Jalan hidup yang dilalui keduanya tak jauh berbeda dengan jalan hidup para pasangan diluar sana yang sudah menyandang status sebagai suami istri. Terikat dalam satu janji suci, satu ikatan abadi dan penuh arti. Johnny Seo, seorang CEO di Seo Corp yang berpusat di Kota Seoul dengan status perusahaan besar yang selalu menuai kesuksesan besar dalam setiap investasi ataupun pemasaran hingga menembus pasar luar negeri. Seorang keturunan Amerika-Korea dengan tubuh tinggi dan dada bidang yang selalu di idamkan setiap gadis di luar sana. Manik cokelat yang menarik perhatian dengan wajah yang tak bisa diacuhkan begitu saja.
Lalu Chittaphon Leechaiyapornkul, seorang lelaki bertubuh kecil, bermanik hitam dengan senyuman manisnya yang selalu memikat setiap orang termasuk Johnny sendiri. Seorang berdarah Thailand yang telah menetap selama 5 tahun lamanya untuk menjadi seorang model brand pakaian ternama sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri kariernya demi Johnny dan juga kehidupan barunya.
Suara tarikan nafas yang dalam itu mendominasi kamar luas yang hening itu. Tangan panjangnya terulur ke samping tubuhnya, meraba-raba tempat tidur berlapis sprai sambil melenguh pelan. Manik cokelat yang sempat tertutup itu akhirnya terbuka perlahan, menyipit untuk menyesuaikan dengan pantulan cahaya dari jendela yang terbuka.
"Ten?"
Suara serak khas orang yang baru terbangun dari tidurnya itu terdengar saat Johnny baru saja membuka suara. Tubuhnya mengubah posisi dari menyamping menjadi terlentang, menatap kosong ke langit-langit kamar serba putih itu sambil menggumam tak jelas. Aroma masakan yang mulai tercium ke dalam kamar pribadi keduanya itu mengalihkan perhatian Johnny, manik cokelatnya menelusur keluar kamar. Telinganya menangkap suara dentingan yang terdengar samar dari luar, yang jelas Johnny tahu darimana asalnya dan juga siapa yang membuat suara semacam itu dipagi hari.
Akhirnya Johnny tak ambil pusing, dengan sekuat tenaganya yang masih dalam kondisi kurang sadar ia menginjakan kakinya ke lantai keramik yang dingin. Melangkah gontai ke arah pintu, menuruni anak tangga lalu ke tempat tujuan awalnya di pagi hari. Dari luar dapur manik cokelatnya bisa menangkap punggung sempit milik Ten yang tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga kecilnya ini. Aroma masakan yang menyapa indera penciuman disertai suara paduan alat memasak yang berdenting benar-benar berbanding terbalik dengan kondisi di dalam kamar yang sepi.
Senyuman simpulnya tercetak jelas, helaian rambut yang menutupi separuh akses pandangnya itu di sampirkan ke atas. Melangkah satu persatu untuk menghapus jarak antara Johnny dan juga Ten sampai pada akhirnya dagu runcing itu mendarat di bahu sempit milik Ten. Membuat sang pemilik tersentak pelan hingga hampir menjatuhkan spatula dalam genggaman tangannya.
"Hei.. kau mengagetkanku John."
Namun hanya ada di gumaman pelan yang menjawab ucapannya. Kedua tangan panjang itu telah melingkar sepenuhnya pada pinggang rampingnya. Kepalanya langsung tertunduk di perpotongan leher Ten, menambah kesan geli yang ditimbulkan akibat dari perbuatan suaminya itu.
"John, ini geli. Menyingkirlah dari sana, sebentar lagi masakanku selesai."
"Kalau begitu beri suamimu ini morning kiss dulu."
"Tidak sekarang."
"Kenapa?"
"Kau tidak lihat ya kalau aku sedang kerepotan. Lain kali saja, sekarang cepat mandi karena kau harus pergi ke kantor. Nanti ku siapkan pakaianmu. Sekarang biarkan istrimu ini membereskan kekacauan di dapur."
