Begin All

It's Begin With You

Story by Titania aka 16choco25

Fairy Tail © Hiro Mashima

Pairing : NatsuxLucy

"Namaku Natsu. Natsu Dragneel." Bagi Lucy, senior itu menjengkelkan. Semuanya bermula dari ospek, kemudian rutinitas kampus, dan kegiatan aktivisnya. Namun Lucy sadar, dari seniornya itulah Lucy belajar mengenai banyak hal, mulai dari kehidupan, kenyataan, dan—cinta. Dan ia pun belajar untuk mengubah hal monoton yang ada di hidupnya, menjadi lebih berwarna.

.

.

Gadis berambut pirang itu menghempaskan badannya di atas kasur. Ia butuh beberapa menit untuk bisa menjernihkan pikirannya. Ia menekan tombol ponselnya, mencoba mengaktifkannya. Mengecek e-mail, tapi tidak ada sedikitpun yang masuk. Sejak kemarin ia menunggu kiriman e-mail dari ayahnya yang akan segera mendaftarkannya ke kampus di Jepang. Ia memutuskan untuk melihat balkon di atas apartemen barunya―apartemen barunya di pusat Tokyo. Ia membuka jendela, sinar matahari yang begitu terik langsung menerjang kulitnya.

Ia menyipitkan mata dan mencoba melihat suasana sekeliling apartemennya.

Gedung-gedung tinggi dengan sinar matahari yang terpantul ke bagian atap kaca gedung, memantulkan sinar lazuardi yang menyinari pemandangan Tokyo Tower di hadapannya. Astaga, benar-benar seperti mimpi. Rasanya baru saja kemarin ia berangkat dari California menuju Jepang, menggunakan jet pribadi ayahnya―ia bahkan tidak tahu ayahnya sekaya itu―membiayainya ke Jepang dengan segelintir proyek baru untuk anak perempuan berambut pirangnya itu di Jepang, dan tentunya ia begitu benci menghadapi tekanan seperti ini terus menerus.

Ayolah, ia baru saja lulus sekolah menengah atas, dan apa ia harus mencoba bisnis di umurnya yang kedelapan belas tahun? Dan ada beberapa rahasia yang perlu kau ketahui sebelum mengenal gadis berambut pirang ini. Dan hal-hal ini adalah poin terpenting rahasia dari seorang Lucy Heartfilia.

Pada awalnya dia tidak dibesarkan sebagai perempuan. Ayahnya, yang masih terjebak dalam stereotip lama bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin, bahkan terbilang kecewa berat mengetahui penerus keluarga dan perusahaan adalah wanita. Sejak kecil ia telah diajari berkuda, memanah, bela diri, pelajaran eksak dan umum, tanpa mengenal perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Ia hanya mengerti bahwa anak seumurannya harus selalu memotong pendek rambutnya dan memakai celana. Untuk melengkapi, ayahnya bahkan memasukkannya ke sekolah swasta laki-laki.

Di tahun-tahun terakhir sekolah dasar, ia merasakan perubahan fisik yang berbeda dari teman-temannnya. Jika mereka semakin tinggi dan memiliki pundak lebar dan dada bidang, Lucy malah merasa tersudut dengan dada dan pinggul yang membesar. Bahkan di tahun pertamanya duduk di sekolah menengah pertama, ia menangis di kamar mandi saat melihat darah yang membasahi celananya.

Ia tidak mengerti dan mengadu pada orangtuanya. Ibunya yang sudah tidak tega lagi akhirnya memaksa sang ayah untuk menyudahi semua sandiwara ini. Dan akhirnya, setelah memikirkan masa depan anaknya juga, ayahnya setuju. Syarat dari semua itu hanya satu, Lucy harus menjadi juara di segala bidang, dan menjadi penerus perusahaan.

Dan setelah Lucy menyetujui hal itu, pihak keluarga Heartfilia lalu mengeluarkannya dari sekolah swasta pria tersebut dan segera memasukkannya ke sekolah swasta putri. Di sana gadis muda itu belajar bagaimana bersikap anggun layaknya perempuan. Ia memanjangkan rambut pirangnya, mencoba belajar memakai rok, berjalan dengan anggun, dan beberapa hal lainnya yang jauh dari kehidupan monoton yang biasanya ia jalani.

