P.s: I Love You More Than Anyone Else in This World
Disclaimer: I do not own Meitantei Konan. Meitantei Konan belongs to Gosho Aoyama
Warning: OOC, typo, AT-AR
Summary: Ran meninggal karena kecelakaan. Namun, Shinichi selalu menyangkal dan menganggap bahwa Ran masih hidup. Ia selalu menelepon dan mengirimi Ran e-mail walaupun Ran tidak akan mengangkat teleponnya atau membalas e-mail-nya. Sampai suatu saat, ia mulai menyadarinya dan meikhlaskannya...
X.x.X
Rasanya jantungnya itu berhenti berdetak saat ia mendapat telepon dari Sonoko yang memberitahukan bahwa Ran masuk rumah sakit karena kecelakaan. Ran tak sengaja tertabrak mobil saat ia hendak menyebrang.
Saat ini, ia hanya mampu berdoa dan melantunkan harapan terus-menerus dalam hatinya agar Ran selamat. Karena ia takkan sanggup jika ia harus kehilangan senyum malaikat Ran saat ini juga.
Shinichi terus bergerak tak nyaman. Tak dapat dipungkiri bahwa hatinya kini diliputi rasa gelisah. Sampai-sampai Sonoko yang duduk di hadapannya pun berusaha menenangkan Shinichi. "Shinichi-kun, percayalah Ran akan baik-baik saja."
"Sonoko, bagaimana aku bisa tenang? Bagaimana kau bisa setenang ini kalau sahabatmu sedang memperjuangkan nyawanya di dalam sana?" seru Shinichi. Baru saja Sonoko akan membalas perkataan Shinichi, terdengar suara lari yang bisa dipastikan lebih dari dua orang. Mereka berdua mengalihkan pandangan mereka dan mendapati orang tua Ran dan orang tua Shinichi baru saja datang setelah dihubungi Shinichi. Yukiko dan Yuusaku memang kebetulan mengunjungi Jepang dan berniat menginap untuk beberapa hari ke depan.
"So-Sonoko-chan, bagaimana bisa?" tanya Eri tak percaya. Eri dan Kogoro pun duduk di samping Sonoko dan mendengarkan cerita mengenai putri satu-satunya mereka. Tak berapa lama kemudian, Eri pun menangis dan terus berdoa dalam hati semoga Ran selamat dan tak terluka cukup parah.
Sedangkan Yukiko dan Yuusaku duduk di samping Shinichi yang sedari tadi tak bisa menunjukkan sikap nyamannya.
Sudah dua jam mereka menunggu di ruang tunggu dengan perasaan cemas sampai akhirnya lampu penanda operasi pun padam dan pintu ruang rawat pun terbuka. Sontak semua yang ada di sana pun berdiri dan menghampiri sang dokter.
"Lukanya tidak terlalu parah meskipun kepalanya mengalami benturan keras. Dan dia baik-baik saja," ujar dokter tersebut dengan senyumannya. Semua yang ada di sana mengelus dada. Lega setelah mendengar pernyataan dari dokter yang baru saja menangani Ran. Walau mendengar Ran yang mengalami benturan keras itu tak terlalu membuat mereka sepenuhnya lega.
Ran pun dipindah ke kawar rawat yang biasa.
X.x.X
Sudah seminggu Ran tidak sadarkan diri. Itu membuat semua orang apalagi Shinichi kembali cemas. Kata dokter, Ran koma karena benturan keras yang diterimanya. Namun, sampai saat ini kondisinya masih stabil.
Setiap hari setelah pulang sekolah dan hari libur, Shinichi selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Ran, kekasihnya. Ia sedih jika harus mengingat kalau kini Ran sedang terbaring tanpa tahu kapan ia akan bangun.
Seperti biasa, Shinichi mengunjungi Ran dan kini ia sudah duduk di samping ranjang Ran. Ia mengelus rambut Ran lembut. Lalu, turun ke wajahnya. Selang oksigen yang terpasang ke hidung Ran memang agak sedikit menganggu Shinichi. Namun, ia tak mungkin melepasnya, kan?