.
.
.
Pintu kamar terbuka lebar lalu Ten melangkah masuk ke arah lemari pakaian. Memilah beberapa deretan pakaian yang akan dipakai Johnny pagi ini. Suara shower yang terdengar jelas itu seakan memberi isyarat jika Johnny masih belum selesai mandi. Lalu dengan begitu ia masih punya waktu untuk memilih pakaian yang sudah tertata rapi lalu kembali turun untuk sarapan.
Tak butuh waktu lama, pilihannya jatuh pada kemeja putih polos dan juga jas hitam yang diklaim sebagai jas yang paling cocok untuk Johnny pakai. Pembawaannya sebagai CEO akan terlihat jelas hanya dari penampilan luarnya saja, dan sudah pasti sosok bertubuh kecil itu tak pernah sembarangan dalam memilih pakaian yang tepat untuk Johnny pakai bekerja.
"Kau sudah siapkan sarapannya?"
Suara bass itu terdengar tiba-tiba dari arah belakang, mengalihkan perhatian Ten yang tengah meletakan pakaian yang sudah disiapkan di atas tempat tidur yang lumayan berantakan. Johnny disana, berdiri di belakangnya hanya dengan memakai bathrob. Surai cokelatnya, sebagian tubuhnya juga masih basah, dan jangan lupakan bagaimana dada bidang itu terekspose jelas di hadapan Ten hingga tak ayal membuat kedua pipinya merona dengan cepat hingga mau tak mau Ten berusaha mengalihkan perhatiannya pada pakaian Johnny yang baru saja ia letakan di atas ranjang.
"Ah... aku sudah selesai. Ku pikir kau masih lama, tapi ternyata sudah selesai. Aku sudah siapkan pakaiannya, kau ganti saja dulu. Kalau begitu aku pergi ke dapur lagi. Ada beberapa hal yang perlu ku siapkan."
"Hei tunggu sebentar Ten.." Ten sendiri belum sempat melangkah pergi dari dalam sana, tapi Johnny langsung bergerak sigap dengan menahan bahu sempitnya lalu menarik lelaki kecil itu untuk berbalik menghadapnya. Manik cokelat itu menelusuri setiap inchi wajah cantik milik sang istri dengan hati-hati, lalu seulas senyuman jahil tercetak begitu saja. Kedua tangan besarnya langsung bergerak untuk mencubit kedua pipi tirus yang masih merona itu hingga sang pemilik langsung berteriak keras karena cubitan Johnny tak main-main, rasanya bukan hanya sebatas seperti digigit semut, namun lebih menyakitkan dari itu.
"Johnnnn! Sakit!"
"Uuuuhhh~ coba lihat siapa yang wajahnya sedang merona?"
"Aku tidak seperti itu! Wajahku baik-baik saja John, berhenti meledekku!"
"Oh really? Let's see it."
Ujar Johnny sambil memutar kepala milik Ten ke arah samping, atau lebih tepatnya ke arah cermin berukuran besar yang terpasang di dalam kamar pribadi milik keduanya. Satu detik setelahnya bibir kissable itu merengut dengan cepat ketika ia menangkap pantulan dirinya di cermin dengan pipi merona seperti yang dikatakan Johnny barusan.
"Kau lihat kan? Wajahmu memerah sayang..."
"Uuggh! Salahmu sendiri cuma pakai bathrob! Kau kan tahu aku belum terbiasa dengan ini."
"Oh God.. Come on babe... kita sudah menikah selama 4 bulan dan kau masih belum terbiasa dengan ini?"
"Hehe... kau kan tahu kalau isterimu ini masih polos"
Nada bicaranya melembut, sedikit mengubah aksen agar terdengar lebih lucu di mata Johnny yang justru mendapatkan sebuah helaan nafas panjang sambil memijit pelipisnya pelan.
