The Legend of Five Kings
Present by Fellycia Azzahra
Haikyuu belongs to Haruichi Furudate
Kageyama Tobio x Hinata Shouyou
AU, Adventure, Fantasy, Action
LEMBAR PERTAMA
Keputusannya telah bulat. Kesabaran juga telah habis. Apapun itu, hewan ataupun hantu, dengan sekali tembak akan ia habisi. Namun, jika dengan itu masih juga belum selesai, maka seluruh pohon di hutan ini akan tumbang dalam satu malam. Sehingga tidak ada lagi tempat bersembunyi bagi makhluk keparat itu.
Empat jam sudah ia berjongkok mengambil posisi menembak di balik batang pohon besar. Hanya satu sasaran, belukar tebal nan rimbun bagai kumpulan anak besi penghalau sinar bulan. Dikerahkan seluruh kemampuan dan insting berburu yang dimiliki, demi membuat makhluk di balik semak itu tidak lagi menyadari keberadaannya. Bahkan, napas pun ia tahan.
Dibiarkan titik peluh di dahinya menguap pada angin malam. Kemudian sontak, jantung menderu ketika belukar itu bergerak-gerak dengan cepat, macam ada gempa kecil di dalam sana.
Maka ia menyambut dengan kuda-kuda. Siap untuk menghabisi.
Menit berikutnya, hal yang ditunggu-tunggu datang. Sosok gelap memunggungi pendar bulan berlari ke luar semak. Begitu cepat sampai yang tampak hanya kelebat-kelebat, bahkan lebih cepat dari seekor babi hutan jantan.
Namun, itu sama sekali tidak menyulitkan dirinya untuk meminta senapan memuntahkan timah panas. Pada tembakan pertama, peluru tajam tepat mengenai sasaran.
Rupanya tembakan tadi sedikit meleset. Makhluk itu masih dapat berlari kencang. Mungkin, peluru hanya menerjang bagian ekor. Kemudian Ia refleks berlari mengejar. Makin jauh ke dalam hutan, namun bulan tidak dapat menyembunyikan wujud Si Hewan.
Makhluk lincah itu berhenti diantara pepohonan tinggi yang menjulang-julang. Tidak lama setelah itu, terjadi hal mengejutkan. Makhluk itu dengan tangkas melompat tinggi, pada dahan pohon setinggi sepuluh meter dengan begitu mudah. Lompat-melompat bagai lutung liat, tangkas hinggap di satu dahan ke dahan lain.
Namun, ini bukan kabar baik bagi Si Makhluk Liar. Bahwa semakin banyak dahan yang dilompati, binar purnama emas akan semakin memperlihatkan wujudnya. Memberi mudah guna Sang Pemburu untuk memangsa. Maka hanya dengan sekali tembak, makhluk lincah itu langsung ambruk ke tanah. Tidak ada gerakan lagi bahkan suara, mungkin telah tewas di tempat.
Si Pemburu berjalan mendekat dengan perlahan. Melirik jarum panjang arloji, tepat berhenti pada angka dua belas. Kemudian tersenyum. Ia telah menang oleh pertaruhannya sendiri.
Berbulan-bulan sudah desa Omio diributkan pasal sosok hewan yang kerap hilir mudik di hutan Samara. Samara adalah rimba raya yang dipercaya penduduk sebagai hutan suci, merangkap penuh hantu.
Jelas ia tidak peduli soal itu. Yang menarik perhatiannya adalah, para lelaki sesama pemburu menyebut-nyebut bahwa hewan itu bukan sebarang hewan. Sulit diburu, sulit ditemukan, bahkan ajak-ajak tidak mampu membauinya. Akan tetapi sewaktu-waktu dapat muncul secara misterius di hadapan semua orang, dengan wujud yang berubah-ubah. Kadang serupa anak babi, lutung, pernah juga macam tuyul.
Maka sepakatlah penduduk desa menyebut makhluk itu sebagai hewan hantu. Tentu ia tergelak sendiri mendengarnya.
Jika rekan-rekan sesama perburuan tidak mengeluh atas putusnya harapan menangkap hewan hantu, kemudian memohon-mohon untuknya segera turun tangan, ia tidak akan berada di sini.
Reputasinya sebagai pemburu nomor satu di desa Omio bergantung pada perburuan ini. Jika menolak dengan sopan atas alasan-alasan ringan seperti tidak tertarik atau semacamnya, tentu rekan-rekan akan memaklumi. Namun, untuk mereka yang tidak paham terlebih para pemburu yang iri hati, memperolok-olok, menganggap pengecut, adalah hal yang akan ia dapatkan.
