"Diantara kalian bertiga, Kagami Len, Kamine Rinto, dan Hibiki Lui, yang aku pilih sebagai kekasih adalah—"
Aku memotong ucapanku—meniru adegan di komik yang menurutku sangat menyenangkan—untuk membuat orang-orang yang mendengar akan penasaran dengan apa yang akan aku lanjutkan. Tapi tentu saja, itu hanya terjadi di komik-komik. Dan ini bukanlah cerita di komik.
Kedua iris biru lautku menatap lekat-lekat ketiga pemuda yang sudah sekitar lima menit berdiri di hadapanku. Aku tertawa kecil saat menyadari bahwa ketiga pemuda di hadapanku memasang poker face mereka yang terlihat tenang-tenang saja namun aku yakin, mereka gugup di dalam hati.
Kakiku yang panjang dan bisa dibilang ukuran kaki yang ramping—banyak yang berkata seperti itu—melangkah dengan pelan ke arah salah satu dari mereka yang kini berekspresi sangat kaget karena aku menghampirinya dengan senyuman kecil tertampang di bibirku.
"—kamu."
Memilih
By: Lixryth Rizumu
-Ternyata memilih itu sangat susah-
Vocaloid © Yamaha Corp
Words: 3344 (Story Only)
Pair: Kagamine Rin dan Kagamine Len.
Rate: T
Genre: Romance, Friendship
Warning: OOC, Typo, EYD berantakan, sudut pandang orang pertama.
Seakan menantang untuk bertanding, sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui jendelaku dan menari-nari di depan kelopak mataku yang dengan sigap melindungi bola mata biru lautku agar kelopak mataku terbuka dengan lebar.
Aku menggeram kecil ketika sinar matahari itu memasuki alam mimpiku dan menyeretku keluar dari surga mimpiku. Dengan perlahan dan terpaksa, kedua kelopak mataku akhirnya terbuka dan menampakkan iris biru yang terlihat bersinar. Dengan sekali usapan tangan, mataku sudah terasa segar dan siap untuk beraktifitas.
Dengan sekali gerakan, aku bangkit dari tidurku dan menguap kecil—menandakan bahwa aku masih sedikit mengantuk. Aku membuka jendela kamarku dengan lebar lalu menghirup udara pagi sebelum akhirnya berseru, "Selamat pagi dunia!"
Suara teriakan dari ibuku yang protes karena aku berisik di pagi hari terdengar dengan jelas dari dalam kamarku. Aku tertawa kecil dan menyisir rambut pirang pendekku asal-asalan menggunakan jari-jari tanganku lalu aku menatapi pantulan diriku dari cermin yang terpasang di dinding kamarku yang berwarnakan kuning. "Perfect," gumamku dan segera keluar dari kamarku—masih dengan piyama putihku yang bergambarkan bebek-bebek kecil.
Aku menuruni tangga secara perlahan lalu mengucapkan selamat pagi kepada seluruh keluargaku dan mendapat teguran dari ibuku, Kagamine Lily, karena aku masih belum mengganti bajuku. Aku hanya menyengir kecil dan langsung duduk di kursi dan mengambil sepotong roti yang berada di atas piring putih yang ditaruh di atas meja yang selalu digunakan olehku dan keluargaku untuk makan bersama.
Salam hangat! Namaku Rin, lengkapnya adalah Kagamine Rin. Hari ini adalah hari Senin—lebih tepatnya hari dimana aku menjadi kelas delapan untuk pertama kalinya di Hikari gakuen. Sekolahku adalah sekolah sederhana yang hanya memuat beberapa murid di dalamnya. Sebenarnya, aku ingin masuk ke dalam sekolah yang ternama dan populer, tapi apa daya? Kemampuan otakku yang hanya di batas garis rata-rata tidak akan cocok untuk menjadi murid di sekolah ternama.
Aku menghabiskan seluruh sarapanku sebelum akhirnya aku melesat dengan cepat menuju kamar mandi dan mengunci pintu. Bolehkah aku bercerita kepada kalian sambil membersihkan badanku? Aku anggap tatapan itu sebagai kata 'ya'. Maaf sebelumnya aku tidak sopan bercerita sambil mandi, tapi mau bagaimana lagi?