Tangan yang satunya ia pakai untuk menggenggam tangan Ran. Kehangatan yang menjalari hatinya masih sama saat mereka bergandengan tangan dulu. Shinichi tersenyum sedih. Lebih baik ia saja yang terbaring di sini, jangan Ran.
"Kapan kau akan bangun? Tolong, buka matamu secepatnya. Hey, Ran, apa kau tahu? Aku kesepian. Baru seminggu aku tak melihat senyummu, rasanya sudah lama sekali aku tak melihatnya. Aku memang payah dalam hal menunggu, berbeda denganmu. Iya, kan?" gumamnya pelan. Perlahan ia telusuri wajah Ran dan mengusapnya lembut.
"Kau harus membuka matamu secepatnya. Aku rindu mendengar suaramu. Kau dengar, kan kata-kataku? Turuti, ya," gumamnya lagi.
Dan lagi. Shinichi selalu menghabiskan waktunya di sini. Di kamar rawat Ran dan mengajaknya mengobrol walau ia sadar Ran takkan bisa meresponnya. Namun, melihat kondisi Ran yang stabil seperti ini pun sudah membuatnya senang.
X.x.X
Tak seperti biasanya, hari ini perasaannya benar-benar tak enak. Dan sepanjang pelajaran pun ia tak fokus. Bayangan Ran terus-terusan muncul di benaknya. Ia berusaha mengabaikannya dan berharap bahwa Ran baik-baik saja, namun tak bisa.
Semakin berusaha ia tak menghiraukannya, semakin kuat pula perasaannya. Benar-benar perasaan yang buruk.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Entah kenapa, Shinichi lebih memilih untuk pulang dulu ke rumah sedangkan Sonoko langsung pergi ke rumah sakit. Ia juga merasakan hal yang sama seperti Shinichi. Dan ia ingin cepat memastikannya.
Shinichi sudah selesai bersiap. Namun, perasaan itu muncul kembali. Dan kali ini lebih kuat. Entah ada apa, yang pasti ia merasa bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan perasaannya tambah tak enak tatkala Heiji meneleponnya.
"Moshi-moshi," jawab Shinichi. Ia pun diam sejenak, menunggu Heiji bicara padanya. Namun, ia tak mendengar apapun. Heiji diam tak bicara sepatah kata pun.
"Hattori?" katanya heran. Dan di seberang sana ia bisa mendengar kalau Heiji menghela napas berat sebelum ia menyampaikan maksud dirinya menelepon Shinichi.
"Nani? Aku harus ke rumah sakit sekarang? Tenang saja, aku juga akan pergi."
"Secepatnya? O-oke, baiklah," ujarnya sambil mengakhiri sambungan telepon. Shinichi mulai melangkahkan kakinya meninggalkan rumah. Orang tuanya sudah lebih dulu menjenguk Ran dibandingkan dengannya.
Sepanjang perjalanan, Shinichi terus berharap dan berdoa dalam hati. Semoga, tidak terjadi apa-apa dengan Ran. Semoga...
X.x.X
"Apa terjadi sesuatu pada Ran?" tanya Shinichi langsung begitu sampai di sana. Ia mengedarkan pandangannya. Sonoko yang menangis kehilangan, Heiji yang menunduk, dan Kazuha yang terlihat menangis sambil berpelukan dengan Sonoko.
Shinichi mengalihkan pandangannya pada Heiji. Ia menuntut jawaban atas pertanyaannya. Heiji terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu namun enggan. Shinichi melirik Sonoko dan Kazuha yang sedang berpelukan. Ia semakin heran. Dan ia mulai berpikir yang tidak-tidak.