Dan itu tidak boleh sampai terjadi. Maka ia putuskan untuk berburu ke hutan Samara seorang diri.
Awalnya ia berangkat hanya bersama semangat seujung kuku sambil terkantuk-kantuk. Namun lepas tengah malam, ia langsung bergegas kembali ke rumah untuk mengambil peralatan tenda darurat. Sudah sehari penuh ia berburu dan semua hasil buruannya hanyalah binatang liar biasa. Rusa dan babi hutan, Jika beruntung ia akan menemukan tenggiling spesies langka.
Tidak ada diantara mereka yang berlari secepat babi hutan, melompat lincah macam lutung liar, misterius bagai hantu. Maka ucapan para pemburu itu benar adanya. Makhluk itu sunggulah sukar dicari.
Kemudian ia mulai melakukan banyak strategi. Memasang banyak perangkap hewan begitu apik sampai sulit dikenali. Memang perangkap-perangkap itu berhasil, namun tetap korbannya hanyalah hewan biasa.
Dan pada hari kelima perburuan, ia yakin telah menembaki seluruh babi hutan yang ada hingga lambung hutan terasa sepi. Ia mulai merasa frustasi, tidak ada tanda-tanda hewan hantu akan muncul. Namun, tidaklah mungkin kembali dengan tangan hampa. Sebab walau disegani seluruh desa, tidak sedikit juga yang menaruh iri padanya. Pulang tanpa hasil sama saja membuka peluang bagi para musuh untuk mencela.
Saat tengah berteduh di dalam tenda, kala itu turun hujan, ia membuat perjanjian untuk dirinya sendiri. Jika pada hari ketujuh tengah malam hewan hantu tidak kunjung ditangkap, maka seluruh pohon tua yang ada di hutan akan ia tumbangkan. Belukar-belukar akan dimusnahkan. Dengan begitu tidak akan ada lagi tempat bersembuyi bagi binatang laknat itu.
Pada hari ketujuh tepatnya pukul delapan malam, ia menangkap sebuah sinyal. Yang telah ditunggu-tunggu sekian lama, kemunculan hewan hantu. Sosok itu tengah bersembunyi dibalik belukar tebal, sasaran pertama hari ini.
Berjam-jam sudah hewan itu tidak kunjung keluar. Seolah-olah mengetahui bahwa dirinya tengah diincar. Instingnya mengatakan kali ini tidak akan salah. Dan benar dugaannya, hewan itu bukan sembarang hewan. Lari sangat cepat melebihi babi hutan, lompatannya tinggi menyerupai lutung. Namun tubuh itu ramping, gelap memunggungi kilau purnama. Hampir tidak dapat percaya. Kini, hewan hantu telah sempurna di depan mata.
Akan tetapi ketika hampir saja menyentuh jasad Si hewan, ia terpaku. Angin malam telah menggeser posisi awan, mengundang Dewi Wulan menerangi seluruh hutan. Dan membekulah ia, seolah-olah uap es kutub janubi telah menyelinap masuk membekukan seluruh tungkainya.
Gemeresik dedaunan merebak kelu di telinga. Ketika tampak wujud hewan buruannya selama seminggu penuh, mendadak, ia lupa masih memiliki nyawa.
Ego untuk memburu hewan hantu membikin gelap mata, ia sampai tidak menyadari hal-hal aneh mengenai perilaku si hewan hantu. Jika larinya begitu cepa, untuk apa bersembunyi berjam-jam demi menghindar? Hewan macam apa yang mengerti dikala tengah diincar manusia, kemudian lari melompat ke dahan pohon agar tidak tertangkap?
Kini semuanya jelas. Tidak ada hewan atau hantu apapun yang telah merisaukan seluruh desa, juga membuatnya hampir putus asa.
Hanya satu, makhluk itu bukanlah seekor hewan.
"Dia…manusia?"
...
"Ini dia. Segelas bir tanpa gula khusus untuk sahabatku yang dengan kurang ajarnya menghilang selama seminggu penuh. Apa hanya kantung mata tebal itu oleh-olehmu, Bakageyama?"
Yang disindir hanya diam tidak menjawab. Langsung menyambut gelas kayu besar berisi bir, menghabiskannya dalam sekali teguk.
"Kedaimu ramai seperti biasa, Tanaka-san."
