That's NOT a Love Letter

Disclaimer : Eyeshield 21 dan segala propertinya bukan punya saya. Saya tidak menghasilkan penghasilan apapun dari tulisan ini.

Chapter 1

NB : segala author's note silakan cari di homepage saya. Enjoy :D

~*~*~*~*~

"Er… maaf Nona, ruangannya sudah tidak cukup…"

"Apa? Kalau begitu letakkan saja sisanya di kulkas bawah tanah."

"…maaf?"

"Ikuti aku," sambil memberi isyarat dengan jari, aku berbalik dan kurir itu mengikutiku. Ampun deh si Marco. Menghambur-hamburkan uang hanya untuk membeli cola botol segudang penuh? Sinting? Ya, sinting ala quarterback Hakushu, Marco. Saking cintanya pada cola, ia merenovasi ruang klub untuk membuat ruang penyimpanan cola di bawah lantai yang sedang kuinjak ini. Kulkas raksasa, istilah lainnya supaya kau lebih mudah mengerti apa yang kumaksudkan (ingat, 'kulkas', bukan 'freezer'. Bagaimanapun juga Marco tidak suka cola beku). Tapi aku bersyukur ia sama sekali tidak pernah menggunakan uang kas klub untuk semua cola itu.

Er… kunci kulkas bawah tanah— ah, ini dia, kutemukan setelah merogoh-rogoh saku pakaianku. Sambil berjongkok (pintunya ada di lantai), aku membuka pintu besi kaku di bawahku dan mempersilahkan kurir itu memasukkan 3 kontainer cola botol yang tersisa. Namun kurir itu tetap berdiri mematung di belakangku dengan mata terbelalak dan mulut menganga, entah kagum atau kaget, yang jelas bagiku itu norak sekali.

"Jangan bengong saja dan jangan terlalu lama di dalam," aku berbalik pergi keluar ruang klub meninggalkan sang kurir, yang kini gelagapan canggung.

~*~*~*~*~

Kini kakiku melangkah santai di kebun bunga belakang sekolah, menikmati pemandangan musim gugur yang hampir berakhir. Yah, sebenarnya tidak bisa dibilang santai juga, karena sekarang dalam kepalaku sedang banyak pikiran.

Aku masih teringat pertandingan kemarin, Oujo vs Deimon. Skornya beda tipis. Aura bermain mereka benar-benar panas terasa meskipun saat itu lapangan tengah diguyur hujan. Deimon dengan kepayahan berhasil menang dari Oujo pada satu detik terakhir. Bermain amefuto dengan lapangan berlumpur, tentunya menguras tenaga. Jujur saja, dalam pertandingan aku condong memihak Oujo karena kesempurnaan timnya, tapi jika di luar lapangan aku tidak menyukai sekolah high level sombong semacam Oujo itu. Maaf jika aku menyakiti kalian secara tidak langsung, para pendukung Oujo.

Berbeda dengan Deimon, tim baru yang notabene isinya para amatiran American Football, malah berhasil mengalahkan Oujo yang memiliki fasilitas lebih dalam latihannya. Dua tim baru di final pertandingan musim gugur Kantou? Menarik bukan?

…Apa? Kau bilang aku meremehkan Seibu yang menjadi lawan semifinal Hakushu nanti? Maaf saja ya, apa sih yang bagus dari tim itu? Kalau para cowok hidung belang rendahan, tanpa ba-bi-bu lagi pasti langsung menjawab 'cheerleaders-nya!'. Tetsuma? Kalau semua mulut pemain amefuto Seibu dilakban saat bertanding (oh well, tentu saja tidak mungkin), siapa yang akan memandunya? Kabarnya dia cuma bergerak dibaawah komando Kid. Menggelikan. Jika dia tidak punya jiwa sinting dan menggebu seperti yang dimiliki Deimon, dia bisa sekarat dengan mudah di tangan Gaou.

Hm… Kid? Dia terlalu santai, tidak punya sesuatu yang bernama 'semangat', kalau kuduga. Aku tidak suka cowok lembek semacam itu. Hei, meskipun tim kami memang tampak meremehkan tim lain, tapi tim kami tetap bermain dengan semangat, tahu! Dan sebagai quarterback, dia pasti akan mendapat setidaknya retak atau bahkan patah tulang lengan dengan mengenaskan di tangan Gaou …

…seperti yang lainnya.

