Kiseki no Sedai no Koi Monogatari

.

.

.

Addicting, like magnet

.

.

.

Kamera cctv yang tersebar di seluruh ruangan menjadi satu-satunya bukti aktivitas yang dilakukan oleh sepasang anak manusia. Tapi setidaknya kamera tidak bernyawa, itu adalah satu hal yang seorang Kise Ryota syukuri dari teknologi masa kini itu. Sesuatu yang tidak bernyawa tidak akan bergerak semaunya, tidak akan berisik, dan yang paling penting tidak akan mengejarnya seharian sembari meneriakkan, "Kyaa! Kise–kun!"

"Kise," ucap seseorang sembari menepuk pundak pemuda berbulu mata lentik itu.

"Shunji–cchi, sepertinya sudah aman–ssu," jawab sang pemuda seolah mengerti tatapan yang diberikan lawan bicaranya.

"Tahu begini aku tidak akan mengajakmu," ujar gadis yang bernama lengkap Iwayama Shunji itu polos.

"Ah~ kau kejam Shunji–cchi," protes Kise kecil, "Aku kekasihmu 'kan?"

Gadis dengan surai dark-lavender itu memiringkan kepalanya sedikit, "Oh, iya."

"Hiks, jadi selama ini aku apa–ssu?" ucap sang surai kuning keemasan yang entah sejak kapan sudah berjongkok di sudut ruangan sembari memainkan jari-jemarinya.

Manik kehitaman sang gadis memperhatikan punggung tegap milik pemuda yang tengah 'merajuk' di sudut lain ruangan, "Kau adalah seorang model yang memiliki banyak fans di penjuru negeri, si fast learning yang bisa menguasai segala hal dengan mudah, soal akademik kau tidak begitu pintar tapi nilaimu selamat dari kata rata-rata, hebatnya kau merupakan pemain basket regular di SMP Teiko, salah satu anggota dari Kiseki no Sedai, Kise Ryota. Dan–"

Mendengar ucapan kekasihnya, Kise membalikkan badannya agar bisa memandang gadis itu secara langsung, meski hingga kini ia menolak untuk merubah posisi jongkoknya.

"–kau adalah kekasihku. Aku seorang," tambah Shunji, jauh di akhir kalimat.

"Hiks, Shunji–cchi," Kise mulai berlinangan air mata mendengar ucapan akhir Shunji, dan kontan saja ia berjalan mendekati sang gadis; berniat untuk memeluknya erat.

"Kise!" protes Shunji saat mendapati tubuhnya jatuh ke dalam pelukan si surai keemasan.

"Aku sayang Shunji–cchi," ucap Kise lembut.

"Lepaskan aku, Kise," ujar Shunji memprotes perlakuan yang diberikan padanya.

"Apa kau tidak akan mengatakan kalau kau juga menyayangiku?" tanya Kise sembari menatap wajah Shunji lekat.

"Um, nope. Lepas ah," jawab Shunji cepat.

Kise pada akhirnya mengalah dan melepaskan pelukannya, "Shunji–cchi, kau tsundere–ssu"

Dengan delikan tajam Shunji menjawab, "Tsundere*1? Tidak, aku tidak seperti itu. Sudah ah, sebaiknya kita keluar dari sini, aku mau belanja."

Kise mengangguk paham lalu mulai mendekati jendela kecil yang ada di pintu masuk ruangan itu, "Ah, sekarang mereka ada di sini."

Shunji menghela napas kesal, "Ah, kau sih merajuk, jadi tak bisa pergi 'kan."

"Hei, Shunji–cchi yang menyebabkan aku merajuk 'kan?" Kise membela dirinya.

Lalu keheningan menelan mereka, keduanya larut dalam pikiran masing-masing, berpikir mengenai cara agar bisa kabur dari sana.

"Mereka tidak akan menyerah dalam waktu dekat," keluh Kise, agak merasa bersalah karena menghancurkan acara berbelanja kekasihnya.

"Kau benar, mereka tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang mereka mau," balas Shunji seadanya.

Kise menatap kekasihnya yang kini tengah menyenderkan tubuhnya ke dinding, "Mungkin seharusnya aku memang tidak ikut. Maaf–ssu."

"Nope. Aku senang kau ikut," ucap Shunji jujur, dia mulai melangkah mendekati Kise yang tampak murung.

"Hei, jangan cemberut seperti itu. Tersenyumlah," ucap Shunji sembari memegang pundak pemuda yang kini berada tepat di hadapannya dengan erat.

Kise tersenyum melihat sisi manis kekasihnya, "Shunji–cchi, ariga–"

"Jam 7 malam di depan stasiun–" dengan gerakan cepat Shunji membuka pintu ruangan itu dan mendorong sang pemuda keluar, "–selamat bersenang-senang. Jangan lupa tersenyum."

"Hei? Shunji–cchi? Tunggu? apa yang?" tanya Kise beruntut, tapi sebelum mendapatkan jawabannya, sang surai kuning keemasan sudah diserang terlebih dahulu oleh kumpulan fansgirl-nya –membuat Kise kesulitan untuk bergerak.

Shunji memperhatikan nasib kekasihnya yang tampak seperti permen yang tengah diperebutkan sekelompok anak kecil, vulnerable, lemah dan tak berdaya, "Sekarang aku bisa bebas berbelanja, 'anak-anak ingusan' itu sudah mendapatkan apa yang mereka mau."

Dengan langkah perlahan Shunji mulai keluar dari ruangan persembunyiannya dan menyelip pergi dari tempat kise 'tersiksa' oleh fansnya sendiri. Untuk terakhir kalinya si surai dark-lavender itu melihat keadaan kekasihnya yang kewalahan menghadapi permintaan disertai pekikkan dari gadis-gadis manis –kumpulan fans.

"Suruh siapa punya fans sebanyak itu?" ujarnya ketus, lalu melengos pergi.

Kise mengalihkan perhatiannya dari gadis-gadis yang mengerubunginya saat matanya menatap lavender yang nampak begitu familiar. Shunji pergi begitu saja meninggalkannya bersama puluhan gadis yang mengaku menjadi fansnya. Sebagai seorang wanita –dan kekasih, apa Shunji tidak merasa cemburu? Harusnya cemburu 'kan?

"Kise-kun! Tanda tangan ya! Ya!" pekik fansgirl-nya hampir bersamaan.

"Shunji–cchi," gumamnya pelan, teramat pelan.

.

.

.

.

Langit siang musim panas kali ini tampak kurang bersahabat, awan hitam saling bergelayut di atas sana. Suara petir sudah terdengar sejak tadi, tapi air itu belum juga turun.

"Ah, ramalan cuacanya meleset," keluh Shunji entah pada siapa.

"Itu salahmu sendiri, nanodayo," interupsi seseorang.

"Shintarou, jangan memanasiku," ucap Shunji malas.

"Aku tidak memanasimu," bela si surai hijau Midorima, "Aku hanya bermaksud mengatakan, jangan terlalu percaya pada ramalan cuaca, sifatnya tidak pasti."

"Lalu aku harus percaya pada apa? Boneka penangkal hujan?" dengan nada bercanda Shunji menjulurkan lidahnya ke arah Midorima –three pointers kebanggaan Teiko.

"Tidak, nanodayo," jawab Midorima klise, "Ramalan zodiak Ohaasa lah yang tidak pernah salah, bahkan hari ini dia mengatakan bahwa lucky item-ku adalah payung."

