Aku bertemu Neliel ketika usiaku masih usia sekolah dasar. Kebetulan hari itu aku dan ayah baru saja menonton pertandingan baseball di pusat kota. Sore itu cukup menyenangkan. Aku memakai kaos tiruan tim baseball favoritku dan menikmati se-cone es krim rasa jeruk sembari menggenggam pergelangan tangan ayah.

Lalu semua hal hebat ini dimulai ketika aku tak sengaja menabrak sesosok gadis—mungkin satu tahun di atasku… entahlah. Mungkin usianya sepuluh tahun, mungkin kurang. Ia memiliki mata yang indah, lebar, dan warna rambutnya yang kontras dengan warna oranye di kepalaku menjadi hal menarik untuk tetap kupandang.

Lalu aku sadar, di pipi pucatnya, air mata menetes deras. Aku menoleh cepat pada ayah—ayahku sontak berlutut di depannya. Ayahku yang cerewet kini berubah lembut, tersenyum, menarikan jemarinya di pipi gadis itu untuk menghapus air matanya. Tanpa meminta persetujuanku, ayah meraih topi di kepalaku dan memakaikannya di kepalanya.

"Tolong aku, Tuan," isaknya pelan.

Suaranya terdengar manis. Tapi dibandingkan dengan wajahnya yang cantik, penampilannya cukup mengenaskan. Wajahnya yang cantik itu hampir tersamarkan oleh pucat wajahnya. Pakaiannya terbilang lusuh.

"Mereka akan menangkapku."

"Siapa?" tanya ayahku. Aku hanya terdiam—memilih untuk menjadi penonton.

"Orang-orang jahat itu. Mereka mencopet, menyuruh kami turun ke jalanan, menyakiti kami di gang-gang kota. Aku takut sekali."

Kulirik ekspresi wajah ayah. Air muka ayah mengeras. Kulihat ayah melepas jaket kebanggaannya lalu membungkuskan jaket besar itu di tubuh Neliel.

Neliel.

"Siapa namamu?" tanya ayah.

"Mereka menamaiku Neliel."

Sudah kubilang, nama itu unik. Aku menyukai nama itu.

"Baiklah Neliel. Ini putraku, Ichigo."

Beberapa detik kemudian, ayah membawa kami berlari menuju sebuah taksi yang terparkir tak jauh dari tempat parkir.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


DISCLAIMER: I DO NOT OWN BLEACH. All publicly recognizable Bleach characters, settings, etc. are the property of Tite Kubo and Shueisha Inc. Little inspired by 'Just Go With It' the Movie, from Columbia Pictures and Happy Madison Productions. Plot was originally mine. No money is being made from this work. No copyright infringement is intended.

SPECIAL TO KUROSAKI KUCHIKI-CHAN!

Warning (s): AU, Romance, Humor, slight OOC, My 1st Bleach Fic.


.

.

.

.

.

MY 'FAKE' EX-WIFE

.

.

.

"KUROSAKI ICHIGO!"

"Ichi … Ichi … Ichiii~"

Pemuda 25 tahun berambut sewarna jeruk itu terbangun dari tidurnya. Ia menggelengkan kepalanya tiga detik, lalu mendongak mendapati Isshin—ayahnya—yang tengah menggendong Nel.

Pemuda itu menggosok isi telinganya lalu terbangun dari sofa empuknya. Ia bangkit duduk dan langsung merentangkan tangannya. "Neeeel!"

Bayi berusia yang lusa berusia setahun itu tertawa riang dalam pelukan Isshin.

"Ichi … Ichi … Ichiii~" ulang Nel.

Ichigo mendengus sembari mengangkat satu tangannya—mencubit pipi gembul Nel. "Panggil aku Tou-chan. Touuuu … chan!"

"Ouuu…?"

Ichigo tertawa. Ia mendongak dan menatap Isshin masih bergeming memasang air muka horor pada putra sulungnya. Menatap ayahnya seperti itu, Ichigo merasa wajahnya membatu dan pecah berkeping-keping. Wajah ayahnya serasa mengintimidasi saat ini.

"Tidurmu nyenyak sekali, eh?" sindir Isshin.

Ichigo tertawa kikuk.

"Sepertinya semalam kau pesta sampai mabuk."

Ichigo mendesah. "Aku tidak mabuk, Ayah. Cuma … kemalaman."