"Kalau begini terus bagaimana kau bisa mengurus anak."
"Anak?"
"Kenapa? Apa kau tidak mau memberikan suamimu ini seorang anak? Atau mungkin lebih dari seorang anak. Kalau bisa aku mau anak kembar identik, atau mungkin non identik tapi laki-laki yang pertama lahir."
"Kau pikir aku ini apa? Tidak perlu merequest, lagipula aku tidak bisa melahirkan, hamil saja tidak bisa. Aku ini tidak punya kelainan yang bisa membuatku mengandung seorang bayi di dalam perut ramping seperti ini. Kau lihat? Apakah di dalam perut seramping ini ada tanda-tanda bayi yang akan tinggal di dalamnya?"
Piyama yang dikenakan pada tubuh kurusnya itu di angkat hingga ke bagian dada, salah satu tangannya menepuk-nepuk perut ramping itu dengan bibir mencebil diikuti dengan mata membesar hingga membuat Johnny mengeraskan rahangnya karena terlalu gemas. Bibir tebal itu bergerak maju dengan cepat, menghapus jarak antara keduanya hingga membuat Ten terkesiap. Bibir kissable miliknya diraup dengan cepat, melumatnya dengan gerakan lembut namun penuh penekanan. Kedua tangan milik Ten telah mengalung dengan sempurna pada leher Johnny, berbalik menekan tengkuk milik sang dominan dengan susah payah karena perbedaan tinggi yang terlalu jauh. Hingga mau tak mau Johnny punya cara untuk tidak membuat istrinya itu kewalahan untuk ikut serta dalam ciuman panas itu. Kedua tangannya langsung bergerak ke arah kedua paha berisi milik Ten yang masih terbalut celana piyama, membawa tubuh kecil itu ke dalam gendongannya. Ten langsung melingkarkan kedua kakinya pada pinggang milik Johnny, kedua tangannya masih bergantung di leher Johnny, sedangkan yang lebih tinggi berusaha untuk menahan tubuh Ten agar tidak terjatuh dari gendongannya.
Kedua kaki panjang itu melangkah perlahan ke arah ranjang, masih saling melumat satu sama lain, semakin panas dan semakin liar. Johnny yang mulai bergerak kasar lalu Ten yang masih berusaha keras untuk tetap bungkam hingga tak ada akses bagi Johnny untuk mengekspor mulutnya. Beberapa detik setelahnya, punggung sempit milik Ten mendarat dengan perlahan ke atas tempat tidur tanpa melepaskan tautan masing-masing. Suara lenguhan yang terdengar samar itu mulai mendominasi ruangan. Atmosfer di dalam ruangan luas itu mendadak panas, bahkan Johnny sendiri yang baru saja selesai mandi sudah kembali merasa gerah hanya karena permainan awal. Johnny sendiri tak ingin membuang banyak waktu, salah satu tangannya bergerak menyentuh kulit tubuhnya dengan gerakan perlahan yang membuat Ten menggeliat tak nyaman. Nipple merah muda yang terekspose itu tak luput dari sentuhan laknat yang Johnny berikan. Memberi rangsangan di salah satu area sensitif milik Ten yang diketahui oleh Johnny.
"Ugh hentikan..."
Kedua tangan Ten langsung mendorong dada bidang Johnny yang terekspos. Menghentikan kegiatan Johnny yang hampir saja lepas kendali hingga yang lebih tinggi menggeram kesal.
"Kenapa berhenti?"
"Ini masih pagi John, kau harus pergi ke kantor atau kau akan terlambat."
"Ayolah, kita lakukan sebentar saja ya?"
"Tidak sekarang. Kau harus ke kantor dan aku juga ada janji dengan Taeyong Hyung."
"Ten... Lalu bagaimana dengan ini?"
Nada bicaranya sedikit merengek, menunjuk ke bagian bawahnya yang sudah turn on sejak awal. Manik hitam Ten menurunkan pandangannya, menatap datar ke arah sesuatu kemudian menunjuknya dengan santai.