"Eh, ramalan itu lagi?" tanya Shunji tak percaya, "Kau tetap si bodoh Shin–chan*2, ya?"

Orang yang baru mengenal mereka mungkin akan aneh melihat kedekatan mereka yang tidak biasa, bahkan mungkin sebagian mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih –meski dengan terang-terangan kedua korban langsung mengkonfirmasi kabar burung itu. Shunji dan Midorima sudah saling mengenal sejak kecil, karena orang tua mereka merupakan sahabat dekat. Meski pernah bersekolah di tempat yang sama, nampaknya mereka tidak bosan dan memutuskan untuk menambah koleksi 'almamater bersama' mereka; dengan masuk ke SMP yang sama, SMP Teiko. Usut punya usut mereka bahkan sudah memutuskan untuk masuk SMA yang sama –kembali.

"Ya, dan kau tetap si dada rata Shunji, nanodayo," balas Midorima sengit.

Refleks Shunji menutup dadanya dengan kedua lengannya, berusaha memblok pandangan yang bisa diberikan Midorima, "A-apa katamu? Aku sudah tumbuh tahu!"

"Eh? Benarkah? Sudah masuk B belum? Aku meragukannya," Midorima berucap cuek.

Shunji terdiam, dan pipinya memanas, "Bukan urusanmu, Shintarou-baka!"

"Shun, hari ini aku boleh ke rumahmu tidak?" tanya Midorima sejurus kemudian.

"Boleh saja, ibu pasti senang, sejak lama dia bilang kalau dia merindukanmu. Memangnya kenapa?" Shunji bertanya, masih dengan lengan yang menutupi dadanya.

"Orangtuaku pergi selama seminggu, hanya adikku yang mereka bawa serta, nanodayo," jawab Midorima, "Aku agak kesepian."

Shunji menarik napasnya pelan, perlahan ia menurunkan lengannya, "Kalau begitu, seminggu ini menginap saja di rumahku, nope?"

"Tak apa 'kah?" ujar Midorima memastikan.

"Baka, tentu tidak apa-apa. Ya sudah, nanti saat pulang kita ke rumahmu dulu untuk mengambil beberapa barang yang kau butuhkan," ucap Shunji, "Aku akan membantu."

Midorima membenarkan letak kacamatanya sembari bergumam, "Arigatou, nanodayo."

.

.

.

.

Lorong kelas tampak sunyi ditinggalkan siswa-siswi ke kantin. Istirahat memang harus digunakan semaksimal mungkin, salah satunya dengan mengisi perut. Hei, jangan salah, makanan 'kan sumber energi.

Tapi meski begitu, kantin bukan destinasi utama dari dua orang yang malah melangkah ke gudang sekolah dengan dua dus berisi peralatan lab yang sudah tidak terpakai –sensei bilang akan diganti yang baru.

"Terimakasih sudah mau membantuku, Shunji–cchi," ucap seseorang yang tanpa melihat wajahnya pun Shunji tahu siapa gerangan orang itu –di dunia ini hanya ada seorang yang memanggilnya Shunji–cchi, siapa lagi kalau bukan Kise Ryota?

"Nope, it's nothing," bantah Shunji sembari menyimpan dus yang ia bawa di salah satu sudut gudang.

"Para guru lebih mengenalku daripada murid lain–ssu, akhirnya mereka memberikan tugas ini padaku begitu saja," ucap Kise sembari merapikan dus itu agar mudah dicari kembali.

"Itu artinya kau dipercaya," Shunji mencoba untuk menyemangati kekasihnya.

Lalu muncul hening aneh di antara mereka.

"Oh iya Shunji–cchi, hari ini ajari aku matematika ya?" pinta Kise.

"Boleh. Pas pulang sekolah?" tanya Shunji sembari menatap manik jingga milik kekasihnya.

"Iya pulang sekolah saja–ssu. Selesainya aku belikan pop-sickle deh," tawarnya.

Shunji tersenyum sembari mengacak rambut Kise perlahan –sedikit harus berjinjit karena tubuh mungilnya, "Aku akan mengajarimu, bahkan tanpa embel-embel itu."

"Ah, Shunji–cchi memang baik dan manis," ucap Kise gemas sembari memeluk tubuh sang gadis, yang lagi-lagi dihadiahi teriakan 'lepaskan aku!'

"Kau tidak perlu membelikan pop-sickle, sesudah mengajarimu aku harus cepat-cepat pergi ke suatu tempat. Kau langsung pulang saja, banyak beristirahat ya," ucap Shunji.

"Mau ke mana?" tanya Kise, penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya.

Shunji memberikan senyuman menggoda, "Nope. Himitsu!"

.

.

.

.

"Kise, hati-hati di jalan ya," ucap Shunji sembari melambaikan tangannya di ujung trotoar sana.

"Shunji–cchi juga," balas Kise dengan lambaian tangan yang dua kali lebih bersemangat.

Gadis itu tersenyum lalu mulai berbalik arah dan pergi ke tempat tujuannya itu, meninggalkan Kise yang tetap berdiri mematung –berharap sang gadis akan melihat ke arahnya lagi, tapi hingga sosok itu hilang di sebuah pertigaan hal yang Kise harapkan tidak terjadi.

Bibir kemerah mudaan Kise tidak menampilkan senyum seperti biasanya. Ada banyak keraguan hinggap di manik-manik indah yang ia miliki. Baginya cinta tidak semudah yang diceritakan novel-novel picisan di luar sana, di mana cinta mudah datang dan sulit hilang. Hari-hari yang penuh kebahagiaan diiringi senyuman dan rasa saling melindungi –menurut novel, cinta seharusnya seperti itu. Lalu kenapa Shunji tidak membuatnya merasakan rasa itu? Kalau dua insan saling mencintai, rasa itu akan muncul 'kan? Kalau saja.

"Aku menyayangimu," napas Kise tertahan sejenak, "Shunji–cchi."

"Apa yang kau lakukan di sini, Kise–kun?" tanya sebuah suara mengagetkan sang pemilik surai kuning keemasan.

"Ah! Kuroko–cchi, kau mengagetkan aku!" ucap Kise sembari memegang dadanya.

Kuroko menghela napasnya heran, "Kau berlebihan Kise–kun. Ngomong-ngomong apa kau mau ikut? Kami akan makan di Maji-café."

"Eh? Kami?" tanya Kise sembari melihat orang-orang yang ada di belakang Kuroko, anggota Kiseki no Sedai, "Tunggu, mana Midori–cchi?"

"Katanya dia sedang ada urusan, Kise–chin. Padahal hari ini aku bawa maibou rasa baru yang ingin aku bagi untuk semuanya," Murasakibara ikut berkomentar.

"Kau pasti ikut 'kan, Kise?" tanya sosok bertubuh tinggi dengan kulit agak kecoklatan, Aomine Daiki.

"Tentu, aku tak ada acara lagi–ssu," jawab Kise menyanggupi.

"Kalau begitu cepat, bahaya kalau kita terjebak hujan. Aku tidak bawa payung," ujar surai kemerahan.

"Tenang saja Aka–chin, kalau hujan aku akan melindungi tubuh Aka–chin dengan milikku. Tubuh Aka–chin 'kan kecil," ucap Murasakibara.

"Tidak perlu Atsushi, dengan caramu itu aku akan tetap basah," ujar Akashi menolak tawaran dari center no.1 Teiko.