"Beruntung kau lupa mengunci pintu kamar. Aku jadi tak perlu susah payah menggedor pintu kamarmu."

"Ayah ada perlu apa mencariku?"

"Lihat jam dinding."

Ichigo dengan santainya melirik penanda waktu di tangannya. "Sepertinya aku kesiangan."

"Itu karena kau tidur seperti orang mati. Kau sedang belajar mati?" Isshin akhirnya memilih ikut duduk di sofa di samping Ichigo yang masih sibuk menguap. Diserahkannya Nel ke pangkuan Ichigo.

"Aku … mimpi tentang Neliel."

Isshin menoleh.

"Tentang pertemuan kita dulu dengan Neliel."

Isshin mendesah, "Sudah hampir setahun sejak kematiannya. Karena bocah kecil ini terlalu mirip Neliel, kita jadi menamakannya Nel."

Ichigo sweatdrop. "Ayah memang tak pintar mencari nama."

"Sudah hampir setahun. Kau masih ingat ucapan Neliel sebelum ia meninggal?"

'Jaga putriku dan anggap ia seperti anakmu sendiri. Bahkan saat suatu saat kau menikah, kau dan istrimu harus bisa menjaga putriku, Ichigo.'

Ichigo mendesah.

"Mungkin kalau kau ingin Nel-kecil menganggapmu 'ayah', kau harus bersiap mencari sosok untuk dipanggil 'ibu' tak lama lagi."

"Hm, aku belum punya pandangan."

"Memangnya pesta reunimu semalam itu, tidak mempertemukanmu dengan satu perempuan pun?"

Ichigo mulai berpikir sesuatu. Semalam ia tak terlalu memerhatikan teman-teman perempuan semasa SMA-nya. Ia lebih sibuk bercanda ke sana kemari. Kalau pun ada satu nama—

—Inoue Orihime.

Sepertinya gadis itu belum menikah. Dan dilihat dari caranya menatap Ichigo, sepertinya perempuan itu masih punya perasaan padanya.

"Ngomong-ngomong, ada apa ayah membangunkanku?"

"Kau tidak ke restoran?"

"Bukannya ada Kuchiki di sana?"

"Justru itu, Rukia-chan mencarimu dari tadi. Ia menunggu di bawah."

.

.

.

.

.

.

"Oi."

Rukia menoleh. Diletakkannya potret pigura Yuzu dan Karin—mengembalikannya ke atas salah satu buffet berisi vas pohon bonsai tak jauh dari meja ruang tamu. Ia memicingkan matanya menatap sang 'Bos' tengah menguap santai sembari membawa sebuah handuk abu-abu di genggamannya. "Wah, lebih cepat dari yang kuperkirakan. Yakin tidak mau kembali tidur, eh, Bos?"

"Ha-ha-ha. Caramu memanggilku 'bos' membuat kupingku gatal mendadak."

"Mungkin kau harus menyiapkan pembersih telinga mulai sekarang."

Ichigo menatap Rukia baik-baik. Pendek, potongan rambut aneh, mata yang sangat lebar, sama sekali tidak seksi, dan cerewet. Bentuk kelebihan yang membuat Ichigo melempar jauh-jauh nama Rukia dari jajaran calon istri. "Lucu sekali, Midget."

Rukia melotot. Ia terlanjur duduk—membuatnya mendongak. Tapi meski ia berdiri, ia tak akan bisa menatap Ichigo dalam posisi sejajar.

Sayang sekali.

"Tidak biasanya kau datang ke rumahku. Kenapa tak langsung ke restoran saja? Ini aneh sekali. Tidak biasanya kau merindukanku."

Rukia mengernyitkan dahi. "Selera humormu bagus."

"Kau tahu selera humorku sejak kita kuliah."

Rukia tertawa kaku. "Ya, tak beda jauh dengan om-om tua berkimono di acara parodi."

"Dan tawa serammu itu tak berubah sejak dulu."

Rukia terdiam seketika. "Jangan buat aku melempar pot bonsai ini, Bos."

Kali ini Ichigo memilih menghentikan gurauannya. Sebenarnya, ia juga tak terlalu pandai bergurau. Ia merasa Rukia lebih pintar untuk hal itu. Dan tawa Rukia, meski sedikit aneh, tapi Ichigo terbiasa mendengarkannya.

