup matanya rapat-rapat sampai dahinya berkerut.
"Gomen, Megumi."
.
.
.
=Natsu: Eternity Aim Sasori's=
.
.
.
Setelah membeli dua batang coklat, Megumi berjalan pulang ke rumah. Tetapi di tengah jalan, ia berhenti.
Aku ingin bertemu Sasori-kun, batin Megumi. Megumi berbalik, berjalan menuju ke suatu tempat.
Yaitu makam tunangannya, Akasuna Sasori.
.
.
.
Kresek..
Megumi menaruh sebuket bunga di depan batu nisan makam Sasori. Bunga itu ia beli di depan makam yang memang dikhususkan untuk para pelayat yang ingin melayat ke makam orang yang dikenalnya.
Megumi bersimpuh di sebelah makam Sasori. Ia tersenyum, ia mengelus batu nisan tunangannya itu.
Batu nisan itu bertuliskan..
Akasuna no Sasori
Born: Sunagakure, November 8th
Die: Sunagakure, Juny 12th
Already Go To The Heaven
Hope God Bless Him
Sasori berdiri di sebelah makamnya dalam wujud kasat mata. Ia berdiri di hadapan Megumi. Sasori menatap lekat Megumi dengan pandangan bersalah dan sedih.
"Sasori-kun, bagaimana keadaanmu? Kuharap baik-baik saja." Megumi berkata.
"Aku merindukanmu, Sasori-kun. Aku sering kali teringat tentangmu.." Megumi menunduk. Ia diam sejenak.
Megumi mendongak kembali dengan senyuman dipaksakan. "Ah, tetapi aku selalu berusaha! Aku juga akan rajin bekerja agar aku naik pangkat! Aku ingin ikut pelatihan menjadi pramugari. Rasanya menyenangkan karena bisa melayang di udara, memandang awan-awan indah dan langit biru sambil membagikan senyuman dan kebaikan kepada orang lain."
"Tapi aku belum naik pangkat juga. Ahahaha.." Megumi tersenyum sambil mengusap tengkuknya.
Sasori mengerutkan kening, sedih melihat Megumi.
"Aku tidak bertumbuh ya, Sasori-kun. Padahal umurku makin lama makin bertambah, tetapi aku masih bodoh seperti dulu. Aku memang bodoh sekali ya."
"Itu terbukti kok! Tadi aku ke minimarket tempat kita biasa belanja disana. Aku meledakkan potato chip lagi. Ha..hahaha.." Sasori semakin sakit di hatinya karena Megumi yang menutup dirinya.
"Karena...saat itu aku mengingatmu.." gumam Megumi, tetapi masih terdengar oleh Sasori.
"Aku akan terus berusaha, supaya aku bisa menjadi pramugari! Yosh!" Megumi mengepalkan kedua tangannya di depan dada, bersemangat.
Megumi kembali terdiam. Agak lama ia terdiam, barulah ia membuka suara.
"Sasori-kun tahu kan Sakura dan Ino?"
"Mereka meninggal secara bersamaan seminggu yang lalu. Ini menganehkan sekali, Sasori-kun. Mereka meninggal secara bersamaan, di waktu yang sama, dengan cara yang sama lagi! Mereka meninggal karena melihat sesuatu yang menyeramkan, singkatnya, mati karena terkejut."
"Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Tapi kata Sasuke –adiknya Itachi-nii itu lho, itu adalah pembunuhan. Tapi entah siapa yang membunuhnya. Semoga cepat ditangkap ya. Sasuke adalah seorang detektif polisi sekarang. Dia sudah berhasil menggapai cita-citanya. Hebat ya!"
"Aku tak bisa menceritakan cerita saat Sakura dan Ino meninggal dan analisis Sasuke saat dia menginterogasiku kepadamu, karena terlalu aneh. Aku sama sekali tak percaya itu."
Megumi tersenyum lebar, "Aku ingin sekali melihat senyuman Sasori-kun."
Sasori terdiam dengan wajah kaku. Dari matanya, terlihat jelas dia terkejut, walau tak terbelalak.
"Sekarang, aku hanya ingin itu." masih dengan senyuman lebarnya, Megumi mengatakannya.
"Tapi itu hanyalah impian kosong belaka ya."
"Tapi, tak apa-apa.."
"Aku tak apa-apa!" seru Megumi, masih dengan senyuman lebarnya.
Sasori menggigit bibir bawahnya. Kepalannya mengerat. Kedua alisnya bertaut.
"Aku tak apa-apa!" setetes air mata mengalir dari matanya. Sasori menutup matanya rapat-rapat.
"Aku tak apa-apa, kan?" dua tetes, tiga tetes air mata turun dari kedua mata Megumi.
"Aku..baik-baik saja, kan, Sasori-kun?" makin deras tangisan Megumi walaupun senyuman masih terukir di bibirnya.