Walaupun agak sulit pada awalnya karena harus mengenakan rok dan gaun untuk pertama kali, namun tekadnya untuk menguasai segala bidang membuatnya membiasakan diri. Ia tahu ia adalah perempuan yang dituntut untuk bisa dalam segala hal, termasuk dalam menjalankan perusahaan ayahnya, perusahaan raksasa yang kini membebani tenaga dan pikirannya. Namun ia tidak takut―ayolah, ia cerdas. Ia adalah perempuan yang dibesarkan dengan pola berpikir seperti laki-laki. Ia bisa melakukan segalanya.

Begitulah. Sekarang ia hanya bisa mencoba bersabar, menunggu informasi terbaru dari ayahnya. Dan kini pupil matanya langsung membesar begitu melihat layar ponselnya menyala dan dengan notifikasi panggilan dan disitu tertera nama ayahnya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menyambar ponsel dan menjawab panggilan ayahnya dengan cepat. "Halo, Ayah?"

Suara berat ayahnya yang terdengar samar, terbatuk. "Lucy? Apa kabar?"

Lucy berusaha keras tersenyum seraya mendekatkan ponsel ke telinganya. "Ya, aku baik. Bagaimana kabar Ayah?" Ia bertanya, walaupun ia merasa dari suara yang terdengar melalui ponselnya, ayahnya itu sedang tidak dalam kondisi baik. Lucy membuka kulkas dan menuangkan air dingin ke gelasnya. Sambil tetap berfokus pada suara ayahnya yang dilatar belakangi suara ribut. "Dan bagaimana kuliahku?"

"Kuliahmu?" Ayahnya terbatuk. "Baik-baik saja. Ayah sudah mendaftarkanmu di kampus terbaik di Jepang." Lucy hanya tersenyum, meskipun ia tahu bahwa tidak mungkin ayahnya yang sangat sibuk itu meluangkan waktunya ke Jepang hanya untuk mendaftarkan anak tunggalnya masuk kuliah―suatu hal yang mustahil. Dan Lucy pun menyadari ayahnya bahkan tidak menjawab pertanyaannya yang pertama. Ia sama sekali tidak peduli putrinya menanyakan kabarnya atau tidak.

Lucy tidak tahu dan ia bingung harus menjawab apa, kecuali—"Oh, begitu."

"Besok kau bisa segera berangkat. Dan jangan lupa, kau diantar oleh sopir pribadimu sendiri. Begitu saja, sampai jumpa, Lucy."

Dan pembicaraan berakhir. Tidak ada kata-kata lain, kata-kata yang biasanya diucapkan seorang ayah pada anaknya saat mengakhiri pembicaraan via telepon dengan jarak yang jauh―seperti 'Ayah menyayangimu' atau yang lain, dan Lucy hanya bisa meneguk air dingin di gelasnya sambil menghela napas dalam-dalam. Ia gelisah. Ia harus menunggu, setidaknya sampai besok.

.

.

Begitu selesai bersiap-siap, matanya langsung membesar dengan sendirinya begitu melihat limousine yang sudah terparkir di hadapan halaman apartemennya. Ia tahu ia akan dijemput oleh sopir―namun apakah harus mengenakan limousine hanya untuk ke kampus? Ia sedikit ragu. Mungkin terlihat agak sedikit sombong bila ia mengenakan limousine hanya untuk pergi ke kampus. Tapi—haha, kapan lagi mendapat pelayanan ekstra mewah begini?

Sopirnya membungkuk, membukakan pintu mobil dan melangkah lebih dulu ke dalam limousine, hampir saja meninggalkan Lucy jika gadis berambut pirang itu tidak menoleh dan menyadarkannya. "Nona, kita harus cepat. Upacara pembukaannya satu jam lagi."

Astaga, seolah seluruh waktu di dunia tidaklah cukup untuk mereka.

Berkat jalanan yang lenggang dan keahlian sang pengemudi, Lucy berhasil tiba di kampus kurang dari lima belas menit. Menyadari sisa waktu yang tersisa, Lucy buru-buru melongokkan kepalanya, mencari lapangan tengah. Ia berjalan menuju lapangan dan mendapati pemandangan yang membuatnya kaget. Kampusnya cukup luas juga. Ia mengitarkan pandangannya ke beberapa sudut sebelum mendapati sesuatu.

Ia mendapati lautan manusia di hadapannya mengenakan baju yang sama, kaos putih bertuliskan 'Murid Baru' dengan celana olahraga, dan Lucy terperangah sejenak sebelum menyadari kesalahan fatal yang ia perbuat.

