Demigods and Saints

.

.

.

Disclaimer: Percy Jackson dan Heroes of Olympus milik Rick Riordan

Saint Seiya milik Masami Kurumada

Rating: T

Genre: Friendship, Adventure

.

.

.

Sama seperti tidurnya di malam-malam yang lalu, mimpi buruk mengencani Will Solace sekali lagi. Bedanya, dia mendapati mimpi buruk yang baru. Lebih seram, lebih suram, lebih buram.

Sekitarnya bahkan gelap. Entah Dewa Mimpi lupa membayar tagihan listrik atau apa, yang ia dengar hanyalah suara-suara. Banyak suara dari banyak orang yang berbeda. Dan semuanya terasa berkuasa.

"Hades telah menetapkan pilihan," sebuah suara seorang pria berkata, diikuti bunyi kepakan-kepakan sayap kecil. "Dia memilih si kembar."

Jawaban datang dari sebrang, diiringi guntur bersahutan. "Kembar yang mana?"

"Dua-duanya."

Guntur sekali lagi.

"Boleh aku ambil dua juga?" suara ketiga muncul, terdengar ceria seolah mengabaikan amarah dari sang pengirim guntur. Will merasa ia mestinya tahu siapa pemilik suara itu. "Yang pakai panah itu bagus. Aku juga mau adiknya."

"Jangan lagi ada yang dobel, deh. Yang lain gak kebagian."

"Aku ambil bagiannya Artemis, kok!"

"Aku mau yang kambing. Aku pernah kerja sama dengannya jadi-"

"Kau memanfaatkannya, Ares. Memanfaatkan kesetiaan kesatriaku demi membunuhku."

"Jangan ungkit masa lalu, Athena," suara persuasif milik seorang wanita melerai. Zat yang sama dengan charmspeak, namun lebih kuat. "Aku punya firasat bagus memilih seorang kesatria yang bernama sama denganku."

"Demeter, Dionysus, ada pendapat?"

"Tidak."

"Aku pasti cuma dapat sisanya kan, ya?"

"Bagaimana dari teman maritim kita? Ada tanggapan, saudaraku?"

"Aku tetap pada pendirianku."

"Jadi semua sudah sepakat kan? Akan kuantar mereka selagi mengemudi."

kali ini Will mencelos. Dia memang tahu siapa pemilik suara itu. Ada rasa menggelitik di telinganya. Dia pikir itu pengaruh mimpi, namun perasaan mengganggu itu berkembang seolah ada orang iseng yang meniupi lubang telinganya.

Dobrakan pintu kamar membangunkan Will segera. Dia merasakan cengkraman tangan seseorang menyusupi bahunya. Bersamaan dengan wajah panik Austin yang muncul tiba-tiba. "Ada yang meniupi telingaku!"

"U-uh?" Will agak merasa terdisorientasi dibangunkan mendadak begini. "Itu lucu karena sepertinya dia juga meniupi telingaku."

Will dapat melihat ekspresi Austin berubah melongo. Seolah bingung apakah Will serius menanggapinya atau tidak. Namun belum juga memberi tanggapan, pekemah Kabin Apollo yang lain ramai-ramai berhamburan memasuki kamar.

"Whoa, ada apa ini?!" Sang pemilik kamar jelas bingung. Will hanya memakai bokser di balik selimut. Dan fakta bahwa dia bersama pemuda lain di atas ranjang (berdempetan pula) agak membuat pipinya merona. "Ada yang tiup telinga kalian juga?"

Jangan salah, sebelok-beloknya seorang Will Solace, dia tidak akan sampai hati mengencani saudara satu ayahnya sendiri. Terlebih lagi, dia tidak ingin membuat kekasih "gelap" (dalam tanda kutip)-nya di Kabin Hades sana menjadi marah hanya karena terlibat skandal dengan Austin.

"Tiup?" Kayla, yang kebetulan berada di bagian depan barisan mengerutkan kening. Gadis itu tengah menyandang busur, juga memakai baju zirah asal-asalan dibalik piyama kuningnya, ditambah rambut yang awut-awutan. Will agak terkesan dengan kesigapan salah satu pekemahnya ini. "Rasanya kok kayak bersiul di telingaku."

"Kalian juga merasakannya?" wajah Austin terlihat lebih tenang dari sebelumnya. "Maksudku kalian semua?"

"Yep."

"Dan orang iseng mana yang mau bersiul di telinganya anak-anak Dewa Musik? Cari mati."

"... mungkin Dewa Musik itu sendiri ..."

Dewa Musik.

Apollo.

Apa tadi di mimpinya?

'Mengantar selagi mengemudi?'

Tubuh Will bergerak cepat menggapai jendela. Perasaan tidak nyaman mengaliri tiap nadinya, hingga ia tidak peduli lagi jika selimutnya jatuh. Dia memindahkan pot berisi bunga hyacinth agar dapat leluasa memandangi langit timur yang masih gelap gulita.

Seharusnya Will sadar sedari tadi. Sesuatu asing yang awalnya hembusan napas di telinganya berubah menjadi siulan rendah. Berangsur-angsur meningkatkan volumenya hingga Will merasa ada seseorang yang membunyikan klakson tepat di kedua kupingnya.

Klakson mobil.

Percy Jackson pernah bercerita bahwa kereta matahari Apollo itu berbentuk sport car yang sesekali berubah menjadi bus sekolah. Jika itu benar adanya, Will merasa dengungan di telinga yang membangunkan paksa seluruh demigod Apollo adalah sebuah peringatan.

