Unravel
Cast: Jeon Jungkook, Kim Taehyung
Rated: M
Genre: Crime, Drama, Romance
Melihat kakakmu dibunuh dengan sadis di depan matamu merupakan hal yang sangat menyakitkan. Namun Jeon Jungkook, seorang psikolog harus berurusan dengan pembunuh kakaknya. Kim Taehyung, laki-laki yang mengakui dirinya dan rela ditangkap.
.
.
.
"Aku pulang," Laki-laki itu membuka pintu rumahnya. Gelap adalah hal pertama yang tertangkap retinanya. Ia mengernyit. Heran karena ini bukan hal yang biasa. Ini sudah pukul sepuluh malam tapi rumahnya masih gelap. Bukankah seharusnya kakaknya menyalakan lampu sedari tadi? Sebelah tangannya bergerak untuk mencari saklar lampu yang seingatnya berada tepat di sebelah pintu. Entah kenapa sebuah perasaan aneh menghampiri dirinya. Was-was, dan juga, takut? Laki-laki itu tertawa kecil. Apa yang harus ia takutkan? Toh ia berada di rumahnya sendiri. Namun entah kenapa perasaan itu tak mau hilang.
Perlahan jemarinya menekan saklar itu. Seketika jutaan molekul cahaya berlomba-lomba menubruk irisnya. Ia mengerjabkan kedua onyxnya cepat. Menyesuaikan diri dengan cahaya terang yang tiba-tiba. Ia pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu itu. Tak ada siapapun. Namun ada sesuatu yang mengganggunya. Aroma anyir yang memenuhi ruangan. Membuatnya mual.
Hingga kedua onyxnya menemukan jejak cairan kental berwarna merah di lantai. Mengumpul tepat di depan kakinya dan mengalir membentuk sebuah bekas seretan hingga ke ruang tengah. Laki-laki itu meneguk salivanya. Pikirannya berkecamuk. Ia takut. Mencoba berpikir positif jika itu hanya ulah jahil kakaknya. Ya, ini pasti hanya ulah jahil orang itu. Awas saja dia. Namun kenapa ia tak yakin dengan pemikirannya sendiri?
Tubuhnya membungkuk dan tangannya terjulur, hendak memastikan cairan merah di lantai. Tubuhnya bergetar saat jarinya menyentuh cairan itu. Dengan perlahan ia mendekatkan jemarinya ke wajahnya, membauinya. Anyir. Dan otaknya langsung memprosesnya, darah. Adrenalin terbentuk dengan cepat, membuat jantungnya berdebar diluar kebiasaannya. Cepat dan tak teratur. Napasnya terengah. Ia harus memastikannya sendiri. Jelas ini bukanlah ulah jahil kakaknya. Jika iya, maka kali ini kakaknya sudah benar-benar keterlaluan.
Ia mengambil langkah lebar menuju ruang tengah, mengikuti jejak darah itu. Mengabaikan tas dan jas yang ia biarkan di depan pintu yang masih terbuka. Saat ini pikirannya benar-benar kalut. Tapi dalam hatinya ia masih berdoa. Semoga ini benar-benar ulah jahil kakaknya yang sudah kelewat batas. Mengamati bekas seretan yang berlanjut ke dapur yang gelap membuatnya meneguk ludah kasar. Perlahan namun pasti, ia melangkahkan kaki jenjangnya menuju dapur. Hingga ia berdiri di depan pintu dapur, memandangi siluet seseorang tengah berdiri di sisi meja makan.
Kali ini tangannya bergerak cepat untuk menekan saklar lampu di sebelah pintu. Ia amat berterima kasih karena semua saklar lampu rumahnya berada tepat di sebelah pintu ruangan itu. Dengan begitu ia tak perlu repot-repot memasuki ruangan itu hanya untuk menyalakan lampu.
Dan seketika kedua onyxnya membola, tubuhnya pun kaku. Napasnya tersendat saat melihat pemandangan di hadapannya. Otaknya pun memerlukan waktu untuk memproses kejadian yang ditangkap oleh kedua indera penglihatannya. Kakak perempuannya berada di atas meja makan, tanpa busana. Dengan paku yang menancap di kedua tangan dan kakinya, membuatnya menyatu dengan sudut-sudut meja. Dengan seorang laki-laki bersurai ungu pucat berdiri di samping meja dan tengah asik membedah perut kakaknya. Mengeluarkan usus dan alat pencernaan lainnya seolah-olah ia tengah melakukan praktek pembedahan katak di sekolah. Perutnya terasa bergejolak. Ia mual. Benar-benar mual. Apalagi bau anyir tercium begitu pekat di ruangan itu.
Laki-laki itu seolah tak memperdulikannya. Ia terus menarik keluar lambung kakaknya dan meletakkannya di sebuah mangkuk besi. Ia sendiri tak dapat berkata apa-apa saat ini. Tubuhnya kaku dan lidahnya membeku. Ia hanya bisa memandangi tubuh kakaknya yang tak bernyawa. Mengenaskan. Dengan mulut yang menganga lebar dan kedua bola mata yang terbuka. Rambut pirangnya sendiri sudah terpotong, yang tadinya sepanjang punggungnya kini hanya mencapai lehernya.