"Ah, apa ini?" Megumi menyentuh pipinya yang basah akan air matanya. "Wah, sepertinya mataku tertiup debu ya." Megumi mengusap matanya. Tapi air matanya tak mau berhenti.
"Lho? Kenapa tidak berhenti?"
"Aah..ahahaha, ini bukan apa-apa kok. Mataku hanya berair."
"Jangan berbohong, Megumi."
Sasori tahu Megumi berbohong. Megumi tak bisa berbohong. Megumi tidak pandai berbohong.
"Maafkan aku, Megumi."
"Aah..ahahaha, aku tetap tersenyum kan?" Megumi terus berusaha menghapus air matanya. Masih dengan senyuman terukir di bibirnya.
Bahu Megumi bergetar. Megumi tidak bisa menutupinya. Sasori tahu itu.
"Aah..kenapa aku begini? Aku jadi begini. Maaf ya." Megumi mengelus batu nisan Sasori. Air mata masih menuruni pipinya.
"Aku pulang dulu ya, jaga dirimu baik-baik, Sasori-kun." Megumi mendekatkan wajahnya ke batu nisan Sasori, kemudian menempelkan bibir tipisnya ke batu nisan itu. Megumi menutup matanya rapat-rapat, mencoba mencegah tumpahnya air mata lagi, tapi sia-sia.
Megumi mengelus batu nisan Sasori. Ia menjauhkan wajahnya dari batu nisan itu, kemudian berbisik.
"D-Daisuki desu, Sasori-kun."
Sasori menutup kedua matanya dengan satu tangan, kemudian mengusap pangkal hidungnya.
"Maafkan aku, Megumi."
"Daisuki desu."
"Daisuki desu."
"Daisuki desu."
"Daisuki..desu..hiks.." Megumi mengucapkan kalimat 'Daisuki desu' berulang kali. Tangisnya makin deras. Setelah beberapa saat duduk disana, Megumi berdiri dan pergi meninggalkan makam Sasori. Kepulangan Megumi disinari oleh cahaya matahari senja.
Sasori menghela napas berat, kemudian mengikuti Megumi dari belakang. Sasori mengambil jarak beberapa meter dari Megumi.
Saat berjalan, Megumi teringat kembali, memori pahit dan menyedihkannya. Megumi menunduk. Ia mempercepat laju jalannya.
Sasori memandang punggung Megumi dari belakang.
"Tunggulah, Megumi. Waktu itu akan tiba..pasti."
.
.
.
=Natsu: Eternity Aim Sasori's=
.
.
.
"Oii, Sasori-chaan..suiit..suiit..! Bawa apa tuhh?" goda Hidan, sahabat Sasori.
"Aha, pasti cincin ya?" tebak Konan, yang juga sahabat Sasori. Ada 10 orang berkumpul dalam satu tempat seperti rumah. Tetapi kesepuluh orang itu menyebutnya 'markas' anggota organisasi Akatsuki. Organisasi yang mereka bangun sejak masih SD.
"Akhirnya danna melamar Megumi juga, un!" Deidara merangkul pundak Sasori sambil nyengir.
"Cih, lepaskan, Dei." Protes Sasori.
"Iya iya, un."
"Itu untuk siapa, senpai?" tanya Tobi.
"Tentu saja untuk tunangannya, dasar bodoh." Sahut Pein.
"Kau akan melamarnya kapan, Sasori?" tanya Itachi.
"Sekarang." Sasori tersenyum.
"Woaa! Woyy! Bentar lagi si Saso nikah!" seru Hidan heboh.
"Horeee! Makan makaaaann!" teriak Tobi gegirangan. Tetapi langsung terkena jitakan dari Konan dan Deidara.
"Selamat ya!" ucap Kakuzu sambil menepuk-nepuk pundak Sasori.
"Yee, belum tentu Megumi nerima, un." Canda Deidara.
"Oi, kau mendoakanku ya, Dei?" tanya Sasori tajam.
"Hehehe, bercanda, un."
"Yah, semoga saja Megumi menerima." Ucap Zetsu.
"Pasti diterima! Aku yakin!" seru Konan.
"Aku juga." Sahut Pein.
"Terima kasih." Sasori tersenyum.
"Hah? AAAAAA! Sasori-senpai bilang 'terima kasih' kepada kita! Itu pertama kalinya lho!" heboh Tobi.
"Tidak biasanya ya. Benar kan, Tobi?" tanya Deidara.
"Ya!"
"Sembarangan. Memangnya aku tidak punya sifat baik, hah!?"
"Sudah sudah. Sasori, lebih baik kau cepat berangkat. Megumi menunggu." Goda Kisame.
"Oh iya ya. Sasori kan ngajak Megumi kencan. Sekaligus..." Konan cengengesan.
"Ck, berisik! Aku pergi dulu!" Sasori cepat-cepat berjalan keluar dari sana.
"Hahaha, aku melihat pipinya memerah, lho." Pein tertawa.