Ia baru ingat bahwa ia adalah mahasiswa baru dan wajib mengikuti ospek.

Astaga, apa yang harus ia lakukan? Mencoba kembali ke apartemen? Tidak, jangan berpikir gila, waktunya tidak akan cukup. Lucy buru-buru melirik jam tangannya. Tidak, tidak akan sempat. Ia melirik pakaian yang dikenakannya. Astaga, jaket putih yang menutupi dress merahnya itu begitu mencolok. Ia mencoba tenang dan melihat sekelilingnya. Bagus, semua orang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tidak akan ada yang memerhatikannya dengan keadaan seperti ini. Pelan, ia mencoba membalikkan badannya dan mencoba untuk melarikan diri dari tempat itu.

Namun ia merasakan pandangan seseorang sedang menatapnya, lekat, seakan-akan memusatkan perhatiannya pada Lucy dan Lucy semakin mempercepat langkahnya. Ia merasakan tatapan itu sedang mengarah padanya, walau ia belum tahu siapa orang yang sedang menatapnya dengan pandangan seperti itu. Ia bahkan tidak berani sedikitpun untuk menoleh ke belakang. Yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana caranya untuk segera melarikan diri dari sini. Namun sebuah suara berintonasi berat tiba-tiba menghentikan langkahnya yang sudah nyaris mendekati pintu gerbang.

"Berhenti! Gadis berambut pirang disana!"

Gawat. Lucy mempercepat langkahnya. Ia ingin sekali kabur dari kampusnya sekarang juga.

"Hei, kau!"

Ini gawat.

Lucy langsung menghentikan langkahnya dan menyadari bahwa seluruh pandangan manusia disana mengarah padanya. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia merasakan derap langkah cepat sedang menghampirinya dan ia menyadari bahwa ia dalam bahaya besar. Gawat. Pelan-pelan ia mencoba membalikkan badannya dan mendapati sosok lelaki tinggi berjaket hitam dengan rambut merah muda dan iris hitamnya, sedang menatapnya dengan wajah meneliti sosoknya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia menundukkan kepalanya, tidak berani sedikitpun menatap sosok lelaki di hadapannya.

"Kau mahasiswa baru, bukan?"

.

.

Lucy butuh beberapa detik untuk bisa menjawab pertanyaan senior di hadapannya itu dengan jujur setelah menenangkan pikirannya. "Aa-ah..." Ia mendesah, gugup, dan tidak tahu mengapa bibirnya mendadak kelu dan sulit digerakkan. "Mm. Ya, Senior. Saya... mahasiswa baru...," jawabnya akhirnya, setelah berhasil mengendalikan dirinya untuk mencoba jujur dan melihat sosok di hadapannya itu. Ah, pasti ia akan kena hukuman. Lihat saja bajunya yang mencolok ini. Terlalu mencolok di antara peserta ospek lainnya.

Lelaki berambut merah muda dihadapannya melihatnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, membuatnya kesal. Ia tidak suka diperhatikan seperti itu. Tapi sudut matanya sekilas mendapati nametag di baju kemeja lelaki itu, Natsu. Natsu Dragneel.

"Kau tentu tahu betul peraturan di ospek ini, bukan?" tanya seniornya itu. "Kenapa kau tidak memakai baju ospek?"

Yah, tentu saja Lucy tahu―seandainya saja pikirannya tidak dipenuhi hal-hal bodoh seperti kepindahannya ke Jepang dengan jutaan proyek kerja baru. Dengan pelan ia mengangguk mengiyakan tanpa bisa menjawab, dan lelaki berambut merah muda itu melirik ke lelaki berambut hitam rata di sebelahnya. "Bagaimana, Gray? Akan diberi hukuman apa gadis pirang ini?" tanyanya meminta pendapat.

Lelaki berambut hitam di sebelah lelaki berambut merah muda itu―Gray Fullbuster—ketika Lucy kembali melihat nametag di bajunya, menggedikkan bahunya. "Entahlah. Kau saja yang menghukumnya. Kau sudah menjadi dewa hukuman di kampus ini, Natsu," Gray menyikut lelaki merah muda itu―Natsu, dan Natsu hanya tergelak. "Kau sudah menghukum setidaknya puluhan gadis dan sukses membuat mereka menangis, Natsu. Jadi... kupikir kau bisa memberikan hukuman yang setimpal bagi gadis ini."