Kageyama barusan sekadar berbasa-basi semata. Seluruh penduduk desa tahu kedai minum milik Tanaka adalah yang teramai dan terlaris. Bahkan jika satu desa dilanda bencana kemiskinan, kedai ini akan tetap sesak dipenuhi pelanggan sebab mereka boleh berutang. Dengan syarat dalam seminggu harus segera dilunasi.
Bangunannya memakai bahan kayu dari hutan. Selain dapat diperoleh tanpa biaya, jika ada beberapa kecelakaan kecil pada dinding-dindingnya akan mudah diperbaiki.
Kecelakaan kecil yang dimaksud tadi adalah kebiasaan rumpi para lelaki dewasa di kedai yang bikin heboh. Membicarakan apapun sampai adu jotos. Pemiliknya putus asa untuk menengahi sebab kalah badan.
"Telah kau temukan itu, Kageyama?"
Setelah beberapa detik, Kageyama yang tengah termenung memandang jendela akhirnya menoleh. Menatap sahabatnya yang tengah mengocok bir pesanan.
"Tidak, Tanaka-san. Aku nol."
"Sungguhan, kau?" Tanaka memasang ekspresi terkejut yang tidak main-main. "Kau hapal betul hutan angker itu. Ia sukar ditangkap atau tidak kunjung kau temukan?"
"Dua-duanya." Kageyama menghela napas, melepas pandangan ke gelas bir kosong.
"Lalu seminggu penuh kau habiskan hanya untuk menunggu? tanpa hasil?"
Kageyama agak ragu untuk mengatakannya. Namun, jika memilih satu orang di desa yang paling ia percayai, orang itu adalah Tanaka. Kageyama memajukan punggungnya sedikit, bersiap-siap berbisik.
"Aku menangkapnya."
Sepasang gelas kocok dalam genggaman Tanaka meluncur mulus menciumi lantai. Seketika timbul suara gaduh,. Tanaka dengan mulut menganga langsung beringsut mendekati Kageyama yang duduk di meja bar.
"Benarkah itu, Kageyama!? Kau telah mengangkapnya!? Benarkah itu!?"
Inilah, salah satu alasan dibalik keraguan Kageyama untuk bercerita. Sikap Tanaka yang suka hilang kendali kerap membuat risau. Satu rahasia bisa dengan mudah tersebar seantero desa hanya karna kehebohannya itu.
Padahal Kageyama sudah berusaha untuk berbisik.
"Tidak bisakah kau pelankan suaramu itu, Tanaka-san."
Melihat perubahan ekspresi Kageyama, Tanaka berhedam.
"Maaf. Jadi, sudah kau tangkap hewan hantu itu, wahai Kageyama?"
Kageyama mengangguk pelan. "Sudah. Dia bukan hewan."
Lagi-lagi, Tanaka terkesiap."Lalu apakah dia hantu, Kageyama!?"
Lalu melihat wajah Kageyama yang makin asam, cepat-cepat ia berdeham. "Maaf, aku sedikit hilang kendali."
Kageyama menghela napas. Sulit mengatasi ini.
"Dia manusia. Tampaknya bukan dari sini," ujar Kageyama.
Demi mendengar Kageyama mengatakan itu, Tanaka menutup mulutnya dengan kedua tangan menahan terkejut.
"Kau yakin dia manusia? Bukan dedemit?"
"Dia cantik—maksudku, dia seperti bukan anak rimba. Tubuhnya bersih. Seperti datang dari kota," jawab Kageyama.
Tanaka semakin beringsut mendekat. Ia ikut penasaran. "Perempuankah ia?"
Lagi-lagi Kageyama menggeleng"Aku tidak tahu."
"Tidak kau periksa?"
"Apanya?" tanya Kageyama.
"Kelaminnya," jawab Tanaka. Enteng.
Kageyama melengos. "Tidak minat."
Tanaka tampak menggaruk-garuk dagunya, mencerna informasi Kageyama yang singkat-singkat. Ia
Tanaka masih dalam posisinya. Menatap Kageyama dengan wajah penasaran. "Dengan apa kau menangkapnya? Masih hidup atau sudah mati?"
"Dia tertembak di kaki kiri. Setelah mengetahui bahwa dia manusia, aku membawanya ke rumah. Sampai sekarang belum tersadar."
Tanaka diam berpikir sembari menyerahkan gelas-gelas bir pada pemabuk yang memesan. Seharusnya jika benar hewan hantu itu manusia, Kageyama bisa saja meninggalkannya di hutan lalu pergi. Manusia tidak berguna, kecuali sahabatnya berniat menjual di pasar gelap.