"Aku juga!"
"Semoga saja danna diterima ya." Harap Deidara. Yang lain mengangguk.
.
.
'Sebentar lagi...sebentar lagi..' Sasori mengendarai mobil sport hitamnya menuju ke suatu tempat. Wajahnya terlihat senang sekali. Ia tersenyum lebar.
'Sebentar lagi..aku bisa bersatu dengannya.' Sasori membayangkan wajah Megumi. Ia tak bisa berhenti tersenyum.
'Sudah lama aku menunggu saat-saat seperti ini, akhirnya danaku cukup untuk menikah dengannya.' Sasori menngganti gigi mobilnya.
Sasori lebih mengencangkan kecepatan mobilnya. Ia sudah tak sabar lagi.
'Tunggulah, Megumi. Sebentar lagi aku sampai.'
Sasori terkejut saat mendengar klakson truk yang nyaring sekali. Ia sadar dari lamunannya. Betapa terkejutnya ia bahwa di depan mobilnya ada sebuah truk besar.
"Sial!" Sasori membanting setirnya. Ia mengarahkan mobilnya untuk menghindar dari tabrakan. Tetapi Sasori mengarahkannya ke pohon besar di pinggir jalan, sehingga...
BRAAAAKK!
Tabrakan tak dapat dihindari.
Bagian depan mobil Sasori hancur karena menabrak keras pohon besar di depannya. Pohon itu juga tergores besar karenanya.
"Ugh.." kepala Sasori membentur keras setir mobilnya. Kepalanya berdarah, darah mengalir jatuh ke pipinya sampai dagunya.
Nafas Sasori tersengal-sengal. Kakinya tak bisa bergerak untuk keluar dari mobil.
'Inikah akhirnya?' Sasori mengambil sesuatu dari saku celana jeansnya. Ia mengambil sebuah kotak kecil yang terbalut kain beludru indah warna merah.
Klap..
Sasori membukanya. Dipandanginya sebuah cincin perak berhiaskan sebuah batu permata kecil yang indah. Sasori menautkan kedua alisnya ke atas, ia menggigit bibir bawahnya. Pancaran matanya mengumbarkan rasa menyesal yang kuat dan sedih. Sasori menutupnya kembali. Ia menggenggam erat kotak beludru itu.
"G-Gomena..uhuk! Gomen-n-nasai..M-Megu..mi.." gumamnya pelan. Matanya tertutup perlahan-lahan, menutup manik mata hazel yang indah.
Nyawa Sasori pergi dari raganya.
"Hei! Ada kecelakaan!" orang-orang sekitar yang terkejut dengan suara benturan yang sangat keras itu, menengok apa yang sedang terjadi ke asal suara benturan keras itu. Mereka terkejut karena ada mobil yang menabrak pohon sampai bagian depan mobil itu hancur.
"Gawat! Cepat kita tolong!" mereka berhamburan pergi menuju mobil itu. Mereka menengok ke dalam mobil.
"Ada orang!"
"Ayo kita keluarkan orang itu dari sana!" dua orang dari mereka cepat-cepat mengeluarkan Sasori dari dalam mobil. Mereka membaringkan Sasori di tempat berumput yang tak jauh dari tempat kecelakaan.
"Astaga. Orang ini sudah tak bernyawa." Seorang dari mereka mengecek denyut nadi Sasori.
"Kita harus menelepon ambulans, polisi, juga kerabat orang ini!"
"Ya!" seorang dari mereka mencari-cari dompet Sasori dari dalam kantung jeans Sasori. Setelah dapat, dia mencari kartu-kartu nama atau tanda pengenal dari Sasori.
"Orang ini bernama Akasuna Sasori. Ada nomor telepon kerabat orang ini. Tapi sepertinya nomor dari organisasi orang ini."
"Aah! Sudahlah! Cepat telepon organisasi itu dan kabarkan kalau temannya kecelakaan dan tewas di tempat!"
"O-Oke!"
.
.
.
"Apa!?" Pein membelalakkan matanya begitu berbicara dengan orang yang menelepon ke markas organisasinya. Lama ia terdiam, kemudian menghela napas pelan sambil menutup matanya rapat-rapat.
"Baiklah. Kami akan segera ke tempat. Terima kasih." Pein menutup teleponnya.
"A-Ada apa, Pein? Kamu terlihat aneh. Ada kabar buruk?" tanya Konan khawatir.
"Telepon dari siapa, un?" tanya Deidara.
"Telepon..dari orang-orang yang menemukan jenasah Sasori." Jawab Pein sambil menghela napas berat. Terlihat sangat terpukul.
Mereka semua yang ada di ruangan itu, membelalakkan matanya, kaget dan tak mengerti.
"A-Apa maksudmu?" tanya Konan.
"Jenasah Sasori?" tanya Itachi.
