TIGA "M"
By Itachannio
Vocaloid
Disclaimer: Yamaha, Crypton Future Media, and fans all over the world
Main Characters: Kaito Shion, Rin Kagamine, Miku Hatsune.
Other Characters: Find by yourself
Author's Words:
Moshi-moshi, annyeonghaseyo, halo, hi Readers di mana pun anda berada!
Mohon bantuannya ya untuk para readers ataupun senior yang membaca fanfic ini. Dengan banyaknya saran dan kritik yang masuk pada kantung review saya, saya jadi bisa mengetahui seberapa banyak kesalahan saya, juga seberapa besar peluang saya untuk memperbaikinya.
Terima kasih dan selamat membaca!
Enjoy
Chapter one: Gadis-gadis Aneh Mulai Bermunculan
Summary:
"Berandalan" adalah satu kata yang pas untuk mendeskripsikan sosok muda yang tampan dan jenius itu; Kaito Shion. Dia adalah sesosok anak laki-laki yang sangat kekanak-kanakan, sering bermalas-malasan, dan suka berkelahi hanya untuk kesenangan dirinya. Namun, keluarganya yang kaya membuat anak itu menjadi "Rock Star" di sekolah sehingga tidak ada yang berani mengganggunya. Hingga suatu hari, sesuatu mengubah garis kehidupannya.
BUAAAAGH! BUAAAAGH! BRAK!
Seorang anak muda berperawakan tinggi dan ramping mengibaskan tangannya yang bernoda darah berulang kali. Sebuah seringai kepuasan terpampang di wajahnya yang tampan dan beringas. Anak itu mengenakan sebuah blazzer berwarna biru tua yang di bagian lengannya terdapat sebuah logo bertuliskan "V-HS". Anak itu baru saja menghajar tiga orang anak sekolah yang memiliki seragam berbeda dengannya.
"Apa ini? Ternyata anak-anak dari sekolahan kalian tidak ada apa-apanya," gumamnya. Anak-anak yang baru saja dihajar tidak bisa membalas satu huruf pun karena memang tidak bisa bicara akibat luka-luka serius yang mereka derita di sekitar mulut mereka.
"KAITO SHION dari Voca High School!" tiba-tiba seseorang meneriakkan namanya dengan sangat keras. Suara anak perempuan. Orang yang dipanggilnya Kaito itu hanya menyeringai. Tentu saja, siapa yang tidak mengenal Kaito Shion? Seorang berandalan tingkat atas yang memiliki nama Yakuza di belakang punggungnya.
"Ada apa, Ojou-chan?" tanya Kaito sambil memandang seorang gadis berbadan mungil dengan sebuah pita putih bertengger di atas kepalanya yang seakan-akan dipasang untuk mempertinggi diri.
"Ojou-chan...? Hm! Menarik sekali, Kaito Shion!" ujar gadis itu. Dia berjalan mendekat sehingga jarak diantara mereka hanya berkisar beberapa meter.
"Heh... gadis tidak-imut-sama-sekali model dirimu tidak pantas ribut denganku," kata Kaito sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Ga–?! Tch!" gadis itu mulai naik darah, "Bisa-bisanya gadis manis sepertiku kau bilang 'tidak-imut-sama-sekali'?! Laki-laki macam apa kau?!"
"Hoo... berani juga kau, Ojou-chan. Baiklah, kalau kau ingin main-main sebentar, akan kulayani," Kaito mengusap pergelangan tangannya, sedangkan si gadis bersiap memasang kuda-kuda menyerang.
Saat keduanya sudah maju untuk saling menghantam–
"SHIMATTA!" Kaito tiba-tiba berteriak yang langsung membuat kaget si gadis yang sedang berusaha mengayunkan kakinya untuk menendang. Alhasil, gadis itu tidak jadi menendang Kaito melainkan kehilangan keseimbangan yang ujung-ujungnya–
GUBRAK!
"UWOOOO...! Nanti kita lanjutkan, Ojou-chaaaaan!" Kaito buru-buru berlari meninggalkan gadis itu seorang diri.
"Dasar busuk!" sungutnya. Beruntung tidak ada orang yang melihatnya terjatuh. Eh, tapi–!
"Rin...san... to-tolong... kami..." ketiga orang yang dari tadi sudah tumbang merintih-rintih.
"Ah! Bodoh! aku malah lupa kalau mereka harus diurus!" gumam gadis bernama Rin itu. Dia pun buru-buru memanggil bantuan untuk mereka.