"Hattori, jawab pertanyaanku ...," paksa Shinichi. Namun, Heiji hanya dapat menggeleng. Ia menunjuk pintu ruang rawat Ran dengan dagunya. Perasaannya semakin tak menentu. Dengan langkah ragu-ragu, Shinichi membuka pintu ruang rawat itu.
Kogoro sedang memasang wajah menyesal dan Eri sedang menangis meraung-raung dalam pelukan Kogoro. Tak jauh beda dengan keadaan Yuusaku dan Yukiko di sana. Namun, Shinichi tak terlalu memedulikan hal itu. Yang ada di pikirannya adalah sosok yang kini terbaring di ranjang namun ia tak bisa melihat wajahnya karena tertutupi oleh selimut putih.
Shinichi melangkahkan kakinya mendekat. Dan saat sudah sampai, ia membuka selimut putih tersebut sebatas bahu sambil melontarkan harapan terus-menerus dalam hatinya. Namun, harapannya sama sekali tak terkabul.
Ia dapat melihat Ran kini sedang tertidur dengan damainya. Matanya terbelalak. Tanpa sadar, ia menahan napasnya. Ia tak memercayainya apa yang ditangkapnya oleh indera penglihatannya.
Ia menyentuh wajah Ran dengan telunjuknya.
Dingin. Itulah yang ia rasakan. Kemudian ia coba telusuri wajah Ran dan menggenggam tangan Ran. Tak ada ubahnya, tetap dingin.
"R-Ran ...," ia menyadari kalau suaranya kini terdengar bergetar. Ia mencengkeram bahu Ran dan mengguncang-guncangkannya. "Ini sungguh tidak lucu! Bangun dan tersenyum untukku!"
Hening. Tak ada respon dari Ran. Tentu saja, karena Ran sudah—
"Kau belum meninggal! Kau tidak boleh meninggalkanku! Tidak boleh!" seru Shinichi lagi.
—meninggal.
Yuusaku dan Yukiko pun hanya bisa terdiam melihat anaknya yang kini berusaha menyangkal kenyataan yang terlihat. Mereka pun melangkah pelan mendekati Kogoro dan Eri yang masih sama-sama merasa kehilangan.
"Ran ... kumohon ...," katanya sebelum akhirnya ia melepas cengkeramannya dan terduduk lemas. Dadanya sesak sampai-sampai ia sulit bernapas. Pandangannya mulai mengabur oleh air mata. "Tidak ... ini bohong..."
Pandangan Shinichi kembali jelas namun kembali mengabur dengan cepat. Ia menangis dan masih tak memercayainya hal ini. "Ran!"
X.x.X
"Eri, Kogoro, kalian yang tabah, ya," ujar Yukiko sambil terisak. Yuusaku berada di sampingnya sambil merangkul bahu istrinya.
Eri berusaha tersenyum. Ia mengangguk lemah, begitu pun Kogoro. "Bagaimana ... dengan Shinichi?" tanya Eri.
Yukiko kembali sedih saat mengingat kondisi anaknya. "Ia mengurung diri di kamarnya dan tak keluar sejak pulang dari rumah sakit. Ia pun tak mau makan."
Yuusaku mengusap pundak istrinya lembut. Ia pun sama sedihnya saat mengingat kondisi Shinichi yang seperti itu. Tak lama kemudian, mereka pun pamit pulang. Sedangkan Kogoro dan Eri masih berniat untuk berlama-lama di sana. Sonoko, Kazuha, dan Heiji sudah pulang terlebih dahulu dan berusaha untuk tegar dan menerima semuanya. Shiho, Agasa-hakase, dan Shounen Tantei-dan pun sudah pulang duluan.
Yuusaku dan Yukiko pun sampai di rumahnya. Tak ada tanda-tanda bahwa barang-barang di rumah barang sesenti pun. Dengan lemah, Yukiko pun menuju kamar anaknya di lantai dua. Ia mengetuk pintu kamar anaknya pelan walau ia tahu pasti Shinichi takkan meresponnya.
Tok. Tok. Tok.
