Disclaimer :

Kuroshitsuji belongs to Yana Toboso.

Warning :

Alternate Universe, Original Characters (maybe), Out of Characters, shonen-ai, almost rated M.

Don't like? Don't read! [Read with your own risk! -chuckle-]

Here is the first chapter. Enjoy!


Graduation

by

Shigure Haruki

.

.

First Chapter

Neighbour and Classmate

.

.

.

"Ciel, kau sudah selesai merapikan kamarmu belum?" tanya seorang wanita cantik berambut pirang dengan iris sewarna laut. Rachel Phantomhive berdiri di anak tangga terbawah rumah baru mereka sambil mengetuk-ngetukkan alas kakinya ke lantai—menunggu putra tunggalnya yang masih saja repot menata ruangan. Gaun biru pucat yang ia kenakan berhiaskan renda putih dan terlihat sangat manis.

"Ya, tunggu sebentar, Mum," jawab si empunya nama singkat.

Ini adalah hari kedua mereka di kota London. Sebelumnya, mereka tinggal di sebuah kota kecil di Inggris yang sangat indah. Kota yang nyaman dan jauh dari bising mesin pabrik. Langitnya pun tak kelabu tertutup asap, namun langit biru—seindah iris Rachel yang kini membulat karena ulah putranya.

Ciel muncul di ujung lantai dua dengan langkah tertatih karena memar di kakinya. Ya, kaki kiri bocah—maksudku anak ini terantuk meja karena kurang hati-hati saat merapikan kamarnya.

"Ciel! Kakimu—" Rachel segera naik lalu membantu putranya menuruni tangga.

"Oh, ayolah Mum. Ini bukan apa-apa. Aku sudah 16 tahun," tawa Ciel sambil meringis sakit.

Rambut kelabu menutupi sebagian wajahnya yang seindah porselen. Irisnya yang sewarna dengan sang ibu memantulkan cahaya dengan indah di bawah naungan kelopak berbulu mata lentik. Tubuh mungilnya berbalut jeans, kaus putih dan sweater abu-abu yang tidak dikancing. Untuk ukuran anak laki-laki yang sudah duduk di bangku akhir SMA, Ciel sama sekali tak tampak sesuai gendernya. Ia terlalu … cantik.

"Kita harus segera mengobatinya, Dear. Kau tidak mau melewatkan hari pertama sekolahmu besok dengan istirahat di rumah karena tidak bisa berjalan, kan?" omel Rachel gemas.

Meskipun sudah terbilang dewasa terkadang sifat Ciel benar-benar jauh dari kata itu. Ia kurang peka atau peduli pada dirinya sendiri.

Mereka pun berjalan beriringan menuju ruang tengah.

Oh, aku belum cerita kenapa mereka di sini, ya? Suatu hari, Vincent Phantomhive dimutasikan ke perusahaan pusat karena kenaikkan jabatan. Tak mungkin mereka menolak peluang menuju taraf hidup yang lebih baik—meskipun mereka termasuk kelompok ekonomi menengah ke atas. Jadi sekarang kau tahu bukan kenapa mereka mau repot-repot pindah ke London?

.

.

"Yap, selesai," ujar Rachel puas melihat hasil balutannya di kaki kiri Ciel yang terlihat sangat rapi.

"Kau harus lebih hati-hati, Ciel," lanjutnya lembut sambil menatap kembaran irisnya.

Ciel hanya tertawa menanggapi Rachel yang dinilainya bereaksi berlebihan. Ia merapikan jeans bagian kirinya yang digulung ke atas sebelumnya lalu melesakkan diri ke sofa. Di sampingnya duduklah Vincent, sang ayah, yang menggelengkan kepala sambil membaca surat kabar. Bukan karena berita, tapi karena putra tunggalnya ini.

"Mum terlalu khawatir," kata Ciel sambil tersenyum. Rachel mengerutkan dahi karena reaksi putranya.

"Ia benar, Nak. Kau ini paling ceroboh kalau sudah menyangkut keselamatan diri sendiri," timpal sang kepala keluarga, Vincent, sambil mengacak rambut Ciel yang sewarna dengan miliknya. Mereka seperti dua sisi cermin ketika duduk bersebelahan begitu. Andai Ciel mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan beberapa kancing bagian atas yang terbuka.

"Bagaimana, Ciel? Dad sependapat denganku," tantang Rachel senang. Vincent tertawa renyah sedang Ciel menghela napas.

"Iya, baiklah aku kalah. Dad selalu mendukung Mum, sih. Andai saja aku punya adik laki-laki yang akan selalu mendukung kata-kataku, pasti suara kita imbang," canda Ciel sambil melirik Rachel yang mengambil tempat duduk di sofa seberang.