"Kau bisa atasi itu sendiri Hyung. Sudah ya, aku kembali ke dapur."
"Ten~ istri macam apa kau ini?"
.
.
.
Our
a Story from Prince Yuta
Cast:
Johnny Seo
Chittaphon Leechaiyapornkul
Jung Jaehyun
Lee Taeyong
Kim Jungwoo
Summary: Pertemuan Ten dengan seorang bocah 5 tahun bernama Ea itu menarik perhatiannya. Sedangkan Johnny sempat mengatakan padanya jika ia menginginkan seorang anak. Tapi bukan anak adopsi, melainkan anak biologis yang bahkan mustahil untuk Ten dapatkan.
Rated: T+
Warning!: dilarang copas, dilarang plagiat, dilarang merepost tanpa izin, RnR juseyo..
.
.
"Jadi bagaimana? Hubungan kalian tidak ada masalah juga kan?"
Ten hanya membalas dengan sebuah anggukan cepat sambil menyeruput Americano pesannya.
"Oh iya, aku dan Jaehyun sedang dalam program kehamilan. Bagaimana denganmu?"
"Uhuk! Ke-kehamilan kata Hyung?!"
Taeyong refleks menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan yang Ten ajukan padanya barusan.
"Kenapa kau terkejut?"
"Tentu saja aku terkejut. Hyung kan laki-laki, bagaimana bisa hamil?"
"Ah ya.. Kau benar, tapi dokter bilang aku punya rahim, Ten. Bukankah itu menakjubkan? Ku pikir aku tidak bisa memberikan seorang anak untuk Jaehyun, tapi ternyata tidak."
"Ah.. Begitu ya?"
Nada suaranya terdengar lesu, hanya ada seulas senyuman tipis yang diberikan Ten sebagai apresiasi untuk yang lebih tua. Pandangannya tertuju ke arah perut rata miliknya, memberikan sebuah usapan lembut sambil menggigit bibirnya pelan.
"Hei, jangan murung. Memang tidak semua orang bisa sepertiku, tapi kau bisa coba mengadopsi seorang anak dari panti asuhan kan?"
"Hyung benar, tapi ku pikir Johnny Hyung tidak akan setuju, lagipula mengadopsi seorang anak akan butuh proses yang lama. Dia tidak akan setuju dengan hal semacam itu."
.
.
Langkah kakinya masih terus melaju, menyusuri kota dengan berjalan kali di atas trotoar. Taeyong telah pergi sejak 15 menit yang lalu, tepat ketika Jaehyun datang untuk menjemput sang istri dan membawanya pergi dari hadapan Ten. Lalu pikirannya menelusur jauh, ucapan Taeyong kembali terngiang di telinganya secara berulang kali. Ten akui ia sangat ingin memiliki seorang anak untuk mempermanis hubungannya dengan Johnny. Suasana rumah mungkin tak akan membosankan jika ada malaikat kecil yang hadir dalam keluarga kecilnya.
Tapi Ten bisa apa? Sekeras apapun usahanya dengan Johnny untuk mendapatkan seorang anak secara langsung, tetap saja mustahil bagi mereka. Ten bukanlah Taeyong yang diberikan keistimewaan untuk mengandung seorang anak sekalipun kenyataan mengatakan jika Taeyong adalah seorang lelaki. Sama sepertinya. Ten akui ia bahkan kecewa dengan dirinya sendiri. Semua orang di keluarganya sangat ingin Johnny dan Ten di karuniai seorang anak dari pernikahan mereka yang baru seumur jagung. Setidaknya Ten bisa memberikan kebahagiaan berlipat dengan memberikan seorang pewaris keluarga Seo.
Lalu bagaimana dengan adopsi?
Itu yang selalu muncul dalam pikiran Ten sejak lama. Lelaki cantik itu tak masalah jika harus mengadopsi seorang anak dari panti asuhan. Tapi tidak dengan Johnny.