"Shinichi, apa kau sudah makan?" tanya Yukiko dari luar.
Tak ada jawaban.
"Shinichi, apa kau tidak mau ke makam Ran?"
Sama. Tak ada jawaban sama sekali.
Yukiko menyerah. Shinichi memang butuh waktu untuk menyendiri. Ia membalikkan tubuhnya dan mendapati bahwa Yuusaku sedang berdiri di sana sambil tersenyum menguatkan. "Dia butuh waktu."
Yukiko mengangguk lemah.
X.x.X
Shinichi duduk diam bersender di kasurnya. Tak melakukan apa-apa. Tatapannya kosong, pandangannya hampa. Ia terus bergeming dalam posisi seperti itu sejak ia bangun tidur. Padahal, ia berharap kalau ia hanya bermimpi dan akan terbangun secepat mungkin. Baginya, ini adalah mimpi terburuk dari seluruh mimpi terburuknya.
Ia mengambil ponsel yang ada di sakunya dan menatapnya lama. Wallpaper ponselnya begitu menarik perhatiannya dan menariknya dalam dunia khayalan. Ia usap layar ponselnya itu dengan ibu jarinya. Ia dan Ran terlihat bahagia dalam foto tersebut. Masing-masing menyunggingkan senyum termanisnya. Foto editan yang memperlihatkan empat pose berbeda itu sungguh mengoyak hati Shinichi.
Shinichi melempar ponselnya kasar. Untung ponselnya tak rusak. Ia membenamkan kepalanya di kedua lututnya. Hatinya kembali sakit mengingat bahwa Ran pergi meninggalkannya. Bukankah sudah kubilang ... jika kita mati ... kita mati bersama... Tapi kenapa kau pergi meninggalkanku lebih dulu?
Ia ingin sekali menangis. Namun, stok air matanya telah habis. Telah habis terkuras saat ia berada di rumah sakit kemarin. Dan sekarang, ia tak sanggup jika harus datang ke acara pemakaman Ran dan melihat makamnya. Membuatnya merasa menyesal sekaligus marah pada dirinya sendiri.
Ia sudah berjanji akan melindungi Ran sekuat tenaga walau taruhannya nyawa sekalipun. Ia rela. Sangat rela.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan dan disambung dengan suara ibunya. Shinichi tak mengacuhkannya. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sibuk menyangkal bahwa sebenarnya Ran sudah mati. Sibuk memikirkan bahwa Ran sebenarnya masih hidup dan akan bertemu dengannya saat mereka berangkat sekolah nanti.
Cukup lama Shinichi terdiam sampai akhrinya ia memungut kembali ponselnya yang telah ia lempar tadi. Ia mencari nama Ran dalam kontak list dan meneleponnya.
Tersambung. Hanya saja Shinichi tak dapat mendengar suara riang Ran dan yang terdengar malah nada sambung yang tiada henti. Shinichi menekan tombol reject.
Ia pun berniat mengirim e-mail pada Ran.
To: Ran
Ran, kamu masih ada di rumah, kan?
p.s: cepat temui aku, ya
Send.
Shinichi menaruh ponselnya pada meja belajarnya. Ia memandangi figura dirinya dan Ran saat berada di Tropical Land. Ia tersenyum miris. Ia mengambil figura tersebut dan mengelusnya.
Ia dan Ran sama-sama senang dan tersenyum bahagia. Namun, itu adalah saat terakhir di mana ia bertemu dengan Ran sebelum berubah menjadi sosok anak kecil berkacamata bernama Edogawa Conan.
Shinichi menaruh kembali figura tersebut di meja belajarnya. Ia pun duduk di sisi ranjangnya. Ia menatap ranjangnya dengan pandangan hampa.
Dulu, saat di villa Sonoko mereka pernah tidur bersama.
