13 missed calls

Sebuah helaan napas meluncur dari belahan bibirnya yang pucat. Ia memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong. Ia tidak perlu membuka daftarnya untuk tahu siapa yang sudah meneleponnya sebanyak itu. Tidak ada orang di dunia ini yang mampu mengalahkan keras kepala seorang Haruno Sakura, ah, atau lebih tepatnya Uchiha Sakura.

Ia mendengus masam pada dirinya sendiri.

Setelah tiga tahun lebih hidup bersama dirinya bahkan belum bisa terbiasa dengan marga baru sang istri, marganya sendiri. Tentu saja ia sering lupa, karena setelah menikah hidupnya hanya diisi pekerjaan di waktu siang dan pertengkaran dengan Sakura setiap malamnya. Kadang ia tidak mengerti dengan dirinya sendiri bagaimana ia bisa hidup dengan cara seperti itu. Tapi setidaknya ia bersyukur karena Tuhan masih bermurah hati untuk memberinya setitik penerang dalam hidup, putrinya adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya menyunggingkan senyum saat ini. Bermasa bodoh, ia menonaktifkan ponsel pintarnya kemudian menyelipkannya ke dalam salah satu saku celananya.

Berusaha mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang semakin membuat mood-nya jatuh ke titik terendah, ia mengarahkan pandangannya ke sekitar. Seperti biasa, bar ini selalu ramai dengan beragam jenis manusia. Beberapa wanita dengan pakaian minim sedari tadi terus berusaha menarik perhatiannya dengan cara yang seduktif. Tapi tidak, terima kasih, ia sudah cukup punya banyak masalah dengan satu wanita, dan tidak ada niat untuk menambahnya lagi.

Saat itulah sepasang mata cerah menangkap iris obsidian miliknya. Mata sebiru langit itu milik seorang pemuda bersurai pirang yang duduk di sudut ruangan mengelilingi sebuah meja bersama orang lain —ia berasumsi bahwa orang-orang semejanya itu adalah teman kerja si pemuda pirang. Sesekali pemuda itu tertawa dan membuat barisan giginya yang rapi terlihat.

Tiba-tiba manik biru pemuda itu bertemu dengan iris gelapnya, sepertinya sadar bahwa ada yang sedang mengamatinya. Mereka tetap saling bertatapan untuk beberapa detik selanjutnya, namun ia memutuskan pandangan itu lebih dulu dan kembali menghadap ke depan. Dalam satu tegukan ia menghabiskan minumannya.

Ia baru saja ingin memesan segelas lagi ketika sebuah suara berat dan khas mendahuluinya.

"Satu Martini, tolong."

Dari ujung matanya ia bisa melihat si pirang duduk tepat disampingnya, dengan sepasang mata biru yang terarah pada seluruh tubuhnya. Dalam hati ia lega karena terlahir dengan ekspresi wajah yang minim dan kaku sehingga perasaannya tidak terekspos dengan mudah.

"Kau terlihat kesepian." Suara itu terdengar lagi.

Meskipun tidak ada siapa-siapa di sebelah si pirang yang lain, ia memilih untuk berpura-pura tidak mendengarnya dan menganggap bahwa si pirang berbicara pada orang lain, —si bartender, mungkin?

"Hey, Man In Black, aku bicara padamu."

Kali ini ia menoleh, dan menemukan pemuda itu sedang memasang cengiran bodoh di wajahnya. Dari dekat ia semakin bisa meneliti rupa sosok tersebut. Surai pirangnya lebat dan acak-acakan, tapi hal itu tidak membuatnya terlihat buruk. Garis wajahnya tegas dengan rahang yang kokoh. Ada tiga garis halus yang melintang di kedua pipinya, entah itu bekas luka atau memang tanda lahir.

Ia mendengus mendengar julukan yang diberikan laki-laki itu padanya. Tapi itu memang tidak salah, mengingat ia tidak pernah memakai jas dan celana selain berwarna hitam.

"Aku tidak ada urusan denganmu." Ucapnya datar.

"Ew. Ucapanmu dingin sekali." Si pirang mengernyit, namun tidak ada nada tersinggung dalam kata-katanya.

Ia memilih untuk tidak menjawab. Berharap laki-laki disampingnya akan segera kembali ke teman-temannya.

"Aku melihat tadi kau memandangiku." Suara itu terdengar lagi.

Ia masih diam.

"Aku tahu aku memang tampan, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa wajahku bisa membuat laki-laki lain terpana seperti tadi."

Kali ini ia menoleh. "Aku tidak terpana."

"Oh? Jadi kau hanya melamun sambil memandangi wajahku?"

"Bermimpilah sepuasmu." Balasnya ketus.

Kali ini pemuda itu tertawa kecil, "Namaku Naruto."

Lagi-lagi ia diam.

"Dan… kau?" tanyanya.

"Kenapa aku harus memberitahumu?"

"Kenapa tidak boleh?" Pria yang mengenalkan dirinya dengan nama Naruto bertanya balik, keras kepala.

"Karena kau orang asing." Balasnya sekenanya.

"Nah, maka dari itu aku memberitahukan namaku agar aku bukan orang asing lagi bagimu."

Ia kembali diam. Alkohol yang ditenggaknya sejak tadi membuat kemampuannya menjawab sedikit terganggu, tampaknya ia harus berhenti minum sekarang atau ia akan pulang dalam keadaan sempoyongan, hal yang akan menambah daftar perdebatan dengan Sakura di rumah.

Rumah…, ah, memikirkannya saja sudah membuatnya merasa jenuh. Mungkin sebaiknya malam ini ia tidak usah pulang saja.

"Sasuke." Ucapnya pelan.

"Apa?"

"Namaku Sasuke, bodoh."

"Oooh, kalau begitu salam kenal, Sasuke." Sahut Naruto ramah.

"Hn."

Si bartender datang membawakan pesanan si pirang.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Naruto bertanya lagi begitu bartender tadi pergi.

"Bukan urusanmu."

"Sejak tadi kau terus menghela napas dengan berat."

Kali ini Sasuke menoleh dan mendapati laki-laki itu sudah merubah posisi duduknya hingga menghadap ke arahnya.

"Sepertinya kaulah yang sejak tadi terpana menatapku." Sebuah seringai terukir di sudut bibirnya.

Naruto menatap pemuda di depannya dengan ekspresi yang tak terbaca. Ya, itu memang benar bahwa sebenarnya dialah yang sejak tadi terus memperhatikan Sasuke. Pertama kali melihat Naruto langsung tidak bisa mengalihkan pandangan. Dari kulitnya yang pucat, surai gelapnya yang sehitam bulu gagak, hingga jari-jarinya yang panjang dan terlihat lentik. Keseluruhan sosok itu benar-benar menarik perhatian si pirang, dan malah semakin terperangkap begitu manik safirnya bertemu dengan mata si pemuda yang ternyata segelap rambutnya. Dengan mata, rambut, dan juga pakaian yang semuanya berwarna hitam Sasuke terlihat seperti malaikat kematian, namun tidak ada malaikat kematian yang bisa bercahaya seperti itu.

"Kau benar, aku tidak habis pikir kenapa bisa ada makhluk sepertimu."

Ucapan Naruto membuat Sasuke menaikkan sebelah alisnya.

"Makhluk seperti-ku?"

"Ya, kau seperti malaikat kematian." Jawab si pirang.

Sasuke kembali mendengus sambil menggumamkan kata "Konyol."

Tidak memperdulikan ejekan si raven, Naruto melanjutkan kata-katanya.

"Namun ini pertama kalinya aku melihat ada malaikat kematian yang begitu indah."

Suara tawa kecil lolos dari belahan bibir si raven, "Memangnya kau pernah melihat malaikat kematian sebelumnya?"

"Pernah, tapi tampang mereka menyeramkan dengan badan dan otot yang besar." Jawab Naruto dengan mimik serius.

"Itu preman, bodoh." Sahut si raven sambil memutar bola mata.

Kali ini gantian si pirang yang tertawa. "Tapi kau tetap terlihat seperti malaikat kematian, namun tanpa sisi menakutkan sama sekali."

"Kalau begitu mungkin aku tidak akan bisa mencabut satu nyawa pun."

Sasuke tidak tahu kenapa ia masih duduk disini dan melakukan percakapan bodoh dengan pemuda bodoh pula. Mungkin karena pemuda bodoh itu adalah sosok yang ramah dan hangat, sehingga berbicara dengannya terasa seperti berbincang dengan teman lama. Kapan terakhir kali ia berbicara tentang hal selain pekerjaan atau adu argumen dengan Sakura? Ah, ia tidak ingat.