Namun Kageyama bukan orang seperti itu. Hatinya merasa telah ada suatu hal yang terjadi.
"Mengapa kau membawanya? Apa yang terjadi?"
Setelah pertemanan selama sepuluh tahun lebih dengan Tanaka, Kageyama sudah tidak terkejut lagi jika lelaki penuh humor itu dapat membaca pikirannya.
Memang ada sesuatu yang terjadi. Ketika purnama mewarnai bumi, tubuh mungil yang terkena tembakannya itu mengeluarkan cahaya. Bukan karena bulan, sebab cahaya itu seperti hidup didalam tubuhnya.
"Ada cahaya, yang merambat bagai aliran listrik oranye hidup. Awalnya kupikir itu anakan ular-ular pohon. Namun setelah diamati, aliran cahaya itu ada di bawah kulitnya. Hidup, seperti memiliki nyawa. Dan kau tahu apa yang lebih mengejutkanku?. Semua cahaya itu bersumber pada benda di dalam tasnya. Tidak lama mereka lenyap, menyusul luka tembak di kakinya."
Sesaat Tanaka diam mendengar itu, hampir tidak dapat percaya. Namun dengan wajah seperti itu, mustahil Kageyama bergurau.
"Tidakkah lebih aman kau jika tinggalkan saja manusia dia? Atau, ada rencana lain? Misal, menjadikannya bawahan?"
Kageyama menggeleng lemah. "Aku belum berpikir sampai di situ."
Tiba-tiba tubuh Tanaka terhuyung. Dipegangi kepalanua yang berdenyut sakit. Kemudian sakit itu menjalar-jalar, membuat pandangannya berembun. Ini bukan sakit kepala biasa, sebab ia merasa ketika memandang Kageyama, nyerinya menjadi-jadi.
Kageyama memandang sahabatnya sedikit cemas. Bagaimanapun Tanaka bukan orang yang gampang sakit.
"Kau baik-baik saja, Tanaka-san?"
Tanaka hanya mengangguk. Denyutnya makin terasa, namun ia lawan. Dipananginya Kageyama terus-terusan sambil menahan sakit. Ketika sakit itu berada dipuncaknya, seketika lenyap tidak tersisa.
Namun bukan hanya sakit kepala yang mendadak hilang, Tanaka juga merasakan sesuatu. Baru, tidak bisa dijelaskan namun terasa begitu akrab. Demi itu ia memejamkan mata, hampir tidak sadarkan diri.
Seketika, ia langsung tersadar. Otaknya telah kembali—tidak, dirinya telah kembali.
Tanaka memandang wajah Kageyama dengan sangat serius.
"Kageyama, dengarkan aku. Pulanglah dan saat manusia itu tersadar, segera tanyakan nama dan tujuannya datang kemari."
Mendengar itu tentu membuat Kageyama menaikkan alisnya, kebingungan. Bukankah tadi lelaki itu tampak mengernyit kesakitan?
"Apa maksudmu, Tanaka-san?" tanya Kageyama kebingungan.
"Manusia itu telah sadar."
"Si hewan hantu? Bagaimana kau tahu?"
"Kau akan tahu jika kau pulang sekarang," jawab Tanaka. Lelaki itu mendadak dingin.
Meski heran dengan sikap sahabatnya, tidak dipungkiri perkataan itu ada benarnya. Kageyama memang ingin mengetahui apa yang hewan hantu itu lakukan di dalam Samara sebegitu lama. Siapa namanya. Terlebih, cahayanya.
Kageyama bangkit dari kursi kayu. Balik menatap Tanaka di balik meja bar.
"Aku akan ke rumah."
Tanaka mengangguk. "Tanyakan nama serta tujuannya. Jangan lupa."
Kageyama berlalu. Lelaki itu berjalan menuju pintu keluar. Menutupnya, dan meninggalkan Tanaka yang masih diam ditempat bagai batu.
Seketika ia ambuk, Tubuhnya lemas bagai kehilangan seluruh tulang. Namun, Tanaka merasa sungguh lega. Ia telah selesai. Misi besarnya yang pertamanya, telah diselesaikan dengan baik.
"Sudah saatnya kau tahu, Sang Raja Kedua."
...
Semua gelap. Namun saat terdengar sesuatu, kesadarannya berangsur pulih. Hal pertama yang ia cari adalah tas belacu kusamnya. Tas itu duduk manis di samping bantal, dengan isi masih sama seperti terakhir kali.