Petir masih bergemuruh di langit sana, bersiap-siap untuk turun bersama ribuan tetes air hujan yang akan menjadi penyambung nyawa bagi para mahluk hidup. Kise tidak pernah membenci hujan, ia suka suara rintik hujan yang bertumbukkan dengan genting-genting, ia juga suka bau tanah yang khas setelah hujan. Tapi saat ini, jika hujan turun rasanya ia bisa langsung menangis; ada kejanggalan tersendiri yang mengganggu pikirannya sejak tadi, membuatnya tak enak perasaan dan mendadak emosional –mungkin bukan sejak tadi, mungkin sudah cukup lama, tapi Kise terlalu bodoh untuk menyadarinya.

.

.

.

.

"Shunji–cchi, hari ini kita main yu?" ucap Kise saat bertemu dengan Shunji di perpustakaan.

"Ssst, jangan berisik," Shunji menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, "Maaf, Kise, hari ini aku tidak bisa. Kau sendiri tidak ada pemotretan?"

Kise menggeleng, "Tidak, hari ini kosong."

"Sekarang mulai sering hujan, sebaiknya kau langsung pulang dan beristirahat," ucap Shunji sembari melihat-lihat buku yang tengah ia pegang.

"Kau hari ini ada acara apa–ssu? Aku ingin main ke rumahmu," pinta Kise.

"Aku ada urusan, tidak bisa," tolak Shunji tanpa memindahkan matanya dari deretan buku.

"Urusan yang kemarin, dan kemarinya lagi, lagi, itu?" tanya Kise, memiringkan kepalanya.

"Iya, urusannya belum selesai," jawab Shunji cepat.

"Apa harus setiap hari?" ujar Kise.

Shunji terdiam sebentar lalu menatap Kise, "Well, pertandingan basket nasional tidak selesai dalam satu hari, bukan? Analogikan seperti itu."

Kise menyerah, usaha keempatnya dalam seminggu ini nuntuk menghabiskan waktu bersama Shunji lagi-lagi ditolak. Sang kekasih sibuk, Kise tahu hal itu dan berusaha untuk mengerti. Tapi tetap saja, sedikit bagian dari hatinya kecewa, ada rasa perih di dadanya. Kenapa mencintai seseorang rasanya begitu sakit? Apa ini bagian dari cinta?

"Kise jangan lupa istirahat dan belajar, minum vitamin juga, jangan sampai sakit. Duluan ya," ujar Shunji sembari mengangkat buku yang akan ia pinjam.

Kise tersenyum, "Shunji–cchi juga."

.

.

.

.

Hari ini terik matahari membakar siapa saja yang terkena sinarnya, kalau tidak memakai spf mungkin kulit akan menjadi kemerahan. Kise yang sudah terlatih menjadi model tahu betul akan hal ini, dan sudah menyiapkan langkah preventif. Padahal musim semi belum berakhir sepenuhnya, tapi suhu sudah sepanas ini.

"Kise, beberapa kali lagi di tempat ini dan di dekat pohon kelapa itu, maka photoshoot hari ini beres," ucap penanggung jawab iklan yang kini mengontraknya.

"Hai!" jawab Kise antusias –atau berpura-pura.

Hari yang panas, di pantai pula –jangan lupakan teriakan para fans yang memekakkan telinga. Ini tidak enaknya melakukan photoshoot di tempat umum. Tapi orang sepertinya tidak mungkin mengatakan hal seperti itu, jadi yang Kise lakukan hanya tersenyum, sembari sesekali melambaikan tangan. Gadis-gadis itu cantik, dan sexy dalam balutan bikini mereka, tapi Kise tidak tertarik, ia hanya peduli pada satu gadis. Meskipun gadis itu masih berdada rata, dan menimbulkan rasa sakit atas nama cinta.

"Shunji–cchi," gumam Kise pada dirinya sendiri.

"Shunji–cchi?" tanya seseorang.

"Ah, Tsubaki–san, kau mengagetkanku," ujar Kise pada penata riasnya hari itu, si surai kuning keemasan itu bingung, mengapa pula akhir-akhir ini ia mudah kaget dan sering dikagetkan.

"Ada apa ne? Kupikir wajahmu terlihat 'buruk' karena make-upnya luntur, aku baru saja akan memperbaikinya. Ternyata kau sedang ada masalah ya? Mau cerita padaku?" tawarnya lembut.

"Ahaha," Kise tertawa renyah seperti biasanya, "Tidak apa–ssu."

"Eh, benarkah?" tanya Tsubaki meragukan pemuda yang berumur jauh di bawahnya itu, "Lalu siapa Shunji–cchi yang kau maksud tadi?"

"Siapa yang mengatakan nama itu?" elak Kise selembut mungkin.

Tsubaki hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Kise yang tidak biasa, "Rahasia-rahasiaan nih? Terserah kau saja lah, tapi jangan memasang wajah tidak mengenakkan seperti tadi ya."

"Um, iya, maaf," ucap Kise sembari menggaruk dagunya yang tidak gatal.

"Menjadi seorang pro memang tidak pernah mudah, Kise–kun. Ini bukan masalah umur, atau kesiapan. Tapi, dalam pekerjaan, ada baiknya kau meninggalkan hati dan melakukannya dengan ini," Tsubaki mengakhiri kalimatnya sembari menunjuk dahi depannya yang tertutupi oleh poni.

"Iya, terimakasih atas saranmu, Tsubaki–san. Akan aku ingat–ssu," Kise tersenyum, sedikit menertawakan sikap bodohnya yang terbawa perasaan.

Tsubaki ikut tersenyum melihat senyuman manis sang model, "Jadi, siapa Shunji–cchi yang kau katakan tadi?"

.

.

.

.

"Shunji–cchi, tunggu sebentar," ucap Kise dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, kalau tidak begitu Shunji tidak akan mendengarnya.

Gadis yang merasa dipanggil namanya itupun berbalik, "Ada apa Kise?"

"Ano, kita pulang bersama ya?" ajak Kise harap-harap cemas.

"Rumah kita berlawanan arah, Kise," tolak Shunji.

"Aku akan mengantarmu–ssu," ucap Kise bersikukuh.

"Tidak usah, ah. Aku bukan anak kecil tahu," Shunji menggembungkan salah satu pipinya kesal.

Kise terdiam sesaat. Bagaimana caranya untuk mengatakan pada Shunji bahwa surai kuning keemasan itu merindukan sosoknya? Rindu untuk berada di sampingnya. Kise tidak mungkin berkata yang sesungguhnya, karena bertingkah sejujur itu bukanlah sifat aslinya.

Kise merasa ada perih itu di dada kirinya, perih yang kini jadi terasa familiar, "Shunji–cchi–"

"…ada baiknya kau meninggalkan hati…"

Kata-kata yang Tsubaki ucapkan terngiang-ngiang di pikiran Kise, oke, mungkin Tsubaki tidak menganalogikan ucapannya pada peristiwa seperti ini; tapi bagi Kise, semuanya sama saja. Toh keduanya meninggalkan rasa perih yang tak nyaman baginya.

"–kalau begitu berhati-hatilah."

"Kise, kau juga ya. Sebaiknya kau cepat pulang, hari ini tidak ada latihan basket 'kan? Sepertinya hujan akan turun, gawat kalau kau kehujanan," ucap Shunji sembari menatap awan mendung dari balik kaca.

"Aku bawa payung–ssu," Kise tersenyum sembari memamerkan payung miliknya.