Kuchiki Rukia—teman semasa kuliahnya yang kini bekerja untuknya di restoran yang dikelola Ichigo. Seorang perempuan dengan short temper, cuek, terkesan angkuh pada siapa pun yang belum mengenalnya. Namun Ichigo tahu, Rukia termasuk perempuan yang baik. Ia cukup rajin dan menerima keadaan apa pun.

"Nel-chaaan!"

Dua detik setelah merentangkan tangan, Isshin—yang muncul dari direksi belakang Ichigo—menyerahkan Nel pada pangkuan Rukia.

Nel tertawa nyaring, dengan tangan yang mengepal-mengembang, mencoba meraih poni Rukia.

"Ehemm." Isshin berdeham pelan di telinga Ichigo. "Melamun, Nak?"

Ichigo tersentak. "Oh, tidak, hanya terpikir sesuatu."

"Terpikir tentang pembicaraan tadi?" bisik Isshin.

"Ha?"

"Terpikir menjadikan Rukia sebagai 'ibu' Nel? Kudengar ia masih single."

Mata Ichigo melotot. "APA!"

Rukia menoleh—mendongak pada Ichigo yang berteriak mendadak. "Ada apa?"

Ichigo kehilangan kata-kata. Ia mengalihkan pandangannya pada Rukia—lalu kembali pada wajah ayahnya. Berkali-kali.

"O-oi! Ah!"

Penyakit gagap mendadak menyerang Ichigo.

"Apa?" tanya Rukia lagi.

Isshin tertawa.

"Sebenarnya kau kenapa ke sini, Midget!"

Rukia melotot. "Tak usah teriak! Aku hanya duduk dua langkah dari jarak tempatmu berdiri."

Isshin tertawa makin keras—Rukia menoleh heran meski hanya sedetik.

"Ada sedikit masalah dengan stok wine di restoran. Makanya aku kemari. Dan lagi, aku membawa laporan beverage untuk bulan ini."

Isshin tak berhenti tertawa, "Kubuatkan teh dulu ya, Rukia-chan."

"Boleh, Paman." Rukia mengangguk lalu memicingkan kembali matanya pada Ichigo. "Bukannya lebih baik kalau kau segera berangkat mandi? Untuk apa berdiri di depanku dan menatapku seperti itu? Aku tak akan membawa lari Nel."

Yang benar saja. "Dengan kaki pendekmu itu kau mau membawa lari Nel? Kucing pun akan tertawa kalau sampai mengira kau bisa menculik Nel."

"Ck!"

Ichigo berbalik pergi dan Rukia hanya menggeram.

.

.

.

.

.

.

"Aku tak percaya, aku berdiri di dalam gudang wine pada siang hari. Harusnya aku kemari nanti malam saja."

Mungkin Ichigo sedikit tergiur mencicipi barang dagangan restorannya sendiri.

"Dan aku tak percaya kalau seorang bos akan mengeluh karena berdiri di tengah-tengah rak minuman milik restorannya sendiri."

Mungkin Rukia sebenarnya hanya menjalankan tugasnya sebagai manager restoran—meski cara bicaranya cukup blak-blakan.

Ichigo menoleh dan berbalik. Ia memiringkan kepalanya. Di tangannya tergenggam sebuah botol white-wine. "Kita bermain logika saja, mana ada orang yang memesan wine pada jam segini? Tenang saja, untuk beberapa jenis yang stoknya kosong itu, aku akan mengaturnya lagi dan mendatangkannya ke restoran ini."

Rukia mengangkat kedua bahunya. "Baguslah."

"Kau lega sekarang?"

Rukia memutar bola matanya. "Kau tahu aku hanya melakukan tugasku sebagai pegawai."

"Aku hanya tak terlalu nyaman menjalankan tugasku sebagai bos kalau berhadapan denganmu."

Eh?

"Jangan berpikir macam-macam dulu. Itu semua karena kita saling mengenal sejak kuliah."

Rukia mengerucutkan bibirnya. "Aku tidak berpikir macam-macam, Tawake. Otakmu yang seenaknya menarik kesimpulan. Aku sudah tahu itu."