Ia beranjak bangun. Kepalanya terasa pening, sisa-sisa ingatan masih melekat walau buram. Kembali diingat-ingat apa yang telah terjadi. Kala ia itu kelaparan dan tengah mencari makan. Tiba-tiba seorang pemburu berlaras panjang mengincarnya, membuat ia terjebak di dalam semak.
Kemudian lari-lari, lompat-lompat, lalu sebuah peluru merobek otot betisnya.
"Benar, pelurunya!"
Lekas ia meraba-raba betis kirinya. Namun kulit pucat itu terasa mulus tanpa luka sedikitpun.
"Mimpi? Padahal aku merasa sakitnya begitu nyata."
Matanya mengelilingi penjuru ruangan, ia tersadar tengah berada dalam sebuah ruangan. Banyak perabotan namun tampak samar dalam gelap. Entah ini kamar siapa, dan bagaimana ia bisa kemari.
Namun mendadak ia menwajab satu pertanyaan: seseorang telah menyembuhkan lukanya dan membawa ia kemari.
"Penembak itukah?" gumamnya sendiri.
Ia beranjak turun, menyibak selimut dengan intensitas kelembutan yang patut dipertanyakan. Bahkan selimut ini memiliki rajutan, begitu indah dan menawan.
Sebelum turun, sempat ia menciumi permukaan selimut yang halus.
"Harum bunga mawar."
Jauh di seberang sana. Sebidang cahaya berbentuk jendela besar terhalang tirai merah tua. Berjalan perlahan sambil terus merasakan kakinya., ia ingin menyibak tirai itu demi melihat kakinya lebih jelas di bawah cahaya.
Ingatannya tidak berbohong. Insiden itu nyata dan luka ini hilang secara mistis.
Kamar ini ternyata begitu luas. Belasan langkah tidak cukup untuk mencapai tirai di sana. Kemudian setelah sampai, tirai yang berdiri angkuh itu ia sibak dengan kedua tangan.
Lalu yang ia dapati adalah penyesalan sebab rupanya hari telah beranjak siang. Silaunya menusuk mata, ia sampai kesulitan memulihkan pandangan.
Setelah efek silau mereda, ketika membuka mata ia langsung dimanjakan oleh pemandangan desa yang begitu menakjubkan. Belum pernah ada lanskap desa seindah ini. Atap mereka warna-warni dengan halaman cantik bersusun bunga. Ladang-ladang serta sawah begitu asri. Bahkan, hewan ternak seperti telah mengecap ilmu baris-berbaris. Semua tampak alami dan menawan.
Ia tersenyum pada kawanan burung kecil yang melintas di hadapannya.
"Andai Natsu di sini, pasti dia akan suka."
Ketika membalik badan, kejutan berikutnya datang. Ternyata kamar tempat ia berada juga menawan bagai mahakarya. Hal pertama yang menjadi pusat perhatian adalah lukisan minyak di dinding. Besar dan mewah. Sosok lelaki berlaras panjang diukir dalam lembutnya kilau minyak, mozaik-mozaik kecil yang mempesona.
Ia bahkan sampai berlari demi melihat puluhan guci permata biru dalam lemari kaca. Mereka bukan benda sembarangan, ia biasa melihat jenis batu mulia seperti ini pada rumah-rumah para bangsawan. Juga, lihatlah betapa sofa-sofa itu terasa betul lembutnya. Terpasang rapih pada tengah ruangan.
"Apakah ini rumah penembak kakiku? Atau, ini rumah orang lain?"
Ia berpikir sambil terus mengagumi koleksi barang-barang apik yang ada di dalam ruangan.
Langkah-langkah kecilnya yang bahagia terhenti pada satu album kecil di atas perapian. Bersampul cokelat tanah, tampak lusuh dan tidak terawat. Satu-satunya benda kusam di kamar yang mewah ini.
Ia mengambil album itu sebab dilanda penasaran. Ini album si pemilik rumah kah, pikirnya dalam hati.
"Aku penasaran seperti apa rupa pemilik rumah ini. Apa dia juga yang telah menembak kakiku?"
Sebelum membuka, ia membolak-balik sampul album. Rasa penasaran semakin memenuhinya.
"Semuanya ada di dalam album ini!" bisiknya bahagia.
Sampul album dibuka. Kosong, tidak ada nama keluarga atau gambar apapun. Tangannya hendak membuka lembar berikutnya jika pintu besar itu tidak dibuka secara paksa. Lalu sekonyong-konyong muncullah lelaki besar berotot. Tingginya mungkin dua meter, dengan kepala botak licin yang ditato. Bahkan tato-tato kelam itu tertanam sampai ke leher.