"Aku rasa yang akan terjadi malah sebaliknya."

Sasuke menatapnya dengan pandangan bertanya. Entah sadar atau tidak jarak yang ada diantara mereka semakin terkikis.

"Dengan wajah secantik itu justru merekalah yang akan memohon di kakimu untuk dicabut nyawanya."

"Selain bodoh ternyata kau juga buta, laki-laki tidak cantik."

"But you are." Naruto terus memandangnya penuh arti, dan Sasuke mengerti dengan jelas maksud dibalik tatapan itu. Ia memutuskan untuk mengubah posisi duduknya agar berhadapan langsung dengan si pirang.

"Hati-hati dengan ucapanmu, aku tidak segan-segan untuk mencabut nyawamu meski ini belum saatnya bagimu untuk mati." Ucap Sasuke dengan nada rendah.

Naruto menyeringai tipis, "Seperti yang tadi kukatakan, orang-oranglah yang akan memintamu melakukannya."

"Oh, jadi kau ingin aku mengambil nyawamu sekarang?" Tanya si raven dengan nada main-main.

Alih-alih menjawab Naruto malah turun dan berdiri tepat dihadapan si raven. Ia melangkah maju dan menyelip diantara kaki Sasuke. Ia bisa melihat manik obsidian si raven melebar melihat tindakannya. Kepalanya menunduk hingga wajah mereka hanya terpaut beberapa senti. Lalu dengan nada rendah ia berkata,

"Lebih tepatnya, aku ingin kau membawaku ke surga."

Sasuke tidak mengatakan apa-apa. Kedua sisi pahanya yang bersentuhan dengan pinggang si pirang entah kenapa membuat suhu tubuhnya memanas, dan juga aroma yang menguar dari tubuh Naruto mengakibatkan otaknya seketika macet. Dan semua itu terpampang dengan jelas di wajahnya.

Dalam satu gerakan halus Naruto mendekatkan wajah dan menyatukan bibir mereka berdua. Mengulum bibir bawah dan bibir atas si raven bergantian. Dan ketika Sasuke membuka mulutnya lidah Naruto langsung menyeruak masuk untuk menyentuh segala yang bisa diraihnya. Tangan Sasuke terangkat kemudian mengalung di leher si pirang, menariknya agar lebih dekat sementara lengan Naruto sendiri sudah melingkari pinggang Sasuke sejak tadi.

Dalam sekejap saja ciuman dan sentuhan menjadi tak cukup. Mereka ingin lebih, namun keduanya sadar apa yang selanjutnya akan terjadi sama sekali tidak bisa mereka lakukan di dalam bar, dengan puluhan pasang mata yang menonton mereka.

"Sebutkan nama tempat yang kau inginkan untuk mati." Ucap Sasuke ketika pagutan mereka terlepas. Napasnya terengah-engah dengan bibir yang mengkilap karena basah.

Naruto mundur selangkah kemudian mengulurkan tangannya. "Dua blok dari sini."

Tanpa banyak kata, Sasuke turun dari tempat duduknya namun menolak untuk menyambut uluran tangan Naruto. Kedua laki-laki itu meninggalkan bar tersebut setelah membayar minuman yang tadi mereka pesan.

.

The Sound of Sky

By

Nightingale

Naruto © Masashi Kishimoto

This fict is dedicated for Opposite Party Event part #2

.

Tempat 'Dua blok dari sini' yang dimaksud oleh Naruto adalah sebuah penginapan dua lantai yang buka 24 jam, Sasuke tidak terkejut sama sekali. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk kembali saling menyerang. Dengan bibir yang saling menempel dan tangan yang sibuk melucuti pakaian lawan main. Entah seberapa cepat jari-jari Naruto dalam membuka kancing kemeja Sasuke, karena ketika mereka jatuh ke tempat tidur serat fabrik yang menempel di tubuhnya hanyalah tinggal sebuah boxer biru tua.

"Tadinya aku berpikir akan menemukan warna hitam juga." Kata si pirang sambil membelai sesuatu yang menyembul diantara kaki Sasuke.

"Ngghh…" Sasuke menggigit bibir bawahnya untuuk menahan erangannya. "Stop talking and just do it, idiot!"

Naruto menatap tubuh di bawahnya dengan pandangan penuh nafsu. Setelah boxer biru itu lepas dari tubuh Sasuke, iris birunya yang cerah kini terlihat semakin menggelap. Ini pertama kalinya ia bereaksi melihat tubuh sesama jenisnya. Kulit pucatnya memerah, mata yang terbungkus hasrat, dada yang bergerak naik turun dengan cepat menghirup oksigen, dan benda di antara selangkangan Sasuke yang berdiri tegak dengan ujung yang basah. Andai saja kejantanannya bisa lebih tegang lagi.

"Fuck! Kau cantik sekali, Sasuke…"

Dengan satu gerakan cepat ia menarik Sasuke untuk bangun dan menyuruhnya berbalik. Sasuke menenggelamkan wajahnya ke bantal sementara bagian belakang tubuhnya terekspos jelas dengan bokong yang terangkat menantang. Jari Naruto bergerak ke bawah mengikuti tulang punggung Sasuke, kulit pucat itu terasa begitu halus di indera peraba si pirang. Dengan dua tangan ia meremas pipi bokong si raven, membuat tubuh Sasuke meremang. Ah, reaksi yang mengagumkan.

Naruto melakukannya lagi, kali ini lebih keras, Sasuke menyebut namanya dalam bisikan yang menggairahkan. Si pirang menggunakan ludahnya sendiri sebagai pelumas kemudian memasukkan jari tengahnya ke dalam tubuh Sasuke, merasakan dinding anus si raven yang panas dan basah menghisap jarinya. Satu jari lagi menyeruak masuk.

"Ahh!" Sasuke memekik, lubangnya yang dipaksa terbuka lebih lebar terasa menyakitkan.

"Relax, darling…" bisik Naruto di telinga Sasuke. Kedua jarinya bergerak maju-mundur di dalam tubuh Sasuke.

"Ngh… Don't call me that way, it's, ngh, disgusting."

Naruto tertawa kecil. Setelah dirasakannya lubang Sasuke tidak seketat sebelumnya, ia mengeluarkan jarinya dan memposisikan kejantanannya di depan lubang Sasuke. Tepat disaat si pirang sudah akan memasukkannya, ia tiba-tiba menariknya kembali.

"Ada apa?" Tanya Sasuke. Ia merasakan ujung penis Naruto yang sudah menyentuh lubang anusnya mendadak ditarik kembali.

"Apa kau punya kondom?"

"Tidak."

"Shit." Naruto menyumpah dengan kesal.

"Apa kau menderita PMS?" gantian Sasuke yang bertanya.

"Tidak!"

"Lalu untuk apa kau memerlukan kondom? Aku juga bersih, dan aku tidak akan hamil."

"Ta-tapi…"

"Cepat masukkan penismu itu sebelum aku memotongnya!" hardik si raven dengan mata yang menyorot tajam. Miliknya sudah mulai terasa sakit, ia ingin bisa mengeluarkan hasratnya.

"Baiklah…" Naruto menyerah. Ia kembali memajukan pinggulnya hingga kejantanannya kembali bertemu dengan lubang anus Sasuke.

Kedua tangan Naruto menahan pinggul Sasuke disaat ia mulai mendorong masuk penisnya. Naruto terus mendorong pelan ke dalam hingga akhirnya tubuh mereka menyatu sempurna.

"God, dammit! Lubangmu ketat sekali, ngh, Sasuke…"

"Penismu yang terlalu besar, hhh, idiot! Kau merobek, ngh, anusku!" balas Sasuke disela-sela tarikan napasnya.

Sebelah tangan Naruto terulur untuk meremas kejantanan si raven, berusaha mengalihkan Sasuke dari rasa sakit akibat ukuran Naruto yang berada di atas rata-rata. Untuk beberapa saat ruangan itu hanya diisi oleh suara tarikan napas mereka. Sasuke yang berusaha menyesuaikan diri dengan sebuah benda panjang di dalam tubuhnya, dan Naruto yang setengah mati menahan diri untuk tidak lekas menusukkan kejantanannya sekuat tenaga.

"Bergeraklah." ucap si raven.

Naruto mulai memaju-mundurkan pinggulnya dengan gerakan pelan, cairan pre-cumnya membantu memudahkan pergerakannya.

