Disclaimer: OP © Eiichiro Oda

Rating: M

WARNINGs: Dark-theme, for mature readers, some chara-bashing, language, and sex scenes in the future. For your safety, these 'warnings' are going to be on the opening of another chapters as well.

Acknowledgment: Semua yang ada di fic ini murni untuk pengekspresin berbahasa melalui prosa dari kisah One Piece karya Eiichiro Oda.

A Fleeting Moment

Jika kembali dipikir-pikir lagi, tanda-tanda yang mereka berikan sangat jelas sebenarnya. Tidak membutuhkan seorang jenius hanya untuk melihat hubungan diantara mereka.

Hanya saja Sanji sedikit terlambat menyadarinya. Masakan karya agungnya sudah dibiarkan terlalu lama. Kini sudah tak hangat dan kehilangan tekstur terbaiknya. Sama halnya seperti si pria koki sendiri. Andai saja ia menyadari ini semua lebih cepat, rasanya dia tidak akan merasakan rasa sakit yang teramat seperti ini.

Dia tidak tahu. Selama ini, wanita itu adalah satu-satunya yang ia puja. Baiklah—memang benar Sanji mencintai semua wanita, tapi tak satupun dari mereka begitu ia puja bagaikan ratu kecuali wanita berambut jingga tersebut. Jadi bagaimanapun juga, pikirnya, ini hanya terasa tidak adil.

Ia hanya menjadi seperti jester kerajaan yang dipanggil jika bila perlu. Dan setelahnya, yang kau dapatkan dengan menjabat sebagai badut kerajaan hanyalah tawa dan rasa terima kasih. Setelah itu, kau akan dikembalikan ke tempatmu berada; dibiarkan kembali berkreasi untuk hiburan berikutnya.

Tidak adil.

Sanji cuma bisa melihat dari tepian kapal (ketika ia sedang tidak di dapur). Saat-saat dimana wanita itu tersenyum dengan riang dan lepas kepada pria berambut lettuce. Si pria sendiri tidak menunjukkan ekspresi yang berlebihan ketika merespon obrolan mereka—hanya senyuman seadanya, yang bagi Sanji, merupakan penghinaan terhadap si wanita mikan dihadapannya.

Dialah sang ratu yang Sanji tidak ingin kecewakan. Dia selalu memberikan pelayanan 120% perhari hanya kepadanya. Namun apa yang ia dapat?

Tak ada.

Tidak terlewatkan satu detikpun keakraban kedua rekannya yang tadi ia sebutkan. Bahkan saat makan siangpun, mereka seolah tak melihat rekan-rekan lainnya dan menikmati waktu mereka bersama.

Sanji? Mem-'badut.' Apa lagi?

"Oi, Luffy cuci dulu tanganmu di wastafel!" Sanji menendang bokong malas sang kapten. Si pria karet mencibir, segera bergegas ke dapur bersama dengan Usopp dan Chopper yang tak ingin kena tendang juga. "Terakhir kali kulihat kalian tengah bermain dengan kotoran monster laut tangkapan Franky. Kalian ini jorok atau apa?

NAMI-SWAAAN~!" Tanpa hela napas sedikitpun, Sanji si badut kerajaan berputar-putar seperti anak angin puyuh ke arah Nami dan Zoro yang baru saja duduk di kursi meja makan mereka masing-masing (bersebelahan). "Hidangan pembuka spesial dariku. Silahkan, Pudding A la North De Orange."

"Hm, kelihatannya lezat." Mata Nami berubah jingga ketika melihat hiasan jeruk. Ia tersenyum manis kepada si badut. "Terima kasih Sanji-kun."

"Mellorine~!" Sanji kembali melangkah ke dapur untuk mengambilkan pembuka khusus milik Robin. Namun seperti biasa, ia mendengar bisik-bisik Nami kepada Zoro: 'kau mau?'

