Warning : Typo(s), OOC, AU, PWP

Disclaimer : Taito Kubo

Rate : M


Dulu aku hanya seorang remaja 17 tahun biasa. Menjalani hidup juga seperti biasa, itu menurutku. Semua berjalan layaknya sebuah cerita tanpa judul.

Tapi… semenjak ia hadir dalam hidupku, wanita itu. Aku tak habis pikir, semua berubah. Kenapa harus seorang wanita? Bukan seorang gadis? Ketertarikanku padanya sangatlah kuat.

Semua terjadi begitu saja. Hingga kehidupanku berubah seperti sebuah cerita yang lebih hidup. Tapi… tetap saja tak ada judul yang tepat untuk itu. Mungkin aku bisa menyebutnya Untitle.


UNTITLE

:: Gay ::

Bagian I


Apa itu hidup? Aku tidak menyangka hidup pun bisa merubah nasip, kepribadian, bahkan segalanya. Aku lelah hidup seperti ini. Dikelilingi keributan sepanjang waktu dan tanpa henti sehari pun.

Adakah seseorang yang bisa menarikku dari semua ini? Setiap hari Ayah selalu berteriak kepada Ibu, begitu pun sebaliknya. Semua sama saja, bahkan mereka tidak mengerti perasaanku sebagai seorang anak.

Tiada tempat untukku mengeluh karena aku hanyalah anak tunggal dari keluarga Kurosaki. Orang-orang bilang, aku memiliki segalanya, gadis, harta, ketampanan, kepopuleran dan kebahagiaan.

Tapi apakah mereka tahu kebenarannya? Mereka salah! Aku tidak membutuhkan seorang gadis, harta, atau kepopuleran. Aku hanya butuh seseorang yang peduli padaku. Seandainya mereka tahu…

Selalu seperti ini, setiap hari sama, tak di rumah atau pun di sekolah. Orang-orang yang sama, wajah-wajah yang sama dan kelakukan yang sama.

Tak seorang pun gadis yang tak menyukaiku, setiap hari selalu saja… pandangan gadis-gadis itu seakan-akan ingin memakanku hidup-hidup, menjijikkan!

Senyuman mereka hanya karena aku seorang pria yang tampan? Atau kaya? Cih! Semua sama saja, mereka tak mempedulikanku sama sekali. Aku sama sekali tak berminat untuk mempedulikan mereka.

Aku hanya cukup memasang wajah seram dan kerutan tetap di dahi. Itu pasti cukup membuat mereka tak bertindak jauh terhadapku. Aku jengah dengan hidup yang membosankan.

"Hoi, Bro! Ayo ikut gue, lo sudah janji mau teraktir gue kan?" omongan yang sama dari seorang lelaki yang mengaku sahabatku.

Cih! Apa karena aku kaya kau mau berkata seperti itu? Seandainya aku miskin, kau takkan pernah berkata bahwa aku sahabatmu kan? Karena kau juga orang sederajat denganku, begitulah kau bilang.

"Gue males, kapan-kapan gue traktir," jawabku singkat padanya, Grimmjow Jaegerjaques.

Grimmjow hanya melengos dan pergi begitu saja. Tapi aku tidak peduli, hari ini suasana hatiku sedang buruk. Makan saja aku tak nafsu, apalagi membelikannya makanan, aku malas.

Padahal dulu aku tak seperti ini. Lo atau gue—bahasa itu baru kukenal sejak aku menginjak bangku SMU. Memaki atau membentak bahkan menghajar orang sudah makananku setiap hari.

Hidupku hancur karena mereka, kedua orang tua yang tak becus dan hanya memikirkan urusan masing-masing. Berteriak, itu saja yang mereka lakukan. Dan hari ini, aku tak akan pulang, aku lelah.

"Baiklah, Anak-anak. Ibu minta tolong kalian untuk diam dan perhatikan papan tulis!" teriak guru midget di depan kelas.

Cih! Semua guru sama saja. Suka mengatur sesuka hati mereka. Tapi maaf saja, itu tak berpengaruh padaku. Aku diam karena aku tak ingin bicara saja.