"Ngh…, ah… hah..." Sasuke terus mengeluarkan suara-suara yang membuat suasana di kamar itu terasa semakin panas.

Semakin lama gerakan Naruto semakin cepat. Ia menghujamkan penisnya ke segala arah dalam di dalam tubuh Sasuke, berusaha menemukan titik yang akan membuat Sasuke mengeluarkan desahan yang lebih keras lagi.

"Aahhh!" satu tusukan membuat Sasuke merasa melihat bintang. Perutnya berkontraksi dan menjepit penis Naruto lebih keras.

"Ngghhh…" Naruto menyeringai mesum. Itu dia.

Ia kembali mengarahkan penisnya agar bisa membentur titik itu lagi dengan dorongan yang lebih keras. Terus seperti itu. Dinding-dinding otot Sasuke terus meremas miliknya dengan kuat, seolah berusaha memeras batang penis Naruto setiap kali si pirang menarik miliknya keluar. Suara becek yang terdengar dari tempat tubuh mereka menyatu bercampur dengan suara ranjang yang berderak dan juga desahan yang dikeluarkan oleh Sasuke dan menyatu di udara.

"Ah, ah, ah, Naruto…"

"Oh yeah, kenapa Sasuke? Kau suka saat penisku memenuhi anusmu?" Naruto bertanya disela-sela sodokannya yang semakin brutal.

"Ngh… ya, aku suka… ah, ah, fuck me, harder…"

"Sure, honey…"

Naruto mengeluarkan penisnya kemudian membalik tubuh Sasuke hingga punggungnya membentur kasur. Diangkatnya sebelah kaki Sasuke ke atas pundaknya kemudian dengan tenaga seperti kuda Naruto kembali menyodok anus Sasuke. Kini Naruto bisa melihat bagaimana wajah si raven yang sedang terbuai dalam kenikmatan. Sebelah tangan Sasuke memegangi penisnya sendiri.

Itu adalah pemandangan paling erotis yang pernah dilihat Naruto, selama ini ia mengira hanya perempuan saja yang bisa mengeluarkan ekspresi seperti itu, dan ternyata ia salah besar. Naruto menurunkan kaki Sasuke dari pundaknya agar bisa mencondongkan tubuhnya. Ia mencium Sasuke dengan ganas dan penuh nafsu, dan Sasuke membalas dengan sama rakusnya. Mungkin setelah ini bibirnya akan sakit, namun ia sama sekali tidak peduli.

Puas merasakan bibir Sasuke, Naruto turun ke leher si raven. Menjilat dan menggigit leher Sasuke hingga kulit pucat itu sobek dan sedikit mengeluarkan darah, sementara pinggulnya kembali bergerak. Sebelah tangannya ikut bergabung dengan tangan Sasuke dan meremas kejantanan si raven, sementara tangannya yang lain meremas-remas dada Sasuke. Dada Sasuke memang rata, namun kulitnya lembut dan halus, membuat Naruto tidak tahan dan terus memainkannya.

"Naruto… ah, ah, ah…"

Malam itu adalah pertama kalinya Naruto dan Sasuke bercinta dengan sesama jenis mereka, namun sekaligus menjadi pengalaman seks terbaik yang pernah keduanya rasakan. Mereka sama-sama tahu bahwa ini hanya akan menjadi sebuah one night stand, bahwa begitu pagi menjelang maka mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing.

Namun hal yang tidak mereka ketahui adalah bahwa one night stand itu akan merubah hidup mereka selamanya.

Ode to a Nightingale

Uchiha Sakura adalah seorang wanita dengan kecantikan yang luar biasa sesuai dengan namanya. Matanya yang sewarna batu emerald, rambut sebahu yang dibiarkan menjuntai membingkai wajahnya. Namun dibalik kesempurnaan itu Sakura adalah seorang wanita yang keras kepala dan egois, dan begitu terobsesi pada suaminya sendiri, Uchiha Sasuke. Selama hidupnya ia bagaikan seorang putri, semua yang diinginkannya harus terpenuhi. Maka ketika melihat Uchiha Sasuke pertama kali pada sebuah malam di pesta kolega ayahnya, Sakura langsung memutuskan bahwa pemuda tampan itu akan menjadi miliknya, harus menjadi miliknya. Dan seorang Sakura tidak pernah tidak berhasil memperoleh apa yang diinginkannya.

Suara deru mesin mobil yang memasuki pekarangan terdengar, itu pasti suaminya.

"Dari mana saja kau?" tanyanya begitu sang suami berjalan melewati ruang tengah.

"Kantor." Sasuke menjawab datar, tujuannya adalah dapur. Suara langkah pelan terdengar di belakangnya.

"Sampai tengah malam begini?" nada pertanyaan Sakura terdengar sangsi.

"Terserah kau mau percaya atau tidak." Sahut Sasuke setelah menghabiskan satu gelas air putih. "Aku lelah…"

Biasanya kalimat itu adalah pengalihan jika ia sedang tidak berselera untuk adu mulut dengan istrinya, namun kata itu kali ini benar-benar menjelaskan perasaannya. Beberapa hari terakhir ini ia selalu merasa lemas dan mual.

"Haruskah aku percaya itu? Apa yang kau lakukan di kantor sampai larut malam begini?" sepasang suami istri itu sudah berada di dalam kamar mereka ketika Sakura kembali mulai bertanya.

"Memangnya apa lagi yang aku lakukan kalau bukan bekerja? Kau pikir semua ini kudapat dari mana?"

"Mana bisa aku percaya jika kau terus melakukan itu setiap malam?!"

"Tapi aku memang benar-benar bekerja, Sakura!" kali ini Sasuke ikut membentak, kesabarannya mulai menipis. Demi Tuhan, ia baru saja sampai. Setidaknya biarkan ia mandi dan berganti pakaian.

Kenyataannya selama ini Sasuke memang bekerja. Ia terus berada di kantor dan berhadapan dengan setumpuk dokumen, laporan, dan berkas-berkas yang perlu ia periksa. Semua itu jauh lebih baik dari pada harus cepat pulang ke rumah dan kemudian berhadapan dengan istrinya. Meskipun pernikahan mereka hanya karena perjodohan, tidak pernah sekalipun Sasuke berpikir untuk bermain api di belakang istrinya, hingga malam itu.

Lain dengan Sasuke, lain pula dengan Sakura. Ia sebenarnya cukup percaya bahwa suaminya memang benar-benar bekerja, tak pernah sekalipun Sasuke pulang ke rumah dalam keadaan mabuk atau dengan tubuh penuh aroma parfum wanita. Tidak sekalipun. Namun ada satu hal yang tak pernah bisa diterima oleh sisi egois Sakura, yaitu Sasuke sampai sekarang tidak pernah mencintainya, setelah bertahun-tahun. Bahkan untuk mencobanya saja pun laki-laki itu enggan.

"Lalu dimana kau tidur minggu lalu? Jangan katakan bahwa kau tidur di kantor, kau akan membuatku tertawa."

Mendadak Sasuke tidak tahu harus menjawab apa, ingatan tentang malam itu pun kembali menyerbu kepalanya seperti sekumpulan lebah. Berdengung dan menyesakkan. Sosok pirang, dengan mata sebiru langit musim panas, dan kulit yang berkilau seperti madu. Lagi-lagi rasa mual itu menghantamnya.

"Kemana Sasuke? Kenapa kau diam?" cecar Sakura.

"Aku… aku tidur di rumah… teman." Jawab Sasuke pelan. Ekspresinya sudah kembali datar.

"Teman? Teman yang mana? Aku tidak tahu kau punya teman selain Shikamaru dan Gaara."

"Temanku tidak hanya mereka berdua." Tukas Sasuke dingin, ia merasa sedikit terhina. "Yang jelas aku tidur di rumah temanku, laki-laki." Setidaknya ia tidak sepenuhnya berbohong.

Sakura belum sempat melontarkan pertanyaannya lagi karena Sasuke tiba-tiba berlari menuju kamar mandi sambil menutup mulutnya. Sedetik kemudian terdengar suara Sasuke yang muntah. Sakura berjalan menghampiri suaminya yang berlutut di depan kloset sambil terus mengeluarkan isi perutnya. Sudah beberapa hari ini suaminya terus mengalami muntah-muntah seperti ini, dan semakin hari wajahnya terlihat semakin pucat. Dengan telaten Sakura memijat tengkuk Sasuke dengan lembut.

"Sebaiknya besok kau memeriksakan diri ke rumah sakit, aku akan menemanimu." Ucap Sakura begitu Sasuke selesai membersihkan mulutnya.