Lucy menarik napas pasrah begitu mendengar kata-kata 'dewa hukuman'. Habislah ia.

Gray bicara lagi. "Kau tahu, pirang? Mengapa ia disebut dewa hukuman?" Saat melihat gelengan kecil dari kepala Lucy, Gray melanjutkan. "Ia sudah membuat puluhan mahasiswa menangis. Contohnya sederhana. Tahun lalu ada peserta ospek yang mual. Dia bilang sakit perut, namun beberapa peserta ospek jadi terganggu. Demi menjaga keseriusan ospek, akhirnya Natsu menyuruh gadis itu menyumpal perutnya dengan buntalan kain dan diminta berakting menangis di hadapan seorang senior di dekat tiang bendera sambil meminta pertanggungjawaban sambil menangis dengan dramatis. Sambil berkata, "kau harus bertanggung jawab! Kau harus bertanggung jawab!" Karena senior itu tidak tahu apa-apa, ia malah berbalik memarahi gadis itu dan sukses membuat gadis itu menangis sungguhan."

Lucy menelan ludah. Mengerikan.

Natsu memegang dagunya, berpikir. "Errr… Karena ia tidak membawa baju ospek, bagaimana kalau kita suruh ia membuka bajunya?"

Lucy langsung melotot dengan wajah merah padam.

"Kau mau menyuruhnya telanjang?" Gray langsung berteriak keras dengan wajah merah. "Bodoh! Kau mau terkena hukuman dosen?!"

Natsu melirik lelaki berambut hitam di sebelahnya. "Kau juga punya kebiasaan seperti itu, bukan? Jadi kenapa kau berteriak? Bodoh!"

"Apa kau bilang? Kau juga bodoh! Dasar!"

Lucy hanya bisa melongo menyaksikan perdebatan antara dua makhluk bodoh di hadapannya ini. Yang hanya ada di pikirannya saat ini adalah bagaimana caranya ia dapat melarikan diri dan menghindari hukuman ini secepatnya. Namun pelototan bodoh dari lelaki berambut hitam panjang dengan beberapa tindikan di wajahnya membuatnya takut. Lelaki berambut hitam itu datang ke arah mereka dengan cepat. Lucy langsung melihat nametag yang tersemat di dadanya.

Gajeel Redfox.

Astaga, membaca namanya saja kesannya sudah mengerikan—apalagi saat kini melihat perawakannya yang besar dan tindikan di wajahnya membuatnya semakin menyeramkan. Gajeel buru-buru memukul kedua kepala Natsu dan Gray yang tengah melihat wajah satu sama lain dengan hidung menempel, seperti mengajak bertengkar. "Natsu! Gray! Kalian jangan membuat malu panitia ospek! Terutama kau, Natsu! Kau Ketua Senat, bukan? Kenapa kau memberi contoh yang tidak baik seperti ini?!" omelnya keras. "Gray, atur barisan! Kita akan menjalani upacara pagi ini! Cepat! Cepat!"

"Upacara?" pekik Gray.

Nah, bila mereka akan menjalani upacara, lalu bagaimana dengan gadis berambut pirang di hadapan mereka yang sedang menanti pembantaian ini?

Natsu berbalik, ke arah Lucy, dan mengulurkan tangan sambil tersenyum. "Namaku Natsu. Natsu Dragneel." Dengan ragu Lucy mengulurkan tangannya, menyambut tangan itu. "Hukumanmu mungkin akan sedikit tertunda, gadis pirang. Tapi tenang saja, aku tidak akan melupakan wajah polosmu," Natsu tersenyum konyol, dan Lucy langsung cemberut, menyadari seniornya ini tidak akan melepaskannya dari hukuman sedikit pun.

Dengan rasa lelah, Natsu berjalan menuju podium. Langkahnya pelan, mengingat kakinya keram karena sudah seharian berdiri, mengatur barisan lautan manusia di hadapannya. Seperti biasanya, anak baru sulit untuk diajak berkompromi untuk berbaris dengan rapi. Beberapa anggota panitia ospek berusaha keras berteriak-teriak mengatur barisan. Dan ketika ia berdiri di puncak podium di tengah-tengah lapangan di hadapan mikrofon, maka kerumunan manusia yang sebelumnya heboh oleh satu dan sekian hal langsung diam.