"Sasori kecelakaan di daerah perempatan jalan menuju taman kota, tempat ia akan bertemu dengan Megumi. Mobilnya menabrak pohon besar di pinggir jalan dan tewas seketika karena kepalanya terbentur keras." Jelas Pein yang seakan seperti palu gada yang menikam hati mereka.
"A-Apa?" Zetsu kehabisan kata-kata.
"Sen..pai?" Tobi membuka topengnya yang sering ia pakai. Tampak wajahnya yang kaku. Peluh mengucur dari pelipisnya.
"Danna?" Deidara menunduk, ia mengeratkan tinjunya.
"Apa? S-Sasori?" Konan mulai menangis. Bahunya bergetar hebat. Kakinya mulai akan terjatuh bila Pein tidak segera memeluknya.
"A-Aku akan menelepon Megumi, un!" Deidara mengambil ponselnya, kemudian menekan angka-angka yang akan menghubungkannya kepada orang yang bernama Megumi.
"Tunggu! Deidara!" Itachi mencoba mencegah Deidara, tetapi Deidara sudah berlari menuju garasi dan masuk ke dalam mobilnya. Deidara mengunci semua pintu mobilnya dan menutup rapat jendela mobil. Itachi mengejarnya.
Itachi menggedor-gedor kaca jendela pintu mobil, tepat di sebelah Deidara duduk di bangku pengemudi. Terlihat di dalamnya Deidara mencoba menghubungi Megumi melalui ponselnya. Wajahnya terlihat kaku dan seolah tak menyangka hal ini akan terjadi.
"Deidara! Tunggu! Jangan menelepon Megumi dulu!" teriak Itachi.
"Dia punya hak untuk tahu!" sahut Deidara.
"Jangan kasih tahu sekarang! Itu akan menghancurkan moodnya.."
"MAU SEKARANG, MAU NANTI, SAMA SAJA! ITU AKAN MENGHANCURKAN MOODNYA! JADI BUAT APA MENUNDA-NUNDA UNTUK MEMBERITAHUKANNYA NANTI BILA NANTINYA IA JUGA AKAN SANGAT TERPUKUL, UN!?" bentak Deidara. Itachi terdiam.
'Moshi moshi? Deidara nii-san?' teleponnya diangkat. Teleponnya dibuat agar suara Megumi juga bisa didengar oleh Itachi.
"Moshi moshi. Megumi, kau ada dimana sekarang?" tanya Deidara. Itachi diam, ia ikut mendengarkan.
'Aku ada di halte dekat taman kota. Kenapa?' tanya Megumi.
"Ada yang ingin kuberitahukan, un. Tunggu disitu, jangan kemana-mana. Oke, un?"
'Baiklah. Tapi ada a-'. Deidara langsung menutup teleponnya sebelum Megumi menyelesaikan kata-katanya.
"Itachi, un." Panggil Deidara.
"Apa?" sahut Itachi.
"Kalian juga lebih baik segera ke tempat kejadian, menengok danna, un. Beritahu kepada yang lainnya ya." Ujar Deidara. Ia menyalakan mobilnya.
"..." Itachi terdiam untuk beberapa saat. "Ya." Jawabnya.
"Aku pergi dulu." Deidara mengeluarkan mobilnya dari garasi menuju jalan.
"Ya. Hati-hati." Itachi masih berada di tempat sampai Deidara sudah hilang dari pandangan. Ia masuk ke dalam rumah untuk menyampaikan apa yang dikatakan Deidara padanya tadi.
.
.
.
Megumi menunggu sendirian di halte bis di seberang taman kota. Ia sudah menunggu Sasori di taman, tapi Sasori tidak datang juga. Jadi Megumi bermaksud naik bis untuk pulang. Ia sudah mengirim email ke handphone Sasori tadi untuk memberitahukan bahwa ia akan pulang naik bis, bila Sasori datang ke taman tapi ia sudah tak ada, datang saja ke rumahnya. Tetapi tidak dibalas. Megumi sudah menelepon Sasori berkali-kali, tetapi selalu tidak tersambung.
"Haah, ada apa ya?" Megumi menghela napas. Ia punya firasat aneh dari tadi, tapi tak tahu firasat apa itu. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi hari ini.
"Aku duduk sajalah." Megumi duduk di kursi yang disediakan disana. Megumi memakai pakaian yang spesial dan berdandan bila ia diajak kencan oleh tunangannya. Ia memakai pakaian dress putih bercorak bunga dandelion dan celana jeans warna biru cerah yang pas di kakinya. Ia juga menggelung rambutnya dan memakai bedak tipis dan pelembap bibir untuk wajahnya. Biasanya sehari-harinya ia jarang berdandan kecuali di waktu kerja.
Megumi melihat jam tangan mungilnya. "Hmm, ada apa ya?"
Di halte itu hanya ada Megumi seorang. Megumi duduk disana sendirian sembari disejukkan oleh angin alam.