"Oh, ternyata ada orang." Suara bass itu mengganggu pendengarannya. Mencari asal suara, ia pun menemukan obsidian gelap yang memandang tepat ke arah dirinya. Dingin dan kosong. Saat ini tubuhnya bergetar hebat, pikirannya kacau. Napasnya tertahan di kerongkongannya saat laki-laki itu melangkahkan kakinya mendekati dirinya. Segalanya terasa seperti slow motion, bahkan laki-laki itu tak kunjung sampai di hadapannya. Apa ini karena efek jantungnya yang berdebar hebat? Entahlah, ia sendiri tak tahu. Lebih tepatnya tak ingin memikirkannya karena bahkan saat ini ia tak dapat berpikir. Bahkan untuk melarikan diri sekalipun.
"Kau pasti Jeon Jungkook." Dan entah sejak kapan laki-laki itu berada tepat di hadapannya, memerangkapnya diantara tubuhnya dan juga dinding serta membisikkan namanya di telinganya dengan begitu sensual. Tunggu sebentar, apa yang baru saja ia pikirkan? Kedua onyxnya bertabrakan dengan obsidian kembar itu. Entah keberanian dari mana hingga ia dapat menatap langsung ke arah mata pembunuh kakaknya ini.
"Kau yang membunuh kakakku?" Suaranya bergetar. Menyalurkan semua perasaannya. Takut, tegang dan marah. Jeon Jungkook tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Kedua onyxnya membola saat ia mendengar gelak tawa dari laki-laki di hadapannya ini.
"Kalau iya memangnya kenapa? Kau ingin memakiku? Memukulku? Atau membunuhku?" Dan saat ini iya merasa bodoh karena menanyakan pertanyaan yang sudah ia tahu pasti jawabannya. Ia menelisik ke dalam obsidian itu. Mencari sesuatu. Hingga tawa laki-laki itu terhenti dan balas menatapnya. Tatapan mata yang kosong dan dengan pupil yang mengecil. Ia mengamati raut wajah laki-laki itu. Dingin, tanpa emosi. Bahkan tawanya tadi terkesan dingin dan datar. Dari caranya membelah perut kakaknya dan mengeluarkan organ dalamnya, jelas laki-laki itu tak mempunyai rasa empati sedikitpun. Hanya ada dua kemungkinan yang terpikir olehnya. Psikopat atau sosiopat.
Tidak susah membaca laki-laki itu mengingat dirinya adalah seorang psikolog. Ia memejamkan matanya, menarik napas panjang dan mencoba menenangkan diri. Menghadapi seorang psikopat ataupun sosiopat dalam keadaan kacau sama saja memasukkan diri ke dalam kandang buaya. Dengan perlahan ia pun membuka matanya dan kembali menatap obsidian kembar itu.
"Apa yang kau inginkan?"
"Yang kuinginkan? Tidak ada. Hanya bersenang-senang."
"Kau merencanakan ini sebelumnya?"
"Kalau iya? Apa urusannya denganmu? Oh iya, kau ini adiknya Momo kan. Tentu saja ini menjadi urusanmu."
"Kau mengenal kakakku."
"Kalau tidak aku tidak akan membunuhnya, kelinci manis."
Cukup. Percakapan ini sama sekali tidak ada gunanya. Ia merasa emosinya sudah berada di ubun-ubun mendengar jawaban menyebalkan dari laki-laki itu. Dan apa-apaan panggilan itu? Perlu ia tegaskan. Dirinya bukan kelinci dan ia sama sekali tidak manis.
Sebuah seringaian tercipta di wajah laki-laki itu. Ia berbalik, memandangi tubuh kaku kakaknya dan terdiam. Jungkook dapat melihat bahu laki-laki itu bergetar dari tempatnya ia berdiri sekarang. Kedua tangan laki-laki itu meremat surai ungunya sendiri. Membuat Jungkook mengernyit heran. Dengan gerakan panik, laki-laki itu memandang kedua tangannya yang berlumuran darah. Dan juga kaus putihnya yang penuh dengan bercak darah. Ia mengelap tangannya pada kausnya dan sepertinya ia juga berniat untuk menghilangkan noda darah di kausnya dan itu sia-sia. Noda darah tidak akan hilang dengan mudah walaupun sudah dicuci berkali-kali.
"Apa yang sudah kulakukan? Demi Tuhan." Laki-laki itu berbalik, memandangnya dengan raut kacau. Berbanding seratus delapanpuluh derajat dibandingkan dengan ekspresinya tadi. Panik, kacau dan takut. Laki-laki itu masih mencoba untuk menghilangkan darah di kausnya seraya menggumamkan; Apa yang kulakukan? Kenapa tidak mau hilang juga? Demi Tuhan!