"Kurosaki, majulah ke depan dan ceritakan pengalamanmu dalam kompetisi renang musim lalu. Kau juaranya kan?" perintah guru midget itu kepadaku.

"Gue gak tahu, lo cerita sendiri kan bisa," kataku seperlunya, menurutku itu tak penting dan tak perlu kuceritakan, bukankah dia adalah guru olahraga renang kami, seharusnya dia lebih tahu dari pada aku.

Namanya Rukia Kuchiki, tapi aku memanggilnya guru midget karena tubuhnya yang kecil dan hanya sampai dadaku saja. Dia juga sama saja, selalu memerintahku dan melarangku.

"Musim ini akan dikirim minimal dua orang untuk berkompetisi, setidaknya berikan pengalamanmu," katanya dengan helaan napas sebelum berbicara, aku yakin kau lelah berbicara denganku.

Aku hanya membuang muka, tepatnya pada jendela di samping tempat dudukku. Aku ingin membayangkan bagaimana rasanya jika aku loncat dari lantai dua ini, apakah aku bisa mati?

"Bukan urusan gue…" jawabku tanpa memandang ke arah guru midget itu.

Seluruh kelas tak bergeming, kecuali mereka yang mengaku sahabatku, mereka tertawa. Apa ada yang lucu? Kurasa mereka suka jika aku seperti ini. Cih! Teman yang menyesatkan.

Kurasa guru itu menyerah, baguslah. Guru yang menyusahkan. Setiap kali aku membolos dan merokok, selalu saja wanita itu menemukanku. Bagaimana bisa kebetulan itu terjadi berulang kali?

Wanita itu langsung menceramahiku di tempat. Aku sama sekali tak mempedulikannya. Aku hanya butuh ketenangan, bila semua orang melarangku, lebih baik aku mati. Karena tak ada yang mengerti apa yang kurasakan saat ini, brengsek!

"Bro, lo kenapa? Lagi bete'? Lo bisa ikut gue sekarang. Gue jamin lo bakal seneng, gimana?" tawar Grimmjow yang saat ini mendatangi mobilku sebelum aku beranjak pergi.

"Ayolah, Bos! Gue sayang lo, makanya gue pengen lo happy lagi, oke?" satu lagi yang mengaku sebagai sahabatku, namanya Renji Abarai. Kalau yang ini cukup pantas dibilang teman, tapi tidak untuk sahabat.

"Gue mau lo bawa ke mana? Sekarang gue ada urusan, bagaimana kalau besok? Gue pasti ikut." kataku sambil menghidupkan mesin mobil dan memasang wajah sejutek mungkin, aku malas basa-basi.

Mereka sudah berteman denganku hampir dua tahun, karena sekarang kami menduduki kelas dua. Mereka pasti mengerti jika sikapku seperti ini, itu pertanda bahwa aku memang tak ingin diganggu.

"Oke, sekarang lo boleh gak ikut. Tapi besok lo gak bisa nolak lagi, Go." teriak lelaki pendek yang sedari tadi duduk di kursi samping mobilku, kurasa ia duduk tanpa seijinku. Namanya Toushiro Hitsugaya.

Begitu mereka semua pergi, aku hanya bisa menatap kosong ke depan dan segera menginjak pedal gas. Kulajukan mobil sekencang mungkin. Dan saat aku berhasil keluar dari area sekolah.

Aku melihat guru midget itu bersama seorang pria jakung berambut hitam. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu di sana. Dan tentu saja aku tak peduli.

Sepertinya tak ada tempat yang paling tenang selain kembali ke sini. Area di belakang gedung sekolah. Aku bersandar pada sebuah tiang dan menghadap langsung pada kolam renang sekolah.

Cukup jauh memang, tapi aku bisa melihat bayangan biru dari kolam yang cukup luas itu. Satu hal yang bisa kulakukan selain memaki dan berkelahi hanyalah berenang. Dan aku menyukainya.

Kuhisap rokok yang kini bertengger di antara jariku. Sejak dua jam yang lalu aku menghisapnya, setidaknya mereka bilang dengan merokok masalah akan menjadi semakin ringan.