"Syukurlah," Shunji tersenyum lalu memukul bahu Kise pelan.

"Shunji–cchi sendiri?" tanya Kise.

"Tenang saja, jangan khawatirkan aku. Cepat pulang sana, shoo shoo," Shunji menggerakkan tangannya seperti sedang mengusir sekawanan burung.

"Iya, aku pulang duluan–ssu," pamit Kise sembari mengelus kepala Shunji yang bahkan tidak sejajar dengan dadanya.

Shunji menatap kepergian kekasihnya dengan wajah tak tenang, ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, "Kise."

Tapi Kise memiliki langkah kaki yang panjang, tidak membutuhkan waktu yang lama baginya untuk meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Shunji yang masih terdiam di tempat, memandangi punggung pemuda tampan itu hingga hilang ditutupi kerumunan siswa. Bisikan tertahan Shunji pun terabaikan begitu saja, karena Kise tidak dapat mendengar ucapan Shunji. Shunji tahu, ucapannya bukanlah hal yang penting, namun entah mengapa ia terus-terusan mengulang kata tersebut.

"Kise, gomen."

.

.

.

.

Hujan turun seperti yang diprediksikan Shunji, dan sebenarnya ia tidak membawa payung yang dapat melindungi tubuhnya. Bajunya sedikit basah karena menghindari hujan di jalanan tadi. Akhirnya karena merasa tidak mungkin Shunji menghentikan langkahnya di depan sebuah mal besar.

"Sekalian belanja makanan saja," ucapnya pada diri sendiri.

Gadis dengan manik kehitaman itu mengusap rambut dan sebagian dari bajunya sekali lagi dengan sapu tangan sebelum melangkah masuk ke dalam mal itu. Tanpa Shunji sadari, seseorang yang berada di seberang jalan telah memperhatikan setiap gerak-geriknya sejak ia keluar dari gerbang sekolah. Sosok itu segera menutup wajahnya dengan masker serta kacamata hitam, tak lupa ia pakai topi base-ball yang sempat tersimpan di tas selendangnya.

"Malam ini mau makan apa ya?" Shunji terdiam sejenak di depan rak sayuran segar, manik itu sejenak kehilangan titik fokusnya, "Malam ini, dia makan apa?"

Dengan teliti tangan Shunji memilah sayuran yang akan dibelinya, "Buat apa ya? Ah, sepertinya daging asap dan sup hangat menggugah selera."

Dua puluh menit kemudian Shunji sudah memenuhi keranjang belinya dengan berbagai sayuran, daging, susu sapi, dan berbagai macam snack. Ia melihat keranjangnya sendiri lalu berpikir apa lagi barang yang perlu dibelinya.

"Kurasa ini cukup," gumamnya pada diri sendiri.

Tubuh Shunji bergetar sedikit saat ia merasa ada pandangan yang menembus punggungnya, sebenarnya ia merasa perasaan aneh ini sejak tadi, tapi tidak ada yang terjadi. Perlahan ia membalikkan tubuhnya untuk mencari siapa yang memberikan tatapan seperti itu padanya. Shunji mengeluarkan napas lelah saat disadarinya ia tidak melihat siapapun yang mencurigakan.

Lalu sebuah tangan menepuk pundaknya, "Shun–"

"Kyaaa!" jerit Shunji keras.

Perhatian semua orang berpindah karena ada teriakan khas perempuan yang seolah-olah mengatakan, 'tolong aku! Ada pria mesum di sini.'. Beberapa detik kemudian Shunji sudah menjadi pusat perhatian. Wajah Shunji memerah, napasnya memburu –perpaduan antara kaget dan rasa malu luar biasa.

"Kau kenapa, nanodayo?" tanya Midorima kesal.

Sang Three-pointers hanya berniat menyapa Shunji yang sedang berbelanja dan tampak sedikit terganggu, "Kau memberikan reaksi yang berlebihan, kau tahu itu?"

"Shintarou, kau mengagetkan aku. Aku pikir, kupikir," Shunji masih berusaha mengatur napasnya, berbicarapun jadi sulit kalau begini.

Midorima memperhatikan kondisi keseluruhan Shunji sebelum memutuskan bahwa Shunji terlihat biasa saja –tidak sakit atau dalam bahaya, "Kau berbelanja apa saja?"

Shunji mengangkat keranjang belanjaannya, "Ah, seperti yang kau lihat."

"Sesudah ini mau ke mana?" tanya Midorima.

"Pulang, mungkin. Shintarou bagaimana?" Shunji balik bertanya.

Midorima berpikir sejenak, "Mau temani aku sebentar?"

"Eh? Huh? Tentu saja," jawab Shunji gelagapan.

"Ceh, aku tak dapat mendengar apa yang mereka bincangkan?" ucap seseorang kesal, tubuhnya berada beberapa blok rak dari tempat Shunji berada.

"Ne, ne, apa kau melihat mamaku?" ucap seorang anak, menggoyangkan tas selendang yang tersampir di bahu kiri orang itu.

"Shoo, mana aku tahu," jawabnya berbisik.

"Bantu aku cari mamaku, ya?" pinta anak itu.

"Cari saja sendiri," ucapnya mulai kesal karena perbuatan si anak yang menggoyangkan tasnya dengan semakin keras.

Sosok itu berbisik pada dirinya sendiri, "Kalau begini aku semakin tidak bisa mendengar ucapan mereka, lagi pula apa yang Mido–"

"Hua, kakak jahat! Hua!" tangisan anak itu membuat sang pelaku kaget hingga menimbulkan beberapa reaksi tidak perlu yang pada akhirnya makin memperkeruh keadaan, seperti menubruk rak yang ada di belakangnya dengan tas, misal.

Bruk!

Suara benda, terutama kaleng bertemu dengan lantai terdengar memekkak telinga. Membuat supermarket yang berada di lantai dasar itu senyap seketika.

"Suara apa itu?" tanya Shunji penasaran.

"Sepertinya seseorang menjatuhkan barang jualan, nanodayo," jawab Midorima klise.

"Aku juga tahu," ucap Shunji pendek, "Lihat yuk, aku khawatir."

Di tempat kejadian banyak orang yang berkumpul, termasuk pelayan toko. Nampaknya mereka tengah merapikan kaleng-kaleng yang berjatuhan ke dalam.. keranjang belanja?

"Sepertinya dia harus membeli benda-benda itu," Shunji dapat mendengar bisikan para pengunjung.
"Tapi, dia sendiri yang bilang akan membelinya," bisik yang lain.

Dengan seksama Shunji berusaha melihat kaleng-kaleng apa yang berjatuhan itu, dan alisnya naik satu ketika melihat kaleng bertuliskan "Sarden Rasa Saus Tomat", "Kornet Sapi", dan "Buah Kaleng Manis" memenuhi keranjang belanja orang itu.

"Bertanggung jawab itu bagus, tapi kalau begini aku jadi kasihan padanya," ucap Shunji pelan.

Midorima membalikkan badannya lalu mulai melangkah, "Semua orang harus bertanggung jawab akan apa yang telah mereka lakukan dan katakan."

"Tapi 'kan? Dia tidak perlu membeli semuanya," bela Shunji sembari menyamakan langkahnya dengan langkah Midorima.

"Dia sudah mengatakan akan membelinya, nanodayo. Di dunia ini, ada waktu di mana kau tidak bisa menarik kembali ucapanmu–" Midorima mengambil keranjang dari tangan Shunji dan menyimpannya di tempat kasir, "–semenyesal apapun dirimu."