Oke, aku mulai bercerita. Aku adalah anak pertama dari pasangan Kagamine Lily, ibuku, dan Kagamine Leon, ayahku. Aku juga memiliki seorang adik laki-laki yang masih menduduki bangku dua SD pada tahun ajaran baru ini, Kagamine Oliver, itulah namanya. Dia adalah satu-satunya adikku dan aku sangat menyayanginya. Dan aku akan melindunginya dari bahaya apapun agar dia tidak terluka seperti kecelakaan dua tahun yang lalu yang mengakibatkan Oliver kehilangan sebelah matanya.
Setelah selesai membersihkan badanku, aku langsung berganti baju—di dalam kamar mandi tentunya—dengan menggunakan seragam musim panas sekolahku, yaitu sailorfuku dengan atasan berwarna putih dengan lengan pendek bergaris biru di ujung lengan dan untuk bawahannya adalah rok lima senti di atas lutut berwarna biru, lalu tidak lupa ada dasi yang sangat panjang namun diikat seperti pita sehingga terlihat pendek dengan warna merah mencoloknya.
Aku segera keluar dari kamar mandi dan melempar handukku ke sembarang arah sehingga mendapat teguran dari ibuku lagi karena sifatku yang tidak seperti perempuan pada umumnya. Aku meminta maaf kecil dan berlari menuju kamarku.
Setelah pintu kamarku tertutup, aku melihat jam dindingku yang berbentuk bulat dengan warna oranye dengan seksama. Jarum jam dindingku menunjukkan pukul tujuh lebih delapan menit. Aku mengusap hidungku dan bekata, "Fast cleaning time!"
Satu menit merapihkan kasur, dua menit merapihkan penampilan, dan satu menit menyiapkan buku. Yosh, Rin, ini rekor terbaru! Aku tersenyum kecil melihat jam tangan yang sudah melingkar manis di tangan kiriku menunjukkan pukul tujuh lebih dua belas menit.
Aku langsung berlari keluar dari kamar dengan tas coklat di tanganku dan mengambil empat buah jepit rambut berwarna putih dari dalam jaketku yang tergantung di dekat pintu depan rumahku dan memakainya di rambut sisi kanan dan sisi kiriku. Aku menatap sejenak pita berwarna putih yang biasanya aku pakai di atas kepalaku―sebagai telinga kelinciku―yang sedang duduk manis di sofa besar berwarna hitam di tengah-tengah ruangan lalu aku menggeleng kepalaku pelan. Tidak, aku harus terlihat lebih dewasa!
Aku menatap Oliver yang terlihat sibuk memakai sepatu sekolahnya dan tertawa geli. "Aku duluan, Oliver-ku!" ujarku seraya mengecup kening Oliver dengan lembut.
Setelah mengecup kening Oliver yang kecil, aku melangkah keluar rumah hingga sebuah suara menghentikan langkahku. "Kakak!" Aku menoleh dan melihat Oliver yang sudah berdiri di depan pintu dengan tegap. "Aku sayang kakak!" ujar Oliver pelan namun terdengar oleh indra pendengaranku.
Aku tersenyum lebar dan melambaikan tanganku kepada adikku yang sangat manis itu. "Aku juga sayang padamu! Aku berangkat!" teriakku. Aku tertawa di dalam hati. Ternyata Oliver sangat manis hari ini!
Aku menggumamkan beberapa bait lirik dari sebuah lagu tentang cinta yang sedang nge-trend di kalangan anak remaja. Aku mencoba menyesuaikan suara ketukan sepatuku dengan melodi lagu yang sedang aku gumamkan, ternyata susah juga! Bisa dibayangkan betapa susahnya seseorang untuk menjadi seorang composer yang selalu menciptakan nada-nada lagu. Kalau aku menciptakan sebuah nada lagu, mungkin setelah satu bulan dibuat, nada itu baru selesai.
