.
Okaeri
NaruMai fanfiction
With little bit YakumoHaruka
© Yuki Yahiko
Ghost Hunt © Fuyumi Ono
Crossover fic with
Psychic Detective Yakumo © Kaminaga Manabu
.
.
.
.
Selasa, 07 xx 2xxx, Kediaman Davis, Inggris.
Oliver Davis, tengah menyesap Earl grey tea kesukaannya seraya menatap indahnya pemandangan kota Inggris dari balkon kamarnya. Meskipun, pemandangan kota saat ini tengah bersemi indah, tetapi tidak dengan hatinya. Pikirannya kini tengah melayang mengikuti arus angin yang berhembus lembut.
Ah, saat ini sedang apa kira-kira gadis itu disana? Seperti itulah salah satu pikirannya saat ini.
Berbicara tentang gadis itu, bagaimana dia sekarang? Apakah dia tumbuh baik? Apakah dia tidak kesepian? Apakah hatinya kini telah memaafkan dirinya yang dulu pernah mencampakannya? Dan berbicara tentang pertanyaan terakhir, membuat sang ilmuwan muda itu kembali berpikir.
Bukankah, gadis itu yang telah menyampakan dirinya?
Ya, disaat Noll (re: Naru) memberitahukan kepada gadis itu bahwa, sosok yang selalu berada di dalam mimpinya bukanlah dirinya. Gadis itu secara jelas terlihat kebingungan. Dan, ketika Naru kembali bertanya siapa yang akan gadis itu pilih? Seseorang yang baik atau sebaliknya? Dan dengan senyuman diwajah manisnya gadis itu menjawab, seseorang yang baik, tanpa memperhatikan gurat luka di wajahnya. Dan dengan jelas bagi Naru, gadis itu lebih memilih kembarannya, Uegene, daripada dirinya membuatnya merasa cukup.
Gene, walaupun pemuda itu merupakan kembaran dirinya, walaupun jauh didalam dasar jiwanya, Naru menyanyangi kembarannya, dan … meskipun Gene sudah tiada, rasa iri karena dia tidak bisa menjadi sosok hangat seperti kembarannya itu masih terlukis nyata di hatinya.
Kira-kira, siapa yang akan gadis itu pilih jika dia juga memiliki senyum sehangat Gene? Apakah gadis itu mampu memberikan jawaban yang sama?
Pikiran pemuda itu semakin hanyut kedalam lubang hitam. Membuat sosok yang telah terbiasa fokus terhadap wilayah di sekitarnya kini tidak menyadari bahwa Sang Asisten pribadinya, Koujo Lin, tengah berdiri tepat di depan pintu kamar Sang bos muda-seraya memegang setumpuk berkas ditangannya.
"Naru, aku membawakan beberapa berkas untukmu," Pria bersurai emo itu berjalan menuju sisi depan meja kerja sang atasan. "Oh, Luella dan Martin sudah menunggumu di bawah." Lanjutnya seraya menata berkas-berkas tersebut di atas meja.
"Naru?" panggil Lin yang sedari tadi tidak mendapat jawaban.
Lin menghentikan pekerjaannya, Pria tersebut menatap penuh selidik ke wajah Naru dengan alis yang mengeryit tajam. Kedati terkenal dengan sosoknya yang dingin, sifat protektifnya kepada si kembar tak pernah berubah.
"Naru?" panggilnya sekali lagi, namun sang empunya nama masih tetap diam.
Panik, Lin berjalan cepat menghampiri pemuda bersurai hitam tersebut. Satu bayangannya saat ini, pemuda keras kepala itu kembali menggunakan kemampuan psychic-nya tanpa sepengetahuannya.
Dan begitu Lin mencapai target, Naru tersentak kaget karena tarikan gravitasi dari balik punggungnya.
"Naru!"
Teriakan penuh kecemasan Lin membuat manik legam itu mengerjap cepat.
"Lin? Kau sudah datang?" tanyanya kikuk.