Lelaki jangkung itu tak akan setuju dengan keputusannya untuk mengambil jalur adopsi. Tapi mau bagaimana lagi?
1 detik.. 2 detik.. 3 detik..
Perhatian Ten teralihkan pada sosok anak kecil yang tengah berdiri diam di depan toko sambil mengigit bibirnya pelan. Dia seorang anak laki-laki, kulitnya putih bersih, rambutnya hitam legam, sepasang manik hazelnya yang tajam dengan bibir tipis yang menambah kesan tampan, hanya saja pakaian yang dikenakan sedikit kotor.
"Ku rasa aku pernah lihat wajah yang seperti ini. Tapi dimana?"
Gumam Ten pelan sambil mendekat ke arah sang bocah dengan sebuah senyuman manis. Pundak sempit itu ditepuk dengan lembut hingga mengagetkan sang bocah. Tubuh kecil itu langsung berbalik ke belakang dengan cepat hingga membuatnya hampir tersungkur ke belakang jika saja Ten tidak menahannya.
"Kau baik-baik saja?"
Tubuhnya gemetar, kedua kakinya melangkah mundur untuk menjaga jarak. Manik hitam itu menatap lurus ke arah Ten dengan sedikit membulat, bibir tipis itu mencebik lucu hingga membuat yang lebih tinggi memekik dalam hati karena terlalu gemas.
"P-Paman siapa?"
"Paman?!"
Ten mendadak blank begitu bocah tampan itu dengan sangat polosnya menyebutnya paman hingga membuat Ten sempat berpikir sejenak untuk sekedar mencerna perkataan sang bocah.
'Apa aku setua itu untuk disebut paman? Usiaku saja baru 22..'
"Paman?"
"Asshh.. Jangan panggil aku paman. Panggil aku Hyung, Ten Hyung. Kau mengerti kan?"
"Eung.."
"Kalau begitu.. Boleh Hyung tahu siapa namamu?"
"Ea.."
"Apa?"
"Ea.. Namaku Ea."
"Ahh.. Baiklah Ea.. Berapa usiamu?"
"5 tahun."
"Lalu dimana keluargamu?"
"Aku tidak tahu.."
Manik hitamnya refleks membulat dengan cepat, sedangkan Ea masih tak bergeming. Bocah 5 tahun itu hanya mengerjap pelan sambil menatap dalam-dalam ke arah manik hitam itu.
"Bagaimana bisa tidak tahu?"
"Kemarin.. Ea, teman-teman, dan Paman Kim habis jalan-jalan. Tapi Busnya menghilang waktu Ea mau minta balon."
"Ah.. Jadi maksudnya Ea tertinggal rombongan saat mengejar orang yang membawa balon?"
"Eung.. Ea mau pulang.."
Ten terdiam sambil menghela nafas panjang. Kedua tangannya berpindah ke pipi gembil milik Ea, menyentuh kulit lembut itu sambil mengusap perlahan.
"Hyung ingin mengantar Ea pulang, tapi Hyung tidak tahu dimana Ea tinggal. Jadi.. Ea pulang dengan Hyung ya? Ea menginap saja di rumah Hyung, nanti Hyung carikan rumah Ea."
"Sungguh?"
"Aha.. Ea mau ikut dengan Hyung? Dirumah Hyung ada es krim, nanti Hyung belikan mainan yang banyak untuk Ea. Ikut Ten Hyung ya?"
"Tapi kata Paman Kim tidak boleh ikut orang asing."
"Assh.. Ea sayang.. Hyung tidak jahat kok. Coba lihat Hyung, apa Hyung terlihat seperti orang jahat?"
Kemudian Ea hanya menggeleng dengan wajah polosnya.
"Karena itu.. Ea ikut Hyung saja. Bilang pada Hyung apa yang Ea inginkan. Ea mau mainan? Mau es krim?"
