Author's Note: Aku tahu aku mungkin penulis termalas di bumi... Tapi tolong jangan salahkan aku! Salahkan imajinasiku yang terlalu liar! X( Cerita ini kubuat saat otakku buntu memikirkan Lawless dan Broken Arrow.

Warning: Gaara dan Hinata akan sedikit OOC disini. Mungkin akan banyak typos, maklumlah ini cerita aku ga sempat edit. (Kalo ga suka ga usah baca!)

Disclaimer: I do not own Naruto!

Enjoy!


Chapter 1: Morning Stranger

Sinar matahari menembus tirai dan masuk ke sebuah kamar tidur. Tempat tidurnya berantakan; sprei putihnya kusut masai dan melilit sosok penghuni tempat tidur tersebut, sementara sesosok yang lainnya tertidur dengan nyenyak di lantai, mungkin terjatuh di malam sebelumnya. Kedua orang itu telanjang, pakaian mereka bertebaran dilantai kamar dan sebagian bahkan sampai keluar ruangan, menciptakan jejak pakaian yang dimulai dari ruang tamu apartemen tersebut.

Salah satu sosok penghuni kamar perlahan-lahan terbangun. Ia berbalik ke samping sebelum kedua mata lavendernya terbuka. Seberkas sinar matahari bersinar tepat diatas wajahnya, membuatnya mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum bangkit duduk. Dia mengucek matanya, sementara pikirannya mulai kembali bekerja.

"A-Apa... yang terjadi... semalam?"

Matanya mulai menjelajah dari sprei di tubuhnya yang kusut, ke tubuhnya yang telanjangnya, lalu ke arah pakaian yang bertebaran di lantai kamar. 'Apa itu... boxer?' Dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas.

"Ya Tuhan!" Dia mencari-cari si penghuni kamar satu lagi di sekeliling kamar, dan matanya pun jatuh pada sosok laki-laki yang terbaring di lantai. Kedua mata yang sama terbelalak lebar saat melihat laki-laki itu. Dia langsung loncat dari tempat tidurnya dan berjongkok disamping pria itu. Telunjuknya menusuk bahu pria itu, mencoba untuk membangunkannya.

"Bangun. Bangun!" desisnya pada pria itu.

"Hah...?" Pria itu perlahan-lahan membuka matanya. "Oh, jam berapa sekarang?" tanyanya sambil menguap lebar. Dia pun bangkit duduk, menyamai tingginya seperti si perempuan yang berjongkok disampingnya. Tangannya mengacak-acak rambut merahnya, matanya yang hijau masih separuh terbuka.

"Um... E-Entahlah... A-Aku tidak yakin. T-Tapi j-jika aku tidak buru-buru aku akan terlambat, dan.. eh i-ini adalah h-hari pertamaku s-sebagai chuunin," kata si wanita sambil membungkus tubuhnya yang telanjang dengan sprai, kemudian berdiri. "J-Jadi... eh... aku a-akan berpakaian sekarang."

Pria itu tersenyum malas padanya. "Aku berharap kita bisa melanjutkan bagian yang tertunda semalam-" kata-kata pria itu terpotong ketika mantel berwarna merah terlempar ke arahnya.

"M-Maaf... uh... t-tapi k-kau harus pergi, uh... Tuan..." Mulut wanita itu bergerak-gerak seakan-akan mencoba mengingat nama pria yang duduk di lantai kamarnya itu. Tangannya yang pucat menarik-narik rambut indigo-nya yang panjang ketika pikirannya blank.

"Kau bisa memanggilku Gaara." Suara pria itu serak karena baru saja terbangun. Namun sebuah seringai menghiasi bibirnya saat ia melihat wajah wanita itu memerah ketika dia berdiri dan menampakkan tubuh telanjangnya. Wanita itu tidak malu-malu begini semalam.

Nama pria itu terdengar familiar di telinga si wanita, namun karena pikirannya masih berkabut akibat banyaknya sake yang diminumnya semalam, dia mengabaikannya.

"Oh, b-baiklah. G-Gaara... S-Senang berkenalan d-denganmu. A-Aku Hinata." Mereka saling berjabat tangan sebelum Hinata berdeham.