Dan yang paling terpenting dengan ini aku bisa cepat-cepat mati. Mungkin saja kan? Setidaknya bukan bunuh diri, karena aku ingin seperti ini dulu. Dalam hatiku, aku masih menginginkan sebuah harapan.

"Harapan? Cih! Benda apa itu?" kataku sambil tersenyum meremehkan, tak kusangka aku bisa mengatakan hal semacam itu. Sial!

Byur!

Suara air itu menghentikan lamuananku tentang kematian. Sepertinya aku tak sendiri di sini. Kenapa tidak ada tempat yang bisa kugunakan untuk sendiri? Aku berharap seseorang itu tak menemukanku.

Kupejamkan mata sejenak saat batang rokok ke-tujuh itu berakhir. Lidahku mulai terasa pahit dan kerongkonganku mulai terasa gatal dan kering. Aku harus beristirahat dulu.

"Ingin minum?" aku mendengar suara seseorang di depanku. Berhubung aku tak ingin diganggu, kubiarkan saja dia seperti itu.

"Hei, Kurosaki! Aku berbicara kepadamu. Kau tuli?" katanya dengan nada yang sedikit menjengahkanku.

Kubuka mataku perlahan dengan malas. Seorang wanita yang tak asing lagi bagiku. Kenapa dia bisa selalu menemukanku? Kutatap ia dengan tajam. Aku bosan diganggu olehnya.

"Lo gak perlu peduli seperti itu pada gue. Gue mau lo pergi, sekarang!" aku mulai muak, apalagi membayangkan dia akan menceramahiku, aku malas!

Kutatap kedua matanya langsung dengan kilatan kebencian yang mendalam. Tak bisakah kau segera pergi? Kau malah diam saja seperti itu. Dan lebih parahnya lagi kau tersenyum. Aku benci orang yang tersenyum di hadapanku.

"Baiklah, aku akan pergi," katanya tenang dan mengambil duduk tepat di belakang tiang yang kusandari sekarang. Kurasa ia tak mengerti kata-kataku.

"Kau tuli atau bodoh? Gue bilang pergi!" teriakku tak sabar, sepertinya dia mulai berani padaku, sialan!

Keheningan menyelimuti kami berdua. Karena bosan, kuambil lagi sebatang rokok dari sakuku dan menghidupkannya. Kuhisap sekali lagi, tapi sayang, sebuah tangan telah menggagalkanku menghisap untuk yang kedua kali.

"Boleh kutemani? Aku akan merokok bersamamu," kata guru midget itu yang membuatku terkejut sekilas.

Kubiarkan dia menyita rokokku dan kuambil lagi sebatang rokok untuk diriku sendiri. Saat aku akan menghisap rokok ke-sembilanku, kulirik ke belakang sejenak. Kulihat guru itu tak bercanda, dia benar-benar menghisapnya.

"Kau tak perlu membuang waktumu, Kurosaki. Bunuh diri saja sekarang, itu lebih baik untukmu," kata guru itu sambil terkikik pelan.

"Berhenti mengurusi kehidupan gue! Siapa lo? Jangan berkata seolah-olah lo mengerti gue. Sialan!" makiku pada orang yang kini bersandar di balik tubuhku, dan hanya tiang itu yang membatasi kami.

"Aku tahu kau hanya anak polos, selalu mendapatkan apa yang kau mau. Baik itu gadis, harta atau pun nama. Kulihat kau selalu mendapatkan tempat di sepuluh besar kelas. Lalu apa masalahnya?" jelasnya.

Aku tak mendengarkannya. Aku sekarang memikirkan cara yang tepat untuk bunuh diri karena ada satu orang yang menyetujuiku untuk melakukannya. Apa mungkin gantung diri saja?

"Sesuatu yang bisa merubahmu ya? Coba kupikirkan dulu…" katanya sok peduli padaku, tapi tentu saja aku tak mempedulikannya. Aku sekarang berpikir, apakah aku akan masuk neraka jika bunuh diri?