Pandanganku kini bertabrakan dengan kedua anak kecil―laki-laki dan juga perempuan―yang sedang bergandengan tangan seraya berlari dengan riangnya. Tawa kecilku meluncur melihat wajah sang gadis cilik terlihat sangat memerah dengan hebat saat sang lelaki menggenggam tangannya dengan erat.
Aku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti sambil kembali menggumamkan lagu cinta yang baru saja terputus. Langkahku terhenti untuk kedua kalinya saat aku merasakan dua lengan yang hangat memelukku dari belakang. Aku mengusap pelan leherku yang terasa dingin karena deru napas seseorang yang terasa terengah-engah.
"Lui?" tebakku seraya menyentuh pipi orang yang memelukku dari belakang dan mencubit pipi empuk itu pelan.
Sosok dibelakangku melepas pelukannya dan mendengus pelan. Aku membalikkan badanku dan terkekeh karena tebakanku yang benar. "Kenapa kamu bisa tau kalau itu aku?" tanya Lui.
Ah, biar aku kenalkan. Pemuda berambut kuning gelap yang berwajah seperti perempuan ini adalah Hibiki Lui, teman masa kecilku. Aku berkenalan padanya ketika aku masih menduduki bangku taman kanak-kanak. Aku sampai lupa bagaimana cara kita berkenalan dulu. Yang aku ingat hanyalah bahwa kita saat masih ingusan dan pipi kita sangat tebal, kita sering melakukan hal-hal yang memalukan untuk dilakukan seorang remaja seperti kita saat ini. Contohnya, tidur bersama, ganti baju bersama, bahkan mandi bersama.
Kalau tentang dimana ia sekolah, bisa dilihat dari seragamnya yang ia gunakan, yaitu seragam musim panas sekolahku, kemeja berwarna putih berlengan pendek dan ada simbol Hikari gakuen di saku yang terletak di dada kiri lalu dasi berwarna merah menyala di lehernya dan juga celana panjang berwarna biru tua.
"Kita sudah hampir delapan tahun bermain bersama, Lui," ujarku seraya mengacak-acak rambut Lui. Lui hanya mengembungkan pipinya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Lui mulai membuka bibirnya pelan untuk berbicara dan menutupnya seakan dia berpikir apakah dia akan mengeluarkan ucapannya itu. Lui kembali membuka bibirnya dan menatapku yang mulai berjalan beriringan dengannya. "Rin," panggilnya. "Apakah kau... Umm... Sudah punya pacar?" tanya Lui dengan wajah yang merona.
Aku menatap dengan bingung Lui. Tidak biasanya dia menanyakan tentang hubungan pribadiku. Ah, tapi saat kita SD dia yang paling khawatir jika aku memilih laki-laki yang salah. Apa sekarang juga dia khawatir, ya?
Aku kembali menatap trotoar yang akan aku tapaki. Ada banyak jejak sepatu orang yang tertinggal di sana. Aku mulai berpikir, sebenarnya kekhawatiran Lui menurutku terlalu berlebihan, tetapi ternyata Lui sangat memperhatikan aku agar aku tidak sedih jika memilih kekasih yang salah, ya?
"Tidak," jawabku. Aku dapat melihat wajah Lui yang terlihat senang atas jawabanku dari ujung mataku. "Apa kamu khawatir?" tanyaku.
Wajah Lui langsung memerah dalam sekejap. Digigitnya bibir bagian bawahnya. Dengan pelan, Lui mengangguk. Tawa kecilku keluar dengan cepat dari bibirku melihat wajah Lui yang tidak berubah semenjak dia masih kecil. Dia masih saja memiliki wajah babyface. Apakah dia sadar kalau wajahnya itu banyak digemari para perempuan di sekolah kita?
Kita kembali berjalan dalam keheningan. Setelah lima menit berjalan, derap langkah terdengar dari belakangku dan suara teriakkan menyusul. "Awas!"
"Eh?" Aku membalikkan badanku dan tampaklah siluet seseorang berlari ke arahku.
Bruk!