Lucy langsung melotot begitu melihat sosok nyentrik dengan rambut merah muda di hadapan mikrofon itu berdeham sambil membetulkan posisi mikrofonnya. Bukankah itu senior yang baru saja nyaris menghukumnya tadi? Kenapa ia berdiri di sana? Memangnya siapa dia sehingga sebegitu perlunya untuk berdiri di podium? Sedetik kemudian Lucy baru saja ingat bahwa Gajeel menyebut Natsu, seniornya itu sebagai Ketua Senat. Lucy baru saja ingin berbalik, beranjak pindah ke barisan belakang, namun tatapan horor Gajeel Redfox yang ada di belakang barisannya menahannya untuk tetap di barisan terdepan.

Sialan.

Pria lusuh itu pun mengambil napas yang terdengar berat, dan berbicara dengan suara berat. "Selamat datang di sekolah baru kalian. Aku Natsu Dragneel, Ketua Senat. Mulai detik ini sampai upacara selesai, tidak boleh ada yang berbicara, saling senggol, mengganggu teman, menoleh kanan-kiri, tertawa, atau kentut."

Tapi para manusia berseragam khas ospek itu langsung tertawa keras mendengar kata terakhir.

"Sudah saya bilang, jangan ada yang tertawa! Paham?"

Ratusan kepala itu mengangguk takut. Natsu mengangguk pelan, puas. "Bagus. Dalam jangka waktu tiga hari ini, kalian akan menjalani masa ospek. Dan setiap pagi kalian wajib menjalani upacara. Seluruh kegiatan ospek berlangsung di lapangan, sebagai pendidikan mental yang baik. Setelah kalian menjalani ospek, masih ada masa matrikulasi untuk pembiasaan lingkungan kampus dengan bimbingan para panitia ospek selama tiga hari. Kali ini kita akan menjalani upacara pertama."

Terdengar suara dengusan dari para senior panitia ospek yang berjaga di belakang barisan. Sepertinya itu berita buruk bagi mereka. Tiga hari mereka sudah melewati ospek yang melelahkan, tiga hari selanjutnya mereka pun diwajibkan untuk membimbing matrikulasi bagi para anak baru. Sepertinya hal itu membuat otak dan batin mereka semakin tersiksa.

Pandangan Natsu menyisir setiap barisan dan tiba-tiba Lucy menyadari bahwa iris itu tengah memandangnya dengan tatapan mengerikan. Astaga, ia buru-buru membuang pandangannya dan tiba-tiba seluruh peserta ospek terperangah begitu melihat jari telunjuk kanan Natsu secara cepat mengarah kepadanya dan Lucy buru-buru melotot saat Natsu berteriak dengan keras. "Ya! Gadis pirang disana, aku belum selesai denganmu!"

Astaga, bencana besar.

.

.

Dengan menekuk wajah cantiknya, Lucy maju sambil memonyongkan bibirnya kesal, diiringi ratusan pasang mata yang memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Dan ia maju ke depan, ke hadapan podium, dan lelaki berambut merah muda di hadapannya tersenyum lebar. "Nah, sekarang aku akan melanjutkan hukumanku yang nyaris tertunda tadi pagi. Kalian lihat," sekarang pandangannya mengarah pada audiens. "Ia tidak mengenakan kaos ospek hari ini. Kesalahan fatal. Maka itu aku juga akan menghukumnya dengan sadis."

Seluruh wajah disana langsung berubah menjadi tegang.

"Oke, siapa namamu, pirang?"

Lucy yang berkeringat dingin karena gugup, buru-buru menegakkan posisi berdirinya. "Lu-lucy Heartfilia," jawabnya pelan.

"Baik, sekarang hukumanmu adalah…" Natsu menarik napas. Suasana lapangan langsung ribut, begitu melihat murid yang penampilannya manis seperti Lucy—siapa sangka bahwa Natsu akan menghukum gadis itu di hadapan banyak orang? Dan lagi—pandangan siswa-siswa di hadapannya terlihat begitu menganggu. Ia berdiri di depan ratusan peserta ospek, dan menatap banyak sekali siswa yang memandangnya, berbisik-bisik, serta terlihat seperti membicarakannya. Ah, sudahlah.

"Menjadi asistenku selama satu tahun ajaran baru!"

Lucy melongo sejenak setelah mendengar kata-kata Natsu tadi. Ia baru sadar sekitar jangka waktu lima menit kemudian.

"Eh? Hah?"

.

.

To be continued.