"Sial! Sial! Sial! Kalau begini, aku bakal telat sekali!" seru Kaito sambil terus-terusan menatap jam tangannya, "Tidak ada jalan lain!"
Anak itu pun mengambil jalan pintas dengan memasuki gang-gang sempit yang sangat sulit dilewati manusia dengan kecepatan yang digunakan anak itu saat ini. Dia yakin tidak akan ada orang yang bisa menyamainya. Gang itu dipenuhi dengan kawan-kawat tinggi dan tong sampah yang besar sehingga jika ingin melewatinya, seseorang harus sering melompat dan harus sangat berhati-hati.
Tapi ternyata perkiraannya salah. Bukan hanya dirinya yang bisa melakukan itu. Di depan jalan yang sedang dia lewati, dia melihat seorang gadis berseragam sama yang juga sedang berlari dan melompat menyusuri gang. Bukan hanya itu, dia melompat dan menghindari kawat-kawat itu dengan gerakan lihai dan lincah.
"Tch! Aku tidak akan kalah!" gumam Kaito sambil mempercepat larinya. Kemudian, di saat-saat yang tepat, anak itu berhasil melompat lebih jauh dari si gadis yang langsung membuatnya menjadi perhatian gadis itu.
Kaito tersenyum puas setelah melewatinya. Tanpa menunggu apa-apa lagi, dia melanjutkan perjalanannya keluar dari gang. Kali ini, bagian lari sprint di jalan raya.
Kaito yang masih fokus pada jalannya langsung dikagetkan karena gadis yang juga berseragam V-HS itu kini sudah menyusulnya.
"Kuso! Ada apa dengan gadis ini?!" gumamnya, kesal. Dia mempercepat langkah-langkah panjangnya, tapi tetap saja gadis itu berhasil mensejajari posisinya.
Hingga akhirnya, saat-saat yang dinanti pun tiba. Gerbang sekolah sudah terlihat di depan mata, dan bagi keduanya gerbang itu merupakan garis finish. Orang-orang yang masih berjalan dengan santai pun langsung menyingkir karena tidak mau tersenggol.
SRAAAT! SRAAAAT!
"Aku menang!" seru keduanya berbarengan. Kaito dan gadis itu langsung bertatapan dengan sengit.
"Apa?! Jelas-jelas aku yang pertama sampai di sini!" seru gadis itu. Kaito mendecih.
"Kakiku yang pertama menginjak area sekolah!" balas Kaito.
"Hee... laki-laki macam apa yang tidak mau mengakui kekalahannya? Benar-benar banci," kata gadis itu dengan nada meremehkan. Itu langsung memancing urat leher Kaito keluar dari tempatnya.
"Sialan kau!" sungut Kaito, lalu dia buru-buru mencegat orang-orang yang sedari tadi berjalan santai ke arah gerbang sekolah, "Siapa yang menang?! Dia atau aku?!"
"A-ano..." yang ditanya malah ketakutan di tempat.
"Ma-maaf... kalian tadi... hasilnya seri..." tiba-tiba satpam yang selalu berjaga di gerbang sekolah menengahi.
"Tch, tidak mungkin!" kata si gadis sambil mengibaskan rambut hijaunya yang panjang.
"Aku tidak mau seri dengan makhluk rendahan ini! Mana mungkin aku yang hebat ini bisa sama dengan seekor makhluk tak jelas seperti dia?!"
Kata-kata kasar Kaito langsung mendidihkan sesuatu dalam kepala si gadis. Masa'? Apa tadi anak itu baru saja memanggilnya 'makhluk rendahan'? Ditambah lagi dia dipanggil... 'seekor makhluk tak jelas'...?
"Ano... namamu... Miku Hatsune-san, 'kan? Murid baru sepertimu seharusnya sudah datang kemari lima belas menit yang lalu..." kata si satpam, takut-takut.
"APA YANG KAU PIKIRKAN HAH?!" tiba-tiba gadis yang bernama Miku itu mencak-mencak di depan si satpam.
"Ha-hai?!" si satpam langsung menciut.
"Tch... buang-buang waktu saja!" dumelnya, lalu menatap Kaito, "Hey kau! Kita masih punya urusan!"
Setelah mengatakan hal itu, gadis itu langsung pergi meninggalkan si satpam dan juga Kaito di gerbang sekolah.