Tubuhku terdorong kebelakang dan aku terjatuh dengan tidak elitnya. Aku baru menyadari mengapa ibu melarangku untuk menjadi seorang model, ternyata terjatuh saja aku tidak bisa dengan anggun—tidak seperti model yang terjatuh dengan anggun.
"Ma—maafkan aku! Aku sedang terburu-buru. Ah, kamu murid Hikari gakuen, 'kan? Kalau kamu terluka karenaku, datang saja ke kelas Kagami Len. Aku belum tahu aku menduduki kelas delapan berapa, jadi kalau kamu ingin meminta tanggung jawab atas lukamu, cari saja kelasku. Aku duluan!" ucap orang yang menabraku tanpa berhenti sedetik saja untuk berbicara. Dia langsung pergi dengan cepat meninggalkan aku yang masih terjatuh dengan kebingungan.
"Er, ya?" ucapku dengan sangat pelan, atau bisa kalian sebut aku sedang menggumam. Kedua mata biru lautku terpaku melihat gelang dari kain berwarna kuning terang yang biasanya digunakan oleh anak basket—yang entah apa itu namanya—tergeletak dengan indahnya di depanku.
Aku mengambil gelang itu dan membaca inisial yang terukir di gelang itu, KL. Kagami Len, ya? Tunggu, Kagami Len? Dia 'kan laki-laki yang sering dibicarakan oleh anak perempuan di kelasku saat aku kelas tujuh! Kagami Len terkenal dengan sifatnya yang dingin kepada perempuan, dan juga dia terkenal karena dia adalah 'kartu as' di klub basket dan dia juga merupakan wakil ketua OSIS.
"Rin, kamu baik-baik saja?" tanya Lui seraya membantuku berdiri.
Lamunanku langsung buyar dan aku berdiri lalu menepuk-nepuk rokku yang kotor. "Aku baik-baik saja. Terima kasih." Aku juga menepuk gelang kain yang masih aku tidak ketahui apa namanya itu.
"Ng? Handband milik siapa?" tanya Lui seraya menunjuk gelang yang aku genggam. Handband? Itu namanya, toh.
Aku mengangkat kedua bahuku. Aku memang tidak mengetahui ini milik siapa, kok! Mungkin ini milik Kagami Len, tapi mungkin ini juga bukan miliknya. Aku memakai gelang yang dinamai handband itu ditangan kiriku dan mengajak Lui kembali berjalan menuju sekolah.
Tik tik tik.
Entah sejak kapan, bunyi detik jam tangan berwarna oranye milikku berdetik dengan keras. Aku memperhatikan jam tanganku dengan seksama, memastikan bahwa jam pemberian Oliver ini tidak rusak sama sekali.
Suara murid-murid yang keras mengalihkan perhatianku ke depan. Sebuah bangunan atau bisa dibilang Hikari gakuen memenuhi pandanganku. Ada beberapa murid-murid yang masih memakai pakaian SD mereka karena belum mendapatkan baju seragam, dan ada sebagian orang-orang berseragam sekolahku.
Kini pandanganku teralih kepada seseorang yang berdiri di depan pintu gerbang dan sekali-kali berbicara kepada murid-murid yang terlihat seperti murid baru. Kagami Len.
Kakiku yang tadinya akan membawaku menghampiri pemuda itu—untuk menanyakan tentang handband yang aku temukan—terhenti ketika melihat keringat yang mengalir di keningnya karena pusing mengurusi adik kelas yang banyak bertanya kepadanya.
Mungkin aku akan bertanya padanya lain kali. Aku tidak ingin membuatnya tambah pusing lagi.
.
Suara ketukan pulpen pada meja memenuhi ruangan kelas. Aku ikut mengetukkan pulpenku kepada meja seolah aku bingung dengan soal yang diberikan oleh guru matematikaku.
Kutopangkan daguku dan kupalingkan wajahku untuk melihat ke luar jendela. Ada banyak murid-murid baru yang terlihat sedang mengikuti acara MOS. Di bawah sana terlihat ada Kagami Len yang sedang menunjukkan berbagai ruangan di sekolah kita. Kasihan dia, daripada mendengarkan penjelasan yang diberikannya, lebih banyak anak perempuan yang larut dalam pesonanya.