Helaan napas lega meluncur bebas dari sang pria emo. Pikiran kelamnya tadi terenyahkan begitu saja ketika melihat pemuda itu baik-baik saja.
"aku sudah memanggilmu berulang kali dan kau tidak mendengarkan." jawabnya singkat. "Luella dan Martin menunggumu di bawah." Lanjutnya.
Mengangguk singkat, Naru meletakkan cangkir tea-nya dan berjalan santai ke tempat ke orang tuanya tengah menunggu.
"Naru."
Panggilan Lin menghentikan langkahnya. Tanpa mengucaokan apapun, Naru menatap penuh tanya kearah pria yang notabenenya lebih tua darinya itu.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyanya to the point.
Naru hanya mengangkat kedua bahunya singkat sebelum melanjutkan langkahnya dan tepat sebelum pemuda beraura suram itu menutup pintu kamarnya, dia berucap, "tidak ada." Dan menutup pintunya.
Lin hanya menghela napasnya lagi. Memiliki atasan yang merangkap sebagai murid bimbingannya dengan watak keras kepala cukup membuat migrainnya kambuh.
.
.
.
"Jadi, kau kan kembali ke Jepang?"
Martin, sang kepala keluarga tengah menatap serius Sang putra satu-satunya yang tersisa. Disampingnya, Luella, tengah menangis sesegukan ketika mendengar keputusan sang putra tunggal yang ingin kembali membuka cabang SPR di tanah kelahirannya.
"Ayah, kita sudah pernah membahas hal ini. Dua tahun yang lalu tepatnya." Jawab sang anak dengan wajah sesantai mungkin.
Dia mengerti, keduanya orang tuanya sangat menyanyangi dirinya dan Gene. Luella, Sang Ibu, tidak berhenti menangis histeris ketika tubuh Gene dimasukkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dan karena menghargai Sang Ibu, dan perasaannya lah, Naru memustuskan untuk menutup SPR-nya di Jepang dan menetap kembali di Inggris selama beberapa tahun-sampai Sang Ibu merasa lebih baik tentunya.
Dan membutuhkan waktu dua tahun bagi Luella untuk melepaskan sosok ceria sang putra sulungnya, Uegene A.J Davis. Dan bagi Naru, inilah waktu yang tepat untuk kembali ke Jepang. Bukan tanpa alasan, banyak kasus misteri yang menarik untuk dia selidiki disana, dan terlebih kemampuan Sang mantan asistennya dulu, Taniyama Mai.
"Apa kau yakin, Oliver?"
"Apa kau yakin akan kembali ke sana? Jepang sudah merenggut Gene! Aku tak ingin kau juga ikut menghilang seperti Gene! Hanya kau, putra Ibu satu-satunya yang tersisa untuk Ibu, Oliver! Jika kau juga bernasib sama seperti Gene maka, Ibu … Ibu … hiks,"
Wajah sembab Luella menatap Naru dengan penuh beban. Jepang adalah tanah kelahiran kedua putranya. Tetapi, Jepang juga tempat dimana dia kehilangan salah satu putra kesayangannya. Dan kini, tempat itu akan kembali mengambil putranya yang tersisa.
Ibu mana yang tidak akan menangis dan merelakan anaknya untuk kembali ke tempat yang menyebabkan trauma?
Naru tersenyum, sebuah senyuman lembut yang jarang dia berikan. Tangan besarnya mengenggam pelan tangan sang Ibu, memberikan sebuah rasa kepercayaan.
"Aku akan baik-baik saja," Janjinya, "Lagipula, ada Lin yang ikut mengawasiku." Lanjutnya menyakinkan.
Lin tersenyum tipis menanggapi ucapan Naru.
"Kalian bisa percayakan dia padaku." Timpal Lin seakan mempertegas kalimat Naru.
Silau ketegasan dan keyakinan yang terpancar jelas diwajah Naru membuat Martin meluluh. Sebuah hembusan napas kasar dia keluarkan seraya membuka pelan kelopak matanya yang terpejam sejenak- tengah berpikir jalan terbaik mana yang harus dia pilih.