"Apa? Kurasa aku tidak sanggup mengabulkannya. Saat kecil saja kau nakal sekali, membuatku kerja ekstra. Sementara Dad sibuk dengan pekerjaan dan tak dapat membantu," gerutu Rachel sambil mengerucutkan bibir.

Vincent tersenyum sambil menggumamkan 'maaf' berlawanan dengan Ciel yang tersenyum jahil sambil menyeruput tehnya. Suasana hangat terus berlanjut ketika seluruh Phantomhive ini bercengkrama.

"Ngomong-ngomong, hari ini kita jadi menyapa tetangga baru, Mum?" tanya Ciel sambil meletakkan cangkirnya di atas meja. Pemilik safir kedua di ruangan itu menjulurkan kepalanya ke arah surat kabar yang dibaca Vincent. Ditanggapi tawa kecil sang ayah.

"Ya, tentu saja. Makanya setelah ini kau harus membantuku membuat kue," kini giliran Rachel yang menikmati teh. Gerak tubuhnya yang anggun menambah nilai kecantikannya.

"Kue?"

"Kue itu untuk dibagikan kepada para tetangga, Ciel sayang. Dad mau ikut?"

"Ikut membuat kue? Tentu aku menolak. Kau tahu aku lebih ahli mencicip rasa, bukan?" Vincent menyerahkan surat kabar yang sejak tadi ditarik-tarik Ciel setengah jahil.

"Alasan… Dad sih cuma mau makannya saja, kan? Sementara aku bagian membantu Mum. Dasar curang!" seru Ciel tanpa membaca surat kabar yang ditariknya. Surat kabar malang itu ia lipat lalu ditelantarkan begitu saja di atas meja. Tepat di sebelah cangkir tehnya.

"Mungkin begitu lebih baik, Ciel. Daripada ayahmu menghancurkan dapur baru kita," balas Rachel kali ini mendukung putranya. Dua pasang safir menantang sepasang amber sebelum pecah tawa di ruangan itu.

"Baiklah, daripada menghancurkan dapur aku lebih baik bekerja di ruanganku," Vincent bangkit lalu berjalan ke arah istri tercintanya, "oleh karena itu, kalau sudah jadi bisa bawakan ke ruanganku?"

"Dasar…," Rachel menepuk lengan Vincent setelah menerima sebuah kecupan singkat di pipinya. Kemudian Rachel bangkit menuju dapur di ikuti oleh Ciel sementara Vincent melesat ke ruang kerjanya.

.

.

Di hadapan Ciel berdiri sebuah rumah yang terbilang sederhana bila dibandingkan rumah lain di sekelilingnya. Rumah yang berdiri tepat di sebelah kiri rumahnya itu benar-benar terlihat minimalis dengan cat putih yang dominan disertai aksen coklat kayu dan hitam pada bingkai jendela kaca besarnya. Setidaknya itulah yang terlihat setelah Ciel melewati gerbang dan pagar tanaman yang mengelilinginya.

"Ciel, kau masih di luar? Cepatlah masuk! Mrs. Michaelis sudah menunggu kita di dalam," Rachel sedikit berseru—membuyarkan lamunan putranya yang masih berdiri di pekarangan rumah bernomor enam itu.

"Ah, maafkan aku, Mum," dan Ciel pun segera mengikuti ibunya yang menghilang di balik pintu kayu hitam kembar.

Seorang wanita cantik menyapa Ciel ketika anak berambut kelabu itu tengah asyik mengedarkan pandangan ke seisi rumah. Rambut hitamnya tergerai hingga pinggang, senyumnya terkembang manis di wajah—menyembunyikan manik hijau miliknya yang seindah emerald. One piece putih yang dikenakannya menambah nilai plus pada penampilannya.

"Selamat siang, Ciel," ucap wanita yang menyandang nama keluarga Michaelis itu dengan keramahan yang terdengar pada setiap nada suaranya.

"Selamat siang… um… Mrs. Michaelis," jawab Ciel agak salah tingkah karena setengah melamun. Ia terlalu takjub akan interior rumah yang menunjukkan kemewahan pada setiap sudutnya—berbeda jauh dengan minimalis yang tampak di luar.

"Panggil saja Lillia," balas wanita itu sambil tetap tersenyum manis sebelum kembali menatap Rachel.

"Ah, duduklah Ciel," Ciel pun menyusul Rachel yang sudah terlebih dahulu duduk dan berbincang ketika putranya itu tengah termangu di halaman depan.

"Biar kupanggilkan putraku, Sebastian. Kuharap ia dapat berteman akrab denganmu," jelas Lillia. Ciel dan Rachel hanya mengangguk—menatap Lillia yang beranjak meninggalkan deretan sofa ruang tamu, menuju tangga mewah di sisi lain ruangan.