"Bisakah kau ceritakan padaku, Kurosaki? Bagilah padaku, mungkin aku bisa membantumu. Aku bisa menjaga rahasia…" kata guru midget itu dengan nada berbisik seolah meyakinkanku.

Aku tidak mendengar apa yang dikatakannya. Aku sedang berpikir bagaimana jika aku melakukannya saat ini juga. Aku lelah jika terus-terusan berpikir.

Baru saja aku ingin beranjak dari tempat dudukku sekarang, tapi sesuatu membuatku membeku di tempat, "Aku peduli padamu, maukah kau berbagi padaku sedikit saja, Kurosaki?"

Kutolehkan kepalaku. Aku melihat sepasang iris violet itu menatap jauh ke dalam kedua mataku. Kulihat seulas senyum tertuju hanya untukku. Senyuman hangat yang pernah kulihat dulu, saat ibu begitu sangat memperhatikanku.

Wanita ini memiliki kharisma seperti ibu. Apakah semua orang yang lebih tua denganku memiliki perasaan sehangat itu? Aku tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Aku terlalu senang, tapi tak tahu cara mengungkapkannya.

"Omong kosong! Aku tidak butuh belas kasihan darimu." kataku cepat dan langsung beranjak pergi.

Satu hal yang tak kusadari. Aku berbicara lebih sopan kepada guru midget itu. Dan dia hanya tersenyum tulus sekali lagi. Aku yang sudah meninggalkan tempat itu hanya bisa terdiam, menatap kosong jalanan di depanku, ada sedikit perasaan hangat di hatiku.

Aku tak menyangka, ada tempat seperti ini sebelumnya di Karakura. Tepat seperti janji yang kukatakan kemarin, hari ini aku pergi bersama teman-temanku. Awalnya terpaksa, tapi ternyata tak terlalu buruk juga.

Kulirik ke kanan dan ke kiri dari diriku. Pandanganku sedikit kabur dan pendengaranku sedikit terganggu. Suara musik yang sangat kencang membuat kepalaku bertambah pusing.

Kutatap minuman yang sedari tadi kutenggak bersama Grimmjow. Air ini bisa membuatku lupa akan segalanya. Aku jadi ingin tersenyum terus. Dan lagi sekarang aku bisa tertawa lepas, benar-benar ajaib.

"Hoi, Ichigo! Ikut gue. Kita joget, Bro!" teriak Renji yang sekarang sudah setengah mabuk.

Aku yang tak pernah menenggak alkohol sebelumnya hanya mengangguk dan mengikuti mereka, aku mabuk berat. Saat kami semua menginjak lantai dansa, segerombolan wanita langsung mendekat ke arah kami.

Pakaian mereka sangat minim dan entah kenapa suhu tubuhku menjadi tinggi saat mereka menggesekkan badannya padaku. Aku yang sudah tak bisa membedakan antara U dan V ini hanya bisa bergerak santai mengikuti suara musik.

Kulihat mereka semua sudah menggandeng pasangan masing-masing dan membawanya menjauh. Mau apa mereka? Kenapa mereka meninggalkanku? Tak hanya Grimmjow, Renji dan Toushiro melakukan hal yang sama.

"Oi, Lo pada mau ke mana?" teriakku yang saat ini terjebak diantara tiga wanita yang sudah mencoba-coba untuk menyentuh tubuhku.

"Lo disini aja, Go. Gue ada urusan. Ahahaha," begitulah yang kudengar dari mulut Toushiro, anak pendek itu orang sibuk ternyata, begitulah pikirku.

Tapi setelah kupikir-pikir, kenapa mereka semua harus pergi? Apa yang akan mereka lakukan? Aku tidak mengerti apa pun. Dilain sisi, seorang wanita sudah berani mengapit salah satu kakiku dan menggesekkan pahanya dengan milikku.

Hei, aku merasa sensasi geli di seluruh tubuhku. Tapi aku tak mengenalnya. Kudorong tubuhnya menjauh, tapi ia tetap saja mendekat dan kembali menggodaku.

"Pergi lo! Jangan ganggu gue! Murah lo! Lo cewek murah!" makiku dan langsung meninggalkan mereka semua untuk duduk di salah satu sofa di club malam itu.