"Tch!" Kaito hanya mendengus sebal. Dia lalu menatap jam tangannya. Ternyata dia datang lebih pagi. Bel masih akan berbunyi sekitar sepuluh menit lagi. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya dia datang lebih pagi dari jam masuk yang sebenarnya. Hm... apa sesuatu yang buruk akan terjadi di dunia ini?
"Hajimemashite! Namaku Hatsune Miku! Kalian bisa memanggilku Miku! Yoroshiku ne!"
Kaito yang sedang menutup matanya di dalam kelas langsung membukanya lebar-lebar. Hatsune Miku? Sepertinya dia pernah mendengar nama menyebalkan itu di suatu tempat. Dan–eeeeeh?!
"Kawaii! Kawaii!" seru anak-anak sekelas.
Kaito tidak bisa berkata-kata saat gadis itu tersenyum manis padanya di depan kelas. Keadaan yang semula ramai berubah hening dalam sekejap.
"Kaito Shion," kata Miku yang langsung membuat Haku-sensei–guru yang sedang mengajar–juga bergidig di tempat, "Aku ingin duduk di samping Kaito Shion."
"E-eh...?"
Semua mata langsung menatap sebuah bangku kosong yang ada di samping Kaito. Bangku itu sudah terlihat kumal karena tidak ada anak yang pernah mau duduk di sana meskipun itu adalah tempat duduk yang nyaman karena terkena sinar matahari pagi.
Tapi, mulai dari sekarang bangku itu akan diisi. Dan Kaito yang selalu duduk di samping bangku itu akan ditemani oleh gadis tak tahu malu dan menyebalkan ini di dalam kelas. Akan berubah jadi seperti apa duniaku nanti?! Seru Kaito dalam hati.
"Kau tidak berteriak saat melihatku," kata Miku saat pelajaran mulai berlangsung, "Aku terkejut."
"Tch..." Kaito melengos ke jendela. Merasa diacuhkan, Miku mendecih yang tak didengar orang lain. Sejurus kemudian, dia melemparkan sesuatu ke kepala Kaito. Tentu saja itu langsung membuatnya berurat.
"Hey kau..." geram Kaito sambil menatap Miku dengan hawa membunuh yang langsung membuat seisi kelas merinding, "Kalau mau ngajak berantem, nanti saja!"
"A-ano..." Haku-sensei yang dari tadi sedang menjelaskan materi pun jadi terdiam dengan bingung melihat aura aneh yang terpancar baik dari Miku maupun Kaito.
"Tidak apa-apa Sensei, mohon dilanjutkan," kata Miku dengan senyum mengembang. Hal itu sukses melahap atmosfer aneh yang tadi sempat mengisi ruang kelas.
"Tch... ino bermuka dua," gumam Kaito, cuek.
Trek!
Kaito menoleh setelah mendengar suara pensil patah. Hoo... cewek itu boleh juga, pikirnya. Dia melihat Miku sedang memegang dua bagian pensil yang sama. Jelasnya, dia berhasil mematahkan sebuah pensil yang tidak mungkin bisa dipatahkan oleh seorang cewek. Tidak. Mungkin cowok pun tidak bisa.
Kali ini semuanya merinding akibat ulah Miku.
"A-anak-anak..." panggil Haku-sensei dengan ketakutan, "Ke-keluar sekarang..."
Serentak anak-anak menurut kecuali Miku dan Kaito. Mereka dibiarkan berdua di dalam kelas. Selama mereka berdua di dalam, banyak anak yang bertanya-tanya tentang keselamatan Miku karena Kaito dikenal tak pandang bulu jika menghajar orang–kecuali dengan anak kecil dan orang tua.
"Se-sebenarnya, apa kalian tidak merasa kalau mereka berdua itu sama ganasny–"
BRAAAK! BRUUUK! BRAAAK! BRUUUK!
"Kyaiks–!" seru semua orang yang sedang berada di luar kelas.
"Semuanya! Pergi dari sini! Carilah tempat yang bagus di taman belakang!" suruh Haku-sensei. Semuanya menurut dan cepat-cepat berlarian di koridor meskipun tidak yakin dengan jalan yang mereka ambil karena membiarkan Miku dalam bahaya. Tapi, siapa yang berani mencegah Kaito Shion berbuat sesuatu di sekolah ini?