Shinichi menunduk. Ia terus mensugesti dirinya sendiri bahwa sebenarnya Ran masih hidup. Ia masih hidup. Masih akan mendampinginya sampai saatnya mereka mati bersama. Ini hanyalah mimpi. Ia akan terbangun suatu saat nanti. Pasti akan terbangun. Walau mimpi ini terasa begitu nyata dan mengerikan, Shinichi percaya bahwa ia akan terbangun dari mimpinya ini. Pasti.
X.x.X
Tangannya terulur pada jendela yang kini berembun karena hujan deras di luar sana. Ia menggoreskan nama orang yang dicintainya di sana dengan hati-hati.
Orang tuanya pergi sebentar membeli kebutuhan makanan. Mereka akan terus berada di sini sampai saat di mana dirinya pulih dari keterpurukannya. Namun, ia tak peduli. Posisinya pun tak berubah sejak beberapa saat yang lalu. Ia terus menyender pada jendela kamarnya sedangkan tangan kanannya asyik menulis di atas embun di kaca jendela tersebut.
Ia melirik ke arah jendela saat ia merasa kalau mendengar suara mobil yang datang dan baru saja diparkir. Ternyata orang tuanya baru datang.
Ia masih tetap tak peduli. Ia diam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tak memedulikan keadaan sekitarnya. Bahkan untuk makan siang yang telah disiapkan ibunya, tak ia sentuh seujung jari pun. Makanannya kini harus selalu diantar ke kamarnya. Dulu, ia masih ada nafsu makan walau pada akhirnya ia hanya makan lima suap saja. Namun, setelah itu nafsu makannya hilang sama sekali. Ia sama sekali tak niat untuk makan.
Ia bahkan malas untuk melirik jam dinding. Tapi, ia bisa menduga kalau sebentar lagi adalah waktunya makan malam. Dan ia sama sekali tak nafsu makan—sama seperti hari-hari sebelumnya.
X.x.X
Ponselnya terus bergetar tanpa ada niat untuk mengangkat telepon yang ternyata dari rival sekaligus sahabatnya dari Osaka tersebut. Ia hanya mendiamkannya saja sampai akhirnya ponsel itu berhenti bergetar untuk kelima kalinya.
Untuk pertama kalinya—setelah satu bulan lamanya—, ia berniat untuk keluar dari kamarnya dan berjalan keluar. Walau itu hanya berkeliling rumahnya saja.
Ia menuruni tangga dan berjalan mengikuti langkahnya saja. Namun, sepertinya kakinya membawanya melangkah pada tempat yang memiliki kenangan akan dirinya dan Ran di rumah ini.
Ia berhenti di depan perpustakaan rumahnya. Ia mengedarkan pandangannya pada tempat. Ia seperti melihat ada dirinya yang terjebak dalam tubuh Conan, Ran yang memakai jaket biru berbulunya, dan Agasa-hakase yang terlihat panik dalam ruangan tersebut. Kenangan saat ia bertemu dengan Ran pertama kalinya dalam wujud Conan kembali menghantui pikirannya.
Ia bahkan masih bisa mengingatnya dengan jelas saat Ran menanyai namanya siapa. Suara Ran yang terdengar riang dan penasaran kembali berdengung di telinganya. Shinichi mengalihkan pandangannya. Ia lebih memilih bersender pada ambang pintu perpustakaannya saja.
Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya dari sana. Ia terlihat sedang mengetikkan sesuatu.
To: Ran
Hey, apa kau masih mengingat saat-saat kita bertemu untuk pertama kalinya saat aku berwujud Conan? Lucu, bukan? Aku terpaksa bertingkah seperti anak kecil dan pura-pura tak mengenalmu. Itu kenangan yang masih tersimpan rapi di ingatanku. Tentunya kau juga, kan?
p.s: aku merindukanmu
Send.
Shinichi kembali mencari nama Ran dalam kontak list untuk kesekian kalinya. Sama seperti sebelumnya, ia berusaha menelepon Ran walau tahu bahwa yang terdengar hanya nada sambung yang terdengar monoton di telinganya.
Ia menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya. Ia kembali mengirim e-mail pada Ran.