Laki-laki itu mendekatinya, memegang tangannya dengan tangan penuh darah itu dan menatapnya dengan sepasang hazel itu. Tunggu, hazel?
"Lakukan sesuatu! Panggil polisi atau apapun! Kalau perlu kau tangkap aku. Kumohon. Lakukan sesuatu." Tubuhnya lagi-lagi membeku. Ia memandang heran laki-laki di hadapannya kini. Ia serasa berhadapan dengan orang yang berbeda. Entah kenapa, berada di dekat laki-laki ini tak membuatnya terintimidasi atau tegang lagi. Lagi-lagi otaknya memerlukan waktu untuk memproses kejadian ini. Entah kenapa hari ini otaknya bekerja begitu lambat.
"Ponsel! Mana ponselmu? Cepat hubungi polisi atau 911!" Laki-laki itu mengguncang bahunya, membuatnya tersentak kaget. Dengan gerakan kaku ia mengeluarkan ponsel dari sakunya. Membuka kuncinya dan langsung masuk ke menu telepon. Menekan angka 911 dengan kaku, ia pun menempelkan ponsel itu di telinganya.
"911, apa keadaan daruratmu?"
"S-seseorang menyusup ke rumahku―dan membunuh kakakku."
"Baik. Kami menemukan alamatmu di distrik Songpa. Kami akan segera mengirimkan unit kesana."
Sambungan terputus. Bola matanya memandang kosong laki-laki yang kini berjalan lemas ke meja makan. Mengambil sebuah jaket kulit yang tergeletak di salah satu kursinya. Ia dapat dengan jelas melihat tatapan sendu yang digunakan oleh laki-laki itu. Mengenakan jaket itu, laki-laki itu kemudian berjalan melewatinya. Menuju ke ruang tengah. Onyxnya terus mengikuti hingga laki-laki itu duduk di salah satu sofa di sana. Termenung.
Ia benar-benar tak mengerti apa yang terjadi saat ini. Ia pun memutuskan untuk mendekati laki-laki itu. Setidaknya ia berpikir laki-laki itu kini tak berbahaya. Yah, untuk sementara. Memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, ia kemudian bersedekap. Mengamati laki-laki yang nampak lemah dan tak berdaya itu. Benar-benar berbanding terbalik dengan sosok yang tadi ia lihat. Sosok yang begitu superior, dominan dan arogan. Tak ada yang berubah secara penampilan. Hanya saja, sepasang obsidian kelam yang dingin tadi berubah menjadi dua buah hazel yang begitu jernih.
"Maaf,"
Jungkook kembali tersentak saat mendengar suara bass itu. Namun kali ini berbeda. Lebih lembut dan tanpa aura intimidasi. Onyxnya mengerjab. Menyadari jika laki-laki itu semakin menundukkan kepalanya, seolah tak berani menatapnya. Ia menghela nafasnya sejenak. Mencoba kembali menenangkan diri dan menyusun kembali kepingan kejadian malam ini. Yang membuat kepalanya berdenyut-denyut.
"Kenapa kau membunuh kakakku?" Sebuah pertanyaan yang sedari tadi menghantui pikirannya kini berhasil ia lontarkan. Jujur saja, ia benar-benar penasaran dengan alasan laki-laki ini membunuh kakaknya. Selain itu, ia tak pernah mengenal laki-laki itu. Apakah ia teman kakaknya tapi tak pernah diberitahukan padanya? Entahlah.
"Aku―tidak tahu."
"Kau mengenal Momo?"
"Tidak. Sama sekali tidak."
"Kau baru saja mengatakan mengenal kakakku, Hirai Momo beberapa menit yang lalu. Dan sekarang kau bilang kau tidak mengenalnya?!" Tanpa aba-aba, ia menarik kerah kaus laki-laki itu. Membuatnya mendongak dan menampakkan wajah yang penuh oleh air mata. Dan seketika ia tertegun.
"Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan. Maaf. Maaf."
Ia melepas cengkramannya pada kaus laki-laki itu. Membiarkannya menangis sambil menutupi wajahnya sendiri. Menyesal eoh?
"Namamu?"
"Taehyung. Kim Taehyung." Laki-laki itu menjawabnya di tengah isakannya. Walaupun laki-laki itu menangis tersedu-sedu seperti sekarang, entah kenapa ia tak merasakan iba sedikitpun.
"Jadi, Kim Taehyung-ssi. Kau membunuh kakakku, tanpa alasan. Dan kau mengatakan kalau kau sama sekali tidak mengenalnya sedangkan sebelumnya kau mengatakan jika kau mengenalnya, makanya kau membunuhnya? You know? It doesn't make sense at all."