Ah, mengenai akhir yang mengenaskan, tentunya Seibu (dan bisa dipastikan Deimon juga) akan mengakhiri pertandingan dengan setidaknya 2 atau 3 orang terkapar di ranjang unit kesehatan. Jujur, aku sering merasa kasihan (well, aku masih punya hati kok) dengan korban-korban Gaou tersebut. Tapi mau bagaimanapun juga, inilah American football.

Hem, rasanya aku harus meminta mereka menyerah sebelum pertandingan berlangsung. Kedengarannya memang kejam, tapi mereka pasti mengerti. Ya, kalau perlu akan kubawa juga bukti-bukti rekaman akhir pertandingan tim kami dan membuat mereka mau tidak mau harus menyerah daripada sekarat di tangan Gaou. Aku harus mendiskusikannya dengan pelatih mereka, tentunya.

…Tunggu, pelatih Demon yang mana? Masa' pria pendek berkuncir kuda peminum sake yang selalu duduk di bench player Deimon itu? Ah, tidak tidak― mungkin itu hanya seorang ayah yang terobsesi pada permainan anaknya, yang juga merupakan salah satu dari pemain Deimon. Ayah Kobayakawa, mungkin? Oh! Atau Anezaki sang manajer Deimon berperan ganda sebagai pelatih juga, seperti yang dilakukan Tsuyumine dalam tim Zokugaku…? Hmm… lupakan. Anggap saja Deimon tidak punya pelatih.

…Tunggu, pelatih Seibu juga terlalu beringas. Apa dia mau menyaingi Hiruma yang selalu membawa-bawa laras panjang? Dilihat dari sikapnya, sepertinya dia tipe yang overacting dan emosian dalam bertindak. Dia pasti tidak bisa tenang dan tidak akan terima saat kuberitahukan timnya harus menyerah di tengah pertandingan.

Kalau begini jadinya, lebih baik ace dari kedua tim saja yang kuberitahu. Ace dari Deimon tentunya si Eyeshield itu. Kalau Seibu? Apa Kid? Ah, kutanyakan saja pada Kid sendiri, kalau tidak salah aku punya nomornya di handphone-ku.

Merogoh saku lain, aku mengeluarkan benda kecil-hitam-canggih itu. Segera kubuka bagian phonebook dan mencari nama si quarterback Seibu. Ada. Kuhubungi dia. Setelah beberapa detik, terdengar suara seraknya, "A? Manajer Hakushu?"

"Ya. Langsung saja, siapa ace dari tim Seibu?" tanyaku tanpa basa-basi.

Terdengar helaan berat, Kid lalu menjawab pertanyaanku dengan mantap, "Riku."

Sejenak aku terdiam, merasa agak asing dengan nama itu. Aku mengingat-ingat semampuku, "Riku… Kaitani? Running back berambut putih itu?"

"Siapa lagi coba? Kau meremehkannya? Dia yang mengajari Sena-kun lari seperti itu, lho."

Aku mengangguk dalam diam dan mengakhiri telepon, "OK, maaf telah mengganggu, selamat sore."

Pip.

"Siapa yang kauhubungi tadi, Maria?"

Huwa! Hampir saja aku melompat dan memekik kaget. Untungnya aku dapat menjaga image-ku begitu sadar yang mengagetkanku tadi adalah Marco, si maniak cola itu.

"Bukan urusanmu," jawabku cuek.

"Tadi kudengar kau menyebut nama salah satu running back Seibu… ada apa?"

"Tidak ada apa-apa!" volume suaraku meninggi. Aku benci sekali kalau sudah diinterogasi olehnya seperti sekarang ini.

Marco hanya tersenyum simpul, cih, "Akhirnya kulkas bawah tanah kita dipakai juga…"

Aku hanya mengangguk, masih menatapnya sinis. Ia lalu berjongkok dan menatap hamparan sepetak bunga yang telah disusun sedemikian rupa di hadapannya, "Deimon sudah menunggu kita di final, ya?"

