PENGHUNI GELAP

Pairing : Eren Yeager – Annie Leonhardt

Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama Modern AU

-EYD TELAH KUBUNUH PADA TULISAN INI-


Sore hari tanggal 30, dan Sang Surya tengah digusur hujan yang sedang berpesta gila-gilaan, padahal Sekitar satu jam lalu masih panas-cerah dengan awan-awan kecil yang tidak memenuhi langit.

Petir, Angin ribut pula. Lancang menyelinap lewat ventilasi-ventilasi.

Dan di ruang tamu disebuah rumah, ada sebuah jam tua yang menempel di dinding, berdetik menunjukkan pukul 5:20, namun langit masih belum juga diwarnai merah – jingga, karena jam diruangan itu berbohong, Ini masih 4:20.

Ruangan itu diisi oleh sesosok pemuda 16 Tahun, berkalungkan sebuah kunci, entah kunci apa. Tatapanya kosong, menerawang pada panorama diluar jendela kaca ruang tamunya, dia duduk sofa merah ditemani kopi hitam tak bergula. Juga bosan. .

Dan bosan membuat dia terpaksa melamun.

Tapi bukannya melamunkan hujan deras yang sekarang lagi menghujami bumi, apalagi angin yang memiringkan hujan, tidak. Dia hanya melamunkan tiang listrik tinggi lagi kokoh yang berdiri di pinggir jalan depan rumahnya , tiang listrik yang kira-kira lebih tua daripada ibunya.

Tidak ada yang bisa dia kerjakan, tidak bisa diskusi sama Armin dan yang lain di internet, rumah bersih, rumah tidak kosong, namun penghuni yang satunya lagi tidak boleh diganggu, PR beres, kecuali PR mengarang cerita pendek yang ingin ia diskusikan, ia juga tak punya ide -kecuali tiang listrik-. Lampu imajiner diatas kepalanya mati. Seperti matinya lampu di kompleksnya sekarang.

'Listrik pengkhianat '

'Gara-gara kau ponsel ku mati , belum di-charge'

'Gara-gara kau aku mati bosan. Tak jadi diskusi sama teman-teman.'

"haaah. . . Rasanya hampir setahun." menghela nafas, ngomong sendiri. Merutuki kematian listrik.

Lepas dari lamunan, matanya menangkap sosok seumurannya yang terburu-buru lari ke teras rumahnya, memakai baju casual, membawa payung biru ditangan kiri, barang kali sudah dikoyak angin, tangan kanannya memegangi ransel dikepala yang jelas tak bisa melindunginya dari hujan mendera.

Si pemuda mengenalnya, rambut pirang itu, matanya yang biru. . Bukan Armin.

Pemuda itu tersenyum geli, mendapati penampakan konyol itu. Sosok itu adalah seorang gadis yang pernah menjadi teman sekelasnya —bahkan lebih dari itu, dia sahabat— yang berperangai dingin, lalu yang diwajahnya itu entah mata atau es, karena mata itu juga bersorot dingin.

Tapi dia Gadis menarik lagi baik hati. Setidaknya begitulah penilaian dari si pemuda.

'Annie . . Leonhardt'

yang suka mengalahkannya saat latihan bela diri bersama dirinya, dan yang sudah lama tak ia ketahui beritanya sejak kelulusan SMP. Sekolah mereka terpisah jauh ketika SMA.

"yo, Annie ." Sapanya dengan ekspresi menahan tawa ketika menemui gadis di terasnya.

Degh !*

* aliran darah menderas karena jantung memompa lebih cepat, salah satu gejala psikologis.

Yang disapa pupilnya membesar, spontan Sang gadis menoleh ke sumber suara.

"E . . Eren ?!" Terkejut. Gadis yang bernama Annie menyibakkan rambut basah yang menutupi sebagian kecil wajahnya.

" . . . Setahun tidak ada kabar, kupikir kau sudah mati." Lanjutnya, dingin.

"hahaha. . . Lama tak bertemu, Annie, apa kabar ?" Eren tersenyum, tak dapat menyembunyikan kebahagiaan bertemu kawan lama.

"Aku baik." Annie membalas singkat, juga berusaha tak tersenyum melihat wajah yang tersirat di sampingnya.

". . , tak kusangka bertemu denganmu disini, ini masih rumah mu ?"

" haha, begitulah. . Tak kusangka juga melihatmu seperti kucing yang disiram lalu la―" Tatapan kematian dari gadis itu lebih seram dan lebih mencekam dari sore ini. . . 9 : 11.

" e-eh, maaf, Annie ." Eren membuat gestur 'bercanda. . maafkan aku' dengan kedua tangannya, dan senyum yang agak dipaksakan. Tatapan kematian Annie mereda, gadis itu memeluk lengannya sendiri yang kedinginan, kembali diterpa angin.

"masuklah, lalu bersihkan dirimu, nanti kuambilkan baju ganti." Eren yang paham situasi menawari. Tersenyum simpul alami pada gadis itu.

"kalau tetap disini kau bisa sakit."

"aku disini saja .." Annie memalingkan wajahnya. Masih merangkul lengan sendiri ,kedinginan. Namun tidak dengan wajahnya.

"...nanti aku merepotkan Ibu mu." Lanjunya tanpa menoleh pada Eren.

"Ibu ku lagi sibuk sama Ayah di kota sebelah, mana mungkin pulang hari ini." Eren meraih tangan Annie, menggenggam lembut untuk menariknyanya masuk.

"tanganmu ini dingin sekali, pergilah ke kamar mandi di belakang. ." Eren menunjuk kamar mandi dengan gestur kepalanya.

Sebenarnya tangan Annie tak sedingin itu, tangan Eren lah yang terlalu hangat untuk Annie.