Mata Ciel yang mengekor arah perginya Lillia menangkap sosok seorang pemuda berambut hitam. Pemuda dengan iris merah yang indah dan ketampanan yang sulit diingkari siapapun. Ciel sempat terpaku menatapinya.

"Ah, Sebastian! Baru saja Mum hendak memanggilmu," ucap Lillia ceria ketika melihat putranya berjalan menuruni tangga dalam balutan jeans selutut dan kaus hitam polos. Tampang pemuda itu benar-benar cuek dan datar, seperti manusia tanpa ekspresi.

"Hm, tetangga baru ya, Mum?" suara Sebastian melantun indah di udara—membuat Ciel bergidik karena kekaguman yang dianggapnya tidak wajar. Sosok Sebastian terlalu sempurna.

Sebastian mengikuti Lillia duduk di sofa—berhadapan dengan Rachel dan Ciel. Lalu wanita cantik berambut hitam itu mulai memperkenalkan putra tunggalnya.

"Nah, ini putraku, Sebastian Michaelis. Usianya 16 tahun," jelas Lillia.

"Sungguh kebetulan yang tak disangka!" seru Rachel sambil menepukkan kedua tangannya—senang, "usia Ciel juga sama dengannya. Nah, Ciel… bersahabatlah dengannya!"

Ciel hanya mengangguk, sementara Sebastian hanya meliriknya sekilas sebelum membuang kembali pandangannya ke luar jendela kaca besar yang menunjukkan keindahan halaman belakang rumahnya.

"Hai, namaku Ciel Phantomhive. Panggil saja Ciel. Senang bertemu denganmu," ucap Ciel sambil mengulurkan tangannya. Sedikit rona merah terlihat di pipi pucatnya—membuatnya terlihat sangat manis dengan senyuman.

"Begitukah? Nama yang indah," ucap Sebastian cuek namun berhasil membuat Ciel salah tingkah. Rasanya aneh dibilang begitu oleh anak laki-laki seusianya.

"Seperti yang sudah kau ketahui, namaku Sebastian Michaelis. Kau dapat memanggilku Sebastian," Sebastian meraih tangan kanan Ciel yang terulur lalu menjabatnya. Wajah stoic-nya tetap di sana, dengan sorot mata yang tajam dan dingin—sama sekali tidak menunjukkan kesan bersahabat.

"Sebastian, bersikaplah ramah sedikit pada orang lain!" komentar Lillia ketika kedua pemuda itu melepaskan jabatan tangan mereka. Sebasatian menatap heran ibunya, seolah mengatakan bahwa sifatnya itu bawaan sejak lahir.

"Bisa-bisa Ciel takut padamu," Lillia mengakhiri kalimatnya dengan gurauan, diikuti dengan pecahnya tawa kedua ibu di ruangan itu. Sebastian mengacak rambutnya, menatap Ciel yang bingung hendak ikut tertawa atau tidak.

"Baiklah…," tukas pemuda beriris merah itu dengan desah napas sedikit berat, "kalau begitu maafkan aku, Ciel."

Ciel hanya mengangguk. Entah kenapa di matanya pemuda bernama Sebastian ini memiliki kesan yang berbeda dari orang kebanyakan—sangat khas.

Rachel dan Lillia pun terus berbincang diikuti Ciel yang kadang berkomentar. Sementara Sebastian kembali menatapi halaman belakang rumahnya—yang menurutnya lebih menarik ketibang percakapan apapun di ruangan itu. Lillia yang melihat kebiasaan jelek putranya yang asosial itu segera bertindak.

"Sebastian, ajaklah Ciel melihat-lihat seisi rumah atau bermain di kamarmu! Kalau diam terus seperti itu bagaimana kalian bisa akrab?" perintah yang berhasil membuat Sebastian menaikkan alisnya karena bingung.

"Mum serius?" tanya Sebastian meyakinkan. Keraguan terlihat jelas di kedua matanya—seolah-olah baru mendengar sesuatu hal yang salah. Ya, paling tidak hal itu salah menurut Sebastian.

Rachel dan Ciel berpandangan sesaat lalu turut membalas pandangan heran Sebastian, sama halnya dengan Lillia yang menatap putranya demikian.

"Apakah aku terlihat seperti bercanda, Dear?"

"Tidak. Tetapi… memangnya tak apa-apa?" Sebastian masih terlihat tak percaya dengan indera pendengarannya, "masa Mum menyuruhku mengajak anak gadis yang baru kukenal beberapa jam lalu ke kamarku berduaan saja agar lebih akrab? Apakah tidak ada yang salah dengan itu?"