Simpel memang. Seperti sebuah rasa perhatian dan kepedulian terhadap nakama. Tapi Sanji adalah pria ang egois. Ia membuatkan hidangan itu spesial hanya untuk Nami—dan tandai, hanya untuk ia seorang, bukan untuk dibagikan ke daun lettuce dasar laut.

Namun Sanji telah belajar (terus mencoba) untuk tidak terus meledakkan emosinya kecuali terhadap kebodohan Luffy cs. "Silahkan Robin-chan, hidangan pembuka spesialmu. Lemonic Sorbet la Chocolát e."

Robin memberikan senyuman dewasanya nan lembut. Tatapannya lurus kepada Sanji ketika menerima bagiannya. "Terima kasih, Sanji. Hm, aku mencium aroma mint dan chrysant."

Sanji membalas senyuman anggun itu dengan ukiran kebanggaan pada bibirnya. Menerima komentar (apapun jenisnya) tentang hidangan dari 'sang tamu', seorang koki kelas satu tidak akan pernah merasa senang melebihi apapun. "Hidung indahmu memang tak hanya anggun, tapi juga cekatan karena dapat merasakan aroma samar tersebut. Benar, sebagai pendukung vanili aku mengekstrak daun mint dan kelopak chrysant sebagai perisanya, Robin-chan."

Robin kembali memberikan senyuman lembutnya. "Dan untuk kalian, cola dan rum." Sanji meletakkan minuman para pria, membiarkan mereka berebut. Franky memonopoli keseluruhan cola, dan Zoro tidak ingin berbagi apabila itu sudah menyangkut rum. Jadi Sanji membuatkan lemon tea untuk rekan-rekan prianya yang lain.

Sanji adalah koki yang memiliki tata krama. Dia tidak akan mengganggu para tamu yang sedang santap di meja makan. Jadi dia lebih memlilih meluangkan waktu tenangnya di sofa kabin ruang makan sambil membaca koran edisi hari ini. Tapi matanya tak bisa teralihkan dari Nami dan Zoro yang nampaknya, setelah selang dua tahun perpisahan para Topi Jerami, menjadi lebih akrab. Atau mungkinkah mereka berusaha mengisi kekosongan yang telah mereka lewati?

Bagaimanapun juga, mereka adalah rekan terlama milik Luffy. Ada saja bahan obrolan bagi mereka yang tidak akan pernah dibagi ke rekan lainnya. Bahkan terhadap Usopp dan Sanji sekalipun.

Sanji berusaha berpikir dewasa—sebagaimana ia coba seperti biasa. Dia bukanlah anak-anak yang serba emosi ketika melihat gadis favoritnya berbicara dengan pria lain.

Namun sekali lagi, siapapun yang melihat kedekatan Nami dan Zoro pasti memiliki pandangan yang sama. Dan Sanji tidak ingin memikirkan apalagi mengucapkannya karena hanya akan membawa nasib sial saja nantinya.

Malamnya, ketika Zoro sudah menyelesaikan latihannya di sarang gagak (menara pengintai), ia biasanya mengambil sebotol rum dari rak lemari bir di kabin ruang makan. Dan Nami yang mengetahui itu, selalu mengambil waktu istirahat dari petanya tepat pada waktu yang bersamaan.

Terkadang Sanji menjamu mereka sebagai tamu (karena dapur ini adalah miliknya, untuk informasi saja). Namun Sanji lebih sering segera melarikan diri kemanapun ia dapat pergi dan menghapus pikiran tentang Nami-san dan Zoro yang hanya berdua di ruang makan—membicarakan apapun tetek bengek yang Sanji tak tertarik sama sekali untuk mencuri dengar.

Tapi bayangan itu membuat Sanji sakit. Membuatnya muak. Membuatnya terbakar cemburu dan amarah. Meluangkan waktu dengannya 'sedikit' saja bahkan tak pernah. Nami tak pernah melakukan hal demikian kepada Sanji, baik sekarang apalagi dulu.

