Disclaimer: KH bukan punya saya. Syalalala ...

Nikmati fic kedua saya ...

Warning: typo, cerita yang abal, dan plot yang larinya tidak jelas kemana...


Day 1: A Boy, A Fairy and A Debt

Namaku adalah Roxas von Edelstein, putra kedua dari keluarga bangsawan terkenal Edelstein. Sejak lahir hingga sekarang, aku hidup sangat berkecukupan dengan derajat sosial di atas orang biasa. Berambut blonde keemasan, mata sebiru lautan dan kulit putih bersih bagai pualam.

Tidak hanya lahir dari keluarga berstatus sosial tinggi, aku juga adalah seseorang yang bisa dikatakan sempurna ...

Bagaimana tidak? Aku kaya raya, tampan, berbakat, pintar dan seorang gentlemen sejati. Para wanita memimpikan aku, para pria ingin menjadi diriku. Sudah selayaknya aku yang berusia tujuh belas tahun ini dapat menjadi idola tanpa berusaha sama sekali.

Tapi itu semua tampaknya tidak menghalangi kesialan untuk menghampiri diriku yang sempurna ini. Kalian pasti bertanya-tanya kan? kenapa seseorang yang dilahirkan begitu sejahtera sepertiku masih bisa merasakan apa yang disebut kesialan ...

Katakan saja kalau terjebak di atas pohon, di tengah hutan terpencil dengan memakai boxer, memang bukan apa yang disebut orang sebagai keberuntungan ...

Kalian ingin tahu? Well, semuanya bermula dari beberapa saat ke belakang ...

Dimulai ketika aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar jalanan indah Twilight Town. Semuanya berawal dan nyaris saja akan berakhir dengan baik, kalau saja aku tidak bertemu dengan sekelompok anak berandalan yang kebetulan sedang mengerami(?) sarangnya.

Anak-anak itu seolah tidak mengenal siapa aku, Roxas von Edelstein, putra kedua keluarga bangsawan Edelstein yang keren en jentelmen. Dengan liciknya mereka menganiaya diriku. Aku masih ingat benar, bagaimana mereka tertawa riang ketika melihat diriku tersiksa.

Tunggu sebentar. Hanya karena aku berkata 'tersiksa' jangan kemudian kalian berpikir bahwa aku telah dipukuli hingga babak belur atau semacamnya. Siksaan yang kumaksud disini jauh berbeda dari hal itu. Apa yang terjadi padaku jauh lebih buruk. Jauh lebih bejat dari yang kalian bayangkan saat ini.

Mereka telah mengambil celanaku.

Ya. Kalian tidak salah dengar. Benar-benar tidak ber-perikemanusiaan dan tidak ber-perike-roxas-an.

Anak berandalan itu menarik celana panjang hitamku hingga terlepas. Dan seolah tidak sampai disitu saja, dengan tanpa perasaan-nya, mereka melempar celanaku yang malang itu ke dalam hutan.

Bagiku, sepotong celana itu bukanlah hal yang begitu berharga, mengingat aku masih memiliki berlusin-lusin gantinya di rumah. Tapi, itukan di rumah ... Saat ini aku hanya membawa sepasang itu.

Apa kalian menyarankan aku untuk berjalan pulang hanya ditemani kaos dan boxerku yang indah ini? Ide yang bagus. Sayangnya, hal itu bertolak belakang dengan image-ku sebagai seorang gentlemen.

Masa orang seganteng aku, pulang pamer kolor? Bisa-bisa nanti malah digiring petugas Satpol PP ... mau ditaruh di mana wajahku yang tampan ini?

Akhirnya dengan segala pertimbangan dan musyawarah singkat dengan para mini Roxas di benakku, aku memutuskan untuk mengambil celanaku itu kembali. Walau harus mengais-ngais isi hutan, walau harus mendaki gunung lewati lembah ... sungai mengalir indah ... ke samudera, ngaco deh.