Will tidak yakin sesuatu macam apa yang ingin diantarkan ayahnya. Tapi dia tahu dua hal; Apollo akan mengantarkan paketnya dengan kereta matahari yang akan sampai pagi ini, dan tujuannya adalah perkemahan.

Dengan seyogyanya seorang pemimpin, Will berbalik sambil meninggikan suara. Berusaha sewibawa mungkin bagi konselor kepala yang hanya mengenakan bokser kuning cerah. "Bangunkan pekemah yang lain! Ada sesuatu yang akan tiba."

Meski masih terjebak dalam alam sadar dan mimpi, namun keseluruh pekemah Apollo dengan cekatan menyambar busur panah dan pedang mereka kemudian berhamburan keluar kabin. Menyebar menyambangi kabin-kabin yang lain dalam kelompok warna-warni gabungan baju zirah dan piyama.

Will mengikut dari belakang setelah berhasil mengenakan pakaiannya. Dia berlari seorang diri menuju kabin sewarna obsidian bernomor tiga belas sambil mengancing celana jinsnya.

Belum juga mencapai jarak belasan meter, kesan horor telah terpancar dari Kabin Hades. Tidak ada pekemah yang menuju kabin ini selain dirinya, terlalu takut sepertinya. Will mengerti, karena itu dia berniat membangunkan demigod Hades merangkap pacarnya sendiri.

Matahari mulai menampakkan diri. Will bukanlah pembidik yang ahli, tapi dia dapat melihat sebuah cahaya lain melambung mengikuti matahari dari belakang. Cahaya asing itu berwarna emas sepenuhnya, semakin dekat dengan perkemahan, semakin membesar ukurannya. Semakin nyaring pula bunyi yang berdecit di telinga Will.

Keringat dingin membanjiri tubuhnya begitu menyadari tepat di depan pintu kabin kekasihnya, berdiri seorang wanita muda berambut lavender terurai ke bawah dan mengenakan gaun putih tanpa noda. Matanya yang juga ungu terpatri kepada Will seolah menyambut teman lama.

Will tidak ingat pernah melihat wanita ini di perkemahan, terlebih lagi, dia memancarkan aura luar biasa yang rasanya bukan berasal dari manusia. Dewikah? Tapi Will belum pernah melihat seorang dewi berambut ungu sebelumnya.

Putra Apollo cari aman saja. "Maaf. Ada sesuatu yang akan tiba. Kau sebaiknya berkumpul di Rumah Besar. Kau akan aman di sana."

Bukannya menjawab, wanita itu malah mengulum senyum tipis. Wajahnya seolah bercahaya, menenangkan hati Will seketika. Dan meskipun orientasi seksual Will menyimpang, dia amat terpesona. Will bahkan mengaku bahwa itulah senyum terindah yang ia dapati pagi ini (jangan beri tahu Nico).

"Mereka adalah kesatriaku. Saint-Saint-ku yang setia."

Wah, Will agak tidak nyaman jadinya. "Uh, Saint?"

"Bantu mereka, demigod. Maka mereka akan membantumu. Permintaan pribadi dariku."

Di tengah kebingungannya, Will menanyakan sesuatu yang pertama terlintas di kepalanya. "Kau siapa memangnya?"

Senyum jelita itu tercipta lagi. Will mendapati dirinya merona.

Bersamaan dengan kilatan emas di langit Long Island, wanita itu berkata. "Athena Saori."

BAAMM!

Hempasan angin menjatuhkan Will tanpa ampun. Dia berusaha bangun memastikan sang wanita asing baik-baik saja. Namun saat Will membuka mata yang ia lihat hanyalah tanah kosong berdebu dan pintu Kabin Tiga Belas yang mendadak terbuka dari dalam.

"Will!"

Nico di Angelo menghampirinya dengan ekspresi panik di wajah. Tangan demigod Italia yang sewarna mayat itu menggapai Will. Dari pakaian sang kekasih, Will menyadari ledakan tadi telah membangunkan Nico secara paksa.

"Aku baik," Will berusaha berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Asap hitam membumbung di tengah-tengah lapangan basket. Will menelan ludah, apa kiranya paket yang telah diantarkan ayahnya. Matanya menghadap Nico segera. "Kau bisa lari?"

Nico balas menatap Will seolah tersinggung. "Tentu saja."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Will menarik tangan Nico dan mengajaknya berlari menuju lapangan basket setengah hancur. Membalap pekemah yang lain hingga mereka berdua tiba di depan kerumunan, tepat di samping Chiron sang penanggungjawab perkemahan.

"Zeus yang agung ..." Chiron bergumam pelan, namun Will dapat mendengar jelas apa yang centaurus itu katakan. "Saint Athena."

Lubang lebar merobek tanah. Di samping ring basket yang patah, terkapar tiga belas pria dengan rambut warna-warni, di masing-masing puncak kepala mereka berpendar sebuah hologram berbeda. Hologram yang biasa muncul saat dewa atau dewi mengakui seorang demigod sebagai anak mereka. Logo yang ditampilkan telah memudar, setengah hilang, tapi ekspresi Chiron mengumumkan bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi.

.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

.

Dari dulu memang mau bikin crossover antara dua fandom kesayangan saya ini. Apalagi saya dapat saran dari teman ;3

Makasih juga untuk Om yang sudah bantu pasang-pasangin Saint ini harus masuk ke kabin mana :""

Sekali lagi terima kasih bagi yang telah membaca dan merespon fic ini dalam bentuk apapun. Kritik dan saran saya terima dengan lapang dada