Para guru yang sedang mengajar pun sudah tidak aneh lagi dengan kejadian yang seperti itu karena sudah mengenal anak-anak kelas 1-C yang dikenal paling ribut dan aneh. Ah, tentu saja karena seseorang di dalamnya. Suara ribut-ribut yang saat itu sedang berkoar-koar di koridor pun diacuhkan begitu saja.
"Apa ini? Ternyata kau punya nyali juga berhadapan denganku, ino onna," seringai Kaito sambil memandang tajam Miku.
"Apa kau bilang?!" Miku langsung melemparkan kursi yang tadi dipakainya duduk ke arah Kaito dengan sekuat tenaga. Tapi tentu saja Kaito berhasil menghindarinya sehingga kursi itu rusak membentur kaca tebal sekolah.
"Kau tidak imut sama sekali," ejek Kaito, "Sebaiknya menyerah saja jadi cewek!"
"Ck...!" decak Miku, "Kau pikir cowok lembek sepertimu cocok jadi cowok? Lebih baik kau bercermin sana!"
"Baiklah, aku akan bercermin!" seru Kaito, kemudian secepat kilat dia menyambar kedua tangan Miku sebelum gadis itu sempat melakukan apa-apa lalu menguncinya di belakang punggung kecil si gadis sehingga jarak diantara mereka sekarang sangat dekat.
"Lihat, tidak ada yang salah dengan penampilanku," kata Kaito sambil terus menatap mata Miku.
"A-apa yang–"
"Kau menyuruhku untuk bercermin 'kan? Aku bisa bercermin di matamu. Bagaimana menurutmu?" Kaito mempersempit jarak di antara mereka.
"Jangan bercanda!" Miku segera mengayunkan kakinya.
BUG!
Kaito mundur beberapa langkah.
"Menjijikan!" seru Miku, "Kau harus tahu arti kata sopan santun!"
"Haaah..." Kaito mengusap-usap bekas tendangan Miku barusan, "Memangnya kau sendiri tahu arti sopan santun?"
Miku menatap Kaito lekat-lekat, sedangkan Kaito sibuk membersihkan kotoran tak nyata di bajunya.
"Kau pikir karena kau anak seorang Yakuza, kau bisa berbuat seenaknya seperti itu?!" kata Miku. Kaito mendengus sebal tapi tidak membalas perkataan Miku.
"Kau pikir karena kau anak paling kaya di sekolah ini, kau bisa membuat kericuhan sesukamu? Coba pikirkan, memangnya siapa dirimu tanpa keluargamu?!" tambah Miku, "Kau hanya seorang bocah kampungan yang tak tahu malu!"
Mendengar perkataan itu, Kaito mempertajam tatapannya pada Miku. Dia sangat tidak suka apabila ada seseorang yang berbicara seenaknya tanpa tahu apa-apa. Memangnya siapa dia? Kenal saja tidak. Bertemu juga baru pagi ini.
"Berisik..." gumam Kaito, "Tahu apa kau tentang diriku...?"
"Heh! Sejak melihatmu pertama kali, aku tahu kau itu orang seperti apa, dasar sombong! Jangan mentang-mentang kau dibesarkan di kalangan Yakuza, kau bisa melakukan sesuatu sesukamu!"
"BERISIK!" Kaito langsung memukul kedua meja yang ada di sisi kanan dan kirinya bersamaan. Meja-meja itu pun langsung rusak akibat pukulan keras Kaito. Hal itu membuat Miku spontan terdiam kaget.
"Dasar sial," gumam Kaito, "Membuang-buang waktuku saja."
Miku masih berdiri di tempatnya saat Kaito melangkah pergi meninggalkan kelas. Gadis itu memperhatikan punggung Kaito yang semakin menjauh.
Anak itu...
"Miku-chan! Kau tidak apa-apa 'kan? Kau tidak terluka 'kan?!" semua orang langsung mengerubungi Miku saat gadis itu berhasil menemukan gerombolan kelasnya di halaman belakang sekolah.
"Ah... aku tidak apa-apa," kata Miku sambil tersenyum, "Maaf membuat kalian khawatir."
"Oh iya, mana Kaito?" tanya Miku sambil memperhatikan sekeliling. Semua orang mengangkat bahu.
"Lagi pula, kenapa kau masih menanyakannya? Bukannya dia berniat mencelakaimu?" salah satu teman sekelasnya bertanya.
"Tadi itu adalah salahku," aku Miku, "Kalau aku tidak menganggunya, hal seperti ini tidak akan terjadi. Maaf ya..."
"Miku-chan..."