Jungkook mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar tak mengerti dengan semua kejadian ini. Dengan laki-laki itu. Yang ia tahu saat ini adalah; kakaknya―kakak tirinya―satu-satunya keluarga yang ia miliki kini terbunuh. Dengan keadaan mengenaskan. Dibunuh oleh psikopat gila yang sama sekali tak ia mengerti. Bahkan seumur-umur karirnya sebagai psikolog, ia tak pernah menemukan hal seperti ini. Menangani psikopat? Atau sosiopat? Ia pernah. Tapi tidak yang seperti ini. Sial. Ia terus memaki dalam hatinya. Jemarinya ia gunakan untuk memijit pelipisnya. Kepalanya saat ini berdenyut hebat. Ia rasa ia butuh obat sakit kepala sekarang.
BRAK
"Angkat tangan! Ini polisi!"
Segerombolan orang dengan senjata di genggaman mereka menerobos masuk ke rumahnya. Salah seorang dari mereka yang terlihat seperti pemimpinnya maju mendekati Jungkook dan menunjukkan identitasnya.
"Inspektur Kim Namjoon. Kami mendapat telepon jika ada yang menyusup ke rumah anda dan membunuh kakak anda. Benar begitu?" Inspektur yang tampak masih muda itu menatapnya dengan sorot menelisik. Dimasukkannya kembali lencana beserta tanda identitasnya ke sakunya.
"Benar. Kakakku ada di dapur. Dan pembunuhnya―tepat di depan matamu, Inspektur." Laki-laki itu melirik ke arah Taehyung yang tengah duduk sambil tetap menutupi wajahnya. Diikuti dengan Inspektur Kim yang memandang laki-laki itu dengan pandangan tak percaya. Kemudian dengan isyarat tangan, ia memerintahkan anak buahnya untuk memasuki dapur.
"Inspektur, kami menemukan mayatnya!" Seorang polisi menghampiri Inspektur Kim dan melaporkan apa yang baru saja ia lihat. Tanpa babibu lagi, Inspektur Kim langsung melesat menuju dapur. Dan dapat ia lihat jika laki-laki tinggi itu mematung di depan pintu dapurnya.
"Cepat tangkap laki-laki berambut ungu itu." Segera setelah Inspektur Kim menyelesaikan kalimatnya, anak buahnya langsung bergerak untuk menangkap Taehyung. Membuatnya berdiri dan memborgol kedua tangannya. Bahkan laki-laki itu tak melawan sama sekali. Ia hanya menundukkan kepalanya. Terlihat penyesalan yang amat dalam dari kedua hazel itu. Sementara beberapa orang berjas putih yang Jungkook yakini sebagai tim forensik dengan sigap memeriksa mayat kakaknya.
"Permisi. Maaf, tapi kami juga harus mewawancarai anda." Jungkook melirik seorang laki-laki pendek berambut pirang yang tengah membawa sebuah buku catatan dan juga pena. Ia mengangguk sekilas dan mendudukkan dirinya di sofa, disusul oleh laki-laki pirang yang duduk di seberangnya.
"Namaku Jackson Wang. Jadi, eum―"
"Jungkook. Jeon Jungkook."
"Ah! Jadi, Jeon Jungkook-ssi. Pukul berapa anda menemukan mayat kakak anda?"
Jungkook berpikir sejenak sebelum mejawab pertanyaan laki-laki di hadapannya itu. "Kira-kira pukul sepuluh. Saya baru saja pulang tadi."
"Terlihat dari penampilan anda. Omong-omong, apa pekerjaan anda?"
"Psikolog." Jackson yang sedang mencatat sesuatu di bukunya tampak menghentikan kegiatannya dan mengernyit.
"Apa yang anda lakukan hingga selarut ini?"
"Saya mampir ke restoran di dekat panti rehabilitasi tempat kerja saya bersama dengan senior saya. Anda bisa menemukan makanan yang saya bawakan untuk kakak saya di tas." Jungkook menunjuk tasnya yang masih tergeletak di depan pintu untuk meyakinkan laki-laki itu. Sedangkan Jackson hanya mengangguk, menandakan ia percaya dengan ucapannya dan kembali mencatat di bukunya.
"Menurut laporan tim forensik, mayat bernama Hirai Momo ditemukan tewas di dapur rumah anda. Korban diduga tewas dua jam yang lalu. Yang berarti pukul sembilan lebih. Itu baru perkiraan mengingat masih seberapa segarnya darah korban." Inspektur Kim menghampiri mereka berdua dan duduk tepat di samping Jackson. "Dari mana kau tau jika Kim Taehyung yang membunuhnya?"
"Saya melihatnya membunuh kakak saya. Saya baru saja pulang. Keadaan rumah benar-benar gelap. Tidak biasanya karena kakak saya pasti akan menyalakan lampu setelah matahari tenggelam. Kecuali jika ia sedang berada di luar. Tapi tidak mungkin karena pintu dalam keadaan tidak terkunci saat saya pulang." Jungkook menghela nafas pelan, ia memandangi Inspektur Kim dan Jackson yang setia mendengarkannya. "Saat saya menyalakan lampu, saya melihat cairan merah di lantai. Saya kira itu hanya kelakuan jahil kakak saya―dia memang orang yang jahil. Tapi kalau ini memang ulahnya, menurut saya ia sudah benar-benar keterlaluan. Saat saya mencoba memastikannya, cairan itu adalah darah. Darah itu membentuk bekas seretan hingga ke dapur seperti yang anda lihat." Jungkook menunjuk ke arah bekas seretan darah yang sudah mengering di lantai yang diangguki oleh kedua pria itu.