"karena tidak ada air hangat, aku akan menyeduh coklat panas setelah kau mandi, seorang gadis harus bersih." Kata Eren, lalu ia memandang Annie.

"eh ya, terimakasih." Annie membalas, senyuman tipis menghiasinya, fenomena yang jarang nampak.

Oh ya, 'Coklat. . . ' Annie teringat sesuatu . Lupakan.

Eren melepas pegangannya begitu sampai didalam dan menutup pintu, gadis itu melepas sepatu basahnya.

"mari, biar ku antar." Kata Eren yang entah sejak kapan sudah berdiri 5 meter di depannya.

Teleportasi, huh ?

. . . . . . .

hm, sebenarnya saat ini Saya ingin melanjutkan dengan mengkisahkan Annie dan Eren yang duduk manis berduaan sembari menikmati sore yang rintik dibalik jendela. Sambil membicarakan tentang coklat dan hujan, diselingi tawa ringan. Tak lupa ada yang keceplosan, hingga wajah mereka sontak tersipu, tak ada kuasa untuk menatap satu sama lain. Atau menceritakan tentang perasaan Annie

Sekarang ada hal yang lebih ingin untuk saya ceritakan, karena terinspirasi dari masa lalu saya sendiri. Seingat saya, waktu itu saya masih kecil dan nenek saya masih hidup

. . . . . . .

Pintu kamar mandi di tutup pelan, Annnie Leonhardt baru saja keluar dari kamar mandi dengan memakai kemeja putih dan celana panjang warna hitam, tidak kusut dan tidak bau lemari.

Aneh, apa Eren masih memakai baju seukuran Annie Leonhart -sedikit kebesaran- ?

Rumah ini juga tidak terlalu besar, Annie melangkah menuju ruang tamu sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk hijau muda.

Tiap langkahnya mengisi kesenyapan, samar-samar rungguya menangkap suara dari sebuah tempat dirumah itu, entah dimana.

'suara mengetik?'

'wanita berbicara?'

'wanita ?!'

Annie terperanjat, diri bertanya-tanya.

Annie mulai mempercepat langkahnya menuju ruang tamu, meninggalkan lorong gelap rumah ini dan menuju ruangan yang ada penghuninya.

Eren . . Yeager !

dari belakang sana Annie mendengar suara pintu menjerit pelan. Telinganya seolah bergerak menuju sumber suara.

"Eren. . ?" Annie meneguk ludah sendiri,menoleh kebelakang, memastikan, takut-takut ? Aku tak tahu.

Bunyi hujan yang rintik mengisi dalamnya senyap, dan tanpa Annie sadari, sebuah tangan menariknya tiba-tiba menuju ruang tamu.

"ssstt . . ."

Annie menangkap sosok di depannya yang menutup mulutnya sendiri dengan telunjuk.

"Eren ?"

"kupikir kau . . ." Pupil Annnie membesar ketika menangkap sosok di depannya, jantungnya berdebar-debar, bukan karena cinta. Lebih karena seperti melihat hantu.

"Annie, jangan berisik, nanti kau mengganggunya . . "

Wajah Eren mengatakan jika dia waspada, irisnya menatap Annie lekat-lekat.

". . . Nanti dia menangkap kita." Eren melanjutkan dengan intonasi pelan. Annie hanya mengangguk, lehernya jadi dingin dan kaku, tak kuasa menoleh kebelakang.

"dia. . dia siapa ?" Annie minta penjelasan sambil mereka terus berjalan pelan menuju sofa merah.

". . . . . " Eren bungkam.

Mereka duduk berhadapan, hening menenggelamkan dunia mereka. Satu-satunya yang bersuara diruangan itu hanyalah seruputan coklat panas dan suara berdetik si jam dinding tua.

'6 : 30' Ujar jam dinding tua, masih berbohong.

Annie langsung berpaling dari jam dinding yang seolah tertawa itu, begidig rasanya. Lebih baik melihat Eren. Tapi Eren masih bungkam, dengan sesekali menyeruput coklat yang kian dingin di mug keramik. Melupakan kopi hitam yang tak bergula.

Air muka Eren masih waspada, Annie merasa bersalah atas tindakannya tadi.

"maaf. . ." Annie berujar memecah sunyi.

"tak apa. . " Eren membalas singkat. Annie bernafas lega, kiranya suara Eren dicuri hantu, atau Eren sendirilah si hantu.

Hujan diluar jendela kian lirih, dan angin tak lagi keluyuran seperti tadi. Namun gelap semakin pekat, Eren sama sekali tak menyalakan lilin atau apapun.

"Annie. . "

'DEG!' Annie kaget ! terlepas dari lamunannya.

"Apa ?" Jawabnya.

"Apa kau. . medengar suara langkah kaki . . .?"

". . . bukan, suara dentuman ."

"Tidak. . " Jawab Annie. Lalu dia memasang telinganya untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh Eren.

Tapi yang dia tangkap hanyalah suara-suara tadi..

"Tidak ada apapun, jangan coba-coba menakutiku, bodoh." Tajam. Namun Annie jadi ngeri, meskipun demikian Annie menjaga image agar tidak terlihat bodoh.

"kalau begitu, maukah kau mendengarkan kisah dariku ?" Eren menatapnya, wajahnya lebih rileks.

"ya, silahkan saja." seperinya horor, namun Annie penasaran.

"aku akan bercerita mengenai raksasa, tidak usah khawatir, karena penghuni lain sedang tidur." kali ini Eren tersenyum.

'hah ?!'

"bagaimana kau. . " Annie nanar, kalimat selanjutnya terbunuh di tenggorokannya.

"Jadi. . begini . . ." Seolah menghiraukan Annie, Eren tak bertanya dan mulai berkisah

. . . Bersambung . . .