"Hn." Gumaman Sasuke suaminya sudah cukup sebagai jawaban.

.

"Bagaimana keadaan suami saya Dok?" Sakura bertanya begitu sang dokter selesai memeriksa Sasuke, sementara suaminya segera turun dari ranjang kemudian duduk di samping Sakura, berhadapan dengan si dokter. Wajah dokter dengan name tag Ten Ten itu terlihat serius dan rada bingung. Kenyataannya Dokter itu memang benar-benar tidak tahu harus menjelaskan apa.

Manik cokelatnya yang berlapis kaca mata menatap dengan seksama pada laporan pemeriksaan yang di perolehnya mengenai tubuh Sasuke. Ia sudah pernah mendengar mengenai hal ini namun tidak menyangka jika hal tersebut benar-benar terjadi. Namun sebelum ia menjelaskan apapun, ia masih harus melakukan satu hal lagi untuk memastikan kebenarannya.

"Bagaimana hasil pemeriksaan saya, Dokter?" kali ini giliran Sasuke yang bertanya, namun suaranya terdengar tenang dan percaya diri. Ia yakin dirinya tidak sakit sama sekali, terlepas dari rasa mual dan lelah yang dirasakannya, tubuhnya benar-benar baik-baik saja.

"Umm, sepertinya saya perlu bicara empat mata dengan Bapak Sasuke."

"Huh? Kenapa? Saya adalah istrinya, saya berhak tahu." Tanya Sakura heran. Alisnya bertaut tidak nyaman.

"Saya mengerti Bu Sakura, tapi ada beberapa hal yang perlu saya tanyakan pada Bapak Sasuke, dan ini adalah bagian dari prosedur rumah sakit. Saya harap Ibu bisa mengerti."

Sakura terlihat semakin tidak mengerti, namun akhirnya memilih untuk keluar begitu melihat sorot mata Sasuke yang seolah mengatakan 'Keluarlah sebentar.'

"Jadi, apa yang ingin Anda tanyakan, Dok?" Tanya Sasuke begitu mereka hanya sendirian saja di ruangan itu.

Ten Ten melepas kaca matanya kemudian menumpukan kedua sikunya di permukaan meja. Matanya menatap serius wajah Sasuke yang pucat.

"Jawab pertanyaan saya dengan jujur. Apakah Anda seorang biseksual?"

Walau hanya sesaat namun Ten Ten bisa melihat ekspresi terkejut bertandang di wajah pasiennya, namun secepat mimik itu terbentuk, secepat itu pula wajah Sasuke kembali datar seperti semula.

"Apa hubungannya dengan hasil pemeriksaan saya?" Sasuke bertanya balik, menolak untuk langsung menjawab.

"Anda belum menjawab pertanyaan saya." Tukas Ten Ten cepat. Nada suaranya mengindikasikan bahwa ia tidak akan mengatakan apa-apa sebelum Sasuke menjawab pertanyaannya.

"Sebenarnya, bukan." Si dokter menunggu lanjutan kalimat Sasuke. "Tapi saya pernah… terlibat dengan laki-laki satu kali."

"Kapan?" dokter itu bertanya lagi.

"Minggu lalu." Jawab Sasuke tenang. Walau dalam hati ia merasa tidak enak karena hal memalukan seperti itu diketahui oleh orang lain, namun hal itu sama sekali tidak terpeta di wajahnya.

Dokter itu menghela napas kemudian bertanya lagi. "Saya itu ini adalah urusan pribadi Anda, tapi saya harus menanyakan ini, apakah dia adalah… umm, teman Anda?"

"Bukan. Saya baru bertemu dengannya malam itu, kami berbincang dan mabuk, dan… semuanya terjadi begitu saja."

"Baiklah, saya mengerti." Ucap Ten Ten setelah lagi-lagi mendesah.

"Jadi…, bisakah saya mengetahui apa yang bermasalah dengan tubuh saya sekarang, Dok?" kini giliran Sasuke yang bertanya.

Sang dokter kembali menghela nafas, pikirannya berusaha menyusun kata-kata yang tepat agar laki-laki di depannya bisa mengerti. Ia tahu ini bukanlah hal yang akan Sasuke sukai, namun mau tidak mau ia harus menyampaikannya karena itu adalah tugasnya,

"Berdasarkan pemeriksaan, saya menemukan bahwa ternyata Anda… hamil."

.

"Jadi, apakah aku akan punya adik?"

Sakura menoleh dan melihat sepasang ibu dan anak yang berjalan mendekati lift sambil bergandengan tangan. Wajah anak laki-laki itu terlihat penasaran dan sangat antusias. Sementara sang Ibu hanya tersenyum lembut memandang anaknya penuh sayang. Meskipun mereka adalah pasangan ibu dan anak, perbedaan fisik mereka terlalu kentara. Helaian rambut biru si ibu sangat kontras dengan surai pirang sang anak. Iris mata mereka pun berbeda, mata bulat si ibu berwarna ungu pucat sedangkan si anak memiliki manik biru cerah seperti langit musim panas.

"Benar, Boruto senang kan?." Sang Ibu balik bertanya dengan nada lembut.

"Hu'um!" si anak mengangguk. "Aku akan punya teman bermain nanti... Kapan dia akan keluar Bu?"

"Masih lama sayang, kau harus bersabar menantinya."

"Kenapa harus lama sekali? Tidak bisakah dia keluar besok?"

Sakura tertawa kecil mendengar pertanyaan polos dari bocah itu, seolah mengandung dan melahirkan adalah sebuah hal yang enteng seperti mengupas sebuah apel. Tampaknya sang ibu pun merasakan hal yang sama dilihat dari wajahnya yang tersenyum geli. Ia menekuk lutut dan berjongkok di depan sang anak agar tinggi mereka sejajar.

"Tentu tidak bisa sayang." Jawab sang ibu dengan sabar. "Dia belum cukup kuat untuk bisa keluar besok. Boruto, ibu, juga ayah harus bersabar menunggu. Kita akan menantinya bersama-sama..."

Bocah laki-laki itu tampak menyerap penjelasan ibunya dengan seksama. Alisnya berkedut-kedut lucu seolah ia sedang memikirkan hal yang menyangkut kedamaian negara Jepang.

Tepat saat itu pintu lift terbuka dengan suara denting halus. Si ibu segera berdiri dan kembali menggandeng tangan mungil anaknya, bersiap memasuki lift yang akan membawa mereka ke lantai bawah. Saat itulah sesosok pria jangkung melangkah keluar dari lift dan menghampiri ibu dan anak tersebut.

"Naruto?" si ibu menyapa dengan nada tanya, sepertinya kedatangan pria itu tidak diduganya sama sekali.

"Ayah!" si anak langsung melompat ke dalam pelukan ayahnya, melupakan tentang hal yang dipikirkannya tadi. Tubuhnya yang kecil terlihat seringan bulu begitu laki-laki –yang ternyata ayah si anak- itu menggendongnya.

"Kalian lama sekali, jadi aku menyusul kesini." Ucap si ayah sambil menggesek-gesekan hidungnya ke pipi si anak, membuat bocah itu tertawa. Kini Sakura tahu dari mana surai pirang dan manik biru si bocah berasal.

"Eh? Kenapa kau disini? Kau tidak ada kelas?"

"Kelasku dimulai empat puluh menit lagi, jadi aku bisa mengantar kalian pulang dulu kemudian kembali ke kampus. Maaf tidak bisa mengantarmu tadi pagi, jadi bagaimana hasilnya?"

"Huuu, itu karena ayah terlalu sibuk, untung saja ada aku jadi Ibu tidak pergi sendiri.." cibir si anak dengan wajah merengut.

Laki-laki itu tersenyum kemudian mengacak rambut sang anak. "Iya.. iya... Makanya sekarang ayah minta maaf, dan terima kasih sudah membantu ibu, Jagoan!"

Mendapat pujian dari ayahnya membuat sang anak tersenyum jumawa penuh rasa bangga. Pria itu kembali menatap istrinya kemudian mengulangi pertanyaannya.

"Baik-baik saja. Pemeriksaanya juga lancar. Terima kasih sudah datang menjemput, Naruto." Ucapnya sambil tersenyum manis. "Oh ya, tadi aku mampir ke ruangan Karin. Minggu kemarin dia tidak datang ke rumah, jadi aku singgah sebentar untuk meleihatnya." Lanjutnya.

"Oh, bagaimana kabarnya?"

"Tetap sibuk seperti biasa." Jawabnya sambil menyelipkan surai indigonya yang panjang ke belakang telinga.