Karena pusing, kupejamkan kedua mataku untuk beberapa saat. Di sini sangat berisik, aku ingin pulang sekarang juga. Aku lelah dan ingin tidur sekarang. Tapi suara seseorang berhasil mengurungkan niatku.

"Aku tidak mempunyai pilihan lain, Nemu. Aku harus meninggalkan Rukia. Aku tidak tahan lagi," pernyataan dari suara itu mampu membuatku menoleh dan mencari di mana sumber suara itu berasal.

Ternyata suara itu berasal dari seorang pria berambut hitam. Kurasa pria itu yang kulihat kemarin saat berbincang serius dengan guru midget di depan sekolah. Siapa dia? Dan kenapa dia harus meninggalkan wanita itu?

"Kau yakin, Kaien? Kau akan benar-benar meninggalkan istrimu? Dan pergi bersamaku ke Paris?" tanya seorang wanita yang duduk tepat di sampingnya.

Sial! Jadi pria itu suami dari guru midget dan akan meninggalkannya bersama wanita lain. Sialan! Sebaiknya kuhajar saja suami brengsek seperti dia!

Kukepalkan sekeras mungkin kedua tanganku. Dengan cepat dan penuh emosi aku berdiri. Tapi… mataku langsung berkunang-kunang, dan dengan cepat tak ada sedikit pun cahaya yang mampu kulihat. Aku pingsan dan jatuh di lantai.

Bruk!

Kuangkat pintu mobil Lamborghini Galardo milikku ke atas dengan sudah payah. Kepalaku masih sedikit pusing, mengingat aku baru kembali ke rumah sekitar jam lima pagi dalam keadaan mabuk pula.

Meskipun aku pulang sepagi itu, mana ada seorang pun yang peduli padaku? Dan sekarang aku baru sampai sekolah sekitar pukul sembilan pagi.

Karena malas mengikuti pelajaran, aku berjalan santai menuju atap gedung. Di sana juga ada kolam renang sekolah, namun ukurannya lebih kecil. Memandangi langit lewat pantulan air bukanlah hal yang buruk.

"Brengsek lo, Grimm! Kepala gue kayak gini gara-gara lo! Sialan lo!" aku memaki seperti orang gila karena sang tersangka itu sama sekali tak ada di sini sekarang.

Begitu sampai di depan kolam renang, kulepas sepasang sepatuku dan langsung mencelupkan kedua kakiku ke dalam kolam. Kuambil sebatang rokok dari dalam tasku dan kusulut dengan korek api di sakuku. Sial! Lidahku terasa sangat pahit.

"Sialan lo, Grimm…" gumamku sambil memandangi sebatang rokok yang sedikit kumainkan di antara jari-jariku.

"Eh, Kurosaki. Sedang apa kau di sini?" kurasa barusan ada seseorang yang berani berbicara padaku, siapa dia?

Kupandangi gadis dengan tubuh sintal berambut coklat itu. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Siapa dia? Berani-beraninya dia berbicara padaku.

"Pasti kau tidak mengenalku. Aku Orihime Inoue, tiga hari yang lalu aku baru masuk ke sekolah ini," katanya manis dan mengambil duduk tepat di sampingku.

Ternyata dia belum kenal siapa aku, ya sudahlah. Kuanggap saja kau tak ada, aku malas berdebat, kepalaku pusing sekali dan aku hanya ingin merokok disini.

"Wah, itu Bu Rukia ya? Sepertinya ia menuju kemari," katanya yang langsung mampu membuyarkan ketidakpedulianku.

Kupandangi terus wanita yang kini tengah mengenakan baju renang dan siap meluncur itu. Kurasa ia baik-baik saja. Dan karena ia tak benar-benar mendatangiku, kubiarkan saja ia terjebur ke dalam air.

"Bu Rukia itu manis sekali, benar kan, Kurosaki? Satu-satunya guru yang memiliki badan sekecil itu. Tapi galaknya bukan main ya? Hahaha…" kata Inoue lepas, kurasa ia tipe gadis periang.