Sementara Shunji tengah kebingungan mencerna maksud dari ucapan Midorima, sosok sial yang baru saja tertimpa kaleng-kaleng itu hanya bisa meringis kesakitan saat menyadari beberapa bagian dari tubuhnya memar. Ia menatap anak –yang menjadi sumber permasalahannya itu, tampaknya ia baik-baik saja, tidak ada luka. Hanya saja ia masih menangis. Sosok yang kini dipenuhi luka itu memaksakan dirinya tersenyum. Sadar bahwa anak itu tidak bisa melihat senyumnya –dan masih menangis ketakutan, ia melepas masker dan kaca mata hitam yang menutupi wajahnya. Dengan perlahan ia mengusap kepala anak itu, "Apa kau terluka? Jangan menangis lagi, setelah ini aku antar kau mencari ibumu ya?"

Anak itu mengadahkan wajahnya, "Maaf, gara-gara aku kakak jadi terluka."

"Tak apa. Siapa namamu?" tanya sosok itu lembut.

"Kejima. Suzuki Kejima," ucap anak itu di sela segukannya.

"Kejima–kun, ya? Nah Kejima–kun, sekarang kita cari ibumu ya?"

"Tapi," Kejima ragu melihat orang di hadapannya.

"Tanganmu?" sosok itu mengadahkan tangannya yang disambut senang oleh Kejima.

"Kakak, ngomong-ngomong namamu siapa?"

"Semuanya jadi 7890 yen," ucap kasir wanita yang melayani Shunji.

"Hai, ini," ucap Shunji sopan sembari memberikan uang selembaran dengan nilai 10000 yen.

"Kau belanja banyak," komentar Midorima.

Shunji memilih untuk diam dan tidak mengomentari ucapan sahabatnya itu.

"Kyaa! Asli! Kyaa! Shinjiranai!* 3"

Shunji dan Midorima, bahkan Kasir wanita itu melirik ke arah jeritan yang membuat siapapun kaget.

"Pasti gara-gara benda itu lagi," ucap Kasir wanita itu pelan.

"Benda apa, nanodayo?" tanya Midorima.

"Ah, kau tahu? Sereal gandum rasa jagung yang disiapkan khusus untuk musim panas nanti," jawabnya pendek.

"Sereal?" Midorima dan Shunji diam kebingungan.

Sang kasir memberikan uang kembalian dan struk ke tangan Shunji, "Iya, produsen sereal itu menggandeng model ternama untuk mempromosikan produk mereka–"

Model? Ternama? Jeritan wanita? Entah kenapa Shunji merasakan perasaan yang begitu familiar.

"–kembaliannya 2110 yen, datang kembali ya."

.

.

.

.

Midorima dan Shunji duduk dalam diam sembari menikmati es krim cone yang mereka beli di supermarket tadi. Mereka kini berada di ruang keluarga rumah Shunji. Hujan telah reda, dan meski udara masih terasa menusuk mereka berdua setuju bahwa es krim tetap enak untuk dinikmati kapanpun –bahkan dalam kondisi dingin seperti ini.

"Ibumu bekerja lembur?" tanya Midorima berbasa-basi.

"Tidak, lebih tepatnya dia sedang pergi trip bisnis, sudah dua hari," Shunji menjawab tenang.

Dengan gerakan perlahan dia memakan cone dari es krim tersebut, dari atas hingga ujungnya, dan ketika ia telah selesai dia menjilat sisa es yang masih terdapat di bibirnya, "Ngomong-ngomong, apa yang ingin kau bicarakan, Shintarou?"

Midorima menghabiskan es krimnya sama seperti Shunji lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela –berusaha agar Shunji tak melihat wajahnya secara langsung, "Ne, Apa aku kurang baik?"

"Apa maksudmu?" tanya Shunji tak mengerti.

Midorima membalikkan badannya, "Apa yang salah dariku? Aku memikirkannya sepanjang malam dan tak menemukan jawaban yang tepat. Kau sahabatku, jadi kurasa, ne, Shun."

"Shintarou, aku tidak mengerti arah pembicaraanmu," ucap Shunji, ia mendekat ke arah Midorima dan memeluk tubuh itu dari belakang.

Midorima membalikkan badannya dan balas memeluk Shunji. Midorima memeluk sosok mungil itu erat, membuat sang gadis harus berjingjit semampunya karena perbedaan tinggi di antara mereka. Pikiran Shunji terasa gamang, separuh dari pikirannya sedang berkeliaran keluar. Shunji menarik napas pelan, lalu lengannya mendekap leher Midorima. Midorima tercium seperti sabun, dan Shunji selalu menyukai hal tersebut. Membuatnya rileks, dan merasa nyaman. Manik kehitaman Shunji tertutup sempurna, "Shintarou, aku ada untukmu."

Air mata turun dari manik seseorang, tapi yang pasti bukan milik Midorima ataupun Shunji. Air mata ini turun dari sepasang manik jingga. Mengalir tanpa memiliki penahan, dan tidak merasa perlu ditahan. Toh, di dalam kegelapan seperti ini tidak akan ada yang dapat melihatnya.

.

.

.

.

"Permisi, Kise," Shunji masuk begitu saja ke dalam apartemen milik kekasihnya.

"Kise?" panggilnya lagi.

Dengan perlahan Shunji melangkahkan kakinya ke arah kamar si surai kuning keemasan, berharap sosok itu ada di sana.

"Tertidur rupanya," ucapnya pelan.

Shunji perlahan duduk di samping tempat tidur, tangannya menggapai dahi Kise yang nampak berkeringat. Dapat terdengar erangan protes dari pemilik tubuh itu. Panas. "Kau demam tinggi."

Shunji berdiri lalu melangkah keluar kamar, dengan cekatan ia membawa barang untuk meredakan demam yang Kise derita. Sepuluh menit kemudian Kise sudah tampak lebih baik, dengan piyama kering, penurun demam yang melekat erat di dahinya, juga tubuh yang sudah bersih dari keringat.

"Apa dia sudah minum obat?" Shunji membongkar laci penyimpanan Kise dan tidak menemukan obat di sana.

"Dasar bodoh, apa boleh buat," ucap Shunji sembari mengeluarkan handphone-nya dan memencet beberapa nomor."

"Kau berhutang padaku akan hal ini, Kise–baka."

.

.

.

.

Samar-samar sosok yang tengah berbaring di tempat tidur itu mendengar suara-suara dari luar ruangan, sesuatu antara suara vacuum-cleaner atau blender, atau mungkin bukan keduanya; ia tidak yakin, kepalanya masih terasa pening, tenggorokannya sakit, dan tubuhnya hangat –terlalu hangat, sedikit panas.

Butuh tenaga ekstra untuk bisa mendudukkan tubuhnya, lalu rasa pening itu hadir kembali diikuti gerangan kesakitan, "Ah, ita."

Pintu ruangan terbuka tiba-tiba menampilkan seorang gadis yang menatap sosok itu dengan pandangan khawatir, atau mengejek? "Kise, kau sudah bangun?"

"Shun–" Kise mengerang sesaat, "–Shunji–cchi, apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku sedang menghitung pajak," jawab Shunji cuek.

Alis Kise bertautan, nampak kebingungan, tapi hal itu malah membuat kepalanya semakin pening, "Sh– ah Shunji–cchi."