"Oh iya, tadi itu suara keras apa ya? Suara yang mengagetkan. Sepertinya tidak terlalu jauh dari sini." Megumi melihat ke sekitarnya untuk mencari asal suara yang mengagetkannya tadi. Seperti suara tabrakan. Tapi ia tak tahu dimana asal suara itu. Dan lagi, disana sepi.
"Apa ada kecelakaan ya?" Megumi bertanya pada diri sendiri. Suara tadi memang terdengar sekilas seperti suara tabrakan. Mungkin kecelakaan.
Dan itu memang benar.
Datang sebuah mobil yang merupakan mobil Deidara di depan halte. Pintu pengemudi terbuka, keluarlah seorang lelaki tampan berambut pirang panjang yang setengah diikat.
"Megumi!" panggil Deidara sambil berjalan mendekati Megumi. Megumi berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Deidara.
"Ada apa, Deidara nii-san?" tanya Megumi.
Lama Deidara terdiam. Megumi bingung. Megumi menggoyangkan tangannya di depan wajah Deidara.
"Deidara nii-san?"
Deidara sadar dari lamunannya. "Oh, ya, ada apa, un?"
"Deidara nii-san bilang ada sesuatu yang ingin diberitahu kepadaku. Apa itu?"
"...". Deidara kembali terdiam. Megumi bingung akan sikap lelaki yang dulu merupakan seniornya di SD sampai SMU. Walau tidak satu kuliah.
"Megumi, ada yang ingin kuberitahu, un. Tapi, tenangkan dirimu ya setelah mendengar ini, un." Pinta Deidara. Megumi agak bingung, sebenarnya apa yang ingin diberitahu Deidara, tapi ia menurut juga.
"Kau sedang menunggu Sasori no danna, kan, un?" tanya Deidara. Raut wajahnya kaku.
Megumi mengangguk, "Dimana dia sekarang? Sudah kutunggu dan kukirim pesan kepadanya, tidak dibalas. Apa dia ada keperluan lain?"
"Dia kecelakaan di perempatan jalan dekat sini, Megumi. Mobilnya menabrak keras pohon besar di pinggir jalan, dan tewas di tempat, un." Deidara menceritakannya dengan suara patah-patah.
Megumi diam. Bibirnya terkatup rapat. Ia terpaku di tempat. Wajahnya tegang seketika. Dari sorot matanya, terlihat jelas Megumi terkejut.
'Jadi..suara yang kudengar tadi itu..'
"Danna ditemukan oleh orang-orang di se-...Megumi!" Deidara memanggilnya saat Megumi berlari menuju ke tempat kejadian yang dikatakan Deidara.
"Megumi! Tunggu!" Deidara mengejarnya. Ia memanggil-manggil Megumi, tetapi tidak disahut oleh Megumi.
Megumi berlari dengan wajah tak percaya dan tegang, 'Ini bercanda, kan?'
'Ini hanya bercanda, kan? Ini tak mungkin terjadi, kan?' buliran air mata menggenang di pelupuk mata Megumi.
'Aku tak bisa memercayai ini!' Megumi lebih mengencangkan larinya. Ia tak peduli rambutnya berantakan, yang penting ia harus sampai di tempat itu.
Nafas Megumi tersengal-sengal. Ia sampai di perempatan jalan. Megumi melihat, ada kerumunan orang sedang mengelilingi sesuatu di dekat pohon besar. Ada mobil berwarna hitam menabrak pohon itu sampai bagian depan mobil itu hancur. Di dekatnya, ada beberapa mobil yang Megumi kenal siapa pemiliknya.
Megumi segera berlari menuju kesana. Ia menghiraukan suara Deidara yang memanggilnya.
Megumi berusaha menerobos masuk ke dalam kerumunan itu.
"Maaf.."
"Permisi.."
"Saya mau lewat.." Megumi berkata seperti itu saat ia menerobos masuk ke dalam kerumunan.
Megumi sampai di barisan terdepan. Ia membelalakkan matanya saat melihat Sasori terbujur kaku di atas tanah rerumputan. Kepalanya berdarah. Matanya tertutup rapat. Wajahnya terlihat tenang meskipun tak bernyawa. Megumi melihat di dekat Sasori ada Hidan dan Tobi duduk di sebelahnya, memandang kosong ke arah Sasori. Disana juga ada Pein dan Konan. Konan sedang menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Pein. Mereka berdiri di samping Tobi. Itachi dan yang lainnya berdiri mengelilingi Sasori. Mereka memandang kosong dan tak menyangka ini akan terjadi kepada sahabat sejak kecilnya itu.
Menyadari ada sosok yang telah berhasil menerobos masuk ke dalam kerumunan, kedelapan orang itu menoleh. Mereka terkejut bahwa ada Megumi disana, memandang Sasori dengan pandangan tak percaya juga terkejut.
"M-Megumi?" panggil Konan.