"Psst, Rin!"
Aku menolehkan kepalaku dan menatap pemuda berambut pirang dengan empat jepit berwarna putih pemberianku yang duduk di sebelah kananku. Aku memberinya jepit hanya karena saat kita kelas tujuh, dia sering mengeluh karena poninya menghalangi penglihatannya. Dan karena kebetulan aku membawa banyak jepit, aku memberinya beberapa. Aku tidak menyangka dia masih menggunakannya sampai sekarang.
Kamine Rinto, itu namanya. Dia teman sekelasku pada saat kita masih menduduki kelas tujuh. Entah Tuhan dendam apa kepadaku sehingga aku sekelas lagi dengan si aneh Rinto ini.
Mataku terus menatapnya dengan tajam karena dia mengganggu dunia sepiku. Dia hanya bergidik ngeri dan mempraktekkan gerakan seakan dia sedang memakai penghapus di udara. Aku mendengus pelan. Kalau ingin meminjam penghapus, apa susahnya berbicara, sih?
Aku melemparinya penghapus berbentuk bebek kepadanya dan penghapusku mendarat dengan mulus di kepala kuning miliknya itu. Rinto hanya mengelus pelan kepalanya dan menghapus beberapa kotretan di bukunya lalu melemparnya pelan ke mejaku.
Kembali kutatap seluruh murid di kelas baruku, delapan dua. Ternyata kelas ini sepi juga. Hanya beberapa orang yang aku kenal di kelas ini. Kasihan Lui yang tadi baru saja mengeluh karena tidak satu kelas denganku melainkan kelas yang berbeda, delapan tiga.
Aku menatapi buku tugas matematikaku yang sudah terisi dengan lengkap seluruh soal yang disuruh dikerjakan oleh guruku. Begini-begini aku anak rajin loh. Hehe.
Aku membersihkan beberapa bekas hapusan yang menempel di handband yang terpasang di pergelangan tanganku. Ah, aku jadi ingat, aku harus memikirkan cara agar aku bisa menanyakan handband ini kepada Kagami Len. Um, kalau tidak salah dia menduduki kelas delapan satu, kelas yang berisikan anak-anak pintar, setahuku. Pantas saja dia bisa sangat populer. Dia sepertinya bisa segalanya.
Pluk.
Aku berdecak kecil ketika selembar kertas yang sudah diremas jatuh di mejaku. Aku melototi Rinto yang mencari mati kepadaku. Hei, aku tidak mau guruku mengetahui kalau di bangku paling belakang—bangkuku—sedang bersurat-suratan.
Hei, sedang apa?
Begitulah isi surat yang aku terima. Aku menggoreskan pensil milikku kepada selembar kertas yang sudah banyak lipatannya. Setelah selesai menulis, aku lempar surat itu dengan kasar kepada Rinto. Rinto langsung terlihat semangat dan membuka suratku. Aku tertawa kecil, dasar anak kecil.
Aku sedang memikirkan cara untuk memanggang badanmu, jangan ganggu aku!
Rinto tertawa tanpa suara dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya dan berkata peace tanpa suara. Aku tersenyum kecil dan kembali melihat keluar. Di luar jendela ada Lui yang sedang melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Tunggu, bagaimana bisa dia keluar? Padahal bel sekolah 'kan belum berbun—
Teng teng teng.
Aku segera merapihkan buku-buku milikku yang berserakan di meja dan duduk kembali di bangkuku saat guru matematikaku mengumumkan bahwa hari ini kita pulang cepat karena semua guru akan mengadakan rapat khusus. Semua murid bersorak riang seraya memukul meja dengan tangan mereka hingga kelas ini terasa sangat ribut.
Sepulang Sekolah.
Membalikkan lembaran novel, aku menunggu Lui yang sedang mengikuti latihan klub badmintonnya. Sebenarnya sih tadi Rinto menemaniku untuk menunggu Lui, tapi ternyata klub sepak bola juga mengadakan latihan sehingga Rinto terpaksa meninggakan kelas ini.