"Kau tahu, kalau cara bicaramu pada laki-laki seperti itu terus menerus, maka kau tak akan laku sampai tua. Kau tahu kalau kau tak seksi sama sekali, jadi ada baiknya, sifat jelekmu itu harus kau sembunyikan, Midget."

"Hahaha," Rukia tertawa, "kau bicara seolah kau lelaki paling laku di dunia, Ichigo."

"Ha! Aku tak bicara seperti itu. Kau yang berpikir seperti itu! Mungkin kau memang berpikir bahwa aku lelaki yang menarik."

"Yang benar saja. Kau bahkan tak pernah terlihat berkencan dan hanya tertarik pada Nel."

"Dan sekarang kau bicara seolah kau perempuan yang ahli dalam menjalani kencan buta seminggu tujuh kali," ejek Ichigo. "Siapa yang mau denganmu? Si Hitsugaya itu? Kalian kombinasi yang pas."

"Aha! Tidak harus tujuh kali seminggu. Dan jangan bawa-bawa nama si rambut perak itu, Baka," jawab Rukia. "Dan untuk informasi tambahan, setidaknya akhir bulan nanti aku akan menggunakan jadwal liburku untuk pergi dengan Renji ke Okinawa."

Ichigo memicingkan matanya. "Kau bicara seolah aku akan memercayainya, Midget."

Rukia mengangkat bahunya dan menaikkan satu alisnya—tertawa pelan. "Aku tak butuh kau percaya atau tidak, Baka. Kau, kan, bukan apa-apaku."

"Hei, aku bosmu."

Rukia tertawa lagi. "Oh, lihat siapa sekarang yang bangga jadi seorang bos."

Sebuah sinar elektrik tak kasat mata terlihat menghubungkan pancaran mata keduanya.

Pertanda perang.

"Apa kalian berdua masih sibuk?"

Ichigo memutus acara staring-contest itu dan segera menoleh pada salah satu pegawainya, Ishida Uryuu.

"Oh, kau. Ada apa?" tanya Ichigo.

"Ada seseorang mencarimu."

"Siapa?" tanya Ichigo ketus—ditujukan untuk Rukia.

"Entahlah. Seorang perempuan, cantik, tinggi. Aku lupa menanyakan namanya."

Kali ini giliran Ichigo tertawa, menyindir Rukia. "Ha, teman kencanku sepertinya datang. Dan kau, Rukia, selamat bersenang-senang dengan si Babon Merah itu." Pemuda berambut oranye itu masih tertawa ketika berjalan melewati pintu.

Ishida menoleh pelan pada Rukia. "Si Bos kenapa?"

Rukia mendengus. "Gejala gangguan jiwa," jawabnya singkat sambil ikut melangkah melewati pintu meninggalkan gudang wine.

.

.

.

.

.

Saat langkah Ichigo terhenti di sisi salah satu meja yang terletak di sudut ruang restoran, ia hanya bisa takjub ketika menatap siapa sosok yang datang. Seorang perempuan yang ia temui kemarin di acara reuni SMA, kini duduk manis dengan secangkir vanilla-latte dan strawberry cake. Ia mengenakan coat berwarna jade yang kontras dengan rambutnya—yang terurai sempurna. Di bagian samping kepalanya, sebuah jepit berbentuk bunga daisy terlihat cantik menahan sisi poninya.

"Lho, Inoue?"

Gadis itu, Inoue Orihime.

Inoue mendongak dan segera berdiri. Ia tersenyum dan menyapa Ichigo dengan segera. "Kurosaki-kun."

Takjub sedetik, akhirnya Ichigo mengambil tempat duduk di hadapan Inoue.

Suara lembut Inoue terdengar lagi, "Aku tahu restoran ini dari Tatsuki."

"Oh, ya?"

Inoue mengangguk. "Ya, aku lupa bertanya langsung padamu semalam."

Ichigo tertawa. "Iya. Aku juga minta maaf karena tak memberitahumu."

"Ngomong-ngomong, kau punya restoran yang bagus."

"Ya, begitulah. Bagaimana denganmu? Kau bekerja di mana sekarang?"

"Aku mengajar musik di sebuah sekolah putri tak jauh dari stasiun."

Ichigo terdiam.

Benar-benar feminin.

"Kau tahu, mengajar anak-anak terasa menyenangkan."

Dan sepertinya ia cukup keibuan.

"Aku menyukai pekerjaanku."