Wajah Lillia memerah mendengar celotehan putranya. Ia sama sekali tidak menyangka Sebastian akan salah sangka sejauh itu. Sementara Rachel menahan tawa—ia menepuk puncak kepala Ciel yang hampir berasap karena kata-kata Sebastian, wajahnya juga merah tak karuan.

"Kau pikir kau mau melakukan apa, hah?" Ciel mengeram kesal, "aku ini anak laki-laki, tahu! Dasar mesum!"

Lillia menutup wajah—ia benar-benar lupa memberitahu puteranya kalau Ciel itu anak laki-laki. Ia bahkan tidak berpikir hal itu perlu. Ya, apa boleh buat? Terlanjur….

"Begitukah? Maaf. Kalau begitu biar kuantar kau keliling," kata Sebastian masih dengan tampang datarnya yang terlihat menyebalkan untuk Ciel.

Lillia menatapi cemas kedua pemuda yang beranjak meninggalkan ruang tamu, sementara Rachel mencari topik pembicaraan—berusaha menenangkan.

.

.

Rachel dan Lillia masih asyik dengan percakapan mereka di ruang tamu. Entah apa saja yang mereka bahas, mungkin saja keluarga, kue buatan Rachel, kota asal masing-masing, atau… putera mereka masing-masing. Oke, bicara tentang putera mereka, kedua anak laki-laki itu kini telah mengakhiri sesi keliling rumah—berakhir di depan pintu hitam di lantai dua yang diduga Ciel menuju kamar Sebastian.

"Jadi, ini kamarmu?" tanyanya ketika pemuda yang lebih tinggi darinya membuka pintu ek hitam itu.

Ruangan yang dilihat Ciel bercat putih dengan aksen hitam pada kusen pintu dan tirainya. Di dalamnya terletak sebuah tempat tidur besar—setidaknya terlalu besar untuk ukuran satu orang—lalu sofa, televisi, lemari, meja belajar, dan pintu lainnya yang menuju kamar mandi. Dan satu hal yang membuat kamar ini semakin mirip dengan kamar Ciel adalah pintu kaca yang menuju ke beranda. Dari balik pintu kaca yang tertutup rapat itu, berkas-berkas cahaya mentari menyeruak masuk—menggantikan cahaya yang tidak bisa masuk melalui deretan jendela kaca besar yang tertutup tirai hitam.

"Ya," lagi-lagi pertanyaan itu berakhir naas di depan jawaban singkat si Raven—sama seperti semua pertanyaan yang dilontarkan Ciel ketika mereka tour keliling. Kesal? Ya, tentu! Siapa sih yang tak merasa kesal diperlakukan seperti itu?

"Sedang apa kau berdiri di muka pintu begitu? Masuklah," ucap Sebastian sambil menyalakan AC. Ciel pun masuk lalu langsung duduk di tepi tempat tidur tanpa diminta—membuat si Raven menaikkan alis.

"Siapa yang menyuruhmu duduk di situ, heh?" Sebastian agaknya jengkel juga jika orang yang baru dikenalnya berbuat sesuatu tanpa diundang—kau juga pasti akan merasa demikian jika berada di posisinya. Sementara Ciel menyeringai senang. Ia merasa menang melihat tampang kesal yang terukir di sana. Setidaknya sebelum—

CKLEK!

Sontak seringai kemenangan itu berganti jadi wajah penuh tanda tanya. Well, ruangan ber-AC memang harus tertutup, tapi bukan berarti pintunya harus dikunci juga, kan?

"Se-Sebastian…," Ciel mulai merasakan firasat buruk. Pemuda yang mengunci pintu kamarnya ketika sedang bersama pemuda lain di dalamnya TIDAK bisa dibilang NORMAL, bukan?

"Ya?" balas pemuda beriris rubi itu sambil tersenyum misterius—membuat pemuda yang bertubuh lebih kecil itu semakin merasakan bahaya yang datang mendekat.

"Pi-pintunya… kenapa dikunci?" Ciel berusaha mengulur waktu sambil memikirkan bagaimana cara untuk keluar sesegera mungkin dari ruang—ehm—kamar itu.

"Untuk apa kau menanyakan itu? Bukankah kita akan 'bermain' bersama?" Sebastian berjalan perlahan mendekati tempat tidurnya—menghampiri Ciel yang duduk di sana dengan wajah pucat pasi, "wajar kan kalau pintunya kukunci agar 'tidak ada yang mengganggu', hm?"

Ini GILA ! Apanya yang wajar, heh ! ORANG INI pasti sudah SINTING ! batin Ciel meratapi nasibnya yang bagaikan telur di ujung tanduk itu. Mungkin tepatnya domba di tengah kawanan serigala? Sama sajalah, pokoknya keadaan yang sangat terdesak untuk Ciel. Tidak adakah jalan keluar untuknya? Oh, kejamnya dunia! Mengapa sampai harus—PONSEL! Ciel buru-buru menarik ponsel dari sakunya untuk menghubungi siapapun yang bisa menyelamatkannya dari ketidakwajaran ini. Tapi—

GREP!