"Saya mengikutinya. Dan saat saya sampai di dapur, keadaan dapur benar-benar gelap. Tapi saya masih bisa melihat siluet laki-laki itu. Dan anda tahu betapa terkejutnya saya saat melihat kakak saya dalam keadaan mengenaskan dengan laki-laki itu yang membelah perut kakak saya ketika saya menyalakan lampu. Demi Tuhan ia bahkan tak menghiraukan saya yang melihat kegiatannya. Hingga ia menyadari saya, ia berjalan mendekati saya. Memojokkan saya di dinding. Saya mencoba tenang dan menanyakan apa ia mengenal kakak saya atau tidak. Dan ia menjawab dengan begitu santai. Membuat saya emosi. Saya sempat berpikir jika ia seorang psikopat atau sosiopat melihat sikapnya yang seperti itu." Jungkook menjeda ceritanya. Ia mengusap wajahnya kasar saat kembali mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Ia menceritakan segalanya, kecuali bagian saat laki-laki itu menyebut namanya dengan sensual dan memanggilnya kelinci manis. Tidak. Ia tidak akan sudi menceritakan bagian itu.
"Tapi kemudian ia berbalik dan terdiam. Kemudian saya bisa melihat tubuhnya bergetar dan panik. Ia mengelap darah di tangannya dan mencoba membersihkan noda darah di kausnya. Kemudian ia kembali menghadap saya. Menyuruh saya untuk melakukan sesuatu. Bahkan ia meminta saya untuk menangkapnya. Ia sendiri yang mengusulkan untuk memanggil 911. Karena saya sendiri tidak terpikirkan untuk melakukan itu. Setelah saya memanggil 911, ia berjalan ke sofa dan duduk di sana. Saya memutuskan untuk menginterogasinya sedikit. Saya benar-benar merasa menghadapi orang yang berbeda. Seperti bukan sosok laki-laki yang membunuh kakak saya. Saat saya menanyakan kenapa ia membunuh kakak saya, ia menjawab tidak tahu. Dan saat saya kembali menanyakan apa dia mengenal kakak saya, dia menjawab; sama sekali tidak. Padahal beberapa menit sebelumnya ia berkata mengenal kakak saya. Sayapun menanyakan namanya, dan ia menjawab dengan namanya. Kim Taehyung. Menurut saya dia orang yang benar-benar aneh dan tidak dapat saya pahami. Maksud saya, bahkan ia sendiri yang menyuruh saya memanggil polisi dan menangkapnya. Ia bahkan menangis di depan saya. Setelah semua yang telah ia lakukan. Membunuh kakak saya dengan begitu sadis. Saya benar-benar tak habis pikir." Jungkook mengakhiri ceritanya dengan helaan nafas keras. Lagi-lagi mengusap wajahnya kasar. Kepalanya kembali berdenyut-denyut mengingat kejadian tadi. Ia benar-benar butuh obat sakit kepala sekarang.
"Baiklah, Jeon Jungkook-ssi. Terima kasih atas kerjasama anda. Saya akan melanjutkan pemeriksaan. Soal Kim Taehyung, pembunuh kakak anda. Kami akan menginterogasinya kembali esok hari di kantor kami. Saya harap anda dapat kembali bekerjasama dengan kami."
"Anda meminta saya datang?" Ia menjilat bibirnya yang terasa kering. Ia benar-benar tak ingin berurusan lagi dengan laki-laki yang telah membunuh kakaknya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ia melihat Inspektur Kim mengangguk mengiyakan pertanyaannya dan kemudian bangkit berdiri. Yang disusul oleh Jackson dan dirinya sendiri. Laki-laki tinggi itu mengulurkan tangannya, hendak menjabat tangannya yang dibalas olehnya dengan kaku.
"Sekali lagi terima kasih atas kerjasama anda." Ia melepas jabatan tangannya setelah menggumam sama-sama pelan. Inspektur Kim pun berjalan keluar dari rumahnya, disusul oleh Jackson dan anak buahnya yang lain. Kemudian tim forensik mengekor sambil membawa mayat kakaknya. Ia melirik ke dapurnya yang masih berantakan dengan cipratan darah disana-sini. Bibirnya melengkung, menciptakan sebuah senyuman pahit saat ia kembali melihat mayat kakaknya yang sedang dibawa oleh tim forensik.
"Oh ya, satu lagi." Jungkook tersentak saat kembali mendengar suara berat Inspektur Kim. Ia menatap laki-laki tinggi berlesung pipi itu. "Kenapa marga kalian berbeda?"