Walau rintangannya seperti apapun, aku akan mendapatkan celanaku dengan kekuatanku sendiri. Seperti motto keluarga Edelstein, 'Lakukan sendiri untuk dirimu sendiri, jangan bergantung pada orang lain'. Pokoknya Ganbatte! My pants are my power!

Setelah aku berjalan melewati tembok tinggi yang membatasi kota dan hutan, barulah aku menyadari betapa luasnya hutan itu. Penasaran aku, bagaimana anak-anak itu bisa melemparkannya melewati tembok tinggi tadi. Apalagi samapai terbawa jauh begini. Jangan-jangan tuh anak sekoloni semuanya pada ngemil kombantrin ... sepertiku.

Setelah beberapa saat mencari, akhirnya aku berhasil menemukannya tersangkut di salah satu cabang pohon pinus penghuni hutan ini. Kainnya yang berkualitas tinggi berkibar dengan jumawanya ditiup angin.

Setelah aku kalkulasi, diketahui bahwa celanaku berada sekitar tujuh meter dari atas permukaan tanah. Tinggi juga ... mungkin tidak sih, kalau aku memanjatnya?

Sebodo amat. Mendingan coba panjat, daripada pulang dalam kolor, nanti dikira menebar sensasi.

Dan keputusan liarku tadi lah yang telah mendaratkanku pada situas ini.

Sebenarnya aku telah sukses memanjat pohon itu dan hanya tinggal beberapa jengkal saja untuk mendapatkan sang jackpot, alias celanaku itu. Tapi ternyata takdir berkata lain. Aku tidak menduga bahwa salah satu cabang pohon itu akan menghalangiku untuk mendapatkannya.

Dengan teganya, pohon pinus itu telah menyangkutkan cabangnya yang penuh dengan tipu muslihat pada boxer ku yang malang. Kalau sudah begini, salah bergerak sedikit saja, boxerku bisa mlorot alias turun. Gaswat.

Tapi ini kan di tengah hutan. Siapa juga yang mau lihat, toh tinggal sedikit lagi aku akan mendapatkan celana panjangku kembali. turun sedikit tidak apa kan?

"Anak perempuan seharusnya tidak bermain di atas pohon,"

Hingga kudengar sebuah suara misterius yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Suara tadi kurasa milik anak perempuan.

Dengan sedikit panik aku melarikan pandanganku ke bawah untuk menemukan si empunya suara tadi. Menyadari bahwa tidak ada siapapun dibawah, apalagi anak perempuan, akupun menjadi paranoid sendiri. Jangan-jangan tadi itu-

"Kau punya hotpants yang bagus,"

Aku mendengar suara itu lagi. Kali ini aku tidak mencarinya di tanah, tapi mengikuti arahnya berasal dari pohon di sebelah kananku. Disanalah aku menemukannya. Anak perempuan yang sejak tadi mengajakku bicara.

Anak itu, entah apa yang sedang dilakukannya, tampak tengah duduk-duduk santai diatas cabang pohon sambil memperhatikanku.

Matanya berwarna biru dengan helaian pirang pucat membingkai wajahnya yang mengenakan dress putih selutut yang memperlihatkan kulit pucatnya. Cabang pohon yang didudukinya cukup tinggi dari tanah. Bagaimana dia bisa sampai disana, aku tidak tahu.

Tampaknya tanpa sengaja aku telah memasang tampang orang blo'on yang akut. Hal itu terbukti karena anak perempuan itu harus kembali mengulang perkataannya untuk mendapatkan perhatianku.

"Itu," jari pucat anak itu menunjuk boxerku yang masih tersangkut. "Hotpants-mu keren, motifnya bagus."

Aku speechless, tidak tahu harus mengatakan apa. Baru kali ini ada yang memuji boxerku.

Mungkin baiknya aku harus menjawabnya dengan berkata, 'Iya makasih. Boxer saya memang keren. Ini turun temurun dari keluarga papa saya, barang sakral.' Tapi nanti malah dikiranya keluargaku punya fetish pada sang kolor ...