Tangan besar Sebastian merebut ponsel itu dengan mudahnya, pupus sudah harapan terakhir Ciel untuk… selamat. Ponsel malang itu berakhir di laci meja yang tak dapat dijangkau tangan mungil Ciel.

"Kenapa? Kau gugup, ya?" Sebastian tertawa kecil—yang tentunya terdengar mengerikan bagi Ciel. Bulu kuduknya terasa berdiri, entah karena suhu ruangan yang terlalu dingin atau hawa predator di depannya yang menyebabkan demikian.

"Kau tahu, Ciel?" Sebastian menangkap kedua pergelangan tangan Ciel dengan tangan kiri lalu menawannya di atas kepala Ciel ketika bocah itu berusaha kabur. Wajah Ciel benar-benar pucat sampai tak ada satu teriakan pun yang meluncur dari bibirnya.

"Kau orang pertama yang menginjakkan kaki di kamarku, loh," desah Sebastian dengan suara rendah di telinga Ciel ketika ia berhasil memerangkap tubuh anak itu di atas tempat tidur, "tidak terhitung orang tuaku tentunya."

Segaris keringat dingin meluncur turun di pelipis Ciel. Otaknya terlalu sibuk memikirkan banyak hal. Bagaimana cara keluar dari tempat ini? Apa yang harus ia lakukan jika tak berhasil kabur? Bagaimana nasibnya kalau sampai 'diapa-apakan' oleh lelaki di hadapannya? Dan berjuta pertanyaan lainnya yang memperlambat kerja otaknya. Sampai-sampai Ciel tak menyadari tangan kanan si Raven mulai menyusuri leher jenjang dan bahunya—mulai membuka kancing teratas kemeja yang dikenakannya.

"MAU APA KAU?" Ciel tersentak kaget ketika mendapati pria di atasnya mulai melucuti pakaian—ehm—setidaknya kemeja yang dikenakannya. Upaya anak itu untuk melepaskan diri pun langsung terbuang sia-sia. Ciel langsung gagal membebaskan tangannya ketika Sebastian mengeratkan tekanannya di pergelengan tangan bocah itu.

"Mau apa? Tentu saja memastikan," jawab Sebastian tenang seolah tidak ada satu hal pun yang salah dari perbuatannya. Wajahnya menunjukkan raut bingung yang tampan—membuat Ciel sedikit berdebar aneh. Baik, apapun hal yang sedang terjadi sekarang, hal itu pastinya jauh dari kata NORMAL.

"Me-memastikan a-apa?" gerakan dada Ciel yang naik-turun semakin cepat seiring dengan bertambahnya jumlah kancing yang dikeluarkan si Raven dari lubangnya. Terlebih Ciel sama sekali tak berdaya untuk menghentikan aksi yang tengah berlangsung itu.

"Kau akan tahu nanti," bisik Sebastian sambil mengecup daun telinga Ciel. Mungkin saat ini wajah Ciel jauh lebih merah dibanding kepiting rebus sekalipun akibat ulah kau-tahu-siapa.

"Se-sebastian…. Hentikan…," mohon Ciel ketika kancing bajunya sudah bebas semua dari tempatnya—mengekspos torso bagian depannya dari leher hingga ke perut. Ciel yakin sekali ia merasakan sebuah seringai terbentuk di kedua belah bibir Sebastian yang tengah menciumi lehernya.

"Manis. Kau cantik sekali, Ciel," goda Sebastian yang sukses memperparah rona merah di wajah Ciel. Padahal jelas-jelas Sebastian sudah tahu gender Ciel hanya dengan melihat torso-nya—tetapi agaknya hal itu tidak menghentikan invasinya.

Perasaan pasrah pun akhirnya menguasai Ciel—tepat ketika si Raven membebaskannya, menatapi wajahnya yang merah dan tubuhnya yang berpeluh.

"Baiklah, aku agak percaya sekarang kalau kau anak laki-laki," pidato Sebastian singkat ketika puas 'bermain' dengan Ciel. Hei, jangan berpikiran yang aneh-aneh! Hal yang terjadi hanya yang aku jabarkan. Tidak lebih dan juga tidak kurang.

Ciel mencerna baik-baik kata-kata Sebastian sambil berusaha menstabilkan pikirannya yang kalut.

"TUNGGU!" Sebastian masih tersenyum manis dengan wajah tak berdosa yang membuat Ciel kesal setengah mati melihatnya.

"Jadi kau melakukan semua itu hanya untuk memastikan aku ini anak laki-laki? KAU GILA, SEBASTIAN!" jerit Ciel dengan suara yang meninggi karena marah.