Sepertinya Inoue termasuk pertimbangan yang bagus untuknya.

Ichigo bukan lagi lelaki remaja dengan usia sekolah atau kuliah. Ia sudah cukup dewasa. Dan yeah, Rukia benar, ia hampir tak memikirkan wanita setahun belakangan ini, dan hanya fokus pada Nel. Nel akan tumbuh besar dengan menganggap Ichigo sebagai ayahnya. Sementara di sisi lain, ia butuh figur ibu. Ichigo yang payah dan berantakan tak mungkin menjalani peran sebagai dua orang tua sekaligus, kan? Nel lusa akan berusia setahun. Ia juga masih ingat betul pesan Neliel padanya.

Dan semalam, ia memimpikannya kembali.

Mungkin ini pertanda.

"Inoue, kalau boleh bertanya, apa kau … tak apa-apa kemari sendirian? Ini jam makan siang, kan?"

"Eh?"

"Apa kau tak punya janji menghabiskan jam istirahat dengan orang lain?"

Inoue memiringkan kepalanya. "Maksud Kurosaki-kun?"

"Apa kau … sendirian? Maksudku, single?"

Sedetik setelahnya, rona gelap kemerahan menghiasi pipi Inoue.

"Maaf kalau aku terlalu lancang," sergap Ichigo buru-buru sembari tertawa. "Kau tak harus menjawabnya, sih."

"Ah! Be-belum, Kurosaki-kun!"

"Eh?"

"A-aku masih sendiri. Maksudku, aku tak menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini."

"Begitu, ya?"

"Karena sejujurnya, sampai sekarang, Ku-Kurosaki-kunlah, satu-satunya orang yang … kukagumi."

Ichigo terbelalak. Di hadapannya, seorang teman dari masa lalunya, secara tidak langsung membuka pintu hati lebar-lebar dan menyatakan cinta padanya. Ia bahkan tak menyangka kalau Inoue akan memberi respon secepat itu. Kalau seperti ini, akan lebih mudah menjalin hubungan dengan Inoue. Perempuan ini akan jadi calon ibu untuk Nel.

Inoue menangkup kedua belah pipinya dengan kedua telapak tangannya—malu. "M-maaf aku mengatakannya."

"Kalau begitu … mau menjalin hubungan denganku?"

Sejujurnya, Ichigo bukan seseorang yang ahli untuk urusan percintaan. Ia tak tahu di mana ia harus berbasa-basi atau melakukan hal-hal lainnya ketika membuka percakapan untuk menyepakati dibentuknya sebuah hubungan lebih dari sebatas teman. Ia mengatakannya begitu saja.

Inoue terdiam, wajahnya masih merona total.

"Bagaimana?"

Mata Inoue berkaca-kaca. Senyumnya mengembang sempurna. Dan ia mengangguk cepat.

Jemari lentik itu terulur untuk menggenggam tangan Ichigo.

Ichigo mendapatkan jawabannya dalam waktu singkat. Benar-benar di luar dugaan. Ia yakin Inoue serius menerima hubungan ini. Wajah Inoue mencerminkannya. Wajah berseri-seri perempuan jatuh cinta—yang biasa Ichigo temui dalam dorama percintaan di televisi. Ia tak tahu harus berkata apalagi kali ini. ia … sebenarnya tak merencanakan sejauh ini. Karena sebenarnya, ia tak tahu apa ia memulai hubungan ini karena ia menyukai Inoue. Tentu, Inoue gadis yang baik. Ia cantik dan memiliki fisik yang mampu membuat lelaki mana pun bertekuk lutut dengan seribu buket mawar.

Kesan pertama, Inoue sempurna—apalagi jika disandingkan dengan Kuchiki Rukia.

Oh, Iya, Rukia. Di mana manager-nya itu?

"Bos, maaf mengganggu. Ada telepon dari Isshin-san."

Ichigo menoleh dan (lagi-lagi) mendapati Ishida di sampingnya.

"Ayahku? Bisakah nanti saja? Katakan aku akan meneleponnya nanti."

Ishida melirik Inoue yang sudah menarik lagi tangannya dari genggaman Ichigo—sepertinya malu dengan kehadiran Ishida yang tiba-tiba.

"Sepertinya ini soal anakmu."