Megumi tak menyadari bahwa Konan memanggilnya. Seluruh perhatiannya terpusat kepada tunangannya yang terbaring kaku dengan tubuh bersimbah darah.
"S-Sasori-kun?" gumam Megumi. Bibirnya bergetar. Peluh menuruni pelipisnya.
"Sasori-kun!" Megumi dengan segera menghampiri Sasori. Hidan dan yang lain memberi jalan kepada Megumi untuk mendekati Sasori.
"S-Sasori-kun? Kamu tak apa-apa, kan!?" Megumi duduk bersimpuh di sebelahnya. Ia memangku Sasori di pangkuannya. Megumi memeluk leher Sasori. Megumi mengecek keadaan Sasori.
"K-Kenapa...kenapa tubuhmu kaku?"
"Kenapa tubuhmu dingin?"
"Kenapa kamu tak menjawab?"
"Jawab aku, Sasori-kun!" Megumi mulai menangis deras. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Sasori. Berusaha membangunkannya, tetapi itu sia-sia.
"Megumi.." Hidan bersimpati kepadanya. Ia mencoba menenangkan Megumi, tapi tak berhasil.
Kedelapan orang yang lain memandang nanar kepada pasangan yang malang itu. Hendak kebahagiaan menghampiri mereka berdua, tetapi dihalang oleh maut yang menyerang sang lelaki.
"Megumi!" Deidara menerobos masuk ke dalam kerumunan. Kedelapan orang itu menoleh kepadanya, tatapannya sedih.
Deidara hanya bisa berdiri mematung di tempat. Ia melihat sosok Megumi yang biasanya ceria dan lucu itu, menangis keras sembari mencoba membangunkan Sasori. Sudah lama Deidara tak melihat Megumi seperti itu setelah kematian kekasihnya, Tomo, yang merupakan kakak perempuan Megumi.
Deidara bisa mengerti perasaan Megumi sekarang. Ia juga seperti itu saat Tomo perlahan menutup matanya di ranjang rumah sakit. Deidara butuh waktu yang lama untuk menghilangkan kesedihannya akan kematian wanita yang merupakan kekasihnya itu. Tapi ia hanya bisa berdiri diam melihat Megumi yang sedang histeris saat ini.
"Megumi-chan, tenangkan dirimu." Tobi mencoba menenangkan Megumi. Tetapi ia justru terdiam saat Megumi menangis deras sambil memeluk erat kepala Sasori.
Air mata Megumi turun, membasahi pipi Sasori. Tangisannya tak bisa berhenti. Air mata masih mengalir deras dari mata Megumi. Manik mata dark amethyst Megumi terlihat buram karena air mata. Wajahnya memerah.
"Kenapa...?" lirih Megumi.
"Kenapa...?"
"Kenapa..tidak aku saja yang mengalami ini? Kenapa harus Sasori-kun?"
"Jangan bodoh, Megumi!" seru Konan. Ia mengguncang-guncang bahu Megumi untuk menyadarkan Megumi.
"Seharusnya...aku menghampirinya duluan saat ia mengajakku pergi."
"Ia takkan mengalami hal ini.."
Orang-orang memandang iba ke arah Megumi. Rasanya kesedihan Megumi terasa masuk ke dalam hati mereka.
Megumi mulai menjerit pilu. Konan berusaha menenangkan Megumi. Yang lain hanya bisa diam, menatap nanar kearah mereka.
"Megumi! Ini kehendak kami-sama! Ini bukan kesalahanmu!" seru Konan, tangisannya menderas. Megumi tidak menjerit lagi, walau masih tetap menangis. Megumi menggigit bibir bawahnya sampai memerah. Bahunya bergetar hebat. Matanya tertutup rapat-rapat. Keadaannya berantakan.
Konan tak tahu harus melakukan apa untuk menenangkan Megumi. Ia diam, memandang pedih ke arahnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Pein menyadari sesuatu yang digenggam Sasori. Ia melihat dengan seksama, kemudian menggenggam tangan Sasori yang kaku.
Megumi sadar akan itu, "P-Pein nii-san?"
Pein tidak menyahut. Ia mencoba membuka tangan Sasori yang kaku dan keras itu sekuat tenaga.
"Tch.." Pein masih berusaha.
"Pein?" tanya Konan. Yang lain bertanya-tanya akan apa yang dilakukan Pein.
Itachi melihat sesuatu dari sela jari tangan Sasori, sesuatu berwarna merah.
"Apa itu? Yang digenggam tangan kanan Sasori?" tanya Itachi.
"Aku sedang berusaha membuka tangannya. Tch, kaku sekali." Sahut Pein.
"Eh?" Megumi dan Konan berhenti menangis, pipi mereka basah dan lembap.
"Tch!" Pein berhasil membuka tangan Sasori. Ia mengambil benda yang digenggam Sasori.
"Ini.." Pein sadar apa itu.
"Itu cincin yang tadi, kan?" tanya Kisame.