"G-Gaara.. umh... K-Kuharap... kau tidak b-berkeliaran dan m-memberitahu semua orang t-tentang kejadian s-semalam." Hinata memainkan kedua telunjuknya, wajahnya menatap ke arah karpet kamarnya yang berwarna cokelat. Gaara mengangkat alisnya melihat tingkah perempuan ini. Rasanya seperti semalam ia tidur dengan wanita yang berbeda.

"Aku bukan orang macam itu." jawabnya singkat sambil mencoba memasukkan kakinya kedalam sandalnya.

Kelegaan langsung menjalar disekujur tubuh Hinata. Ia tersenyum lebar pada si pria berambut merah yang mempunyai tato 'Ai' di dahinya itu. Tato itulah yang membuatnya tertarik pada pria ini semalam. "Yak, umh... G-Gaara... k-kelihatannya aku akan benar-benar t-terlambat sekarang. J-Jadi kau h-harus pergi. Selamat tinggal."

Setelah melihat Gaara sudah berpakaian lengkap dan mengantar pria itu ke pintu apartemennya, Hinata bergegas ke kamar mandi dan langsung menjatuhkan sprei tempat tidurnya. Dia berdiri di bawah pancuran dan membiarkan air panas menghilangkan sisa-sisa percintaannya dengan si rambut merah itu semalam.

"Tuhan... tolonglah aku..." kata Hinata sambil meyuci rambut panjangnya. Kalau saja saat ini ia masih tinggal di rumah Klan Hyuuga, ayahnya pasti sudah menggantungnya sekarang. Namun untungnya keluarga Hyuuga sama sekali tak mau lagi berurusan dengan Hinata.

Hinata memejamkan matanya, membiarkan masa lalu membanjiri benaknya. Di umur delapan belas tahun, dia nekat membuang keluarganya demi seorang laki-laki yang ia pikir mencintainya. Naruto. Ia pikir kawin lari akan menyelesaikan segalanya, dan mereka berdua pun akan hidup bahagia selama-lamanya. Sampai Sasuke Uchiha meninggalkan Konoha, meninggalkan istrinya, Sakura Haruno. Hampir seketika Naruto melupakan segala janjinya pada Hinata dan bersama Sakura melakukan perjalanan untuk mencari si Uchiha.

Si mantan pewaris Hyuuga pun ditinggal sendirian. Tanpa cinta, tanpa keluarga, hanya dirinya sendiri.

Ia berhutang nyawa pada Tsunade yang dengan baik hati meminjamkannya sebuah apartemen yang cicilannya bisa ia bayar kapanpun. Dan sejak saat itu Hinata mulai berlatih setiap hari berlatih agar bisa lolos ujian Chuunin dan menjadi shinobi sejati yang mengabdi pada desanya.

Di umur dua puluh tahun... Hinata akhirnya berhasil menjadi chuunin. Meskipun ialah satu-satunya orang diangkatannya yang baru menjadi chuunin, Hinata tetap merayakan keberhasilannya dengan makan malam mewah di sebuah restoran di pusat desa Konoha. Setelah puas dengan makan malamnya, Hinata duduk di bar dan berniat minum dua gelas sebelum ia pulang.

Sampai si pria berambut merah itu datang. Dan disinilah ia sekarang.

Ia mematikan pancuran dan melangkah keluar kamar mandi sambil mengeringkan badannya. Matanya terpaut pada jam kecil diatas meja diseberang ruangan dan matanya nyaris loncat ketika ia sadar saat itu sudah lewat dari jam sembilan.

Tsunade tidak akan senang atas keterlambatannya.


"Sial... Aku terlambat." gerutu Hinata pelan saat ia mendaki tangga menuju ruangan Hokage. Shizune, sekertaris Tsunade yang setia menceramahinya tentang kedisplinan seorang shinobi. Hinata hanya mengangguk lemah pada setiap perkataan wanita itu dan berjanji ini terakhir kalinya ia terlambat seperti ini.

Sebetulnya keterlambatan ini bukan salahnya. Jika saja si pria rambut merah itu tidak begitu lama berpakaian dan ogah-ogahan keluar dari apartemennya, dia pasti bisa datang tepat waktu. Baiklah mungkin laki-laki itu tampan, dan tatapannya membuat Hinata menggelenyar. Hinata tidak menyesal laki-laki setampan itu sudah mengambil keperawanannya.