"Oh? Dia kakak tiriku. Ayah kami berbeda. Ibu dan ayahnya asli orang Jepang. Tapi ayahnya meninggal saat ia masih berusia satu tahun. Kemudian ibu kami memilih pindah kemari untuk memulai hidup baru dan bertemu dengan pria asli Korea dan menikahinya―ayahku." Ia mengulas sebuah senyuman saat Inspektur Kim mengangguk. Ia berujar baiklah dan mengingatkannya untuk datang ke kantor kepolisian besok pagi dan berjalan keluar, meninggalkannya.
Jungkook hanya memandang iringan mobil kepolisian yang bergerak menjauhi rumahnya dengan pandangan kosong dari depan pintu. Ia kemudian menutup pintu itu dan mengambil tas dan juga jasnya yang masih berada di sana, meletakkannya asal di atas bufet. Kedua onyxnya perlahan menyapu ruangan luas di hadapannya. Lantainya masih terdapat bekas darah. Darah kakaknya. Satu-satunya keluarganya. Satu-satunya yang ia miliki.
"Nee-san," Setetes air mata jatuh mengaliri pipi gembilnya. Air mata yang sedari tadi ia tahan. Ia tak ingin menunjukkan sisi lemahnya pada orang lain. Ia tak akan membiarkan orang lain melihat air matanya. Walaupun ia terlihat tenang saat berhadapan dengan pembunuh kakaknya ataupun terlihat tegar saat Inspektur Kim dan Jackson mewawancarainya. Ia menahan segalanya. Menunggu saat semua orang pergi dan ia bebas menumpahkan apa yang ia rasakan sekarang.
"Nee-san," Sosok yang ia sayangi kini telah tiada. Meninggalkannya sebatang kara. Sosok yang telah menjaganya semenjak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan sepuluh tahun silam. Jungkook tidak pernah merasa sehancur ini sebelumnya. Bahkan saat kedua orang tuanya meninggal. Ada Momo disana. Ia memeluknya, mengatakan jika masih ada dirinya. Ia berjanji tak akan meninggalkannya sendirian. Saat itu ia hanyalah remaja cengeng nan manja yang bergantung kepada kakaknya. Kini ia seorang pria berusia duapuluh empat tahun yang mapan. Mempunyai pekerjaan tetap walaupun ia masih melanjutkan pendidikannya. Setidaknya ia bisa membanggakan sang kakak dengan gelar sarjana yang ia dapatkan. Ia bisa menghidupi dirinya sendiri dan juga kakaknya. Ia bisa membuat kakaknya tersenyum bahagia.
"Gomenne, nee-san. Aku tidak bisa menjagamu." Ia kembali mengulas senyum pahit di wajah tampannya. Mengusap air matanya, ia kemudian melangkahkan kaki menapaki anak tangga. Menuju kamarnya. Ia rasa ia butuh istirahat. Ia benar-benar penat hari ini.
.
.
.
"Kau tahu? Ia benar-benar menutup mulutnya rapat-rapat sedari tadi." Inspektur Kim mengerling ke arah Jungkook. Keduanya tengah memperhatikan sebuah kaca besar yang menampakkan seorang laki-laki bersurai ungu pucat yang tengah terduduk dan menunduk dalam. Di seberangnya, seorang laki-laki lain yang bertubuh lebih kecil dan bersurai mint nampak tengah berbicara dengannya. Laki-laki itu menumpukan kedua sikunya pada meja di depannya. Menunggu Kim Taehyung untuk berbicara. Namun nihil. Ia tak membuka mulutnya sedikitpun sedari tadi.
"Kau tahu? Min Yoongi adalah yang terbaik dalam menangani masalah interogasi tersangka. Kemampuannya membaca orang tak dapat diragukan lagi. Mulut pedasnya amat berguna untuk memojokkan tersangka hingga mereka mengaku. Namun baru kali aku melihatnya mati kutu. Tersangka benar-benar tak membuka mulut walaupun Yoongi sudah menggunakan mulut pedas andalannya. Aku benar-benar salut." Inspektur Kim bersedekap melihat laki-laki berambut mint―Min Yoongi yang tengah berbicara panjang lebar pada Taehyung. Namun tak satupun perkataannya yang ditanggapi oleh laki-laki itu.
Jungkook yang memang baru sampai pun agaknya paham dengan kekesalan laki-laki itu. Terlihat dari sorot matanya yang begitu tajam dan penuh intimidasi. Kedua onyxnya bergulir ke arah Taehyung. Mengamati laki-laki itu sekali lagi. Persis seperti sosok yang ia lihat semalam. Lemah, dan rapuh. Berbeda dari sosok yang membunuh kakaknya.