Aku menutup novel milikku dan memutuskan untuk keluar dari kelasku yang sangat sepi ini. Kutinggalkan tasku di dalam kelas dan kulangkahkan kakiku mengelilingi koridor sekolah. Meskipun sudah satu tahun bersekolah di sini, aku baru mengetahui kalau ternyata sekolahku sangatlah besar! Meskipun ini sekolah sederhana, ternyata sekolahku tidak kecil juga. Ahaha, bodohnya kamu Rin, baru menyadarinya sekarang.
"Nice shoot, Len!"
Pandanganku terfokus kearah sumber suara, yaitu lapangan basket. Di sana ada klub basket yang sedang mengadakan latihan. Dan baru saja Len memasukkan bola ke dalam ring. Aku memutuskan untuk melihat latihan basket sambil menunggu Lui. Tanpa aku sadari, aku tersenyum kecil melihat Len yang begitu semangatnya memantulkan bola berwarna oranye yang ada di genggamannya. Dengan lincah, dia menghindari teman-temannya yang mencoba untuk menghalanginya dan kembali memasukkan bola ke dalam ring.
Secara reflek, aku bertepuk tangan dengan keras sehingga Len terkejut dan melihatku. "Time!" teriaknya dan mulai menghampiriku. Aku sedikit terkejut dengan suara tepukan tanganku sendiri dan aku mencoba untuk kabur dari tempatku sebelum sebuah tangan menepuk pundakku. "Hei!"
"Gyaa!" teriakku dengan keras.
"H—hei! Tenang! Aku manusia, bukan hantu!" Aku membalikkan badanku dan menemukan Kagami Len yang berdiri tepat di depanku.
"A—ada perlu apa?" tanyaku.
Len terlihat memperhatikanku dari atas hingga bawah secara seksama. "Apakah kamu terluka karena kejadian tadi pagi?" tanya Len dengan khawatir. Aku menggeleng dengan mantap. "Ah, syukurlah." Aku mengulum senyumku dan memperhatikan Kagami Len yang terlihat sangat lelah. Bahkan baju yang dipakainya untuk latihan saja terlihat basah kuyup karena keringat. Ah, hampir saja lupa!
"A―apa handband ini milikmu?" tanyaku seraya mengulur tangan kiriku.
Len sedikit terkejut melihat handband di tanganku ini dan menyentuh pergelangan tanganku. "Ah, kamu benar! Dimana kamu menemukannya?" tanya Len kepadaku.
Aku menghela napas lega. Untung saja aku sudah menemukan pemiliknya. "Saat kita bertabrakan, handband ini terjatuh. Aku tidak menyangka kelau ini benar-benar milikmu."
Len tersenyum kecil. Aku tersentak. Padahal menurut teman-temanku, senyuman Len sangatlah mahal. Tapi nyatanya, tidak mahal, tuh! Len mengangkat tangan kirinya yang dibaluti oleh handband dengan desain mirip dengan yang ada di pergelangan tanganku yang terlihat baru dibeli. "Sayang sekali, kamu telat memberikannya padaku. Aku kira handband itu sudah hilang, jadi aku membeli yang baru." Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Len. "Kalau kamu mau, handband itu akan kuberikan padamu."
Aku tersentak. Aku menatap Len dengan bingung sebelum akhirnya Len mengatakan bahwa aku benar-benar bisa memilikinya. Aku hanya menerimanya meskipun inisial yang ada di handband yang sudah berada di pergelangan tanganku berbeda dengan inisialku.
"Ah, hampir lupa, siapa namamu?" tanya Len seraya mengulurkan tangan kanannya.
Aku menjabat tangan kanannya dengan tangan kananku lalu menjawab, "Rin, Kagamine Rin!"
Len tersenyum kecil. "Kalau begitu aku panggil kamu Rin. Kamu bisa memanggilku dengan nama kecilku." Aku hanya mengangguk hingga akhirnya Len dipanggil oleh teman-temannya. "Sampai jumpa!" ucapnya seraya melambaikan tangannya kepadaku.