"Ea mau mainan dan es krim.. Tapi Ea lapar. Ea belum makan sejak kemarin. Cuma ada permen dikantung Ea, sekarang sudah habis."
"Baiklah.. Hyung belikan apapun untuk Ea. Tapi sekarang ikut Hyung ya? Kasihan kalau Ea harus tinggal di jalanan seperti ini."
"Iya, Ea mau ikut Hyung.."
Senyuman yang sempat menghilang itu kembali tercipta di sudut bibirnya, jauh lebih manis dari sebelumnya hingga menarik perhatian Ea yang langsung menyentuh sudut bibirnya menggunakan jari telunjuknya.
"Ten Hyung cantik.. Aku suka Ten Hyung.."
.
.
.
Dreett Dreeet
Kedua manik hazel itu refleks terbuka begitu suara ponsel yang bergetar di atas meja kerjanya itu mengalihkan perhatiannya. Johnny segera membenarkan posisi tubuhnya, salah satu tangannya langsung meraih benda persegi panjang itu kemudian menjawab panggilan yang berasal dari Ten.
"Halo?"
"John! Kau sedang sibuk sekarang?"
"Tidak, apa ada masalah disana? Atau kau ingin sesuatu?"
"Ah ya.. Aku ingin pulang ke rumah lebih awal. Aku punya kejutan untukmu."
"Surprise? Tapi aku tidak berulang tahun. Ini juga bukan ulang tahunmu kan?"
"Aku tahu.. Tapi aku punya kejutan lain. Segeralah kembali, aku akan masak makanan kesukaanmu. Ah iya.. Bisakah kau beli cokelat yang banyak saat pulang kerumah? Aku membutuhkan semua itu. Okay, See you at home babe.."
"Okay, see you too sweetie."
Tarikan nafas panjang langsung Johnny hembuskan. Jari jemari panjangnya bergerak searah untuk menyisir surai coklatnya yang sedikit berantakan. Johnny melirik ke arah telepon kantor yang berada persis di atas meja kerjanya. Mengambil gagang telepon kemudian menekan beberapa nomor hingga pada akhirnya menunggu sebuah panggilan yang akan segera tersambung.
"Ada masalah Tuan?"
"Hari ini aku akan pulang lebih awal. Jika ada yang mencariku katakan padanya untuk menemuiku lain waktu."
"Baik Tuan."
.
.
"Aigoo~ tubuhmu ini sangat kotor sayang.. Apa saja yang kau lakukan sampai sekotor ini?"
"Aku pergi berkeliling, Hyung tahu? Saat aku kehilangan teman-teman yang lain, aku benar-benar takut. Aku minta tolong dengan orang-orang, tapi mereka tidak mau menolongku. Mereka bilang aku hanya ingin menipu mereka, jadi aku pergi dari dan mencari tempat tidur. Lalu aku mencari sarapan dan aku bertemu Ten Hyung.."
Nada bicara Ea sangat polos, anak itu tak menatap ke arah Ten yang tengah sibuk menggosok punggungnya dengan gerakan lembut supaya tidak menggores kulit lembut anak itu. Kedua tangan kecil itu masih senang memainkan busa sabun yang memenuhi bath up.
"Ah, sudah selesai. Ayo keluar dari sini, Hyung akan membersihkan tubuhmu dengan shower. Ayo Hyung bantu, nanti kau terpeleset."
Tangan kanan Ten yang terulur di hadapan Ea telah disambut dengan sebuah genggaman erat yang Ea berikan untuk keluar dari dalam bath up. Kaki-kaki kecilnya melangkah dengan sedikit tergesa kemudian berdiri di bawah shower yang telah di nyalakan Ten terlebih dahulu. Tingkah polah anak itu benar-benar menarik perhatian Ten. Ea terlalu polos dan juga menggemaskan di saat yang bersamaan, tapi siapa sangka, Ten bahkan baru menyadari satu fakta mengejutkan jika anak yang baru menginjak usia 5 tahun itu punya sedikit kemiripan dengan wajahnya sendiri. Tapi yang jelas Ea jauh lebih tampan meski usianya baru semuda ini.