Statusnya sebagai wanita yang dicampakkan Naruto dan orang buangan klan Hyuuga membuat tak banyak laki-laki mau mendekatinya. Apalagi melamarnya. Setidaknya jika Hinata nanti mati dalam tugasnya sebagai ninja, ia tidak akan mati sebagai perawan.

Dalam hati Hinata diam-diam berharap untuk bertemu pria itu lagi. Hah! Mustahil. Jika dia mau meniduri Hinata artinya dia berasal dari luar kota. Sekarang laki-laki itu mungkin sudah bermil-mil jauhnya dari pintu gerbang Konoha.

Akhirnya dia pun sampai di depan pintu ruangan Hokage. Setelah mengetuk dengan sopan, Hinata melangkah masuk, dan disambut dengan wajah Tsunade yang ceria. Sejujurnya tadi dia berpikir Tsunade akan mengusirnya sekarang. Tapi untunglah itu tak terjadi.

"Hinata! Ayo masuk. Ayo masuk!" sapa wanita nomor satu di Konoha itu sambil nyengir lebar ke arah Hinata.

"S-Selamat pagi H-Hokage-sama. M-Maaf saya terlambat."

"Ah tidak apa-apa. Saking gembiranya kau pasti berpesta semalaman, ya 'kan?" Tsunade mengedipkan matanya pada Hinata. "Aku mengerti."

Pipi gadis itu langsung memerah. Tentu saja, wanita ini kan sudah hidup lebih lama dari dirinya. Pasti dia jauh lebih mengerti tentang banyak hal "Uhh... K-Kau menyuruhku untuk m-melapor kesini kemarin."

"Ya ya. Tentu saja." Tsunade menggulung dokumen dihadapannya sebelum menatap Hinata kembali. "Aku akan memberikan tugas pertamamu sebagai chuunin. Kau pasti penasaran kan? Ayo katakan kalau kau penasaran!"

Hinata mengernyit mendengar wanita itu. Tsunade hampir terdengar seperti... hyper. Atau... dalam kasus wanita itu... mabuk. Semoga Shizune menyadarinya.

"Y-Ya aku penasaran."

"Bagus!" Tsunade tertawa lepas.

Hinata harus menunggu selama beberapa saat sampai wanita itu selesai tertawa. "Aku merasa bahagia sekali hari ini Hinata-chan. Entah mengapa... Mungkin karena ini awal musim semi?"

Si gadis bermata pucat hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum lemah pada atasannya yang mabuk. Dan saat itu bahkan belum jam dua belas siang.

"Baiklah, langsung saja Hinata... Seorang tamu penting baru saja datang kemarin." Ia terkikik. "Coba kau tebak siapa?"

"A-Aku tidak tahu..."

"Aku tahu kau tak akan tahu!" Ia menjulurkan lidahnya pada Hinata. "Karena beliau datang sendiri." Tsunade merendahkan suaranya. "Shhh, jangan bilang ini pada siapa-siapa Hinata."

"E-Eh... b-baiklah."

"Anak itu menuntut sesuatu dariku... yang tak bisa kuberikan begitu saja. Namun ia tetap ngotot memintanya. Yah, semangat anak muda memang bagus. Tapi anak itu justru jadi menjengkelkan."

Anak itu? Bukannya tadi Tsunade berbicara tentang seorang tamu penting?

"Dia akan tinggal di Konoha selama beberapa hari. Tapi karena pelayannya tak ada yang ikut, aku harus menyediakan seorang pelayan untuknya. Dum-dum-dum! Saat itulah kau masuk melewati pintu itu. Dan kupikir, oh ya! Hinata-chan akan sempurna untuk melayani si Kazekage. Kau kan cantik, sabar, dan pastinya bisa menolerir sikap anak itu."

Jadi... kelihatannya 'anak' yang dimaksud Tsunade adalah orang yang sama dengan 'Kazekage'. Nah, sekarang semuanya mulai agak jelas.

"I-Itukah misi saya Hokage-sama?"

"Ya! Bagaimana kalau kau jemput dia sekarang? Tunjukkan padanya keindahan desa kita. Buat dia iri. Buat dia mengagumi keramahan pelayanan shinobi Konoha."