Pria dewasa itu merangkul pundak Sang Istri seakan turut memberikan dukungannya kepada Naru.
"Kau boleh pergi, Oliver." Ucapnya dengan sedikit berat hati.
Luella yang mendengar ucapan dari Suaminya terhenyak tak percaya.
"Sayang!"
Manik itu melebar seakan ingin mengeluarkan semua kalimat protes yang telah tersusun rapi dibenaknya.
"Luella, Oliver telah dewasa. Kita harus mendukung keinginannya. Jika, Oliver memang ingin kembali ke Jepang untuk melanjutkan bisnis dan penelitiannya, bukankah, kita sebagai orang tuanya wajib memberikan dukungan?" Martin mengeratkan pelukannya di pundak Luella, "Aku yakin, Jika kita membatasi gerak Oliver, Uegene tidak akan bahagia disana." Nasehatnya.
Mendengar nama Gene kembali membuat Luella tak mampu membendung tangisnya lebih kencang. Nyonya besar Davis tersebut kembali menangis histeris mengingat betapa tragisnya akhir hidup sang putra Sulung.
"Ibu, jika kau merasa kesepian disini, kau dapat berkunjung ke Jepang, bukan?" hibur Naru.
Martin yang sedari tadi melihat perilaku manis dari sang putra bungsunya yang terkenal Stoic kembali merasa kaget-namun tertutup wajah tegasnya. Sedangakan, Lin tengah tersenyum tipis. Pria emo tersebut tidak menyangka, beberapa waktu yang dihabiskan oleh sang atasan Bersama sang gadis brunette itu mampu mengubah sebagian kecil dari sifat atasannya tersebut.
"Kau janji akan baik-baik saja, kan … Oliver?" Luella kembali berucap seraya menguatkan hatinya.
Naru tersenyum seraya mengangguk, "Ibu bisa memegang kata-kataku." Tegasnya.
Luella tersenyum dalam tangisnya. Tangan lentik wanita paruh baya itu tergerak menelisik setiap inchi wajah putranya. Dia tahu, Naru akan baik-baik saja selama Lin yang menjadi pengawas putranya, tetapi sebagai seorang ibu, sebagian hati merasa takut. Takut, jika Naru juga akan pergi seperti Gene.
"Berikan kami kabar setiap minggu, oke?" ucapnya sesegukan seraya memeluk Naru.
"Oke."
"Jaga dirimu baik-baik disana, Oke?" ucapnya lagi.
Noll mengangguk seraya membalas pelukan Luella.
"Ibu jangan khawatir. Aku pasti akan mengirim kabar setiap minggu dan hidup dengan baik."
Luella mengangguk seraya melepaskan pelukannya dan mencoba tersenyum.
"Kapan kau akan berangkat, Oliver?" tanyanya.
"Tiga hari dari sekarang. Aku dan Lin sudah memberitahu yang lain tentang hal ini. Saat ini, mungkin mereka tengah merapikan kantor SPR disana … semoganya." Jelasnya diakhiri dengan mengangkat kedua bahunya. Mengingat, seberapa berisiknya para anggotanya disana.
Membayangkan tingkah teman-temannya disana membuat Naru tanpa sadar mengurut pelan pangkal hidungnya, frustasi, namun ada rasa hangat yang menjalar di hatinya ketika mengingat tingkah mereka semua terutama tentang sosok gadis brunette yang selalu membuatkan tea-nya. Entah darimana datangnya, ada sedikit perasaan tidak sabar yang tengah melingkupi hatinya.
"Baiklah, Ibu rasa, ibu akan membantumu untuk menyiapkan perlengkapanmu disana."
Luella beranjak dari duduknya dengan sedikit perasaan gembira. Melihat sang putra bungsu keras kepala dan dinginnya itu, kini bisa tersenyum dan berbicara hangat membuat perasaanya sedikit tenang. Luella tidak mengerti apa saja yang telah dilalui Naru disana. Tetapi, melihat sifat sang putra sekatang membuat Luella yakin, Naru, Sudah mendapatkan teman-taman yang baik disana.