Hingga saat kepala ungu itu terangkat. Obsidian kembarnya mengkilat tajam. Melirik jauh menembus kaca ruang interogasi itu. Memandang kosong ke arahnya. Dengan sudut bibir yang tertarik beberapa milimeter. Kim Taehyung menatap tepat ke dalam matanya. Membuat jantungnya berdebar jauh lebih cepat. Ia menyadarinya. Ia mengenal obsidian kembar itu. Warna yang sama dengan yang dilihatnya malam tadi. Mata yang sama dengan pembunuh kakaknya. Napasnya tercekat. Perasaan yang sama saat sosok itu menatapnya datang kembali. Apa ia takut?
"Hai, kelinci manis."
Kedua onyxnya membulat saat sosok itu kembali memanggilnya. Dengan seringai yang makin melebar. Ia dapat dengan jelas merasakan sosok itu menatapnya dalam.
"Tidak ada apa-apa disana. Jangan mengalihkan pembicaraan, Kim Taehyung-ssi." Yoongi melirik sekilas ke arah cermin besar di sebelah kirinya dan kembali memandang Taehyung yang kini menaikkan kedua kakinya ke meja. Yang sukses membuat emosinya mencapai ubun-ubun.
"Aku tidak bodoh. Aku tahu kau disana, kelinci manis." Jeon Jungkook tersentak. Yang menjadi pertanyaannya adalah; bagaimana bisa Kim Taehyung mengetahui ia berada di balik cermin itu? Bukankah seharusnya cermin itu hanya menampilkan refleksi dari ruang interogasi saja?
"Bagaimana dia bisa tahu, heh? Dan apa yang dia maksud kelinci manis itu anda, Jungkook-ssi?" Jungkook menelan ludahnya gugup saat Inspektur Kim memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Mau tak mau ia mengangguk kaku. Jujur saja, ia malu. Benar-benar malu.
"B-benar, Inspektur Kim. Saat dia memojokkan saya, dia memanggil saya seperti itu." Mendengar penuturan dari saksi matanya, laki-laki itu hanya mengangguk. Tak ingin menanyakan lebih jauh.
"Seringainya mengingatkanku pada tokoh Joker, omong-omong." Ia tahu saat ini Inspektur Kim mencoba bercanda untuk menghilangkan sedikit ketegangan yang ada. Namun sia-sia, ia bahkan tak merasa rileks sedikitpun. Bahkan ia makin tegang saat Kim Taehyung membuka mulutnya perlahan, kembali memanggilnya.
"Bagaimana kalau kelinci manis yang di sana saja yang menginterogasiku? Mungkin aku akan berubah pikiran dan menjawab semua pertanyaan kalian."
Dan seketika dua pasang mata petugas kepolisian itu mengarah tepat kepadanya. Dan sekali lagi ia menelan ludahnya gugup. "A-apa?"
Sebuah seringai lebar yang ditujukan laki-laki itu seakan menyudutkannya. Dengan kedua tangan yang dilipat angkuh dan kedua kaki yang berada di atas meja. Obsidian kembar itu seolah membuatnya membeku. Ditambah dengan tatapan tajam dari Min Yoongi dan Inspektur Kim benar-benar membuatnya ciut. Yoongi sekilas melirik ke arah Inspektur Kim, dan laki-laki itu mengangguk konfirmatif. Menandakan ia setuju-setuju saja dengan hal itu.
"Well, jika itu maumu." Laki-laki pucat itu bangkit dari kursinya. Berjalan dengan langkah tenang ke pintu keluar ruangan interogasi, menghampiri Jungkook dan Inspektur Kim.
"Kau dengar sendiri maunya. Cepat masuk dan interogasi dia sebelum laki-laki sialan itu berubah pikiran lagi." Yoongi menghempaskan lembaran kertas di tangannya kepada Jungkook, membuat laki-laki itu tersentak. "Kau psikolog, kan? Seharusnya ini menjadi hal mudah bagimu." Sebelum Jungkook sempat menjawab, laki-laki itu sudah mendudukkan dirinya di salah satu kursi dan meminum kopi di meja dengan buas. Sorot mata tajamnya mengarah ke Jungkook. Jelas sekali jika ia tak suka dengan laki-laki itu.
"Asal kau tahu saja, aku jurusan psikologi umum. Bukan psikologi kriminal."
Jungkook menghela nafasnya, menenangkan dirinya sebelum dirinya berjalan ke dalam ruang interogasi. Ia memegang kenop pintunya erat, mensugesti dirinya sendiri bahwa tak ada yang akan terjadi. Semuanya akan baik-baik saja dan ini akan menjadi sebuah hal mudah. Seperti yang biasa ia lakukan. Menemui pasien-pasien dengan latar belakang dan gangguan psikologis yang berbeda-beda.
CKLEK
Langkah tenangnya membawanya menuju sebuah bangku yang berada tepat di seberang Kim Taehyung. Ia dapat melihat seringaian laki-laki itu dengan amat jelas. Penampilannya masih persis seperti semalam. Kaus putih dengan jaket kulit hitam sebagai luarannya, dan juga celana jeans hitam belel. Well, jangan lupakan bercak-bercak darah yang masih setia di pakaiannya. Jelas di hadapannya kini adalah tipe laki-laki urakan. Ia juga bisa melihat beberapa tindikan di telinga Taehyung. Jika diperhatikan lebih mendetail, laki-laki di hadapannya ini benar-benar tampan dan atraktif. Jika tidak disertai dengan sifat sadis dan psikopatnya itu.