Hinata mengangguk mengerti.

"Shizune akan memberitahumu dimana anak itu tinggal. Jujur saja aku tidak yakin nama tempatnya..." Seandainya ia tidak mabuk, mungkin dia akan ingat.

Hinata membungkuk hormat sebelum berjalan keluar meninggalkan si Hokage mabuk. Sebelum ia meninggalkan menara yang jadi simbol Konoha itu, ia tak lupa menanyakan hotel tempat si Kazekage tinggal, kemudian memberitahu wanita itu tentang kelakuan atasannya.

Dia tertawa pelan saat berjalan menuju hotel yang ditunjukkan Shizune. Kelihatannya Tsunade akan kehilangan persediaan sake-nya lagi hari ini.


Hinata lupa menanyakan pada Shizune bagaimana ciri-ciri si Kazekage ataupun nama orang itu. Dia hanya berharap siapapun si Kazekage ini bukan laki-laki tua yang sudah botak. Meskipun Tsunade menyebut si Kazekage dengan sebutan 'anak', tapi itu tidak berarti dia betul-betul seorang anak. Tsunade yang umurnya masih misterius bahkan memanggil Hiashi –ayahnya yang umurnya lewat lima puluh– dengan sebutan 'anak'.

Menurut petunjuk nona baik hati di meja resepsionis di bawah, Hinata akan menemukan ruangan si Kazekage di lantai teratas gedung ini. Dia berjalan menuyusuri koridor di lantai teratas sesuai kata-kata wanita itu. Berbagai macam lukisan mendekorasi dinding koridor itu. Hotel ini jelas berkelas. Yah jika tidak mana mungkin si Kazekage mau tinggal disini?

Dia akhirnya sampai pada pintu besar mahoni di ujung koridor, kemudian memberi dua ketukan pada pintu tersebut. Pertama-tama tak ada jawaban. Hinata mencoba lagi. Kali ini sebuah suara menjawab dari dalam.

"Ya, ya. Siapa?"

Anehnya suara itu terdengar familiar ditelinga Hinata. Rasanya seperti ia belum lama mendegarnya.

Pintu itu pun terbuka, dan kedua mata Hinata nyaris loncat keluar. Selama sedetik Hinata pikir ia salah mengetuk pintu, dan mungkin pintu si Kazekage ada di ujung lain koridor itu. Tubuh laki-laki itu basah dan ia tak mengenakan apapun, kecuali sehelai handuk yang terlilit di pinggangnya. Mata Hinata menelusuri perut laki-laki itu berotot kemudian naik ke dadanya yang bidang. Sampai akhirnya pandangan Hinata jatuh pada wajah pria itu.

Demi Tuhan ia nyaris pingsan saat itu juga.

Yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang sama dengan pria yang ia bangunkan di lantai apartemennya pagi ini. Pria itu menatap Hinata dengan campuran kaget dan senang. Gadis yang ditunjuk sebagai pelayan Kazekage itu langsung memerah dengan mulut yang masih menganga kaget. Ia tahu ia pasti terlihat amat bodoh sekarang.

"Hinata?"

"A-A-Apa anda Kazekage?"

Pria itu mengangguk perlahan.

Ia pun cepat-cepat membungkukkan badannya. "S-S-Senang bertemu anda K-Kazekage-sama. S-Saya Hinata, p-p-pelayan anda selama anda b-b-berada di Konoha."

Bisakah seseorang membunuhnya saat itu juga?


Hinata berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengalihkan matanya dari wajah pria itu. Dia harus mengakui, wajah pria itu seperti maha karya Tuhan.

"Jadi... Hokage menugaskanmu untuk menjadi asistenku selama kunjunganku ke Konoha?" Pria itu sudah berpakaian sekarang, sebuah kaos hitam dan celana pendek. Sebuah handuk kecil tergantung di lehernya. Dia duduk di tempat tidur dan menatap Hinata yang duduk di sofa diseberang ruangan sambil mengeringkan rambutnya malas-malasan.

Hinata mengangguk pada pertanyaan pria itu.

"Suatu kebetulan yang mengerikan." pria itu menyeringai pada Hinata, "Ya 'kan?"