"Ayah akan menghubungi teman ayah disana. Kebetulan dia memiliki sebuah rumah yang tidak terpakai dan ayah membelinya. Setidaknya, akan mudah mencarimu jika nanti kami berkunjung." Jelas Martin.
Pria dewasa itu menepuk pelan bahu sang anak sebelum berlalu dari ruang keluarga itu.
Naru kembali tersenyum,"Terima Kasih, Ayah, Ibu." Ucapnya tulus yang dibalas dengan senyuman lebar dari keduanya.
.
.
.
.
.
Kamis, 09 xx 2xxx, Pusat Perbelanjaan, Shibuya distrik, Jepang.
Taniyama Mai, gadis bersurai brunette yang selalu Nampak ceria dan penuh semangat itu kini tengah menatap sekelilingnya takut. Tangan kirinya tengah memegang erat senter yang cahayanya kian meredup, sementara tangan kanannya berada di posisi siaga bilamana ada sesuatu yang mengharusan dirinya merapalkan mantra pelindung diri.
Sesekali, suara lirihnya akan memanggil nama teman-temannya satu persatu. Sial baginya, satu jam lebih berlalu dan dia belum bisa menemukan dimana teman-temannya yang lain.
"Bou-san."
"Ayako."
"John-san."
"Masako."
"Yasuhara-san."
Mai mencoba kembali memanggil satu persatu temannya. Tapi hasilmya tetap sama, tidak ada seorang pun yang menjawab panggilannya.
Langkah kaki gadis itu terhenti sejenak ketika tubuhnya merasakan hawa dingin yang mulai menyelimuti ruangan tersebut, terlebih lagi sensasi dingin itu mulai menusuk kulitnya.
Wajah Mai mulai memucat. Naru pernah bilang kepadanya, salah satu tanda mistis yang terjadi adalah penurunan temperature secara mendadak. Dan Mai sudah berulang kali mengalaminya. Harusnya, dia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Tapi, suhu kali ini berbeda dari sebelumnya. Dari semua kasus yang pernah Ia tangani, suhu ruangan ini sangatlah dingin.
Tak mau membuang waktunya lebih lama, Mai berusaha keluar dari tempat tersebut secepatnya. Setidaknya, untuk meminimalisir kemungkinan terburuk yang terpikir olehnya dia harus bertemu dengan salah satu temannya.
"Bou-san …!Ayako … ! Masako … ! Siapa saja! Kalian dimana?"Teriaknya seraya mencari tangga turun.
Wajah pucat Mai semakin memucat ketika indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki diikuti dengan gerakan benda-benda yang diseret paksa.
Tak ingin mengambil resiko, Mai memacu langkah kakinya. Gadis brunette itu sedikit mengutuk sang pengelola yang bertanggung jawab menjaga bangunan tua ini. Jika memang mereka ingin merenovasi dan kembali membuka pusat perbelanjaan ini setidaknya, tolong pasangkan lampu penerangan!
Sehingga, Mai dan yang lainnya tidak harus berkeliling dengan senter di tempat gelap dan menyeramkan ini.
Hamper saja wajah Mai berubah cerah ketika gadis itu bertemu pandang dengan sosok wanita menyeramkan tepat di depan tangga turun. Mai memundurkan langkahnya cepat, saat sosok wanita dengan surai acak-acakan dan aura hitam menyelimutinya itu menyeringai kejam kearahnya. Mulut wanita itu terbuka lebar, menunjukkan sederet gigi tajamnya dan menarik sebuah sabit dari dalam mulutnya.
"Rin, Pyo … gyah!" teriakan Mai menghentikan mantra pelindung yang akan ia ciptakan.
Hembusan angin kencang tersebut menerjang tubuh ringkih gadis itu hingga menabrak sebuah etalase tua.