Terhenyak dalam lamunan nyatanya banyak menyita waktu, pria kecil itu bahkan tak sadar jika Ea telah berdiri di hadapannya dengan tubuh polos yang masih basah. Tangannya melambai ke atas, mencari perhatian Ten, kemudian Ea menepuk paha berisi tersebut hingga kesadarannya kembali sepenuhnya.
"Huh?"
"Hyung, aku sudah selesai."
Ten mengangguk kemudian mendorong Ea secara perlahan, membawanya kembali ke dalam kamarnya dan juga Johnny. Sebelumnya Ten sudah membeli beberapa pasang pakaian untuk Ea selama menginap di apartemen, karena mustahil anak itu akan memakai pakaiannya yang kotor. Ten akan mencucinya terlebih dahulu, kemudian setelah itu mereka bisa mengantar Ea pulang. Atau mungkin tidak. Ten tahu ia terlalu cepat mengambil keputusan, mendadak tertarik dengan Ea yang bahkan baru di kenalnya selama kurang dari satu hari. Rasa empati nya jauh lebih besar, beberapa orang mungkin mengabaikan Ea selama ia masih mencari bantuan di jalanan. Lagi pula bagaimana bisa orang-orang diluar sana membiarkan anak sekecil ini di jalanan?!
"Kau tahu? Wajahmu benar-benar tampan, aku yakin di masa depan wajahmu akan disukai banyak orang. Aigoo tampannya~"
Senyuman lebar Ten kembali merekah, salah satu tangan miliknya bertengger di puncak kepala Ea, mengusak surai yang masih basah tersebut kemudian mengecupnya dalam. Menghirup aroma sampo yang menyeruak keluar. Kulit putih bersih bocah itu, di tambah hidung mancungnya yang benar-benar membuat Ten takjub. Johnny bahkan belum pernah membuatnya merasa seperti ini. Mungkin karena Johnny dan Ea adalah dua orang yang berbeda terutama dalam segi usia, rasa ketertarikan Ten terlalu besar. Hanya sebagai anak dan orang tua, bukan anak dan pedofilia. Ia tak sekeji itu.
"Bisa aku keluar kamar Hyung?"
"Ah ya, mainlah di ruang depan, tapi jangan keluar apartemen ya. Hyung mau mandi sebentar, pakaian Hyung sangat basah. Jadilah anak yang baik dan jangan merusak barang, paham?"
.
.
"Aku pulang Ten.."
Pintu apartemen kembali tertutup setelah pria jangkung itu melangkah masuk ke dalam. Tak ada sambutan apa pun yang biasa di berikan Ten setiap kali ia baru saja tiba di rumah. Kedua kakinya semakin melangkah masuk, melewati setiap ruangan, kemudian tatapannya jatuh pada sosok Ea yang tengah menonton TV sambil duduk di atas sofa sambil memeluk boneka besar milik Ten. Perhatian Johnny masih tertuju pada Ea, keningnya mengernyit, lalu ia semakin melangkah mendekat dan berakhir dengan berdiri persis di dekat Ea yang kemudian menyadari kehadirannya disana.
Tak ada pembicaraan apa pun yang terjalin di antara keduanya, hanya ada suara televisi yang tengah menayangkan acara anak-anak. Keduanya saling beradu pandang, Ea dengan tatapan polosnya dan Johnny dengan tatapan yang menyiratkan rasa ingin tahu yang sangat besar. Satu detik setelahnya bocah dihadapannya mengeratkan pelukannya pada boneka teddy bear jumbo berwarna putih itu. Bibir bawahnya bergetar, obsidian cokelat itu membulat seiring berjalannya waktu.
"Oh, kau sudah pulang John? Selamat datang~"
Johnny tak merespon, hanya saja kepalanya telah mengarah ke sosok cantik itu. Masih dengan pandangan yang sulit di artikan.