Shunji bergerak cepat ke samping kekasihnya, memeluk tubuh itu dengan segera, "Dokter bilang kau terkena radang tenggorokkan dan demam, aku sudah membeli obatnya, tapi kau makan dulu ya, aku sudah memasakkan bubur."

"Dok- ah –ter?" tanya Kise.

"Tadi aku menelepon dokter untuk datang kemari," jelas Shunji singkat, "Sebentar, aku bawakan dulu buburnya."

Shunji mengusap bahu Kise pelan lalu mendaratkan sebuah ciuman di surai kuning keemasannya. Gadis itu melangkahkan kakinya ke arah dapur apartemen Kise, meninggalkan sang jenius terduduk diam di ranjangnya. Tiba-tiba Kise ingat bahwa ia merasa ada seseorang yang menyentuh beberapa bagian tubuhnya dan memaksa mulutnya agar terbuka saat ia tidur tadi. Itu pasti ulah dokter yang Shunji panggil.

"Kise, maaf lama, makan dulu ya, setelah itu minum obat," ucap Shunji dengan semangkuk bubur di tangannya.

"Tak mau–ssu, sakit ah," Kise merajuk sembari membelakangi Shunji.

Tangan kecil Shunji berusaha membalikkan pundak kekasihnya itu, "Kise, makan dulu, aku suapi ko, ne?"

Kise masih menolak saat Shunji bersikukuh menyuruhnya makan, "Berhenti menggangguku–ssu. Shunji–cchi, kau boleh pergi kapan saja."

"He? Apa maksudmu?" tanya Shunji bingung.

Kise terdiam, pening di kepalanya belum hilang, kini muncul rasa sakit baru, sakit yang hanya bisa ditimbulkan oleh Shunji, "Kita–"

"Kita?" ulang Shunji.

"–kita putus saja," lanjut Kise.

Shunji diam mencoba mencerna perkataan Kise matang-matang, "Baiklah, kita putus saja. Tapi, kau harus makan dulu."

Kise membalikkan tubuhnya sekaligus, membuat pening di kepalanya makin menjadi, "Ah, aku tidak bercanda!"

"Aku juga. Tapi kau harus makan!" seru Shunji.

Kedua anak manusia berbeda jenis itu saling menatap dalam keheningan, keduanya menarik napas berat, masing-masing saling menahan diri untuk tidak berteriak dan membuat keadaan menjadi semakin buruk.

"Ber– berhenti menyakiti–ku!" ucap Kise, air mata membeludak keluar –hasil dari campuran kesal, sakit, dan pening yang ia rasakan.

Shunji menarik napas dalam-dalam, "Aku akan menyuapi–"

"Sudah aku katakan!" Kise berteriak memotong ucapan Shunji.

"–itu yang terakhir," ucap Shunji cepat, "Setelahnya aku akan pergi dari sini, aku akan berhenti mengusikmu."

Jemari lentik Shunji meraih pipi Kise dan menghapus air mata pemuda itu, "Jadi, makan dulu, ya?"

Kise menepis tangan Shunji lalu mengambil mangkuk bubur yang ada di atas meja tidurnya, "Aku bisa sendiri, pergi saja sekarang."

Shunji terdiam memandang Kise yang tengah mengambil suapan pertamanya. Mata Kise masih memerah, bukan hanya mata namun ujung hidungnya juga. Si surai kuning keemasan tampak mengerang saat bubur itu mengenai tenggorokkannya yang tengah terluka, menimbulkan rasa sakit baru. Tapi keinginan untuk segera membaik memacu Kise untuk menghabiskan buburnya. Ia menyuap lagi satu sendok, lagi, lagi, hingga tinggal seperempatnya yang tersisa. Ia terlalu sibuk hingga tidak memperhatikan sosok lain yang sudah menemaninya sejak tadi.

"Gochisousama," ucap Kise mengakhiri acara makannya, ia tidak ingat bisa begitu lapar setelah terbangun dari tidur.

Shunji menyodorkan beberapa butir tablet berbeda ukuran serta warna kepada Kise. Kise menerima obat itu cepat lalu meraih gelas air yang ada di mejanya. Dalam dua kali tegukan tablet-tablet itu sudah berada di dalam lambungnya. Maniknya melirik ke arah Shunji yang tengah membereskan mangkuk dan merapikan obat yang akan Kise perlukan.

Shunji menatap wajah Kise, namun tidak matanya, "Aku pulang, Kise. Permisi."

Kise tidak membalas dan membiarkan gadis itu pergi keluar dari ruangan, sesaat kemudian ia mendengar suara air, pasti Shunji tengah mencuci bekas mangkuknya. Pikiran Kise masih mengambang, namun sudah lebih baik dibandingkan tadi. Mungkin karena itu juga ia baru menyadari sekarang keadaan kamarnya yang sudah dalam keadaan rapi, tanpa majalah yang berserakan di lantai, atau baju kotor yang biasa ia lempar begitu saja, ia juga tidak melihat tumpukan debu yang belum sempat ia bersihkan dari sudut-sudut ruangan. Semua sampah sudah hilang. Kise tahu benar ini perbuatan siapa.

Suara air berhenti keluar, menciptakan keheningan lain ke setiap penjuru ruangan. Kise tidak ingat ia benci kesunyian. Hening membuat segala hal terdengar lebih mudah, termasuk detak jantung, irama napas, bahkan bunyi sekecil apapun.

.

.

.

.

Shunji menarik napas panjang yang terasa menyakitkan saat keluar dari apartemen Kise –mantan kekasihnya. Ini yang terakhir. Ia tidak akan bisa menyentuh Kise –lagi. Surai kuning keemasan itu marah kepadanya, atau mungkin bosan, atau mungkin keduanya. Shunji tidak tahu. Tapi pasti ada alasan yang teramat kuat hingga Kise bisa menggunakan nada setinggi itu kepadanya.

Gadis dengan surai dark-lavender sebahu itu melangkah dengan cepat menuju elevator. Ia ingin segera pulang, dan menumpahkan air mata yang sudah ditahannya sejak tadi.

"Ah, jangan sekarang," ucap Shunji sembari mengipasi kedua matanya, berharap rasa panas yang menyerang akan hilang membuat air matanya mengering.

Pintu elevator terbuka, Shunji memasuki kotak besi itu. Sepenuh hatinya bersyukur isinya dalam keadaan kosong. Ia tidak ingin ada seorang pun yang melihatnya dalam kondisi sehancur ini. Disentuhnya tombol yang menunjukkan angka 1, dan pintu elevator itu menutup perlahan, sama seperti pertahanannya yang mulai runtuh, terkikis.

Shunji menangis –untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

.

.

.

.

"Tu– tunggu!" teriak seseorang, Shunji mengenalnya begitu baik.

Shunji terkesiap, namun tubuhnya terlalu sulit untuk merespon apapun; bahkan saat pintu elevator yang hampir tertutup sepenuhnya membuka kembali secara otomatis karena mendeteksi adanya pergerakan di depan pintu.

"Shunji–cchi," ucap sosok itu lagi.

"Apa lagi, Kise?" tanya Shunji, membuang pandangannya ke arah lain.

Pemuda bertubuh tinggi itu masih berdiri tepat di depan Shunji, memblok pintu elevator untuk menutup. Tubuhnya yang masih berbalut piyama tampak mengambil napas cepat dan berat –sama seperti saat ia bermain basket.

"Shunji–cchi," Kise memanggil nama gadis yang menjadi mantan kekasihnya itu pelan dan dalam.