Aku membalas lambaian tangannya dan memutuskan untuk kembali ke kelas untuk menunggu.
"Rin!" Aku membalikkan badanku. Di depanku terdapat Lui yang berlari seraya membawa raketnya. "Maaf! Seniorku bilang, latihan hari ini akan sangat lama. Jadi kamu bisa pulang duluan. Sekali lagi, maaf!" Lui mengatupkan kedua tangannya dan memandangku dengan berkaca-kaca. Aku hanya mengangguk kecil seraya mengacak-acak rambutnya yang pendek dan kembali berjalan setelah Lui pergi ke lapangan badminton dengan tergesa-gesa.
Aku kembali ke kelasku dan kembali membaca novel tentang persahabatan yang dipinjamkan oleh temanku, Hatsune Miku. Sebenarnya aku tidak suka membaca novel, hanya saja alur cerita persahabatan ini menarik perhatianku. Meskipun tetap saja, aku tidak menyukai novel. Lebih baik membaca komik, karena komik ada gambarnya, jadi tidak terlau bosan untuk dibaca.
Klek.
"Ah, Rin, kamu belum pulang?"
Aku menengok. Rinto berdiri di depan pintu seraya membawa tas kecil berisikan sepatu olahraganya. Aku mengangguk kecil dan kembali membaca bukuku. Rinto berjalan mendekatiku dan duduk di bangkunya. Kedua iris birunya terus menatap gerak-gerikku hingga aku merasa sedikit risih.
Aku membalas menatap mata Rinto dengan tajam hingga Rinto memalingkan mukanya. Entah karena apa. Tapi aku tidak peduli. Aku menarik kembali kepalaku dan melanjutkan membaca novel pinjaman Miku ini agar aku bisa mengembalikan kepadanya tepat waktu.
"Hei, Rin," panggil Rinto kepadaku.
Aku menolehkan kepalaku dan menatap Rinto dengan tajam karena Rinto sudah mengganggu saat-saat tenangku yang sangat berharga dan langka.
Rinto yang sedang diperhatikan dengan tajam hanya menggaruk-garuk lehernya dan kembali berbicara, "Er, tadi saat aku akan kembali ke sini, aku melihat kau sedang berbicara dengan Kagami Len. Apa kalian saling kenal?" Aku mengangguk. "Dia pacarmu?" Kali ini aku menggeleng dengan kencang.
"Bagaimana aku bisa berpacaran dengannya? Kenalan saja baru satu jam yang lalu!" balasku ketus.
Rinto tersenyum kecil lalu menghela napas lega. "Syukurlah."
Aku memiringkan kepalaku. "Haah? Kenapa kau malah bersyukur?" tanyaku dengan bingung.
Rinto menggeleng-gelengkan kepalanya seraya memalingkan mukanya. "Bu―bukan apa- apa! Kau salah dengar saja!" Aku mengangkat kedua bahu dan memasukkan barang-barangku ke dalam tas selempang berwarna kuning milikku dan langsung keluar dari kelas lalu pulang bersama dengan Rinto di belakangku.
.
Rinto memandangi punggung di hadapannya dan bergumam kecil, "Dia memang menarik," ujarnya dengan sangat pelan.
Sementara itu di lapangan bulu tangkis ada Lui yang sedang berlatih dengan semangat sehingga teman-teman klubnya kebingungan melihatnya. "Yosh, kalau aku bisa memenangkan suatu pertandingan, pasti Rin akan kagum denganku!" teriaknya dengan sangat keras hingga teman-temannya makin kebingungan.
Berbeda dengan keadaan di lapangan basket. Di sana terdapat Kagami Len yang sedang menyeka keringatnya dan menatap handbandnya yang baru ia beli. "Kagamine Rin, ya?" gumamnya seraya tersenyum kecil.
Hanya dalam beberapa jam dalam satu hari, benih-benih cinta segitiga akan segera tumbuh setelah berkali-kali disiram dengan rasa kasih sayang. Dan dengan satu hari di dalam sekolah itulah, cerita cinta ini dimulai. Cinta yang mungkin berbelit-belit dan membingungkan.