"Senang dengan apa yang kau lihat, kelinci manis?" Jungkook mengerjabkan matanya cepat. Ia tersadar dari pikirannya. Tertangkap basah sedang memperhatikan orang memang benar-benar memalukan. Terutama jika yang kau perhatikan adalah tipe orang menyebalkan seperti Kim Taehyung ini―menurutnya.
"Well, tidak juga. Omong-omong, selamat pagi Kim Taehyung-ssi. Kita bertemu lagi. Tapi kali ini dalam kondisi yang berbeda. Dan tolong panggil aku dengan namaku. Aku punya nama dan itu bukan kelinci manis." Jungkook sedikit menggeram di akhir kalimatnya. Ia tak suka jika laki-laki itu terus saja memanggilnya dengan sebutan kelinci manis. Jujur saja, itu benar-benar memalukan. Rasa-rasanya ia ingin menenggelamkan laki-laki itu ke Sungai Nil jika ia terus memanggilnya dengan sebutan seperti itu.
"Wow, apa-apaan ini? Kenapa kau mendadak bersikap profesional dan tenang? Kemana kelinci manisku yang semalam, huh?"
"Kurasa aku tidak perlu banyak bicara. Aku hanya ingin menanyakan satu hal padamu." Ia lagi-lagi menghela nafasnya. Ia tidak bisa tidur semalam. Pikirannya dihantui oleh sosok Kim Taehyung. Ia terus memikirkannya. Bukan memikirkan Kim Taehyung, tapi sesuatu pada dirinya. Hingga ia baru bisa terlelap pukul empat pagi. Dan jam wekernya mengganggu tidurnya dengan indah pada pukul tujuh. Jika saja ia tak mengingat janjinya untuk datang ke kantor kepolisian pagi ini, mungkin sekarang ia masih bergelung di dalam selimut merahnya yang nyaman.
Jungkook menatap sosok itu dalam. Jauh menembus obsidian kosongnya. Menelitinya. Ia baru bisa mendapat jawabannya pagi ini. Saat ia melihat kembali obsidian kembar itu. Ia menyadarinya setelah memandang lamat-lamat sosok itu. Tubuhnya ia condongkan ke depan, mengamati sosok itu lebih dekat walaupun terhalang oleh meja dan kaki kurang ajar itu.
Min Yoongi dan Inspektur Kim masih setia berada di balik kaca itu. Mengamati kegiatan mereka berdua dalam diam. Hingga sang rambut mint membuka suaranya.
"Sebenarnya ada yang mengganjal di pikiranku," Gumaman yang cukup kencang untuk didengar oleh Inspektur Kim membuat laki-laki tinggi itu menoleh ke arahnya. Ia kembali meminum kopi hitamnya yang tinggal sedikit. "Kim Taehyung itu, sedikit aneh."
"Dia memang aneh, Yoon. Mana ada pembunuh yang meminta ditangkap?" Inspektur Kim memutar bola matanya jengah. Kalau keanehan yang dibicarakan bawahannya adalah yang itu, ia bersumpah akan melemparkan laki-laki pucat itu ke kandang harimau peliharaannya.
"Tidak, bukan itu. Tidakkah kau merasa sesuatu yang lain? Maksudku, apa alasannya? Ia sendiri yang meminta bocah Jeon itu untuk menelepon 911 dan menangkapnya. Kita menangkapnya dengan mudah, demi Tuhan. Tapi lihat sekarang sikapnya. Tidakkah kau merasa ia berbeda?"
Inspektur Kim terdiam. Mencerna ucapan bawahan sekaligus sahabatnya itu. Saat ia menyadarinya, Jungkook di sana sudah membuka mulutnya. Mengatakan sesuatu yang juga berada di pikirannya.
"Kau bukan orang yang bersikap panik dan memintaku―menyuruhku menelepon 911. Kau bukan orang yang ditangkap oleh mereka semalam. Kau bukan Kim Taehyung. Siapa kau sebenarnya?"
.
To be continued...
.
a/n:
Hellooooooooooooooooooo
ada yang kangen ama saya? /gakada
pertamatama saya mohon maaf karena menghilang gitu aja dan nongol tiba2 bawa cerita baru bukannya nyelesain MINE sama Servant of Evil.
laptop saya rusak dan harus dirawat inap/? dan krn softwarenya eror, jadi harus install ulang dan data saya hilang semua~ u,u
maaf kalo saya malah nambahin utang saya, tp saya gak janji juga bisa update cepet
I'm in the middle of mid-test-_- dan minggu depan saya udah mulai PKL. jadi maaf kalo saya gakbisa update
.
udahlah, segitu aja deh..
last, review please?