"…"

"…"

"…"

"A-apa!" Inoue lantas menoleh pada Ishida sebelum akhirnya melarikan kembali pandangannya pada Ichigo. "A-anak? Kau p-punya anak, Kurosaki-kun?"

Ichigo membatu. Seluruh pegawai restoran memang menganggap Nel sebagai putri Ichigo.

"Lantas k-kenapa kau bilang ingin menjalin hubungan denganku?"

Kali ini Inoue menangis lagi—bukan lagi air mata bahagia.

"Apa kau ingin mempermainkan perasaanku?"

Ichigo kaku, dan Ishida yang merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tak menyenangkan, akhirnya memilih bergegas pergi.

Inoue bangkit berdiri.

Ichigo ikut bangkit dari kursinya. "Tunggu, dengarkan aku dulu."

"Kau tidak menyangkal kalau kau punya anak, kan? Kau punya keluarga, kan?"

Ichigo meraih kedua sisi lengan Inoue, menahan perempuan itu agar tak pergi. Dalam hati ia merutuk. Kenapa saat ia memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seseorang, malah terjadi kejadian seperti ini? Kalaupun ia tak menjalin hubungan cinta dengan Inoue, ia tak ingin keduanya memiliki hubungan buruk sebagai teman karena sebuah kesalahpahaman.

"Kurosaki-kun! Biarkan aku pergi."

"Baiklah, baiklah. Tapi dengar dulu. Aku memang punya anak. Tapi aku tak punya istri."

"…"

Ichigo menghela napas panjang. Pikirannya buntu.

"Apa?" tanya Inoue tak percaya. "Apa maksudmu?"

Bagaimana ia menjelaskan soal Neliel yang menjadi kakak angkatnya—yang setahun lalu meninggal sehingga ia yang kini merawat Nel sebagai anaknya? Menjelaskan tentang Neliel akan makan banyak waktu. Dan Inoue kini sedang labil karena berita bahwa ia punya anak cukup mengejutkannya.

"Aku … bercerai."

"Apa?"

"Aku sudah bercerai."

Ichigo terpaksa berbohong.

"Apa benar … seperti itu?"

"Iya, aku sudah bercerai. Lihat, aku tak memakai cincin kawin, kan?"

Inoue tertunduk. Sedetik, ia menatap lagi kedua mata Ichigo. "Kau tidak bohong, kan, Kurosaki-kun?"

Ichigo hanya mengangguk.

Kebohongan spontan.

"Apa aku bisa bertemu anakmu, dan mungkin, mantan istrimu?"

Dan mulai saat ini, ia akan terjebak di kebohongan-kebohongan baru.

.

.

.

.

.

"Teman kencanmu sudah pergi, Bos?"

Ichigo mencengkeram helai rambutnya sendiri. Ia menoleh pada sosok Rukia yang masuk ke dalam ruangan membawa beberapa catatan kecil di tangannya.

"Ini, catatan dari Chad. Barang masuk siang tadi."

Ichigo mendesah.

Dan rukia memilih diam.

"Kau pasti melihat dengan jelas kejadian tadi."

Rukia mengangkat kedua bahunya. "Tidak juga. Aku hanya melihat sekilas. Tapi mungkin aku bisa menanyakan soal 'drama' lengkapnya pada Keigo. Sepertinya ia mengikuti adegan 'drama'-mu dan teman kencanmu."

Ichigo menoleh pada Rukia dengan tatapan sayu.

Rukia terdiam sesaat. Tidak ada balasan atas sindirannya barusan?

"…"

"Kau kenapa?"

"Aku terkena masalah besar."

Rukia mendengarkannya baik-baik.

"Apa kau bisa membantuku?"

"Hah?"

"Kali ini aku benar-benar tak tahu harus meminta bantuan siapa. Cuma kau perempuan yang bisa kupercaya, Rukia."

"Seberat apa masalahmu?"

"Ini menyangkut masa depan Nel juga."

Rukia menelan ludah.

"Bisakah kau membantuku?"

Rukia terdiam. Permasalahan sebesar apa memangnya? Sejam lalu Ichigo bertemu dengan seorang perempuan cantik. Dan kini, di hadapannya, Ichigo memasang wajah sendu dan kebingungan. Rambutnya yang jabrik makin terlihat acak-acakan. "Aku bantu kalau aku memang bisa."