"Tentu saja. Kau kira apa lagi?" tanya Sebastian balik dengan santainya. Ia mengambil tempat duduk tepat di sebelah Ciel yang kepayahan.

"Kau tidak serius melakukan semua itu, kan ? Kau tahu? Aku hampir mati shock gara-gara perbuatanmu yang abnormal itu! Kukira hampir saja aku diperlakukan tidak senonoh oleh sesama jenis!" Ciel meracau panjang lebar—menumpahkan semua isi kepalanya yang terasa mau pecah, "dan kau melakukannya dengan ringan hanya untuk alasan sesederhana itu? Kau gila! Sinting! Abnormal! Tak masuk akal! Breng—hmmp"

Tak perlu kujelaskan bagaimana racauan itu dihentikan oleh sebuah ciuman singkat yang… cukup panas. Sebastian bahkan masih mendekap wajah Ciel dengan kedua tangannya ketika melepaskan ciumannya. Melawan? Kau pikir orang shock seperti Ciel bisa melawan? Lagipula ia belajar dari pengalaman, kalau perlawanannya akan sia-sia di hadapan pemuda ini.

"Baiklah, anggap saja itu sebagai permintaan maafku," ucap Sebastian sebelum tertawa lepas menyaksikan Ciel yang salah tingkah bercampur kesal.

"DASAR BODOH!" jerit Ciel sambil berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah—karena ciuman pertamanya sudah direbut.

Ciel menggosok-gosokkan lengan sweater-nya ke bibir—berharap jejak milik Sebastian terhapus dari sana. Namun, gerakannya terhenti. Kali ini karena melihat tawa lepas si Raven. Sejak bertemu, ini mungkin pertama kalinya ia melihat ekspresi pemuda itu berubah cerah. Sebastian masih tertawa sambil memutar ulang semua perbuatan 'iseng' barusan di benaknya—sampai Ciel mengucapkan kalimat yang tak ia sangka.

"Kenapa ekspresimu selalu datar, sih? Padahal kalau sedang tertawa begitu…," Ciel menggantung kalimatnya—tak yakin harus melanjutkan apa. Ia memilih memilin ujung bajunya—menutupi fakta kalau sepertinya ia salah bicara

"Kalau tertawa apa?" tuntut si Raven dengan sorot mata tajam yang memaku safir milik Ciel—membuatnya lagi-lagi merasa tak berdaya.

"Tidak, lupakan saja. Pokoknya kau lebih bagus begitu," putusnya sambil merebut kunci kamar yang jatuh dari saku celana Sebastian. Namun, dengan cepat Sebastian kembali menarik pergelangan tangan Ciel—menariknya ke atas pangkuan lalu mengunci pinggangnya.

"Katakan Ciel…," bisiknya rendah—membuat jantung Ciel berdetak cepat dan aneh.

"Baiklah, baiklah! Kau lebih tampan kalau tersenyum! Puas?" Ciel segera melepaskan diri dari pelukan Sebastian sebelum pria itu berbuat macam-macam lagi. Ia berlari menuju pintu sambil membuka kuncinya. Sebastian hanya tertawa kecil ketika pemuda bertubuh lebih kecil darinya itu berlari meninggalkan ruangan.

"Ya ampun, sepertinya aku membuatmu benar-benar takut padaku, ya?" gumamnya pada diri sendiri sambil mengacak rambut. Suara ketukan sepatu Ciel terdengar menuruni tangga.

"Padahal aku cukup menikmatinya," Sebastian berbaring di tepat tidurnya. Ia tersenyum ketika mendapati harum tubuh anak itu masih melekat di seprainya—tampak seperti orang tidak waras.

.

.

"Ciel?" Rachel tampak agak bingung melihat putranya yang berlari menuruni tangga. Tidak biasanya Ciel bersikap aneh begitu. Setahunya Ciel bisa bersikap tenang bahkan dalam keadaan tergenting sekalipun.

"Baru saja Mum mau mengajakmu pulang. Mana Sebastian?" lanjutnya ceria tanpa ada satu pun prasangka aneh terlintas di benaknya.

"Oh, Sebastian bilang dia lelah dan ingin tidur siang," jawab Ciel cepat dan bohong—takut kejadian sebelumnya terlukis nyata di wajahnya yang memerah. Lillia dan Rachel tertawa kecil menanggapi jawaban Ciel.

"Dasar anak-anak! Setelah bermain tidur," gumam Lillia sambil menggelengkan kepala. Wajah wanita itu terlihat sangat cantik ketika tersenyum, demikian pula dengan Rachel yang tersenyum mendengar komentarnya.