To: Ran
Ran, bisakah kau mendengarkanku? Bisakah? Pasti bisa. Iya, kan? Ran, ini aneh. Rasanya kau belum meninggal dan masih berada di sisiku. Aku bisa merasakan kalau kau masih berdiri mendampingiku. Apa kau merasakannya juga?
p.s: kalau kau merindukanku, telepon aku saja. Karena aku menunggu telepon darimu setiap saat
Send.
Shinichi kembali memasukkan ponselnya ke saku celananya. Ia tak ingin berlama-lama di sana. Ia pun melangkahkan kakinya menuju dapur. Tak ada siapa-siapa di sana. Shinichi tidak tahu dan tidak peduli kalau sebenarnya orang tuanya pergi menghadiri teman mereka yang masuk rumah sakit.
Shinichi menatap sekelilingnya dan menemukan ada masakan yang baru setengah jadi. Ada juga celemek yang ditaruh asal-asalan di kursi meja makan dan spatula yang berada di wajan. Sebuah jas putih panjang khas seorang dokter pun tergeletak begitu saja di meja makan. Yang bisa Shinichi pikirkan saat itu hanyalah ada seseorang yang datang dan memasakkan makan siang padanya—dan yang pasti itu adalah orang tuanya yang menyuruhnya.
Shinichi mengedarkan pandangannya sampai pada akhirnya pandangannya tertuju pada sebuah botol obat yang jatuh terguling tak jauh dari jas putih panjang tersebut. Ia menghampiri meja makannya dan mengambil botol obat tersebut. Saat mengetahui botol obat apa yang ia pegang, ia tersenyum. Senyum mengerikan seperti baru menemukan suatu hal yang menarik.
Shinichi mengambil botol obat tersebut dan membawanya ke kamarnya. Ia pun tak lupa untuk menutup pintu kamarnya. Lagi-lagi ia tersenyum.
Shinichi membuka botol obat tersebut dan menuangkan lebih dari setengah botol obat itu. Ia menatap pil-pil tersebut yang kini berada di telapak tangannya. Tanpa pikir panjang lagi, Shinichi segera menegak habis pil-pil tersebut.
Ia tak mengingat apa-apa lagi kecuali dunia kegelapan yang mengambil kesadaran setelah ia menegak habis pil-pil tersebut.
X.x.X
Shiho yang baru kembali dari toilet segera kembali melanjutkan acara memasaknya untuk Tuan Kudou yang mendadak kehilangan jiwanya saat ditinggal oleh kekasihnya tercinta. Saat ia kembali ke dapur, ia merasa ada yang aneh.
Botol obat tidur yang tak sengaja ia bawa ke sini mendadak hilang. Padahal, tidak ada barang lain yang hilang. Dan otak jeniusnya pun berpikir cepat. Hanya ada satu kemungkinan.
Ia pun segera berlari ke lantai dua—lebih tepatnya ke kamar Shinichi. Dan terus berharap dalam hatinya kalau Shinichi tak berniat bunuh diri dengan menegak pil tersebut dalam dosis yang berlebihan.
Dan saat ia membuka pintu kamar Shinichi, tanpa sadar ia menahan napasnya. Shinichi sudah ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri.
Kemudian ia segera mencari ponselnya. Namun sialnya, ia tinggalkan dalam jas putih panjangnya. Ia merutuk dalam hati. Ia pun segera turun ke lantai bawah dan memakai telepon rumah. Untung saja ia masih hapal dengan nomor telepon Rumah Sakit Umum Beika.
"Halo, Rumah Sakit Umum Beika?" ujarnya penuh rasa cemas.
Tsuzuku
Aloha~! *loncat di Hawai dengan lumba-lumba ala Miiko (?)*
Nggak tau mau ngomong apa lagi selain chapter selanjutnya adalah chapter terakhir. Jadi, tetap ikutin fic ini, ya!
Akhir kata, review please~