"Megumi, un." Panggil Deidara.
Megumi menoleh, "Ya?"
"Sebenarnya...selain berniat kencan denganmu, danna bermaksud melamarmu." Jelas Deidara.
"Benar. Sasori berhasil membeli cincin untuk melamarmu dan menyediakan dana yang cukup untuk menikahimu." Konan melanjutkan.
"Apa?" Megumi terkejut. Bibirnya terasa kaku. Matanya menyorotkan rasa terkejut dan tak menyangka.
"Ini." Pein menyodorkan kotak cincin itu. "Cincinmu."
Megumi menerimanya, memandangnya lekat. Megumi perlahan membuka kotak cincin itu.
"Ah.." Megumi kembali menangis. Ia menutup mulutnya dengan satu tangannya. Air mata bening jatuh dengan lancarnya dari matanya.
"Ah.." Megumi benar-benar tak menyangka ini. Bila Sasori tak mengalami ini, mereka sebentar lagi hendak akan bersatu selamanya, kan?
Bahu Megumi bergetar hebat. Ia menangis sesenggukan. Ia benar-benar sedih, terharu, dan pedih melihat cincin permata itu. Desainnya memang sederhana, tetapi sudah cukup untuknya.
"Sasori..sudah lama menantikan ini. Ia sudah lama ingin menikahimu, hanya saja keadaannya yang tak siap untuk itu." ucap Itachi. Ia duduk di sebelah Megumi.
"Maukah kau menerima Sasori?" tanya Pein. Matanya menatap tajam ke arah Megumi.
Megumi menutup matanya rapat-rapat untuk mencegah air mata keluar lagi. Perlahan, ia mengangguk. Ia mengangguk berkali-kali.
Mereka tersenyum sedih, mereka lega karena Megumi mau menerimanya, tetapi semua sudah terlambat.
"Hiks...hiks..." Megumi mendekap kotak cincin itu di depan dadanya. Megumi tidak menangis deras lagi, matanya sudah lelah mengeluarkan cairan bening lagi.
Yang lain hanya bisa diam memandang Megumi sampai polisi dan ambulans datang.
"Doomo arigatou gozaimasu, Sasori-kun.."
.
.
.
Zraaaaassshh...
"Megumi, ayo kita pulang. Kamu bisa sakit bila terus disini." Sakura dan Ino terus membujuk Megumi yang sedang setia duduk bersimpuh di sebelah makam Sasori. Pemakaman jenasah Sasori sudah selesai, kotak berisikan cincin yang satu-satunya kenangan terindah sekaligus menyedihkan dari Sasori, dimasukkan ke dalam peti mati Sasori dan dikubur bersamanya.
Sudah banyak pelayat yang pulang. Pemakaman telah berlangsung sejak 3 jam yang lalu. Disana hanya tinggal ada Sakura, Ino, Hinata, Tenten, Temari, Sai, Sasuke, Naruto, Gaara, dan para Akatsuki saja. Mereka juga sedih karena ini. Tetapi mereka tak bisa meninggalkan Megumi yang masih duduk di sebelah makam Sasori, memandang figura foto yang bersandar di batu nisan Sasori.
"Megumi-chan sudah mulai pucat, kamu bisa demam." Hinata menyentuh kening Megumi.
"Hujan semakin deras. Kami tak mau kamu sakit." Ujar Ino.
"Aku...masih ingin disini." Lirih Megumi.
"Tapi, Megumi.." Tenten mencoba mencegah Megumi.
"Aku...tak mau meninggalkan Sasori-kun." Megumi tersenyum lemah. Mereka menyadari bahwa psikis Megumi mulai merujuk ke percobaan bunuh diri.
"Megumi, kau.." Konan hendak menghampiri Megumi. Tetapi,
PLAKK!
Tiba-tiba Sakura menampar pipi Megumi.
Lantas mereka semua yang masih ada disana, terkejut.
"Kamu...kamu jangan terus seperti ini, Megumi! Aku tak suka!" bentak Sakura.
Megumi diam, ia pandang wajah Sakura yang menangis dan kelihatan marah itu.
"Kamu tak boleh terus seperti ini! Membiarkan dirimu sendiri disini terus diguyur oleh air hujan, itu tidak pantas!"
"Yang mati takkan kembali lagi, Megumi. Sebagaimanapun kamu menangis, menjerit, bahkan mencoba melukai dirimu sendiri, Sasori takkan kembali. Sasori pun tak ingin kamu seperti ini terus, kamu mengerti?" Sakura menautkan alisnya ke atas, dahinya berkerut. Ia pun membiarkan tubuhnya kehujanan karena payungnya ia lempar entah kemana sebelum hendak menampar Megumi.
Megumi menunduk, ia menyesal, "Gomen."
"Ayo kita pulang, Megumi. Aku tak mau kamu sakit, ya?" Sakura mengambil payungnya yang barusan diambilkan oleh Naruto.