Memangnya apa yang membuat dirinya begitu berbeda dengan si pendekar ganggang laut hijau itu?

Zoro kuat; Sanji juga kuat. Luffy mengandalkannya sebagaimana si kapten mengandalkan Zoro. Mereka adalah kaki tangan sang kapten, kedua petarung yang tak terkalahkan. Mereka berdua rival, dan saling menghormati. Tidak cuma sekali juga Sanji menyelamatkan nyawa rekan-rekan krunya. Tidak hanya sekali, dan tidak tanggung-tanggung pada berbagai kesempatan.

Apa Zoro pernah melakukan hal yang membutuhkan daya pikir seperti itu? Sesuatu yang harus dipikirkan masak-masak terlebih dahulu?

Tidak. Itu adalah dia. Sanji. Dia, yang memikirkan keselamatan nakama-nakama-nya melebihi apapun juga.

Sanji juga lebih tua beberapa bulan dari Zoro, dan pria itu tidak lebih dewasa dari Sanji—baik cara pikir ataupun sikap. Si koki hanya berlaku seperti si dungu badut kerajaan hanya gara-gara bawaan dari kecil. Dia tidak tahan melihat kecantikan dari makhluk hawa. Dia mencintai mereka semua, karena mereka begitu indah. Zoro tak punya itu. Dia hanya melihat wanita sebegai sosok yang berbeda dari pria. Mereka tak pantas menerima perlakuan kasar jika tak memulainya telebih dahulu—begitulah pria tersebut. Ambil saja contoh Monet, rekan si ilmuwan sinting Caesar Clown di Punk Hazard beberapa minggu yang lalu.

Sanji melihat Zoro semudah ia membalikkan telapak tangannya.

Tapi, apa yang ia miliki dan Sanji tak miliki?—Sehingga Nami begitu dekat dengannya.

Sanji juga tak pernah lupa, sepanjang perjalanan mereka sedari dulu Nami selalu mencuri pandang kepada Zoro kapanpun ia bisa. Entah apa yang dilihatnya, sepertinya wajah Zoro selalu bisa membuat Nami tenang. Dia tersenyum dalam diam—dan ia kira hanya dirinya yang sadar akan hal itu.

Hingga akhirnya ia sampai pada kesimpulan seperti berikut: Nami menyukai Zoro—apapun alasannya, pikir Sanji. Apapun respon dari Zoro, Sanji sepertinya tak punya harapan selama perasaanNami itu tak teralihkan. Karena, ayolah. Zoro adalah sang wakil kapten, dan ia pantas dihormati. Sanji tahu itu. Siapapun yang tak menghormatinya, maka tak pantas berada di bawah Luffy.

"Sanji." Rokok si koki terjatuh ke lautan di bawahnya. Ia memangkukan kedua lengannya di atas pembatas sisi belakang Sunny, dan mau tak mau harus melihat rokoknya yang masih panjang terapung-apung di atas lautan gelap berombak. 'Sial, aku tidak ingin mencemari air laut', bisiknya. "Aku terus mengimbaumu sedari tadi.

Ada apa?" Tipikal Robin. Dia selalu tahu setiap kru yang memiliki penat. Sudah bawaan masa kecil mungkin.

"Tidak. Aku hanya tidak terbiasa membuang rokok di lautan."

Robin tersenyum dingin, dan berjalan ke sebelah si koki. "Maafkan aku, kalau begitu. Seharusnya aku tidak mengejutkanmu. Hm?"

"Tidak. Tidak. Biarkan saja yang sudah lewat. Butuh bantuanku, Robin-chan?" Oh, tidak. Jangan paksa aku ke dapur untuk membuatkanmu kopi non-caffein malam ini. Aku tak ingin lagi melihat si marimo dan Nami-san untuk malam ini!—teriak Sanji di dalam hatinya.