"Dasar anak itu, dia tetap saja gila kerja." Gumam si ayah dengan ketus.

Si ibu hanya tersenyum maklum. Saat itu pintu lift kembali terbuka, seorang perawat keluar. "Tapi yang penting dia sehat. Ayo pulang…"

Dan sosok mereka tertelan oleh benda yang terbuat dari besi tersebut.

Sakura tersenyum menatap spot dimana tiga manusia tadi berdiri. Iris emerald-nya yang menawan terlihat menerawang. Membayangkan bocah laki-laki tadi membuatnya teringat dengan putrinya sendiri yang berada di rumah. Sepertinya anak tadi seumuruan dengan Sarada. Namun senyumnya berganti menjadi lengkungan getir mengingat perjalanan rumah tangganya. Kapan Sasuke akan menatapnya seperti pemuda pirang tadi menatap istrinya? Akankah hidupnya bisa seindah hidup wanita itu?

"Sakura." Suara dingin itu membuyarkan lamunannya. Sasuke berdiri di dekatnya dengan wajah datarnya seperti biasa.

"Apakah sudah selesai? Bagaimana kata dokter?" tanyanya. Ia menghampiri suaminya kemudian berdiri di sampingnya.

"Akan kuceritakan di rumah. Ayo pulang." Ucap Sasuke sambil berjalan menuju lift, meninggalkan Sakura yang menatap penuh tanya padanya.

Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Tak ada satupun yang berniat untuk membuka percakapan. Sasuke tampak larut dalam pikirannya sendiri sedangkan Sakura melamunkan keluarga kecil yang tadi dilihatnya di rumah sakit. Suami yang begitu perhatian, istri yang lembut dan penyayang, beserta anak yang lucu dan menggemaskan. Ia melirik laki-laki yang duduk di sampingnya, sepanjang ingatan Sakura ia tidak pernah melihat Sasuke tersenyum. Wajahnya selalu tenang, dingin, dan kaku. Berapa kalipun ia berusaha melingkupi Sasuke dengan kehangatan, Sakura tidak pernah bisa. Seolah-olah hati suaminya itu memang terbuat dari segumpal es yang bahkan mataharipun tak sanggup untuk melelehkannya.

"Ayah!" seorang anak perempuan dengan surai hitam berlari menghampiri menghampiri mereka disaat Sasuke membuka pintu.

Sasuke berjongkok dan langsung memeluk tubuh si gadis kecil.

"Hello, princess…" sapa Sasuke dengan suara melembut.

Ah, Sakura ingat. Hanya pada saat bersama Sarada saja ia bisa melihat riak wajah Sasuke menjadi sedikit lebih hangat.

"Jangan panggil aku seperti itu, Ayah!" Sarada melepas pelukannya dengan bibir yang dimanyunkan.

"Baiklah…, apakah kau sudah makan siang?" Tanya Sasuke.

"Sudah." Sarada menjawab singkat. "Ayah sakit apa?" tanya gadis kecil itu.

"Ayah tidak apa-apa, hanya sedikit kelelahan saja. Sekarang kembalilah bermain. Ayah dan ibu ada urusan…"

Anak itu kemudian berbalik dan berlari ke dalam, menuju halaman belakang dan kembali ke mainannya. Sakura tersenyum melihat anaknya. Sarada adalah anak yang cerdas dan tidak merepotkan. Wajah dan sikapnya benar-benar kopian dari Sasuke. Begitu sosok anaknya menghilang tertelan pintu, Sasuke segera menggerakkan kakinya menuju tangga yang menghubungkan antara lantai satu dengan lantai dua dimana kamar mereka berada. Sang istri berjalan di belakangnya.

"Ada apa Sasuke?" Tanya Sakura begitu mereka berdua memasuki kamar.

Sakura menatap suaminya yang langsung berbaring tanpa melepas jasnya. Sebelah lengannya ia taruh di wajah dan menutupi matanya. Awalnya Sakura mengira Sasuke akan segera ke kantor begitu mereka dari rumah sakit, ia hanya akan mengantar Sakura pulang dan setelah itu pergi lagi.

"Apa kata dokter?" Sakura bertanya lagi.

"Aku baik-baik saja."

"Benarkah? Lalu apa yang kalian bicarakan? Kenapa aku tidak boleh mendengarnya?" tanya Sakura sambil berjalan ke meja rias miliknya.

Sasuke menghela napas. Ia mengangkat lengan yang menutupi matanya agar bisa bertatapan mata dengan istrinya. Ia kemudian bangkit dan mengubah posisinya menjadi duduk.

"Aku hamil." Ucap Sasuke dengan jelas.

Siiing...

Selama beberapa detik Sakura terpaku mendengar ucapan Sasuke. Tangannya yang sedang melepas anting-anting di teliganya berhenti. Mata hijaunya menatap manik hitam Sasuke melalui cermin besar di depannya. Setelah tersadar ia kembali berusaha melepas pengait perhiasan itu kemudian memutar badannya agar bisa bertatapan langsung dengan suaminya.

"Apa?" Sakura menatap suaminya dengan pandangan bingung. Ia mendengar dengan jelas kata-kata Sasuke tadi namun tidak mengerti apa maksudnya.

Sasuke memilih diam, namun wajahnya menunjukkan keseriusan dalam setiap kata-katanya.

"Kau bercanda?" Tanya Sakura bingung. Dalam hati mengingatkan diri bahwa lelucon Sasuke tidak pernah lucu.

"Aku serius." Sahut Sasuke. Sakura mendengus.

"Dan bagian mana dari kata-katamu tadi yang harus aku percaya?"

"Semuanya. Aku hamil, itulah yang dokter tadi katakan padaku."

"Berarti dia dokter gila." Tukas Sakura cepat. "Aku tidak tahu bagaimana ia biosa lulus menjadi dokter sementara ia belum mendapat pelajaran reproduksi."

"Katanya aku mengalami kelainan genetik, mutasi, dan sejenisnya."

"Nonsense." Sakura berkomentar sarkastik.

"Itu benar, katanya dari satu juta laki-laki, ada satu yang memiliki rahim dan berpotensi untuk melahirkan. Dan aku adalah satu dari sejuta laki-laki tersebut." Paparnya.

Sakura terdiam mendengar penjelasan Sasuke. Berusaha menggali ingatannya tentang pelajaran reproduksi yang pernah didapatnya di bangku sekolah, namun tak satupun dari ingatan itu yang pernah memberitahunya tentang kemungkinan laki-laki hamil.

"Itu tetap tidak mungkin, Sasuke. Kita sama-sama tahu untuk membuat anak dibutuhkan dua orang, dan laki-laki sama sekali tidak memiliki sel telur, bahkan meskipun ada laki-laki lain yang menanamkan spermanya di tubuhmu."

Sakura hanya bermaksud bercanda tentang kalimat terakhirnya, namun sanggahan Sasuke seolah mampu membelah dunianya menjadi dua.

"Itu juga benar."

Sakura membeku seperti batu. Iris emerald-nya melebar dalam ketidakpercayaan. Namun wajah Sasuke masih sedingin biasanya, seolah ia sedang membahas ramalan cuaca, bukannya masalah genting yang sebenarnya bisa mengancam rumah tanggaanya.

"Apa?!" kali ini ia tidak bisa menahan suaranya yang meninggi.

"Minggu lalu aku pergi ke bar, dan bertemu seorang laki-laki disana. Awalnya kami hanya saling bicara, namun karena pengaruh alkohol aku hilang akal dan-"

PLAK!

Sebuah tamparan mengenai pipi kirinya, memotong kata-katanya. Tamparan itu cukup kuat, hingga kepalanya tertoleh ke samping. Awalnya Sasuke kaget dengan tamparan itu, namun beberapa waktu kemudian rasa panas dan sakit di pipi kirinya mulai terasa. Ia yakin sebelah wajahnya pasti memerah sekarang. Sasuke mengangkat wajahnya dan melihat istrinya berdiri di depannya dengan mata berkaca-kaca dan tubuh yang gemetar.

"Berani-beraninya kau…" suaranya terdengar goyah di telinga Sasuke. "BERANI-BERANINYA KAU MELAKUKAN HAL SEKEJI ITU PADAKU, SASUKE!" Suaranya menggelegar memantul di kamar itu. Kamar yang sudah mereka tempati selama tiga tahun.

Sasuke tidak menjawab, ia hanya duduk di ranjang dengan expressionless-nya seperti biasa. Dan Sakura tidak pernah bisa mengerti perasaan laki-laki itu.