Ibu-anak Phantomhive itu pun berpamitan dengan senyum lalu melangkahkan kaki keluar—menuju rumah mereka.

"Ada apa ,Ciel? Kau demam?" tanya Rachel yang menyadari keanehan pada puteranya.

"Mungkin," jawab Ciel setengah tak peduli. Pikirannya selalu kacau setiap kali si rambut hitam itu melintas di pikirannya dengan semua yang telah dilakukannya di hari pertemuan pertama mereka.

"Kalau begitu kau harus tidur cepat hari ini. Lagipula hari sudah mulai sore," Rachel tersenyum sambil menepuk bahu puteranya. Ciel menggangguk kecil sambil bergumam.

"Aku lelah."

.

.

Jarum jam menunjuk pukul tujuh dengan riangnya dan pewaris termuda nama Phantomhive sudah mengurung diri di kamarnya. Tidak ada yang dapat mempermasalahkan alasan 'lelah'nya, bukan? Selain itu ia juga sudah selesai makan malam dan mandi sore, jadi tidak ada yang salah. Rachel pun akan menjawab 'ia merasa kurang sehat' atau 'ia lelah, sayang' jika sang ayah mulai menanyakan keadaan puteranya. Keadaan terasa sunyi senyap sampai bel pintu rumah keluarga Phantomhive berbunyi.

Ciel yang tidak dapat mendengar jelas percakapan di lantai satu hanya membenamkan kepalanya di bantal. Insiden siang tadi benar-benar membuatnya kesal—dan sedikit perasaan aneh yang tak terdefinisi tentunya.

TOK! TOK!

"Ciel, Sebastian ingin menemuimu. Buka pintunya, ya," mata Ciel membola ketika mendengar nama pengunjungnya disebut. Sebastian? Ada urusan apa lagi pemuda itu dengannya? Terlebih mengunjungi rumahnya malam-malam begini, siang saja sudah—baiklah, Ciel tak mau mengingatnya.

"Mum tinggal kalian," ucap Rachel setelah bercakap-cakap dengan Sebastian. Siapa sih yang akan berprasangka buruk kalau alasan kunjungannya adalah untuk menjenguk dan mengantar barang? Rasanya polisi juga tidak akan curiga, deh.

"Mau apa lagi kau?" tuding Ciel yang langsung menahan pintu agar tidak dapat dibuka.

"Menjengukmu. Apa itu salah?" tanya Sebastian yang beusaha membuka kenop dari balik pintu sehingga terjadi adegan saling dorong pintu dengan tidak elitnya. Tentu saja berakhir dengan kekalahan Ciel yang bertubuh lebih kecil.

"Kau trauma padaku sampai segitunya, ya? Sampai-sampai tidak mau menerima kunjungan dariku?" protes Sebastian kesal karena niat baiknya dianggap buruk kali ini. Ia mengulurkan tangan pada Ciel yang terjatuh di depannya akibat aksi dorong pintu tadi.

Berlawanan dengan setelan piama putih bergaris biru Ciel, Sebastian terlihat rapi dengan jeans, kaus putih polos, dan jaket merah marunnya. Ciel sendiri takjub karena orang di hadapannya ini ternyata memang good-looking dengan setelan yang sederhana begitu sekalipun.

"Ada yang salah lagi? Kali ini penampilanku, ya?" ucap Sebastian sinis karena merasa tak senang dipandangi. Ciel menggeleng.

"Kau mau kemana berpakaian rapi begitu? Kencan malam Minggu?" tanya Ciel yang menatapi pemilik iris merah itu berulang-ulang dari kepala sampai kaki sambil meraih uluran tangan Sebastian.

"Kau ini bodoh atau idiot, sih?" balas Sebastian sambil memiringkan kepalanya dengan wajah menyebalkannya, "bukankah sudah kubilang menjengukmu? Ibumu menelepon ibuku barusan untuk berbincang dan kau tahulah apalagi topik perbincangan mereka kalau bukan kita."

"CIH! Aku tahu. Tak perlu pasang wajah menyebalkan begitu! Cepat masuk," decak Ciel kesal sambil menyalakan lampu kamarnya. Ia tahu tak pantas bersikap begitu pada orang yang berniat baik, tapi baginya Sebastian itu pengecualian. Orang ini…menyebalkan.

"Tidak perlu," cegah Sebastian sambil menarik pergelangan tangan Ciel ketika pemuda itu beranjak menuju sofa.

"Aku kemari hanya untuk mengantarkan ini," Sebastian menyerahkan bungkusan di tangannya lalu merogoh saku jaketnya, "dan ponselmu yang tertinggal tadi siang."

"Nah, aku pulang," Sebastian menepuk puncak kepala Ciel—sementara pemuda mungil itu menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah mendengar kata 'tadi siang'. Tanpa bertanya pun aku yakin kau tahu persis apa yang berputar di benaknya.