Shunji menarik napas kesal –sejak kapan bernapas menjadi begitu sulit? "Kalau tidak ada yang ingin kau katakan. Aku mau pulang."

"Kau menangis," Kise menangkup wajah kecil Shunji dengan kedua tangannya, mentransfer hangat tubuhnya pada sang gadis, "Apakah sakit?"

"Lepas!" bentak Shunji keras.

Tapi Kise tidak mau mendengarkan perkataan seseorang yang pernah menjadi kekasihnya itu, "Apakah rasanya sama-sama sakit seperti yang kurasakan–ssu?"

Shunji menangkis kedua lengan Kise, "Lepaskan aku."

Dengan cepat Kise menangkap lengan Shunji dan menarik gadis itu hingga ia jatuh ke dalam pelukannya, "Apakah jantungmu terasa sakit seperti yang kurasakan? Apakah cinta Shunji–cchi berbentuk rasa sakit dan bukan kebahagiaan?"

"Lepaskan aku," ucap Shunji bersikeras, "Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan."

"Hatiku selalu merasa sakit, Shunji–cchi. Kalau berhubungan denganmu pasti terasa sakit," ujar Kise lagi, sama sekali tidak mengacuhkan apa yang dikatakan Shunji.

"Kise, lepas–" Shunji masih berusaha untuk bernegosiasi dengan si surai kuning keemasan.

"Shunji–cchi, bagaimana perasaanmu? Untukmu aku ini apa? Aku–" keraguan menyergapi hati Kise, "–aku kekasihmu 'kan? Ah, kau menganggapku kekasih 'kan?"

Shunji mendorong dada Kise hingga ia bisa menatap wajah orang yang tengah menguncinya dalam sebuah pelukan erat, "Kau MANTAN kekasihku, kau tidak lupa 'kan, kau baru saja memutuskanku?"

"Dulu, hingga , katakan setengah jam yang lalu. Bagaimana perasaanmu?" tanya Kise membalas tatapan intens Shunji.

Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa kesabaran itu tidak terbatas, maka itu adalah kebohongan belaka. Urat kesabaran Shunji putus, kekesalan, rasa lelah yang selama ini ia rasakan naik dan membucah seketika.

"Aku lelah! Mencintaimu itu melelahkan. Aku lelah harus menahan diriku untuk tidak menerkam gadis-gadis yang selalu meneriakkan namamu, tapi kupikir itu juga merupakan bentuk kasih sayang yang diberikan banyak orang untukmu," Shunji mulai terisak, "Kupikir baik halnya jika banyak orang yang mencintaimu, agar kau tidak pernah merasa sendiri dan kesepian."

"Shunji–cchi?" Kise terkesiap mendengar perkataan –mantan kekasihnya.

"Rasanya kesal untuk pura-pura tidak cemburu. Aku tidak ingin membuatmu khawatir, aku menahannya, semampuku. Aku berusaha untuk tidak naïf dan mengerti bahwa kau model, dan memiliki banyak orang yang memujamu. Terlebih kau tampan dan baik, kau jadi hewan buruan yang sempurna."

"Shunji–cchi, aku–" Kise menghapus air mata yang menuruni wajah gadis yang menjadi cinta pertamanya.

"Aku mencintaimu, sangat, sangat hingga rasanya menyakitkan! Aku benci Kise, aku ingin marah padamu, juga pada gadis-gadis yang membuatku cemburu–" tangisan Shunji semakin keras, "–tapi, aku tidak pernah ingin membuatmu mengetahui apa yang kurasakan, agar kau tidak perlu terbebani hal setidak penting ini. Aku hanya ingin semuanya terasa berjalan normal untuk kita, itu saja."

Kaki Shunji terasa lemas, tubuhnya terjatuh, merosot dari pelukan surai kuning keemasan. Kise ikut menurunkan tubuhnya untuk menangkap Shunji.

"Aku sudah lelah, kita akhiri saja," ucap Shunji di tengah isak tangisnya.

Kise terdiam, tidak menyangka akan mendengar ungkapan serumit ini dari gadis di pelukannya, "Shunji–cchi, kalau kau tidak mengatakan apapun, aku tidak akan pernah tahu, kumohon, jangan simpan hal sulit seperti ini sendirian–ssu."

"Aku tidak bisa membebanimu," Shunji masih terisak, matanya terpejam dengan sangat kuat, "Kau sudah cukup kelelahan, aku tidak bisa."

"Aku tidak apa–ssu," ucap Kise menenangkan, tangannya membelai rambut dark-lavender milik Shunji lembut.

Shunji menggeleng, tangannya terkepal keras, dan air mata turun membasahi rok yang dikenakannya.

"Shunji–cchi, kalau kau kesal dan cemburu katakan saja," ujar Kise.

Lagi-lagi Shunji hanya menggeleng.

Kise menarik eksistensi asing selain dirinya itu lebih erat ke dalam pelukannya, "Kalau kau cemburu katakan."

Hening menyergapi mereka.

"Shunji–cchi, tak apa, katakan saja–ssu. Agar aku tahu dan bisa menjaga sikapku."

Shunji menumpahkan tangisannya di bahu besar Kise, "Jangan biarkan gadis-gadis itu menyentuhmu, bodoh. Aku cemburu."

Kise tersenyum, ada kelegaan di dalam hatinya, namun air mata ikut turun membuat si surai kuning keemasan sendiri bingung akan arti dari tangisannya.

.

.

.

.

"Ngomong-ngomong, ada yang ingin aku tanyakan," ujar Shunji saat ia dan Kise –yang kini sudah menjadi kekasihnya lagi, sedang berbaring bersebelahan di ranjang king-size milik Kise.

"Tentu–ssu, apa?" jawab Kise menimpali.

Shunji memiringkan kepalanya untuk melihat sisi kanan wajah Kise, "Kau berencana untuk membuat apa dengan begitu banyak sarden, kornet, serta buah-buahan kaleng?"

"Huh?" respon Kise kaget, matanya melirik ke arah Shunji cepat –terlalu cepat.

Shunji menunggu jawaban dari Kise lama, ketika sadar Kise hanya mampu memberikan dehaman dan ucapan tidak jelas seperti "Ini,"; "Eto,"; 'I–itu,"; "Mh,". Shunji sempat berpikir mungkin itu adalah pengaruh obat yang baru saja diminum si surai kuning keemasan, dan gadis itu berucap kembali, "Oh iya, kemarin aku melihat ada orang aneh, ia menjatuhkan banyak benda kaleng saat di supermarket."

"Ahaha, benarkah?" Kise tertawa kaku, "Eh? Aneh apa maksudmu?"

Shunji memajukkan bibirnya manja, membuat Kise ingin mengklaim bibir itu sekarang juga, "Fashion-nya. Aku memang awam, tapi menurutku dia terlihat norak dengan memakai jersey. Maksudku, sekarang ini yang sedang naik itu preppy, sedangkan jersey turun dua musim yang lalu 'kan?"

"Apanya yang norak? Kau tidak tahu ya? Sebentar lagi jersey akan menjadi trending-topic! Lagi pula itu adalah jersey dengan logo tim base–ball terbaik Amerika–ssu!" Kise memprotes keras tuduhan norak yang dialamatkan Shunji.

Tunggu…

"Kise," Shunji menjadikan sikutnya sebagai penopang agar bisa melihat figur kekasihnya dengan lebih jelas, "Aku tidak mengatakan apapun tentang base-ball."