"Apa salahku padamu? Bagaimana kau bisa melakukan hal seperti ini padaku?! Aku selalu disini, menunggumu setiap malam, melakukan segalanya agar kau mencintaiku, namun yang kau lakukan malah pergi ke bar dan bercinta dengan laki-laki?! Demi Tuhan, Sasuke! Apakah aku sebegitu menyedihkannya dimatamu?"

Sasuke memandang hampa pada manik hijau Sakura yang kini sudah basah oleh air mata. Manik yang mampu membuat semua laki-laki bertekuk lutut di bawah pesonanya, memohon agar bisa merengkuh keidahan itu. Kadang Sasuke bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mengapa sampai sekarang ia tidak pernah jatuh dalam pesona itu seperti yang seharusnya laki-laki lakukan?

"Apa kurangnya diriku, Sasuke? Apa?!" tanyanya putus asa. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan kemudian menangis tersedu-sedu dengan suara keras. Sesuatu di dalam dadanya terasa begitu sesak, seolah-olah jantungnya diremas dengan kuat.

Sasuke mengusap wajahnya dengan lelah, pun sama putus asanya. "Aku tidak tahu, Sakura. Jujur saja aku tidak tahu…"

Disela-sela tangisnya Sakura bertanya, suaranya terdengar begitu terluka dan pilu. "Apa yang harus kulakukan, Sasuke? Andai saja ia seorang perempuan, setidaknya aku bisa mencoba untuk menjadi lebih cantik darinya agar kau berpaling padaku, setidaknya aku bisa mencoba. Tapi dia adalah laki-laki sepertimu, Sasuke…, aku tidak akan bisa menyainginya, tidak akan pernah…"

Tidak tahan mendengar kata-kata Sakura yang menyayat, Sasuke bangkit dan meraih tubuh Sakura ke dalam pelukannya. Ia meletakkan dagunya di puncak kepala Sakura dan berbisik 'maaf' berkali-kali.

"Kita cerai saja. Aku sudah menyerah…" ucap Sakura lagi, sementara pundak Sasuke sudah basah.

Ode to a Nightingale

Drrt… drrt…

Suara getar itu memenuhi keheningan di ruangan tersebut. Satu-satunya manusia yang berada di ruangan itu menoleh ke arah ponselnya yang di letakkan di atas meja kerjanya. Jika saja ruangan itu tidak sedang dalam keadaan sunyi, maka ia tidak akan menyadarinya. Kumpulan kertas yang sejak tadi menjadi pusat atensinya ia letakkan diatas meja kemudian beralih ke benda persegi dengan layar berkedip-kedip tersebut.

Iris matanya yang sewarna batu ruby bersinar jenaka begitu melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Hai, Aniki…" sapanya dengan suara senang.

[Aha, rupanya kau masih ingat kalau aku adalah Aniki-mu, huh?] suara di line seberang terdengar kesal.

"Tidak ada alasan bagiku untuk lupa, keluargaku kan hanya kakakku saja…" balasnya sambil menahan senyum. Punggungnya ia sandarkan ke kursi, berusaha melemaskan otot-ototnya yang tegang.

Ia mendengar kakaknya mendengus. [Tidak tertutup kemungkinan kau sudah lupa, bukankah kau lebih suka mendekam bersama pasienmu ketimbang bertemu kakakmu?]

Mendengar gerutuan kakaknya, ia tak bisa menahan tawanya. [Astaga, Kak Naru, jangan katakan kau cemburu pada pasienku, jangan sampai Kak Hinata mendengarnya atau ia akan mengira kau brother complex.]

[Aku tidak seperti itu! Hanya saja akhir-akhir ini kau tidak pernah ke rumah lagi, aku yakin kau makan dengan tidak teratur lagi.]

Ia memutar bola mata bosan. [Kak Naru, aku tidur di rumahmu dua minggu yang lalu.]

[Lalu minggu lalu kau tidur dimana?]

"Tentu saja di apartemenku sendiri, dasar Aniki bodoh!" tukasnya sedikit kesal.

[Apa? Berani sekali kau menyebutku bodoh, begitu caramu hormat pada kakakmu sendiri, huh?]

Kali ini ia menghela napas pelan. "Baiklah… Aku akan kesana sepulang kerja, katakan pada Kak Hina untuk memasak makanan kesukaan adik iparnya yang paling cantik ini, oke?"

[Ajak Kyuu juga.]

"Ya, ya… Aku tahu. Dah!"

Klik.

Bersamaan dengan dimatikannya sambungan telepon, pintu ruang kerjanya terbuka. Seorang perawat muncul dibalik pintu.

"Dokter Karin, pasien yang bernama Uchiha Sasuke sudah datang."

"Ah, ya. Persilahkan dia masuk." Balas Karin sambil merubah posisi duduknya menjadi tegak. Kaca matanya yang melorot ia dorong hingga posisinya benar.

Sebuah bingkai foto yang diletakkan di sudut meja tiba-tiba menarik perhatiannya. Foto itu diisi oleh lima orang. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Sepasang orang dewasa, dua remaja laki-laki dan seorang gadis kecil. Itu adalah foto keluarganya yang diambil sewaktu ulang tahunnya yang ke sepuluh. Mereka merayakannya di sebuah kedai ramen yang hingga sekarang masih tetap menjadi kedai langganan mereka. Membayangkan kenangan itu selalu mampu membuatnya tersenyum dan ingin menangis disaat yang sama. Menangis karena dua sosok dewasa dalam foto itu sudah tidak ada di dunia, dan tersenyum karena ia masih memiliki dua kakak laki-laki yang menyayanginya.

Tidak lama berselang perawat tadi keluar, pintu ruang kerjanya kembali terbuka namun kali ini bukan oleh seorang perawat berseragam putih khas rumah sakit, melainkan seorang pria yang memakai setelan jas hitam. Pria itu mengangguk sekilas ke arah Karin sebagai salam kemudian berjalan menuju kursi kosong di depan meja sang dokter.

"Selamat siang, Pak Uchiha." Sapa Karin ramah.

"Selamat siang, Dok." Sasuke membalas dengan sopan.

"Dokter Ten Ten sudah menjelaskan mengenai kondisi Anda."

Sasuke diam, tidak tahu harus membalas apa.

"Dan saya juga ingin memberitahu hal ini sedini mungkin, hal yang terjadi pada Anda merupakan suatu hal yang sangat langka dalam dunia medis, dan juga cukup beresiko."

"Lanjutkan, Dok."

"Bisa dikatakan kehamilan Anda ini cukup berbahaya. Tubuh Anda tidak sama dengan tubuh perempuan yang memang sudah terancang untuk mengandung dan melahirkan, dan tubuh Anda harus beradaptasi dengan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi."

"Lalu apa yang sebaiknya saya lakukan?"

"Sebagai seorang dokter kandungan, saya dilarang untuk menganjurkan hal ini pada pasien saya, namun dalam kasus Anda, saya rasa saya perlu mempertanyakan hal ini. Apakah Anda berniat melahirkan bayi Anda, Pak Uchiha?"

Kening Sasuke mengerut mendengar pertanyaan tersebut. "Apakah Anda sedang menyarankan saya untuk menggugurkannya?"

Karin menggeleng. "Bukan begitu, hanya saja Anda perlu memikirkan mengenai harga yang harus Anda bayar untuk keputusan yang Anda pilih."

Beberapa saat suasana ruangan itu kembali hening, namun bukan hening yang melegakan. Ada ketegangan yang begitu terasa di sekitar mereka.

"Tapi ada hal yang perlu Anda ketahui, Pak Uchiha. Janin yang sedang tumbuh di perut Anda merupakan sebuah karunia yang sangat besar. Anda memperoleh kesempatan untuk merasakan hal yang tidak bisa di rasakan oleh laki-laki lain, dan saya pikir itu merupakan sebuah anugerah yang patut dijaga."

Sebuah senyum terukir disudut bibir Sasuke. "Meskipun ini adalah sebuah ketidaksengajaan yang tidak diinginkan?" Tanya Sasuke, terdengar pilu dan terluka.

"Meskipun itu adalah sebuah ketidaksengajaan yang tidak diinginkan." Ulang Karin sambil tersenyum, menegaskan.

Keheningan kembali mengisi ruangan tersebut.

.

Arlojinya sudah menunjukkan angka 06.30 ketika Karin berjalan menuju lapangan parkir rumah sakit dan menemukan seorang pria dengan setelan jas resmi yang bersandar pada ke badan mobil. Laki-laki itu sedang asyik memainkan ponsel pintar-nya ketika Karin berjalan mendekatinya. Helaian poninya menutupi sebagian wajahnya dikarenakan kepalanya yang menunduk.