"Aku…" Robin tersenyum, dan mengangkat bukunya. Ia terdiam sebentar, dan menggeleng. "Aku tertarik dengan resep sorbet-mu siang tadi. Lalu, aku mencarinya dari beberapa koleksi bukumu di pustaka dan…
Kau baik-baik saja?"

Menyadari wajahnya membeku untuk sesaat, Sanji merespon. Seperti tertangkap basah. "Ya, ya? Apa itu, Robin-chan?"

Ia tak memperhatikan. Robin hanya memberikan senyuman dewasanya. "Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa mencampur vanilli dan ekstrak mint dan chrysant tanpa membuatnya menjadi pahit. Coba lihat di sini," Robin menyodorkan bukunya. "Ketika kita mencampurkan ketiga bahan tersebut…
Haloo, Sanji?"

Kenapa yang terbayang hanya sosok Nami-san dan Zoro saat ini? Ada apa dengan kepalaku. Sial, aku membuat Robin-chan kecewa. "Maaf, Robin-chan. Aku-aku hanya kurang enak badan."

Robin menutup bukunya. Ia mengerti. "Baik. Aku bisa melanjutkan ini lain waktu. Tapi ada apa, Sanji?"

"Tidak ada." Sanji meraih satu batang rokok lagi dengan terburu-buru. Namun tangan lembut Robin menghalanginya.

"Kau selalu seperti ini ketika grogi akan sesuatu. Termenung, mengalihkan pandangan ketika berbicara, memberikan senyuman ragu, dan dengan cepat meraih rokokmu yang pada suatu kesempatan yang bahkan rokok sebelumnya masih menempel di bibirmu." Siapa yang aku bohongi memangnya saat ini, bisik si koki. "Katakan saja, Sanji."

"Hanya…masalah kecil—tidak ada yang harus dikhawatirkan, Robin-chan."

Robin kembali tersenyum, menutup matanya untuk sedetik. "Aku pikir ada apa kau tidak di ruang makan, rupanya…"

"Ini tidak ada hubungannya dengan Nami-san ataupun Zoro." Lanjut Sanji, sedikit terburu-buru.

"Jadi karena mereka sedang bersama-sama, kau lebih memilih untuk meninggalkan mereka untuk sementara waktu di kerajaanmu?"

Robin selalu memiliki cara dengan gaya humor-nya untuk menghibur seseorang. "Aku tidak akan pernah meninggalkan kediamanku hanya karena mereka. Hanya saja…" Raut Sanji kembali sedikit menggelap.

"Apakah sesakit itu rasanya melihat mereka mengobrol dengan begitu akrab?"

"Ti-tidak. Apa maksudmu, Robin-chan?"

"Tidak, aku serius Sanji. Wajahmu mengatakan lebih banyak dari mulutmu saat ini." Kedua bola mata biru Robin menatap Sanji, dan menggeledah hatinya. Sanji semakin terpojok; dia tidak suka ketika seorang lady menatap begitu intense seperti ini. Seolah dia telah melakukan kesalahan kepada mereka—yang seumur-umur tidak akan pernah dilakukan oleh Sanji. Jika bisa, ia hanya ingin mengagungkan para wanita dan tidak melukai mereka sedikitpun. Karena itu adalah jalan hidup ksatrianya.

Tapi…

"Mereka akrab, ya?" Sanji mengangguk dan memutuskan untuk bertanya pada wanita dewasa tersebut.

"K-kau pikir apakah ada sesuatu diantara mereka saat ini?" Sanji merasa terlambat untuk menarik kata-katanya. "Bukan berarti aku tidak suka, tapi hingga sampai malam ini entah mengapa aku tidak menaydarinya."

"Kau ingin jawaban yang membuatmu tenang, atau yang sejujurnya?"

"Tidak perlu berbohong padaku, Robin-chan." Sanji kembali membuang tatapannya ke lautan. "Jadi, mereka memang sudah lebih dari sekedar teman, ya?"