"Y-Ya. K-Kazekage-sama... Saya h-harap anda tidak-"

"Kazekage-sama?" Ia mengangkat alisnya, "Kupikir kita sudah saling memanggil nama depan pagi ini?"

Hinata memalingkan wajahnya. "I-Itu k-kondisi yang sama sekali berbeda. A-Aku tidak tahu kalau kau seorang kage."

"Hentikanlah segala kage-kagean itu. Panggil saja aku Gaara."

"S-Saya tidak bisa begitu akrab d-dengan orang y-yang rankingnya jauh diatas saya."

"Benarkah? Rasanya semalam kita sudah lebih dari akrab."

Napas Hinata tercekat di tenggorokannya. "K-kazekage-sama... T-Tolonglah.. J-Jangan bilang kejadian semalam pada siapapun. A-Aku... Aku baru saja memulai karirku sebagai chuunin. H-Hokage pasti akan marah besar kalau tahu..."

"Kalau tahu anak buahnya bercinta dengan Kazekage?"

Kenapa pria ini harus mengatakannya sefrontal itu? "Y-Ya." Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya. Jika orang-orang desa sampai tahu Hinata tidur dengan si Kazekage, mereka pasti akan mengira Hinata-lah yang menggoda pria itu dan dia akan dicap sebagai wanita murahan. Karirnya pun akan kandas ditengah jalan. "Tolonglah..."

Gaara tidak berkata apapun. Ia hanya menatap Hinata dengan intens, hingga membuat wanita itu tak nyaman.

"Uhh... B-Berhentilah m-memandangku seperti itu."

"Seperti apa?"

"S-Seakan-akan k-kau melihatku t-telanjang."

Dia mungkin tidak tertawa lepas, tapi Hinata bisa mengatakan bahwa pria itu sedang tertawa dari kedua matanya.

"Kau betul-betul menarik Hinata... Kemarilah."

Hinata berdiri dan menghampiri tempat tidur sesuai permintaan si Kazekage. "Keringkan rambutku."

Permintaan yang aneh. Namun Hinata tak bisa menolak, bukankah ini tugasnya sebagai pelayan si Kazekage? Ia mengambil handuk yang tergantung di leher laki-laki itu, kemudian mengambil posisi duduk dibelakangnya sebelum mulai mengeringkan rambut merah yang tebal itu. Berada sedekat ini dengannya membuat Hinata dapat mencium bau segar pria itu.

"Apa yang ingin kau lakukan setelah ini?"

"Eh? M-Maksud anda?"

"Setelah mengeringkan rambutku... Apa kau ingin melakukan sesuatu? Atau pergi ke suatu tempat?"

"S-Saya sedang dalam misi. Misi saya adalah memenuhi kebutuhan anda. S-Saya akan melakukan a-apapun yang anda l-lakukan."

Pria itu tertawa kecil. "Kalau kita melakukan sesuai kehendakku, kita akan menghabiskan seharian ini diatas tempat tidur." Hinata menarik rambut pria itu, membuat kepalanya tersentak ke belakang. Bukannya marah pria itu malah tertawa. "Makanya itu aku tanya kau mau melakukan apa. Ada ide?"

"B-Bagaimana k-kalau anda bertemu dengan Hokage-sama? M-Mendiskusikan s-sesuatu dengannya?"

"Oh ayolah. Tak bisakah kau memikirkan ide yang lebih baik?"

"Aku tidak tahu... Hanami?"

"Hanami? Apa itu?"

"Hanami itu... melihat bunga Sakura. Sekarang sedang musim semi. Bunga Sakura sedang mekar-mekarnya. Banyak orang yang piknik di bawah pohon Sakura sambil mengagumi keindahannya."

Gaara berpikir sejenak. Ia sama sekali belum pernah pergi piknik, dan ia tidak tahu bagaimana caranya. "Kau ikut bersamaku?"

"Hanya kalau anda ingin saya ikut."

Tentu saja Gaara mau dia ikut. "Baiklah." Gaara memutar badannya dan menghadap perempuan itu. "Siapkan pakaianku. Kita pergi Hanami."


Author's Note: Yak begitulah. Aku suka membuat Hinata punya kehidupan yang berat. *evil laughs* Kasih tahu aku gimana kesan-kesan kalian ya?

Thanks for reading this story XD

xoxo

shiorinsan