"Hai, Kak!" sapanya ceria.

Pemuda itu -Namikaze Kyuubi- mengangkat kepalanya dan mempertemukan iris jingganya yang cemerlang seperti mata kucing dengan manik ruby Karin. Helaian rambutnya yang identik dengan matanya menari seirama dengan gerakan kepalanya. Walau tak pernah mengatakannya langsung ke sang empunya, namun Karin sangat menyukai warna mata dan rambut Kyuubi yang terlihat seperti perpaduan antara warna rambutnya dan rambut Naruto, walau kenyataannya Kyuubi lah yang lahir lebih dulu diantara mereka bertiga. Naruto adalah sosok yang sangat tampan dan memikat, sedangkan Kyuubi lebih kharismatik. Sikap acuh tak acuhnya membuat para wanita penasaran dan terlihat seksi.

Dalam hati ia merasa bangga karena memiliki dua saudara laki-laki yang kedua-duanya rupawan, namun sekaligus miris karena dirinya tidak sesempurna kakak-kakaknya.

"Kau lama sekali." ucap Kyuubi dengan nada ketus.

Karin meringis. "Maaf, kakak tahu sendiri kan..." ia berjalan ke pintu mobil dan duduk di kursi depan bersebelahan dengan kakaknya.

"Kenapa si bodoh itu menyuruh kita ke rumahnya lagi?" tanya Kyuubi ketika mobil yang dikendarainya sudah meninggalkan halaman Rumah Sakit Konoha.

"Tidak ada yang penting. Dia hanya ingin kita makan malam bersama saja." jawab Karin santai.

Kyuubi mendecih. "Dasar anak itu. Memangnya dia pikir kita tidak bisa membeli makanan sendiri?"

"Mungkin kak Naru ingin merayakan hamilnya kak Hinata, aku yakin dia sangat bahagia sekarang dan ingin membaginya dengan kita. Lagipula kita sudah jarang makan bersama semenjak ibu meninggal..." sahut Karin dengan suara yang mengecil dibagian akhir.

Kali ini Kyuubi tidak segera membalas. Ia sepertinya juga diam memikirkan kata-kata adiknya.

Setahun setelah meninggalnya ibu mereka, hidup mereka tak pernah lagi sama. Ayah mereka bahkan telah pergi lebih dulu ketika Karin masih di sekolah dasar, dan kini Kyuubi dan kedua adiknya benar-benar sudah menjadi yatim piatu. Kematian ibunya bahkan jauh lebih menyakitkan, ia tahu mereka bertiga sangat kehilangan, namun yang paling terluka adalah Naruto, sedangkan Karin memilih untuk menyembunyikan semua sakit hatinya dalam-dalam dan berusaha menjadi tegar disaat Naruto -dan dirinya sendiri- begitu terpuruk. Lucu memang, disaat Kyuubi, selaku anak sulung yang harusnya menghibur adik-adiknya justru ikut terjatuh dalam kesedihan, dan malah Karin yang berusaha untuk menopang mereka. Kadang-kadang Kyuubi lupa jika satu-satunya keluarga yang dimilikinya hanya tinggal dua adiknya saja. Namun dalam hati ia bersyukur karena Naruto selalu berusaha untuk membuat ikatan mereka tetap seerat dulu. Saat itu adalh masa-masa yang sulit, namun mereka berhasil melaluinya dengan sangat baik.

Mereka bertiga sudah dewasa, dan Naruto berhasil menemukan jodohnya lebih dulu.

"Aku tahu." Ucap Kyuubi pada akhirnya. "Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Kyuubi lagi, memilih untuk membahas hal lain.

Karin menghela napas lelah, namun wajahnya malah menampakkan semangat. "Aku mendapat pasien yang unik."

Kyuubi melirik adiknya sekilas. "Ada Ibu yang melahirkan anak kembar tiga lagi?" tanya Kyuubi. Ia ingat adiknya pernah bercerita tentang seorang perempuan yang melahirkan tiga anak laki-laki yang kembar identik, dan semuanya selamat.

Karin menggeleng. "Yang ini jauh lebih menarik, dan juga beresiko..."

"Hm? Bukankah melahirkan memang berbahaya? Hal itulah yang membuat wanita istimewa, iya kan?"

"Memang benar, hanya saja..." kali ini calon ibunya bukanlah perempuan.

Bagian yang tidak bisa Karin suarakan ia lanjutkan di dalam hatinya.

"Ah, menurut kakak apakah kali ini aku bisa membantunya melaluinya dengan selamat?" tanya Karin ambigu. Nada suaranya sarat akan keraguan dan sikap pesimis.

"Tentu saja kau harus bisa bodoh, untuk apa kau sekolah tinggi-tinggi jika tidak bisa membantu pasienmu selamat? Apa gunanya kau jadi dokter kandungan?"

Mimik Karin berubah cemberut mendengar pertanyaan Kakaknya yang terkesan menyudutkan. Namun tidak heran mendengar kata-kata sinis itu keluar dari mulut Kyuubi.

"Huuu, tapi kan aku bukan malaikat kak, semua hasil akhirnya harus tetap dipasrahkan pada Tuhan." sungutnya.

"Setidaknya kau sudah berusaha semampumu untuk menyelamatkan mereka. Itu yang terpenting."

"Kakak benar. Aku harus berusaha semampuku." ucap Karin, lebih pada dirinya sendiri.

Dalam hati Karin membuat janji pada dirinya sendiri akan membantu Sasuke melalui kehamilannya dan juga ketika ia melahirkan nanti dengan selamat, beserta bayinya.

.

"Bagaimana pekerjaanmu, Kyuu?" tanya Naruto tanpa embel-embel Kak sambil meletakkan cangkir porselen berisi teh buatan istrinya ke meja di depannya. Selesai makan malam dua kakak-beradik itu berbicang-bincang di ruang tengah rumah Naruto. Waktu berkumpul seperti ini sangat jarang mereka dapatkan, selain karena kini mereka tinggal terpisah yang membuat mereka sulit menyamakan waktu luang, Kyuubi lebih sering pergi ke luar kota bahkan negeri, pekerjaannya sebagai arsitektur menuntutnya untuk sering mengunjungi lokasi pembangunan. Sedangkan Karin walau lebih sering berkunjung ketimbang Kyuubi, tetap saja merupakan seorang workaholic seperti Kyuubi.

"Baik-baik saja. Bagaimana denganmu?" Kyuubi bertanya balik.

"Yah, sama saja. Tidak ada masalah yang berarti. Aku sangat mensyukuri hidupku sekarang." Jawab Naruto tersenyum.

"Baguslah kalau kau sudah dewasa, aku pikir kau akan selamanya menjadi laki-laki bodoh dan kekanakan." Ucap Kyuubi sebelum menyesap teh miliknya. Seringainya tertutupi cangkir tersebut.

"Hei! Enak saja, aku tidak bodoh! Mana mungkin aku bisa menjadi dosen kalau otakku setumpul itu?" Naruto bersungut-sungut menatap sang kakak, dalam hati menyumpahi sifat Kyuubi yang sampai sekarang tetap meyebalkan, atau jangan-jangan itu memang sudah karakter bawaan sejak dia lahir?

"Baru ditinggal sebentar sudah bertengkar, tidak bisakah kalian akur sedikit?"

Naruto dan Kyuubi sontak menoleh ke arah sumber suara. Karin datang membawa piring kecil berisi buah apel yang sudah dikupas dan diiris kecil.

"Mana Hinata?" tanya Naruto tidak menggubris ucapan Karin sebelumnya.

"Dia sedang menidurkan Boruto, mungkin sekalian istirahat." Jawab Karin, ia mengambil posisi duduk di sebelah Kyuubi yang berhadapan dengan sofa tempat Naruto duduk.

"Apa yang Kak Kyuu katakan sampai-sampai Kak Naru kesal?" kali ini Karin bertanya pada pria yang berada di sebelahnya, yang ditanya hanya mengangkat bahu cuek.

"Aku hanya berkata bahwa aku senang sekarang dia sudah dewasa, tapi dia malah meneriakiku."

"Itu karena caramu mengatakannya seolah-olah aku ini sangat bodoh dan baru sekarang aku bisa merubahnya." Naruto membalas dengan sengit. Iris safirnya menatap Kyuubi jengkel.