"Kau bawa cokelatnya?"
"Eoh.."
Tangan panjang itu menyerahkan paper bag berwarna biru pastel ke arah Ten, membuat senyuman lebar milik sang istri mengembang lebar.
"Ahh Ea, coba lihat Hyung punya cokelat~"
Ten langsung melangkah ke arah Ea sambil berucap dengan aksen yang di buat-buat, persis seperti anak kecil. Paper bag berisi cokelat itu telah sepenuhnya pindah ke tangan Ea, namun obsidian cokelat itu masih sesekali melirik ke arah Johnny.
"Ah.. Dia Johnny Hyung, jangan takut."
Melangkah maju menghampiri Johnny, senyuman manisnya kembali mengembang, menatap sosok Ea dari kejauhan kemudian berucap pada suaminya itu.
"Dia sangat manis kan?"
"Anak siapa yang kau bawa? Apa ada tetangga yang menitipkan anaknya ke rumah? Tapi bukankah disini tidak ada anak seusianya?"
"Aku menemukannya di jalan, dia sangat lusuh. Jadi karena kasihan aku membawanya pulang, kasihan kan kalau tidur di jalan lagi."
"Maksudmu kau membawa pulang anak jalanan?"
"Tidak John, dia hanya anak kecil yang tersesat. Jangan berburuk sangka padanya."
Pria jangkung itu tak merespon, justru melangkah menuju kamar keduanya dan melepas jas abu-abu yang ia kenakan. Helaian surai cokelat yang terlihat berantakan itu di tata dengan jemari kekar miliknya. Namun saat Johnny baru saja ingin melonggarkan dasinya, sepasang tangan kurus itu memutar tubuhnya dengan cepat, tatapan keduanya bertemu kemudian pria mungil itu menyentuh kedua bisep milik Johnny yang terasa kencang.
"Bagaimana?"
Manik hazelnya sedikit membesar, sedangkan Ten hanya sekedar menggulum senyuman tipis.
"Bukankah dia anak yang sangat manis? Dia juga sangat tampan."
"Ah.. Kau benar."
"John.. Kau sudah dengar? Taeyong Hyung hamil, itu artinya dia bisa punya anak."
"Lalu?"
"Ishh, bukankah kau bilang ingin punya seorang anak?"
"Ya, benar. Jadi apa maksud perkataanmu sekarang ini ingin membuat seorang bayi?"
Bibir cherry nya langsung mengerucut, kedua manik hitamnya juga sudah memicing ke arah Johnny yang justru terkekeh pelan setelah menggodanya.
"Bukan itu.."
"Lalu?"
"Bukankah kau tidak ingin mengadopsi seorang anak? Maksudku, kita bisa mengadopsi Ea untuk menjadi bagian dari keluarga kita."
"Tidak Ten, kau tidak bisa melakukan semua itu. Anak itu pasti punya keluarga, kau tidak bisa mengambil keputusan secepat ini tanpa pertimbangan. Dengar, kau baru saja membawanya ke rumah ini selama beberapa jam."
"Tapi John, kita bisa-"
"Tidak, kembalikan anak itu pada keluarganya besok. Aku tidak mau ada orang yang berprasangka buruk pada kita karena membawa kabur seorang anak. Jangan berpikir yang macam-macam, apa lagi mengadopsi seorang anak yang tidak jelas darimana asalnya."
Sudah ia duga, Johnny tidak akan mau menyetujuinya, tidak akan pernah.
.
.
.
TBC
Hai hello, meet again :'))) kembali lagi bersama Johnten dalam acara pertahankan ff johnten :v /anju nais/
Well, awalnya mau dibuat one shoot, tapi karena gw kurang bisa mending di bikin 2/3 chapter.
Seperti kata kak Hirudinea, setelah baca wajib review.
Yang UNBK hari ini semangat, gw nyusul mingdep :))))