Hening menyapa kedua insan itu, dan demi tuhan Kise merasakan ada efek suara burung gagak di sekitarnya, mengatakan, "Aho! Aho! Aho!"*4

Shunji mendudukkan dirinya dengan benar lalu terus menatap Kise, "Kenapa kau tahu ia memakai jersey base-ball, bahkan tahu itu tim amerika. Aku saja tidak sadar."

Kise ikut-ikutan mendudukkan dirinya dan sebisa mungkin menghindari tatapan Shunji yang penuh keingin tahuan, "Be–begini Shunji–cchi, soal itu, aku, maksudku–"

Kalau ini anime, pasti di atas kepala Shunji menyembul lampu yang menyala, "Jangan bilang kalau orang aneh itu kau?"

"Shunji–cchi, aku– " Kise berkata teramat pelan.

"Apa yang kau lakukan di sana? Bukannya saat itu kau sudah pulang ya?" tanya Shunji, mengabaikan kenyataan bahwa kini wajah Kise sepucat kertas.

"Shunji–cchi, gomen," Kise menangkupkan kedua tangannya di depan Shunji, matanya memejam keras.

Shunji diam memperhatikan sikap kekasihnya yang kelabakan, "Lalu apa yang kau lakukan? Dan mengapa minta maaf?"

"Kemarin, aku menyamar untuk memata-mataimu," ucap Kise, matanya perlahan membuka dan melihat mata Shunji yang dipenuhi kebingungan.

"Kau mengatakan jersey base-ball itu penyamaran, nope? Eh, mengapa harus memata-matai aku?" tanya Shunji bingung.

"Iya, aku memilih base-ball agar tidak ketahuan, kalau pakai jersey basket Teiko 'kan tidak mungkin," jawab Kise antusias, membocorkan idenya yang –dianggap– cemerlang.

Shunji menatap Kise kosong, "Kurasa Murasaki–kun bisa memikirkan hal yang lebih bagus dari itu. Lupakan. Jadi karena apa?"

Kise diam sesaat, tampaknya sedang memikirkan kalimat apa yang tepat untuk diucapkan.

"Karena aku takut–ssu. Aku takut kau berselingkuh dengan orang lain–" ucap Kise, lalu entah mengapa lantai keramik menjadi lebih menarik untuk diperhatikan, "–dengan Midori–cchi."

"Heh? Selingkuh? Maksudmu Shintaro?" Shunji berkata dengan nada tinggi, hampir terdengar seperti teriakan.

Kise hanya menjawab dengan anggukan kecil. Mata Shunji membulat, campuran antara kaget dan hal lain, kau menyebutnya apa? Parodi?

Shunji tertawa puas melihat ekspresi kesal Kise. Ia tahu sepenuhnya kekesalan itu muncul dari sebuah kata yang bernama 'cemburu'. Tapi, dari sekian miliar laki-laki di dunia ini, kenapa Kise harus cemburu pada Midorima? Teman masa kecil yang sudah ia anggap saudaranya sendiri, lagipula…

"Kalaupun selingkuh, aku tidak akan bersama Shintaro," ucap Shunji ketika tawanya reda, "Ia hanya tertarik pada wanita yang lebih tua."

"Midori–cchi? Dia senang menjadi berondong?" tanya Kise tak percaya, "Eh? Apa maksudmu 'tidak akan selingkuh dengan Midori–cchi'? Jadi kalau bukan Midori–cchi kau akan selingkuh? Begitu? Shunji–cchi!"

Shunji menutup kedua telinganya rapat, kakinya turun dari atas kasur berusaha untuk kabur dari Kise yang sedang seperti ini, cemburu tingkat dewa, "Nope! Kau tahu bukan itu maksudku."

"Shunji–cchi mau ke mana?" tanya Kise cepat, tubuhnya bergerak untuk segera menyusul sosok mungil Shunji.

Dengan tarikan napas berat Shunji berhenti melangkah, membuat jaraknya dengan Kise hanya beberapa kaki, "Pertama, aku tidak selingkuh. Kedua, tadi aku membawa beberapa bahan. Kau suka onion glatin soup 'kan? Biar kubuatkan."

Kise terdiam lalu menatap punggung surai dark-lavender itu lekat.

"Karena itu… Kise, kau harus cepat sembuh."

Cinta memang tidak semudah yang diceritakan novel-novel picisan di luar sana. Sekarang Kise mengerti. Cinta mudah datang dan mudah sekali hilang, karena pada dasarnya hubungan yang dimiliki manusia itu lemah, jika kita tidak menggenggamnya dengan kuat maka cinta akan hilang semudah buih yang tertiup angin. Hari-hari Kise penuh kebahagiaan dan senyuman, ah dan juga rasa sakit yang Shunji berikan atas nama cinta. Sakit memang selalu terasa tak nyaman, dan sepertinya Kise harus merasakan rasa itu lebih lama, karena penyebab rasa sakit itu Shunji, dan Kise tidak berniat untuk mengusir gadis itu dari kehidupannya –lagi.

Cinta itu melelahkan, karena cinta melibatkan lebih dari satu orang dalam pelaksanaanya. Kalau hanya seorang, itu disebut narsism. Karena melibatkan orang lain, ada banyak ego yang harus ditekan, harus ada senyuman yang dipalsukan. Kise dan Shunji mengerti betul hal ini. Cinta adalah bentuk dari lain komunikasi dua arah, terkadang terjadi salah arti dan membuahkan pertengkaran. Mungkin bisa hingga diakhiri air mata. Tapi, surai kuning keemasan dan dark-lavender itu tidak peduli –lagi. Kedua insan itu saling mencintai, jadi mereka tidak perlu khawatir masalah perih yang mereka rasakan; toh, cinta merupakan perpaduan antara kebahagiaan, senyuman, dan rasa sakit, bukan?

.

.

.

To Be Continued (?)

.

.

.

A/N

Definisi Operasional!

*1 Tsundere merujuk pada suatu sikap seseorang yang terlihat dingin dan cuek, namun sebenarnya baik hati.

*2 Shin–chan sebutan Shunji untuk Midorima yang bermaksud menyamakan Three-pointers itu dengan tokoh anime Shin-chan, anak kecil yang nakal.

*3 Shinjiranai artinya 'tidak dapat dipercaya', dalam fanfict ini lebih bermaksud untuk mengekspresikan keterkejutan.

*4 Aho! Aho! Aho! suara burung gagak ala jepang, namun aho sendiri berarti 'bodoh'.

Cuap-cuap Author!

Sebenarnya, Sirius ngerasa bersalah, bukannya ngelanjutin ffn yang belum kelar, ini malah mau bikin multi yang baru. Ibarat tutup lubang, gali lubang *lha emangnya hutang? #skip!

Fic ini Sirius persembahkan untuk abang saya tercinta Kazusa, yang mau berkolaborasi buat bikin fanfict dengan tema yang sama –baca fic abangku yaa, pen name : Kazusa Kirihika–. Ajakan itu berhasil bikin Sirius mood buat nulis lagi *nangis bahagia. Maaf juga buat abang yang harus nunggu aku lama nyelesain karya yang satu ini, habisnya kita 'kan baru selesai bikin KTI #alesan. Yosh, jangan jadi silent reader ya, kasih feedback berupa komentar/review buat author yang baru bertarung dengan sebuah buku hard-cover bernama KTI ini hehe (^w^)/

Midorima : "Review, nanodayo!"

So, would you mind? *wink