"Kau kan memang bodoh." Kyuubi menyahut enteng. "Bukan aku yang tiap minggu menelpon dan merengek seperti bayi supaya bisa makan malam bersama."

"Itu karena ki-"

"Menurutku," kalimat Naruto terpotong oleh suara Karin yang menatap mereka dengan mimik bosan. "kalian berdua sama-sama bodoh. Apakah kalian tidak malu dengan usia kalian? Berhentilah bertengkar hanya karena masalah tidak penting, dasar childish."

"Dia yang mulai." Ucap Naruto sambil mengangkat dagunya ke arah Kyuubi. Sedangkan yang dimaksud hanya membuang muka tak perduli.

Karin menghela napas melihat tingkah ajaib dua saudaranya. Kadang-kadang ia merasa bahwa sebenarnya dialah yang menjadi anak sulung diantara mereka. Berusaha mengubah suasana, Karin mencoba mencari bahan pembicaraan yang lebih dewasa.

"Oh ya, kenapa Kak Neji tidak datang juga?"

"Katanya dia tidak bisa hadir. Sepertinya ada tender besar yang sedang berusaha dimenangkannya." Jawab Naruto.

"Uchiha's Art Gallery." Sahut Kyuubi tiba-tiba. Kedua adiknya menoleh ke arahnya secara bersamaan dengan ekspresi "Apa?" di wajah mereka. Kyuubi pun melanjutkan. "Itu adalah nama perusahaan yang mengadakan tender tersebut. Perusahaan ini merupakan cabang dari Uchiha Corp yang didirikan tiga tahun lalu. Aku juga sedang membuat rancangan bangunan tersebut."

"Benarkah? Itu berarti Kakak akan bersaing dengan perusahaan Hyuuga Corp Ltd?" tanya Karin antusias.

"Begitulah." Jawab Kyuubi disertai anggukan.

"Kalau begitu semangat! Semoga pemenangnya adalah salah satu diantara kalian." Naruto ikut bersuara, memberikan semangat.

"Tentu saja, jangan remehkan kemampuanku adik bodoh." Ucap Kyuubi sombong. Naruto hanya memutar bola mata bosan melihat seringai menyebalkan kakakknya.

"Tunggu dulu, tadi kakak bilang Uchiha?" Karin bertanya lagi. Ia terlihat seperti sedang mengingat sesuatu. Kyuubi pun mengangguk. "Siapa nama yang menangani perusahaan itu?" tanyanya lagi.

"Namanya Uchiha Itachi. Dia adalah putra sulung dari Uchiha Fugaku, direktur utama Uchiha Corp."

"Oh..." Karin manggut-manggut. Tadi ia sempat mengira bahwa orang yang dimaksud oleh kakaknya adalah Uchiha Sasuke, pasien yang baru ditemuinya hari ini.

"Kenapa?" Naruto bertanya penasaran.

"Tidak, hanya saja aku memiliki pasien yang bermarga Uchiha." Jawabnya sambil membayangkan sosok Sasuke yang sangat tampan, namun perasaan yang timbul dalam diri Karin bukanlah kagum, melainkan kasihan mengingat keadaan laki-laki stoik itu.

"Mungkin saja itu istrinya..." sahut Naruto menebak-nebak.

"Uchiha Itachi belum menikah." Pungkas Kyuubi cepat.

"Kalau begitu saudaranya?" tebak Naruto lagi.

"Dia hanya memiliki satu adik, itupun laki-laki. Kalau tidak salah namanya Sasoko...? atau Satsuki? Entahlah, yang jelas laki-laki."

Iris ruby Karin melebar. Inner-nya berteriak. Sasuke! Adik yang dimaksud oleh Kyuubi pasti Sasuke!

"Apakah Satsuki ini sudah menikah?" tanya Naruto lagi. Karin menatap kakak keduanya tidak mengerti. Kenapa Naruto begitu penasaran pada Sasuke?

"Aku tidak tahu."

"Karin, pasienmu wanita kan?" tanya si pirang lagi.

Karin hampir terlonjak dari sofa mendegar pertanyaan Naruto. Sebelum ia sempat menjawab Kyuubi sudah lebih dulu menjawab.

"Tentu saja perempuan, dasar bodoh! Apa kau lupa kalau Karin itu dokter kandungan?" tanya Kyuubi setengah kesal. Sekarang ia benar-benar mempertanyakan bagaimana Naruto bisa kuliah hingga mendapat gelar Doktor padahal bodohnya minta dibunuh seperti ini.

"Aku kan hanya bertanya, Kyuu! Kau tidak perlu melotot seperti itu..." Naruto melipat tangan di dada kemudian membuang muka.

"Tidak bisakah kau mengajukan pertanyaan yang lebih manusiawi? Sekali-kali gunakan kepala pirangmu itu untuk berpikir atau otakmu akan berdebu hingga karatan."

"Mana bisa otak karatan? Dasar rubah jelek!"

"Bisa jika itu otakmu! Aku memang seorang arsitek, tapi aku tidak akan segan-segan beralih profesi menjadi dokter ahli bedah asal aku berkesempatan menggergaji kepalamu itu." Ucap Kyuubi berapi-api.

"Cih, kau terlalu banyak berkhayal. Jangan bersikap seolah-olah kau tahu semuanya sedangkan yang kau bisa hanya menggambar bangunan datar." Balas Naruto sengit tak mau kalah.

"Itu lebih baik dari pada hanya berada di ruangan sempit bersama empat puluh mahasiswa ingusan yang belum tentu menghapal rumus logaritma."

Karin hanya bisa melongo menatap dua kakaknya yang tak henti-hentinya saling lempar kata-kata sinis dan ejekan. Kilatan listrik imajiner saling bertubrukan di titik dimana kedua pasang mata berbeda warna itu bertemu. Ia memijit pelipisnya pelan.

"Bagaimana kalau kalian berdua mencoba membantu seseorang melahirkan?"

Dua orang itu sontak menoleh ke arah Karin dengan pandangan ngeri. Ekspresi mereka berubah horor membayangkan bagaimana janin yang cukup besar itu keluar dari lubang kecil milik perempuan. Bahkan Naruto yang sudah menikah pun tampak sama pucatnya. Mereka berdua menatap si bungsu yang sedang tersenyum namun dibelakangnya seolah berdiri iblis merah yang tertawa seram.

"Jika kalian tidak berhenti aku serius akan menyeret kalian kedalam ruang bersalin dan memaksa kalian untuk melihatnya." Ancam Karin dengan suara rendah yang terdengar seperti lagu kematian di telinga Naruto dan Kyuubi. Adiknya jika sedang marah benar-benar mengingatkan mereka akan keganasan sang Ibu ketika beliau masih hidup.

Ancaman itu sangat manjur, Naruto dan Kyuubi langsung berhenti dan memilih melakukan kegiatan lain. Naruto meraih remote dan menyalakan tv layar datar yang tertempel di dinding kemudian mencari siaran yang layak untuk ditonton. Ruang tengah itu kini hanya diisi oleh suara pembawa berita yang berasal dari speaker, Karin melirik kedua kakaknya dan menemukan dua laki-laki itu sedang memusatkan atensi mereka ke layar. Diam-diam ia tersenyum, lega karena adu lempar ejekan tadi sudah benar-benar berhenti. Pembicaraan tentang keluarga Uchiha terlupakan begitu saja.

tbc

Nightingale's note.

Holla~

Apa kabar minna-san? Semoga baik-baik saja.

Seperti yang Night tulis di awal, fict ini didedikasikan untuk Opposite Party #2 yang jatuh pada hari ini, tanggal 14 maret 2015.

Awalnya Night ingin menjadikan fict ini one shot, tapi dasar Night memang tidak bisa membuat cerita yang irit kata, akhirnya Night memutuskan untuk membaginya dalam beberapa chapter. Oh, ampuni Night, I know I'm late, orz...

Untuk kalian yang sudah bersedia membaca, terima kasih banyak sudah mampir! Yang meninggalkan review, dobel terima kasih...

Fict ini masih jauh dari kata layak, maka dari itu Night mengharapkan para pembaca bersedia memberikan saran agar chap ke depannya bisa lebih baik. Semoga bisa selesai dalam tiga chapter, aamiin...

Dan yang terakhir, happy Opposite Party! Yeay... Semoga fandom SNS, NSN, SN atau NS tetap bersama dalam kerukunan sehingga kita bisa menjadi keluarga besar yang akur. Karena pada dasarnya cinta kita sama, hanya wujudnya yang berbeda.

Mind to review, and see ya!

With Love, Nightingale.