Kali ini nada bicaranya lebih serius. Aku mengangguk singkat. Marco tetap berjongkok membelakangiku. Dengan lancang tangannya bergerak dan memetik tiga tangkai bunga cosmos di depannya, "Hei! Sekolah melarang kita untuk memetik bunga di kebun belakang sembarangan!" seruku.

"Maria, apa menurutmu kita tidak terlalu dingin sampai belum mengucapkan selamat atas lolosnya mereka ke final pada Deimon?" Ia mengacuhkan peringatanku, namun kini berbalik menatapku sambil bangkit berdiri. Aku mengangkat bahu. "Ah ya, bagaimana kalau kita mengirimkan buket bunga disertai ucapan selamat?" usul Marco kemudian.

Ide yang bagus, sebenarnya. Tapi entah kenapa aku hanya menjawab, "Terserah."

"Baiklah, ayo kita pergi sekarang."

"Eh? Sekarang?"

"Kita minta kirim kilat untuk besok. Ucapan selamat yang baru tiba setelah peristiwa tersebut sudah lama berlalu itu sama sekali tidak mengesankan, tahu. Mau ikut tidak?"

Aku berjalan setelah ia berlalu. Ikut sajalah.

~*~*~*~*~

Aku berdiri mematung ketika Marco memasuki bangunan itu. Ia berbalik dan menatapku dengan pandangan bertanya-tanya, "Hei, ayo masuk."

Mandragora(1), nama yang aneh untuk sebuah toko bunga. Toko itu bercampur dengan sensasi mengerikan sekaligus mencurigakan. Di luar tokonya saja terpajang nepenthes(2) raksasa, venus flytrap(3) sebesar kepalaku, dan… aku melihat bunga raksasa berwarna hijau yang terlihat masih kuncup dan menjulang tinggi. Yang seperti itu sering kulihat di ensiklopedia anak SD… tapi… masa' sih?

Dengan ragu-ragu aku menunjuk bunga aneh tadi, terlalu takjub untuk berkata-kata. Marco menangkap kebingunganku dan ikut menoleh ke bunga yang kutunjuk itu, "Oh, itu bunga Rafflessia yang masih belum mekar. Kau kaget?"

"Ternyata benar?—tentu saja! Itu 'kan bunga di hutan tropis. Kau saja yang masuk. Aku menunggu di luar saja."

"Tidak terlalu bau kalau sedang kuncup begitu, kok…"

"Tetap saja bau." Sanggahku lagi. Sungguh aneh, kenapa bunga seperti itu dipelihara di Jepang—apalagi di toko bunga seperti ini. Apalagi dengan baunya, bisa saja malah menjauhkan pelanggan, 'kan? Seperti aku sekarang ini.

Marco hanya mengangkat bahu dan hendak memasuki toko itu lagi, namun ia kembali menoleh dan bertanya, "Menurutmu, Deimon cocok dengan bunga apa?"

"Aku tidak paham soal begitu. Beli saja semuanya," kataku, menjawab sekenanya. Tiba-tiba aku teringat lagi dengan Riku dan Sena. Aku harus meminta mereka bertemu denganku di suatu tempat dan mengatakannya.

…Hei, Marco bilang kalau dia akan kirim kilat bunganya untuk besok, 'kan? Mungkin aku bisa diam-diam meminta kurirnya untuk menyampaikan suratku pada mereka. Ah! Aku belum membeli kertas surat dan amplopnya! Aku menepuk dahiku, frustasi. Waktu terbatas…

Tapi, yah… saat pulang nanti aku akan menyuruh Marco pulang duluan, kemudian aku akan mampir ke suatu toko untuk membeli kertas dan amplop, lalu menulis suratnya. Kemudian kembali ke Mandra…gora ini dan sekalian mengirim surat itu bersama buket bunga Marco tadi.

Brilian. Rencana ini terlintas begitu spontan dalam kepalaku dan tampak sangat sempurna.

Pintu terbuka dan Marco keluar dari toko itu. Aku menghampirinya dan bertanya (sedikit basa-basi, sebenarnya), "Jadi? Bunga apa yang kau pesan untuk Deimon?"

"Ya semuanya. Seperti katamu tadi," jawabnya santai.