"Jangan terlalu cepat menyimpulkannya seperti demikian." Robin menyanggah, membuat si koki mengangkat kepalanya. "Tidakkah sebaiknya kau bertanya pada mereka secara langsung?"

"Aku tidak mungkin melakukannya." Jawab si pria singkat. "itu tidak sopan."

"Dimana letak tidak sopannya? Aku melihat keberanianmu disana, Sanji."

Si koki memikirkan kembali perkataan Robin. Ia mengangguk-angguk kecil. "Kurasa kau benar."

Namun tubuh Sanji membeku. Sensasi menggigit dari Aokiji dulu seolah kembali membuatnya menggigil di tengah pintu kabin ruang makan.

Selusin lebih botol rum bergeletakan di atas meja dan sekitar meja di atas lantai. Kedua pergelangan Nami mengitari leher Zoro, dan si pria mengitarkan lengannya pula ke balik pinggang si wanita berambut jingga membara. Bibir mereka saling kunci, menyerah pada napsu yang terukir secara terang-terangan pada wajah keduanya.

Sial.

Selagi mereka berdua masih belum memisahkan diri, Sanji teringat ketel air panas yang tadi tengah ia masak. Niatnya ia ingin langsung lari ke bilik kamarnya, tapi tanggung jawab dapur tetap dipegangnya. Tidak ada yang ingin kapal ini kebakaran, bukan begitu?

Sial. Sial. Sial.

"Oi, koki,"

Nami terkejut, melap sisa liurnya dan milik Zoro dari bibir merahnya yang menggemaskan. Untuk sesaat Sanji mengagumi sosok yang begitu menawan hati tersebut, tapi tidak lama. "Aku hanya mematikan kompor. Lampunya kubiarkan menyala." Dia tak berani menatap keduanya.

Sial. Sial. Lari dan tendang bajingan sialan ini, Sanji!

Beraninya mereka berlaku demikian di kediaman 'mewah'-mu?! Beraninya mereka melakukan itu tepat dihadapanmu!?

Tapi kau siapa, Sanji? Kau siapa? Kau hanyalah rekan mereka yang tak memiliki hak untuk marah.

Sial. Astaga demi tuhan, sialnya.

Wajah Nami dan Zoro masih memerah. Mereka memang tidak mabuk (sulit membuat mereka mabuk), tapi napsu kepada satu sama lainlah yang membuat mereka lepas kendali.

Melihat Nami di dalam pagutan Zoro sungguh menyakitkan hati Sanji.

Zoro adalah rival sekaligus sahabatnya. Ada peraturan tak tertulis yang memaksa keduanya untuk saling menghormati walau separah apapun hubungan mereka yang seperti anjing dan kucing.

Tapi, dengan ini, Sanji merasa seluruh rasa hormatnya pada Zoro menghilang. Yang ada saat ini hanyalah emosi.

Jika ia tidak segera keluar dari sini, bisa saja terjadi peperangan diantara mereka berdua. Dan istana miliknya terpaksa akan hancur luluh lantah.

"Sanji-kun, itu kau?"

Sanji tak menjawab—dia juga yakin Nami tidak begitu menyadari kehadirannya. Ia lalu meninggalkan keduanya di dalam ruang makan. Lampu masih menyala, dan mereka melanjutkan apapun yang sempat terjeda.

"Sanji?"

Rautnya hancur, bibirnya bergetar. Menggigit rokok dengan bibirnya saja mungkin tak mampu. Pandangannya seperti seekor anak anjing yang ditelantarkan majikannya, dan ia membutuhkan seseorang. "Robin-chan…"

Meraih dan memeluk si pria malang, Robin hanya tak tahu apa yang harus dikatakan pada saat seperti ini.

|Bersambung|

Fic ini akan berbeda dengan fic SanRo-ku yang dulu dengan judul 'There's Something Happened between Hana and Ciggarette.' Fic ini memiliki tema gelap, dan kemungkinan ga akan berakhir happy seperti di fic sebelumnya. Enjoy.