Hingga pada akhirnya aku menjawab apa adanya saja. "Ano ... ini bukan hotpants, ini boxer ..." ucapku membenarkan.

Mata anak itu melebar saat mendengar perkataanku, bibirnya membulat membentuk huruf 'o'. Pasti dipikirnya aku adalah seorang maniak yang memanjat pohon sambil pamer boxer untuk mengimitasi cara hidup tokek. Runtuh sudah image-ku sebagai seorang gentlemen ...

"Oh, kalau begitu," anak itu kembali mengulurkan jari telunjuknya pada boxerku. "Boxer mu keren, motifnya bagus." Katanya membenarkan pujiannya.

Cengo, sekarang giliran bibirku yang ber- o ria. Kamisama ... apa aku benar-benar butuh pujian seperti itu? Kuputuskan untuk tidak mempedulikan anak itu dan melanjutkan usahaku untuk meraih celanaku tadi.

Sebisa mungkin, aku berusaha mendapatkannya tanpa menggerakan tubuh bagian bawahku, karena khawatir kalau boxerku akan benar-benar lepas. Apalagi sekarang aku tidak sendirian. Nanti malah menjadi tontonan gratis. Bahaya kan?

"Aku bisa membantumu untuk mengambilnya," kata anak perempuan itu. Tampaknya dia masih memperhatikanku dari tadi.

"Tidak terima kasih," tolakku masih sambil berusaha meraih si celana. "Aku akan mendapatkannya dengan usahaku sendiri. Aku tidak bisa menerima bantuan. Itu melawan motto keluargaku."

Aku memang tidak melihatnya, tapi aku yakin sekali kalau anak perempuan itu sedang memasang wajah kebingungan.

"Kenapa? Kalau kau tidak bisa melakukannya sendiri, kau harus meminta orang lain untuk membantumu. Anak perempuan seharusnya tidak memanjat seperti itu," katanya lagi.

Mataku melebar. Apa dia bilang tadi, anak perempuan? Aku bermaksud untuk berbalik dan mengatakan bahwa aku bukan perempuan tapi waria (lho) padanya ketika aku menyadari sesuatu. Aku sedang berada di atas pohon. Dan dengan bergerak seperti tadi, berarti tanpa sengaja aku telah menjatuhkan diriku sendiri.

Aku berteriak sekuat tenaga. Kurasakan kepalaku membentur salah satu cabang pohon dengan keras sementara tubuhku masih terjatuh bebas. Dedaunan hijau yang rindang dan tangan seseorang yang mencengkeram herah kaosku adalah hal terakhir yang kurasakan sebelum kegelapan nemplok di mataku.


"Hei, bangun ..."

Bisik lembut seseorang memenuhi indraku. Aku merasa seperti sedang tertidur diatas bantal yang lembut dan hangat.

Perlahan aku membuka mataku. Pada awalnya hanya buyaran warna yang terus menari-nari di sekitarku saja yang kulihat. Biru, putih, kuning pucat. Semuanya terus berputar-putar hingga aku harus mengerjapkan mataku berulang kali.

Setelah kurasakan kalau pandanganku membaik, aku kembali menatap warna-warna itu. Saat itulah aku mendapati bahwa warna-warna tadi adalah milik anak perempuan tadi. Wajahnya menggantung tepat di atas kepalaku, dan saat itulah aku baru sadar kalau bantal hangat yang kurasakan tadi adalah pangkuannya.

Dengan panik aku bangun dan menjauhkan diri dari anak tadi. Bagaimana bisa aku melakukan hal yang tidak senonoh seperti ini?oh my goose? Seorang Roxas von Edelstein seharusnya tidak sembarangan mendaratkan kepalanya di atas pangkuan orang lain seperti itu.

Walau harus aku akui, pangkuannya tadi benar-benar begitu nyaman dan aman ...

"Aku mohon, maafkan aku!" seruku sambil membungkukan kepalaku dalam-dalam. "Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku benar-benar tidak bermaksud apapun."