"Hee… padahal aku 'kan cuma bercanda," responku, sama santai dengannya. Aku sudah terbiasa dengan sikap Marco yang berlebih-lebihan seperti ini.

Marco tertawa, "Tentu saja tidak. Tapi aku memang membeli semua bunga yang pantas diberikan sebagai ucapan selamat. Mana mungkin aku mengirimi mereka bunga yang 'unik' semacam Rafflessia itu."

"Oh," jawabku lagi. Aku teringat satu hal, "Ada struk atau kuitansinya? Boleh kulihat?" tanyaku sambil menyodorkan telapak tangan padanya.

Ia mengeluarkan kwitansi kecil dari sakunya dan menyerahkannya padaku. Aku terkejut melihat angka yang tertera, 60.000 yen! Ditambah ongkos kirimnya 10% jadi 66.000 yen!

"Kau mau menghamburkan uang kas klub? Tim kita mana punya uang sebanyak ini!" kataku tajam sambil tetap menunjuk-nunjuk kertas hijau panjang itu dengan kasar.

"Tentu saja tidak. Aku juga tahu kok kalau uang kas klub kita tidak lebih dari setengah yang tercantum di situ. Aku cukup menggesek kartu debitku dan selesai."

Aku mendengus pelan, santai sekali dia bicara begitu, "Tapi karena buket bunga tadi mengatasnamakan Hakushu, jadi…"

"Ok, ok. Bayar saja 10% dari kuitansi ini dengan kas tim. Deal?"

"…Deal," 10%... tak apalah. Tapi tetap saja menguras kas, "Oh ya, ada beberapa alat tulis yang hendak kubeli di toko itu. Kau duluan saja," kataku sambil menunjuk toko ATK di sisi jalan.

Ia terdiam sebentar memperhatikan toko itu, "Baiklah. Hati-hati di perjalanan pulang nanti," katanya sambil menepuk bahuku. Aku diam saja.

"Sampai jumpa, Darling."

Aku melotot tajam.

~*~*~*~*~

"Selamat datang, ada yang bisa kami bantu, Nona?"

"Ya. Tolong kertas surat satu, dan amplopnya dua. Uhm… dapatkah saya meminjam sebuah pena juga?" jawabku cepat sambil kembali bertanya.

"Tentu, silakan. Hendak menulis surat di sinikah?" Tanya kakek penjaga toko itu sambil menyerahkan barang-barang yang kuminta. Setelah memberinya sebuah koin 100 yen, aku melipat dan merobek kertas itu menjadi dua bagian. Hemat kertas, tentunya kau tahu itu. Global warming.

Dengan cepat—takut toko Mandra-apalah-tadi itu tutup karena hari sudah semakin sore—tanganku membimbing sang pena untuk menari di kertas pertama. Sebelumnya aku terdiam, hendak menyapa mereka dengan panggilan apa dalam surat ini. Namun akhirnya kuputuskan untuk menulis namanya dengan akhiran '-kun'.

~*~*~*~*~

Sena-kun

Bisakah kita bertemu untuk bicara?

Himuro Maruko

Aku akan menunggumu di Venusfort Cafe, Odaiba.

~*~*~*~*~

Selesai untuk bagian Sena. Sekarang untuk… Riku. Isinya kubuat sama persis, hanya saja aku menyingkat namanya dengan 'Rikkun'. Semoga ia tidak marah karena hal ini.

"Terima kasih, Pak," aku mengembalikan pena pada kakek penjaga toko tadi. Dengan sedikit terburu, aku memasukkan kertas-kertas yang baru saja kutulisi ke masing-masing amplop dan menamainya di bagian depan. Setelah yakin tidak tertukar, aku membuka segel perekat pada kedua amplop dan menutupnya. Selesai! Kini aku hanya perlu kembali lagi ke Mandra-apalah-tadi dan menitipkan surat ini untuk dikirimkan. Bila perlu, aku juga tidak keberatan untuk menambah ongkos kirim atau tip pada kurirnya. Ya, aku telah mengkhianati kantor pos.

~*~To be continue~*~

Footnote:

Toko ini beneran ada di Eyeshield 21 vol. 28

Nepenthes a.k.a Kantong Semar.

Venus flytrap itu tanaman pemakan serangga yang sering ada di film-film.

Review? :]