Meski dibalut setelan jas necis, kesan mengerikan tidak dapat dibersihkan dari wajah ganas itu. Ia sampai harus tahan napas demi bersikap tenang.
Jika lelaki sekekar bison di hadapannya ini adalah penembak kakinya, maka itu adalah hal yang wajar. Lihatlah betapa begis dan mengerikan wajar itu. Dahinya berurat-urat, berdiri macam singa ingin menerkam anak kucing.
Tiba-tiba sinyal di kepalanya membunyikan tanda bahaya ketika monster itu merogoh sesuatu dari balik kantong jas. Mungkin akan mengambil pistol. Sungguh, ia ingin kabur jika ada tenaga.
Dengarlah hembusan napas yang menggeram macam banteng mengamuk. Rasanya ia sudah akan mati ketakutan sebelum lelaki besar itu ambil langkah.
Sekonyong-konyong sebuah suara berat dan tajam menusuk telinganya. Ketika lelaki itu berbicara, ia merasa sudah akan menemui ajal.
"Apa kau bisa berjalan?" Suara itu, rasanya menyamai suara bison mengamuk. "Kalau bisa, cepatlah-"
Belum selesai lelaki itu menghabiskan kalimatnya, ia sudah mengambur lari ke luar dengan kecepatan maksimal. Kabur kemanapun asal tidak ditangkap monster mengerikan di dalam sana.
Ia terus berlari. Dan kaki-kakinya telah mencapai kecepatan penuh ketika ia mendengar suara lelaki besar itu dari belakang. Ia kelimpungan, takut tertangkap. Tanpa menoleh lagi, melalui lorong koridor panjang, ia masuk ke dalam salah satu ruangan. Cepat-cepat kunci pintu dan beringsut sembunyi. Tahan napas sampai terdengar suara langkah kaki menjauh.
"Setidaknya untuk sementara aku aman dari siluman bison itu," ujarnya sambil terengah. Masih mengendong tas dan album kusam dalam enggaman.
"Benarkah?"
Refleks ia menoleh ke belakang. Di ujung sana, sepasang tirai terbuka perlahan-lahan, macam yang biasa terjadi pada pertunjukkan teater kolosal. Sinar matahari menembus ke dalam ruangan gelap, menyilaukan pandangan. Di tengah jendela besar itu, sosok lain telah berdiri tegap. Seperti telah menunggu kedatangannya sedari tadi.
Salah besar jika tadi ia anggap akan aman di dalam sini, sebab lelaki itu berangsur mendekat, sepatunya mengetuk-ngetuk penuh intimidasi. Ketukan itu terdengar ditelinganya bagai bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu.
Tubuh tegap itu sempurna tersembunyi dibalik bayangan. Ketika jarak mereka hanya beberapa langkah, terdengar bunyi tarikan senapan, seketika ia sungguhan lupa cara bernapas. Karena bunyi senapan itu sama seperti yang ia dengan saat di dalam hutan. Senapan yang telah merobek kakinya.
Dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian, ia berkata dengan suara bergetar. "Kaulah si penembak itu."
Tanpa aba-aba, dibalik remang-remang bayangan laras panjang itu diangkat tepat ke depan wajahnya. Menunggu perintah untuk tembakan kedua.
"Siapa kau dan apa yang kau lakukan di hutan itu."
Ia mendengar itu ia telan ludah. Tidak disangka akan seperti ini. Tidak ada pilihan lain. Maka untuk kali pertama sejak pengendaraanya, ia mengungkapkan identias aslinya pada orang lain.
" Aku Hinata Shouyou. Berkelana mencari Sang Kelima Raja Penjaga Gerbang Suci."
A/N
Ini adalah tulisan pertama yang saya buat di wattpad. Sangat-sangat butuh saran, kritik, terhadap apapun yang terjadi ditulisan saya. Baik terdapat cacat, ketidaksesuaian, kesalahan, kekhilafan, atau yang sekiranya menurut pembaca pantas untuk dikritik.
Oleh sebab itu, jika kalian berbaik hati, setelah membaca cerita ini, saya akan sangat berterima kasih jika mau memberikan sekata dua kata sebagai masukan. Boleh di kolom komentar atau privat chat.
Saya penulis amatiran, baru kemarin kenal dunia tulis-menulis. Terima kasih banyak!