Gadis itu terdiam. Dia mungkin terkejut melihat reaksi spontanku barusan.

"Syukurlah," Kudengar gadis itu berkata. "Sejak kuturunkan dari pohon tadi, kau sama sekali tidak bereaksi. Baguslah, sepertinya kau sudah lebih baik."

Menurunkanku dari pohon? Apa itu artinya, gadis ini telah menyelematkan nyawaku? Juga, setelah kusadari, aku juga sudah memakai celanaku yang tadi sempat hilang. Apa gadis itu juga yang memakaikannya? Wow amazing ...

"Ano ... apa kau orang yang sudah menyelamatkan aku tadi ..."

Gadis itu bangkit dari posisinya yang duduk lalu merapikan rambutnya. Helaian pirangnya itu dia tata menyampir di bahu kirinya bagai iklan sampo. "Ya," jawabnya singkat.

Aku terkejut, tidak percaya kalau seorang gadis yang terlihat lemah gemulai kaya semut hepatitis seperti dia bisa menyelamatkanku. Tapi bagaimanapun juga, gadis ini telah menyelamatkan nyawaku. Sudah sepantasnya kalau aku membalas budinya.

"Aku sangat berterima kasih, karena kau telah menyelamatkan nyawaku. Katakan saja apa yang kau inginkan, aku akan mengabulkannya," kataku sambil berlagak seperti jinnya Aladdin.

Gadis itu menatapku dengan wajah datar lalu berkata, "kau tidak perlu melakukannya. Aku menolongmu karena kau memang harus ditolong."

"Bukan begitu," aku merogoh kantongku. "Ini adalah balas budi. Katakan saja kau mau berapa, aku masih punya dua juta Munny sisa uang jajanku."

"Aku bilang tidak usah," gadis itu masih menolak. Keukeuh amat ...Tampaknya aku harus menambah nilainya. Bagaimanapun juga, jangan sampai aku berhutang budi pada siapapun.

"Bagaimana kalau akau memberimu rumah saja. Kalau tidak salah, ada satu di sekitar sini-" Aku tidak sempat menyelesaikan kata-kataku, sebelum dipotong oleh gadis tadi.

"Aku tidak perlu yang seperti itu."

Lagi-lagi aku cengo. Tidak percaya kalau zaman sekarang masih ada orang yang menolak rejeki seperti ini. Puji kerang ajaib!

"Kau tidak bisa berkata seperti itu. Pasti ada yang kau mau, kan? kalau aku tidak membalas budimu, bisa-bisa hidupku tidak tenang."

Alis gadis itu ditekuk kebawah dengan tajam setelah mendengar perkataanku. Dia menatapku dengan tatapan marah, lalu berkata, "Aku menolong karena aku ingin. Bukan karena ingin dibalas dalam bentuk apapun. Apa kalian para manusia selalu seperti itu, menolong karena mengharapkan balasan?"

Entah mengapa saat mendengarnya aku merasakan dua hal dalam benakku. Rasa malu akan sikapku dan heran dengan maksud perkataannya tadi.

"Kenapa berkata seperti itu, kau sendiri juga manusia kan?" tanyaku padanya.

Gadis itu kambali menatapku. Rambut pirangnya bersinar tertimpa matahari yang mengintip dari rimbunnya pohon, dress putihnya dengan lembut berkibar oleh angin.

"Kau salah," katanya pelan. "Aku bukan manusia. Aku adalah peri ..."

Eh? Aku tidak salah dengar?

"Peri?" tanyaku sambil memasang tampang blo'on.

"Ya. Peri," gadis itu menjawab dengan anggukan yang mantap. "Aku adalah peri yang terdampar di dunia manusia karena salah menumpang kereta," lanjutnya.