Ichigo mengangkat arah pandangannya pada Rukia. Cahaya mata yang sempat meredup itu langsung berbinar.

"Aku yakin, cuma kau yang bisa kupercaya untuk membantuku."

"Baiklah. Apa itu?" tanya Rukia mulai penasaran.

"Perempuan tadi, teman SMA-ku dulu. Namanya Inoue Orihime. Aku … memutuskan untuk menjadikan ia kekasihku. Agar suatu saat, kami bisa menikah dan Nel punya sosok ibu."

Rukia menelan ludah lagi. Haruskah ia memberi selamat?

"Tapi Ishida mendadak menghampiriku karena ayah menelepon dan mencariku. Ishida tak sengaja menyebutkan bahwa aku sudah punya anak. Inoue sangat shock dan menangis. Ia bilang aku mempermainkannya. Kau tahu, kan, seperti apa masalahku sekarang?"

Rukia mulai mendapat penerangan tentang masalah yang melanda Ichigo kali ini. "Kenapa tak jujur saja dan menceritakan soal Nel?"

"Masalahnya, aku terlanjur mengatakan bahwa Nel memang anakku."

"Lalu?"

"Dan aku terlanjur mengatakan bahwa aku sudah bercerai."

Rukia memiringkan kepalanya.

"Inoue berkata, ia ingin bertemu dengan mantan istri juga anakku."

Mata Rukia melebar.

"Aku ingin kau berpura-pura jadi mantan istriku, Rukia."

T B C

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


Surabaya, 27 Mei 2012

Happy birthday to Fiki-pyon alias Kurosaki Kuchiki. Maaf kado penpiknya telat—malah multichapter pula. Tapi setidaknya, yang penting kubikinin, kan? *ngeles

Awkay, this is my 1st fanfiction in this fandom.

Kalau merasa asing dengan nama pena ini, pemiliknya adalah author dari 40 cerita di fandom Naruto sejak awal tahun 2010 lalu. Pernah menghampiri fandom Bleach namun hanya sekedar reader, namun akhirnya setelah dua tahun berlalu, ia memilih untuk melebarkan sayap (?) ke fandomnya Kurosaki Ichigo. Meski terbilang 'master' dalam hal mengenal Naruto, tapi ia sebenarnya mengenal Bleach lebih dulu daripada Naruto. Ia sempat membaca 33 komik bajakannya pada tahun 2009—namun sayangnya, sekarang ia sudah mengalami pikunitis akut yang menyebabkan ia lupa dengan semua hal tentang Bleach.

Inilah penyebab utama mengapa fanfic ini rawan dengan warning OOC.

Sekali lagi, author dengan tegas menyatakan bahwa ini adalah fanfic ICHIRUKI. Author tak berencana meng-hime-kan atau malah membashing sosok Inoue di cerita ini. Inoue akan tetap jadi pemeran yang manis sesuai tuntutan perannya. Sebenarnya, ide ini cukup mudah dijalankan karena AU, dan karena author terbiasa membayangkan cerita NaruSaku dengan figuran Hinata yang notabene mirip Inoue.

Semoga dengan ini, kalian bisa sedikit mengenal sosok Masahiro 'Night' Seiran.

Ia adalah jenis author yang senang meninggalkan a/n yang cukup panjang di akhir cerita. Sekedar basa-basi, cerita ini mengambil ide mentah dari sebuah film Hollywood milik Adam Sandler. Sebuah komedi roman yang mengisahkan seorang lelaki playboy yang berbohong dan menyewa seorang janda dua anak yang juga asisten di kliniknya, Jennifer Aniston (dalam hal ini Rukia) untuk jadi mantan istrinya. Ada banyak hal yang berbeda dari film itu dibandingkan cerita ini. Rukia di sini masih single, dan author memilih untuk memasukkan Nel dan Isshin.

Di fandom Naruto sendiri, author pernah melakukan uji coba untuk sebuah fanfic yang diinspirasi dari film komedi roman What Happens in Vegas—dengan harapan fanfic ini akan diterima dengan baik, sama seperti fanfic Naruto itu (karena fanfic Naruto itu menjadi karya tersuksesnya sejauh ini)

Besar harapan author agar karya perdana ini diterima.

Sorry, this fic un-betaed. Segala macam typographic error harap dimaafkan. Mind to RnR?

I

I

I

V