"Ehm." Megumi berdiri, dibantu oleh Sakura.
"Baiklah, ayo kita semua pulang." Ajak Sakura. Mereka semua mengangguk. Mereka berjalan keluar dari area makam.
"Uhh.." Megumi sempoyongan. Hendak tubuhnya akan jatuh ke tanah, Sasuke menangkapnya.
"Gawat. Ia demam tinggi." Sasuke menyentuhkan tangannya ke dahi Megumi yang sedang pingsan itu.
"Uhk, segera kita bawa ke rumah sakit!" seru Ino.
"Baiklah." Sasuke menggendong Megumi di kedua tangannya. Ia dipayungi oleh Itachi.
"Hati-hati, Sasuke-kun." Hinata memperingati.
"Ya."
Mereka kembali berjalan menuju tempat mereka memarkir mobilnya.
Dari kejauhan, ada sosok transparan, keluar dari makam Sasori.
Sosok itu berdiri perlahan, kepalanya tertunduk, kemudian terdongak. Sosok itu menatap rombongan teman-temannya yang berjalan pulang.
Sosok itu, Akasuna Sasori.
Sasori memandang tangannya.
"Hoo, jadi begini ya?"
Sasori menyeringai. Ia tahu legenda kota dari internet bahwa orang yang meninggalkan penyesalan di bumi, akan bangkit dari kematian. Bukan dalam artian ia menjadi mayat hidup, tetapi ia menjadi roh yang dapat melakukan apa saja di dunia manusia sampai keinginannya terwujud.
Ia mendapat kesempatan dari para kami-sama di langit untuk mewujudkan keinginannya yang belum terkabul.
Sasori tak mengerti, kenapa kami-sama memberinya kesempatan sespesial ini. Mungkinkah karena ia disukai oleh para kami-sama? Atau karena ia pengikut mereka yang baik? Entahlah, mungkin ada alasan lain.
Tetapi, ini merupakan hal yang sangat menyenangkan.
Sasori menyeringai lebih lebar lagi, ia mengikuti teman-temannya dari belakang.
.
.
.
.
=Natsu: Eternity Aim Sasori's=
.
.
.
Megumi menghela napas berat. Selama ini ia mendapatkan interogasi dan pertemuan secara intensif dari Sasuke. Melelahkan, memang. Tapi apa boleh buat?
Ia sedang berjalan pulang sehabis belanja kebutuhannya sehari-hari. Di tengah perjalanan, ia melewati kawasan taman bermain anak-anak. Disana ada dua anak laki-laki sedang bermain seluncuran.
Dua anak itu sadar ada Megumi sedang lewat disana, mereka saling bisik-bisik, kemudian tertawa-tawa kecil. Mereka menghampiri Megumi.
"Oi, kakak pembawa sial."
"Hah?"
.
.
.
TBC
.
.
.
A/N: Sebenarnya ini rencananya Natsu pingin buat jadi oneshoot, tapi karena udah kepanjangan banget (ini aja udah jumlah kalimatnya 9 ribu lebih) dan udah lebih dari 30 halamanan, Natsu buat jadi twoshoot aja. Karena pasti para readers bacanya ngos-ngosan karena kepanjangan. (pengalaman sendiri, pernah baca FanFic yang wordsnya panjang banget)
Hehehe, ada yang nyadar, kalau legenda kota di FanFic ini mirip sama prinsip legenda kota animanga Undead? Iya, Natsu tiba-tiba dapat ide pas baca manga Undead di majalah ShonenStar. Tapi Undead itu prinsipnya beda sama punya Natsu, kayak gini "Orang yang dalam hidupnya menyisakan penyesalan di dunia, akan hidup kembali. Raganya sudah mati, tetapi hatinya masih hidup. Bila hati menghangat karena rasa terharu atau sejenisnya, pembusukan tubuh semakin cepat dan akhirnya lenyap. Orang yang menjadi Undead, akan terus menempel pada orang atau tempat yang berkesan baginya sampai lenyap sendiri karena hati menghangat"
Jadi singkatnya, Undead itu mayat hidup. Bukan Zombie kok. Emang sama-sama mayat hidup, tapi beda lagi. Zombie kan nyerang manusia (kayak di Resident Evil sama Plant vs Zombie..:v), kalau Undead gak nyerang. Sifatnya masih kayak masih hidup dulu.
Ada yang ngerasa judul FanFic ini aneh, gak? -_-a"
Natsu merasa judulnya aneh. Partner Natsu yang namanya Minase Kiyozaki (nama disamarkan), bilang gini "Judulnya aneh banget, bodoh!". -_-
Eternity itu artinya kekekalan/keabadian. Aim itu tujuan. Sasori ya Sasori. :v
Jadinya kekekalan tujuan Sasori. :'(
Halah, jadi banyak omong. Ya sudah, Natsu pamit dulu. Bye Byeee! ^^/
Mind To Review?