Aku tak mempedulikan pernyataannya. Sekarang aku tengah disibukkan dengan pergerakan awan di langit. Cukup lama aku memperhatikan awan itu, hingga perkataan Inoue berhasil membuatku tersadar dan sedikit terkejut.

"Kenapa Bu Rukia tak segera muncul ke permukaan ya? Dari tadi tak terlihat," katanya polos dan hanya memasang tampang bodoh sedari tadi.

"Sial!" aku yang menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan guru midget itu langsung saja terjun ke dalam air.

Aku terus berenang ke segala arah mencari guru midget itu. Sial, kukira ia baik-baik saja, ternyata dugaanku salah. Dan kenapa juga aku harus terjun ke dalam air? Sialan, dingin sekali. Seharusnya kubiarkan saja guru menyebalkan itu mati.

Dari kejauhan kulihat seorang wanita dengan santainya tertidur di tempat seperti ini, tepatnya di dasar kolam. Matanya terpejam sempurna, dan seluruh tubuhnya terpasrah mengikuti arus kecil air di sekitarnya.

Tanpa berbikir panjang, aku berenang cepat menuju ke arahnya, memeluk tubuhnya dan membawa guru midget itu segera keluar dari dalam air. Gadis dengan nama Inoue itu langsung mendatangiku dan menghujaniku dengan pertanyaan yang tak penting dan mengganggu.

"Ya, Tuhan! Apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Kurosaki, selamatkan Bu Rukia." teriaknya yang kini mengambil posisi di sampingku.

Sial! Guru midget ini pingsan di dalam air. Bibirnya sangat pucat dan napasnya sangat lemah. Mungkin ia kurang tidur beberapa hari belakangan ini dan kurasa ia tak cukup makan beberapa hari yang lalu.

Aku harus segera membawanya ke UKS. Kuangkat tubuhnya, tapi… tubuh guru midget ini ringan sekali. Aku hanya membutuhkan sedikit tenaga untuk mengangkatnya dan tak banyak lengan yang tertutupi saat aku menggendongnya.

Sangat nyaman untuk kuangkat seperti ini. Sial, aku jadi tak ingin melepaskannya, bahkan aku ingin selalu menggendongnya seperti ini. Tubuhnya hangat, wajahnya sangat pasrah dan lemah saat ku pandang. Apa-apaan ini?

"Kau bisa meletakkan Bu Rukia di sini, Kurosaki." perintah dokter kesehatan sekolahku, Unohana Retsu.

Aku tidak mengatakan sepatah kata pun. Inoue tetap saja terlihat panik dan terus saja menanyaiku. Karena malas, kutinggalkan saja mereka di sana. Aku ingin masuk kelas, setidaknya aku bisa mengikuti pelajaran Biologi sekarang, paling tidak ada salah satu pelajaran yang kusukai.

Hari sudah beranjak sore, sekolah pun sudah sangat sepi. Setelah sejam aku memandangi papan tulis di depanku, aku mulai jengah juga. Sebenarnya aku ingin melihat keadaan guru midget itu di UKS, tapi setelah kupikir-pikir untuk apa juga aku ke sana.

Kuraih tas dan kutinggalkan kelas yang telah kosong melompong itu. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul empat sore. Pasti guru midget itu sudah pulang.

Namun langkahku terhenti di depan UKS, pikiranku terbang melayang, mungkinkah guru itu baik-baik saja? Seharusnya tadi aku mengantarnya pulang saja daripada terjadi sesuatu saat ia di jalan. Dasar bodoh!

"Engh… ssshhh… Ouh, emhhh… jangan ber—henti…" aku mendengar suara yang begitu ganjil berasal dari ruangan di sampingku, tepatnya ruang laboratorium biologi.

"Lo boleh juga, terus goyangin pinggul lo…" sepertinya aku kenal pemilik suara ini.

Karena penasaran, kudekati salah satu jendela di ruangan itu. Cih! Benar saja, Grimmjow dengan tubuh polosnya tengah bersenang-senang dengan seorang siswi rupanya.