"Sebastian, tunggu!" panggil Ciel ketika Sebastian mulai berjalan menuruni tangga—Sebastian menoleh ke arahnya dengan wajah stoic khasnya, "err, terima kasih."

Saat itu Ciel berani bersumpah ia melihat Sebastian tersenyum manis sebelum berkata, "Kembali. Istirahat yang cukup agar cepat sembuh, Pendek!"

CTIK!

"Sial! Ternyata dia tetap saja menyebalkan," gerutu Ciel sambil berjalan balik menuju pintu kamarnya, "ya, walaupun baik juga, sih."

.

.

Dua hari sudah berlalu sejak insiden di rumah bernomor enam itu, kini mentari pagi yang cerah dan daffodil yang menghiasi halaman sekolah St. Lucida Harcestviett High School menyapa Ciel yang tengah berjalan di teras bebatuan. Angin pagi yang dingin dan menembus mantel entah kenapa malah membangkitkan semangat studinya. Mungkin karena tidak sabar melihat lingkungan baru? Ya, mungkin saja.

Bangunan sekolah ini benar-benar terlihat kuno dengan wujudnya yang menyerupai kastil. Dindingnya saja disusun oleh batuan penyusun dinding istana! Sekolah yang sangat luas dengan jumlah ruang kelas yang dapat dipastikan sangat banyak. Ditambah lagi halamannya yang saat ini dipenuhi pepohonan rindang dan bunga musim semi—tepat di sisi lapangan luas berteras bebatuan kecil yang disusun membentuk pola ornamen yang indah. Sungguh objek arsitektur yang bisa membuat siapa pun terkagum-kagum, bukan? Dasar, sekolah kaum borjuis!

Lonceng menara sekolah itu bun berdenting-denting ketika jarum jam besar menara menunjukkan pukul delapan. Semua siswa berlarian menuju ruang kelas—kecuali Ciel yang harus menuju kantor guru terlebih dahulu.

Ciel berjalan santai tanpa menyadari ada beberapa pasang mata yang menatapinya. Kagum. Padahal pakaian mereka sama saja, pantofel hitam, celana panjang hitam, kemeja putih, vest perak dan coat hitam. Lalu untuk apa kagum? Well, apalagi sih kalau bukan mengagumi paras manis bocah berambut kelabu itu? Sebastian yang stoic saja mengakuinya.

Singkat cerita Ciel pun diantar oleh salah seorang guru menuju ruang kelasnya.

"Prof. Arthur, saya mengantar murid baru untuk kelas Anda," ucap guru bermbut hitam berkacamata dengan name-tag William T. Spears yang mengantar Ciel.

"Oh, terima kasih, Prof. Spears. Phantomhive, silahkan masuk," sapa Prof. Arthur ramah seraya tersenyum.

Beberapa anak perempuan berbisik senang, memuji paras Ciel. Namun, bisa kau tebak wajah siapa yang Ciel tangkap ketika memasuki ruang kelas sehingga ia memasang tampang horror. Pemuda beriris merah dengan rambut hitam legam yang sempat ia kagumi parasnya itu, loh.

"Baiklah Phantomhive, kau dapat duduk di sebelah Michaelis," ucap Prof. Arthur ketika sesi perkenalan diri berakhir. Ciel merasa ingin pingsan seketika itu juga membayangkan harus sekelas dengan pria beriris merah yang tengah menyeringai ke arahnya.

"Selamat datang, Ciel…," bisik Sebastian ketika Ciel sudah duduk manis di sampingnya. Ciel tidak menjawab—hanya menggerutu pelan di tempatnya. Prof. Arthur pun memulai kelasnya diiringi keheningan di seluruh penjuru kelas.

.

.

.

To Be Continued….


A/N :

Yo ! Haru's here !

Saya ga menyangka bakal publish judul baru sebelum menamatkan beberapa judul lainnya. Tapi, tolong maafkan kelalaian saya, saya janji fic yang laen ga akan sampe discontinued *sembah-sembah*

Saya ga akan ngomong panjang lebar di sini. Pokoknya mohon maaf kalo ada kesalahan, typos, dan berbagai hal yang tidak berkenan di hati pembaca. Pokoknya… Review, please!

Review itu menyemangati author untuk menulis (meskipun lama). *ngangguk-ngangguk sotoy-ditabok*

.

.

Hey, Baby! What are you looking at?

I know your face is flushed red beautifully because of our kiss

However, look into my eyes!

Because I dare to say that I'll take you fly away to the endless sky

Even without wings nor a miracle

.

Never let go of my hand

Keep that warm smile on your sweet face

And I'll be able to move on

Towards our own blue sky…

.

-Shigure Haruki-