Astaga. Aku merasa, semakin dia buka mulut, semakin akal sehatku menjerit kesakitan. Apa maksudnya dengan terdampar dan salah numpang kereta? Kenapa gak naik angkot jurusan johar ajah buat balik? Memang hal seperti itu logis, apa? aku tidak percaya. Mana mungkin bisa percaya!

Ini pasti hanya lelucon. Ya. Pasti hanya lelucon. Sesaat lagi, pasti akan ada sekumpulan kru TV dan kameramen-nya, mendatangiku dan berkata, ' selamat ya, mas. Anda telah masuk acara kami, yaitu Spontan, Cihuyy!' Dan kemudian kami akan tertawa bersama sampai cantingan.

"Pasti sulit untuk mempercayainya, ya?" tanya gadis itu membuyarkan fantasi liarku.

"Yayalah!" seruku frustasi. "Mana ada orang waras yang bisa percaya hal seperti itu!"

Gadis itu menghela nafas. Seolah apa yang dikatakannya adalah hal yang normal dan aku adalah orang yang sinting di antara kami.

"Pada awalnya memang sulit. Tapi setelah kau lihat debu periku, kau pasti akan percaya."

Selesai sudah. Siapapun, tolong aku ... keluarkan aku dari situasi ini. Otakku yang malang ini akan kloset eh konslet kalau terlalu lama dihadapkan dengan gadis, yang terlalu banyak nonton sinetron Putri Bidadari ini...

Kamisama ... kenapa kau tega sekali. Seumur hidup belum pernah sekalipun aku berhutang budi. Sekali mengalaminya, kenapa harus dengan orang yang tidak normal?!

"Terserah," kataku putus asa. Jangan tanya kenapa. Harusnya kalian tahu, kalau semua hal ini telah cukup untuk membuat sel otakku letih. "Mau peri kek, putri kek atau si hantu dari Goa buta kek sekalipun aku tidak peduli ... yang penting aku harus membalasnya."

Alis gadis itu berkerut. "Kau masih membicarakannya? Sudah kubilang kan-"

Aku memegang kedua bahunya, membuatnya sedikit tersentak dan menghentikan kata-katanya di tengah jalan.

"Kau tidak perlu mengatakannya ..." Kataku pelan tanpa menatap wajahnya. "Kumohon. Biarkan aku menebus jasamu. Kalau tidak, aku bisa dihantui seumur hidup. Akan kulakukan apapun. Apapun ..." lanjutku sedikit mewek.

Gadis itu terdiam selama beberapa saat. Dia melepaskan tanganku dan mulai berjalan menjauh. Khawatir kalau dia akan lari, en nglakuin harlem shake aku bergerak untuk mengejarnya. Namun niat itu kuurungkan saat menyadari kalau dia sama sekali tidak berusaha untuk kabur.

"Apa boleh buat ..." katanya pelan sambil memunggungiku. "Kalau kau segitu inginnya membalas budi, maka ada satu hal yang aku ingin kau lakukan,"

Gadis itu membalik badannya dan membiarkan sebuah senyuman tipis menghiasi bibirnya.

"Aku ingin kau mencintaiku ..."

To Be Continued.


Author note: Setelah sekian lama saya duduk di meja makan(?), barulah saya kepikiran untuk membuat fic yang bergenre Comedy Romance. Biar ga berat banget gitu, ceritanya... kan komedi ... (gak penting, bego)

Dan berhubung AHS itu sudah bertabur Sho-ai dan Rokunami adalah heteropair fav saya di KH, maka ide untuk membuat fic seperti inipun tercetus. Apalagi saya adalah penggemarnya anime Arakawa. Cucog dah!

Mohon maaf, kepada para fansnya Roxas n Namine kalau merasa chara fav-nya sudah saya aniaya dengan pembuatan fic yang nista ini.

Karena itu tahan ember, panci ataupun kaleng yang ingin reader lemparkan pada saya

Daripada rusuh, mending semuanya di utarakan saja lewat Review... puaskah? Kecewakah? Pilek kah? Yang terakhir silahkan minum obat.

Akhir kata, Read n Review...