"Enghhh… u—uuuh… Grimm… lebih cepat dong… lebih da—lam lagi… ssshhh…" rancu seorang wanita berrambut hijau yang sama telanjangnya dengan Grimmjow.

Sial! Baru pertama kali ini aku melihat adegan seperti itu. Tubuhku menjadi panas dan milikku mulai menegang mendengarkan erangan mereka. Kulihat Grimmjow menggendong wanita itu dan menidurkannya pada salah satu meja panjang di hadapannya.

Grimmjow mengangkat kedua kaki siswi itu dan menyandarkannya pada kedua bahu miliknya. Entah apa yang bisa membuat wanita itu menjerit-jerit karena perbuatan Grimmjow.

Yang bisa kulihat hanya dua onggok daging manusia yang saling mendekat dan menjauh dengan cepat. Punggung Grimmjow terekspos di depanku dengan kedua kaki wanita itu bergelayut setengah mencekik leher Grimmjow.

Senikmat itukah? Sebelum aku ketahuan telah mengintip mereka, segera kutinggalkan rungan itu. Secara reflek kupegangi benda tegang di pangkal pahaku. Sial! Aku terangsang.

Setelah menghidupkan mesin mobilku, kuinjak pedal gas dengan santai dan perlahan mulai beranjak meninggalkan sekolah. Namun mobilku berhenti mendadak saat kulihat guru midget itu di seberang jalan.

Seorang pria, tepatnya suaminya membawa guru midget ke dalam mobil miliknya. Kulihat raut wajah wanita itu tak terlalu baik. Dengan cepat mobil tersebut beranjak dan meninggalkan deruman suara berisik hingga hening setelahnya.

Kupandangi tempat di mana guru midget itu berdiri beberapa saat yang lalu. Jalanan terasa sangat sunyi namun lamunanku berakhir saat sebuah suara berhasil merusaknya.

"Oi, Ichigo! Jangan pergi dulu! Gue ada sesuatu buat lo!" teriak Grimmjow dari radius dua puluh meter.

Aku cuma mematikan mesin mobil dan menunggu Grimmjow tanpa ekspresi yang menunjukkan suatu ketertarikan. Lima menit telah berlalu dan lelaki itu kini berdiri tepat di sampingku.

"Go, cewek ini suka sama lo. Lo tahu dia kan, Bro? Dia cewek yang dulu lo tolongin." kata Grimmjow yang sama sekali tak menarik perhatianku.

Aku sama sekali tak memandangnya, dari kaca spion aku hanya bisa melihat roknya yang sedikit kusut dengan baju yang berantakkan. Sial, padahal aku sudah bilang, aku tidak suka diganggu wanita. Mereka menyusahkan dan cerewet.

"Na—namaku Neliel Tu Oderschvank... Aku ingin mengenalmu lebih dekat," kata gadis itu lembut dan terkesan takut.

Karena aku masih menghargai Grimmjow, kutolehkan wajahku ke samping. Kedua mataku masih mencerminkan kejenuhan yang sama. Perempuan dengan rambut hijau itu? Cih, bukannya beberapa saat yang lalu kau bercinta dengan Grimmjow?

"Ya, lalu?" jawabku seadanya, kurasa aku mulai muak sekarang.

"Oh, ayolah Ichigo… Antar dia pulang, oke? Lo kan searah sama dia," kata Grimmjow dengan seringaian khas yang aku pun sudah jengah melihatnya.

"Oke, lo boleh masuk." kataku tanpa melihat ke arahnya lagi, aku jijik dengan wajah mereka, tapi aku juga bukan teman yang buruk untuk musuh dalam selimut sekali pun.

Perempuan dengan nama Neliel itu sepertinya sangat senang saat aku memperbolehkannya duduk di dalam mobil mewahku ini. Cih, mereka sama saja, hanya mementingkan urusan masing-masing. Dan takkan peduli kepadaku. Brengsek!

Bersambung


Bagaimana, Readers? Adegan lemon mungkin masih chapter depan. Jadi aku minta pendapat kalian dengan mereview fic ku ini. Terima kasih sudah membaca dan kutunggu pendapatnya.