Mai dapat merasakan seluruh tubuhnya menjerit sakit. Tetapi, gadis itu mengenyahkannya dan dengan cepat bergerak bangun.
Baru saja Mai akan merapalkan kembali mantranya, sosok itu sudah berdiri tepat di depannya dengan tangan terangkat ke atas seakan siap melaynagkan sabit it uke arahnya.
Iris coklat gadis itu terbelalak, wajah pucatnya kini telah ditemani dengan keringat dingin yang keluar dari pelipisnya. Tanpa berpikir panjang, Mai segera melemparkan senter yang berada di tangannya hingga membuat sosok itu mundur menghidari cahaya tersebut.
Dengan cepat, gadis itu berlari tanpa arah. Satu tujuannya, pergi sejauh mungkin dari sosok tersebut.
'Naru … Naru … Naru … Tolong aku!'
Batinnya berteriak meminta tolong. Berharap sosok jutek, pedas, dan narsis itu secara ajaib berdiri di depannya dan melindunginya seperti biasanya.
"Naru!"
Mai berteriak kencang. Persetan kepada siapapun yang mendengarnya, karena faktanya dia seorang diri disini, terpisah dari teman-temannya.
"Na-Kyaaa!" teriaknya lagi ketika ada sebuah tangan yang menggenggam erat lengan kanannya.
"Lepaskan!"
Mai mencoba memberontak sekuat yang dia bisa. Air matanya kini sudah menggenang diujung pelupuk mata. Siap untuk ia tumpahkan kapan saja.
"Le-."
"Jou-chan, tenanglah!" sosok yang menggenggam lengannya tersebut turut berteriak. Seakan mendapat impuls, kesadaran Mai kembali.
Dengan pelan dia beralih menatap sosok yang ia yakini tengah berdiri tepat disampingnya saat ini.
"Bou-san …." Ucapnya lega ketika melihat sosok pria dewasa yang selama ini selalu memberikannya dukungan, sekaligus salah satu teman yang ia cari, Takigawa Houshou.
"Kau baik-baik saja? Kenapa kau sendiri? Dimana Ayako?" pertanyaan bertubi-tubi itu ia layangkan kepada Mai.
Tubuh lemas Mai merosot bebas ke lantai. Gadis itu tidak langsung menjwab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh sang biksu tersebut.
"Bou-san, Aku dan Ayako …,"
Dan lagi-lagi, belum sempat Mai menyelesaikan kalimatnya sebuah hempasan angin menerjang tubuh keduanya hingga mereka terhempas ketepi ruangan.
Kedua manik tersebut terbelalak kaget ketika melihat sosok wanita yang tadi mengejar Mai berdiri tak jauh dari mereka.
Takigawa berdecih ketika menyadari kelengahan dirinya akan sosok tersebut. Pria tersebut dengan cepat mengucapkan mantra yang dia lemparkan tepat kea rah sang sosok misterius itu.
Teriakan penuh kesakitan sosok itu terdengar memekakan telinga.
Mai menutup kedua telinganya dan begitupun dengan Takigawa.
Secara perlahan, sosok itu menghilang. Namun, sebelum benar-benar menghilang, wanita itu menghepaskan angin kencang kearah Mai yang belum siap menghindar. Seringai sadis mengiringi hilangnya sosok itu ketika melihat tubuh Mai membentur kaca dengan keras sebelum akhirnya tubuh ringkih itu terjun bebas ke bawah.
Takigawa yang tidak menyangka bahwa sosok itu masih bisa menyerang mereka membelalak kaget ketika angin kencang itu kembali menghempas tubuh ringkih gadis kecil disampingnya hingga membentur jendela kaca dan terhempas ke bawah mencoba menggapai tubuh Mai.
"MAAAAIIIIIIII!" teriaknya ketika menyaksikan dengan matanya sendiri, bagaimana sosok kecil itu terjun bebas dengan manik yang sama-sama membulat kaget.
.
.
.
t.b.c