"Oh, iya," kata Miku, "Kemana Haku-sensei? Beliau juga tidak ada?"
"Katanya beliau pergi untuk mengecek keadaan kelas. Tapi kau kuat ya Miku-chan, meskipun sepertinya sudah perang besar, kau masih baik-baik saja."
"Kau belajar ilmu bela diri ya?"
"Aku sudah tahu saat kau mematahkan pensil di kelas tadi!"
"Miku-chan keren!"
Menerima pujian-pujian itu, Miku hanya tersenyum sambil mengusap-usap belakang kepalanya.
Ah, benar juga. Sekarang mereka sedang kosong. Gara-gara kekacauan tadi, mereka dibiarkan menganggur di sana, diberi tugas pun tidak. Hm... Miku mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu, di mana anak itu ya?
Miku sedikit merasa bersalah karena sudah mengungkit hal-hal yang tidak perlu. Apalagi sampai membuatnya marah seperti itu. Ah, sepertinya ini akan menjadi hal yang sangat sulit.
"Kuso! Kau boleh menertawaiku sesukamu, hoy bocah! Ayo tertawa!" seru Kaito sambil terus memukuli seorang anak laki-laki berseragam olahraga SMA Voca yang kebetulan dia temui sedang berjalan ke ruang ganti seorang diri.
Saat mood-nya sedang buruk, Kaito selalu pergi ke sana karena berpikiran bisa menemukan seseorang yang bisa dijadikan objeknya untuk melampiaskan kekesalan. Anak-anak yang sedang berolahraga adalah yang paling bagus untuk dihajar. Kenapa? Karena mereka pasti sedang kelelahan sehingga jarang ada yang melawan. Di tambah lagi, ruang ganti itu terletak di pojokan, sehingga jarang ada orang yang berlalu-lalang.
"Tunggu! Ka-Kaito Shion-san! Apa yang sedang kau lakukan?" tiba-tiba seorang anak gadis memberanikan diri mencoba melerai Kaito, tapi–
BUAGH!
Kaito menendang wajah gadis itu dengan keras sehingga dia terpental jauh.
"Aoki!" seru anak laki-laki yang tadi dihajar Kaito.
"Hi...Hidoi yo..." gumam anak perempuan itu sambil memegangi pipinya yang lebam. Matanya merah ingin menangis.
"Haah? Minta dihajar lebih y–"
PLAK! Tiba-tiba Miku muncul di hadapannya dan langsung menampar wajah Kaito dengan sangat keras.
"Ini berlebihan! Sudah hentikan!" teriak Miku dengan suara serak.
Kaito yang semula berniat memukul gadis itu dengan kekuatan penuh langsung terkunci saat melihat bulir-bulir air mata yang mengalir dari kedua pelupuk matanya.
"Sudah hentikan..." kata Miku, "Kau tidak perlu melakukan ini..."
Kaito terdiam di tempat. Ini pertama kalinya. Pertama kali dalam hidupnya ada seseorang yang berani melarangnya berbuat hal seperti itu. Dan lagi... pertama kalinya ada seorang gadis yang berani menamparnya sedemikian keras sampai terasa sangat sakit. Pertama kali juga dalam hidupnya, dia melihat seorang gadis menangis untuk dirinya. Itu... kenapa...?
Kaito mengepalkan tangannya kuat-kuat, lalu tanpa mengatakan apa pun, dia berlalu dari sana.
Pukul empat sore.
Sekolah sudah bubar beberapa menit yang lalu, tapi Kaito memilih untuk berdiam diri di suatu tempat yang tak banyak dilalui orang. Sebuah taman kecil yang indah dan penuh dengan berbagai macam bunga. Dia yakin tidak banyak orang yang mengetahui tempat itu karena terbukti saat dia datang ke sana, tempat itu selalu sepi dan sunyi.
Kaito merebahkan dirinya di atas rumput, lalu mengangkat tangannya ke atas. Tangan itu penuh dengan luka karena terlalu sering dipakai memukul.
"Menjadi keluarga Yakuza..." gumamnya, "Siapa yang mau?!"
"Kalau begitu berhenti saja?" tiba-tiba seorang anak gadis berseragam sekolah lain muncul di hadapannya dengan tiba-tiba.
"Kau! Gadis yang tadi!" seru Kaito sambil menjauh dari gadis itu. Bukankah gadis itu adalah orang yang tadi pagi menantangnya berkelahi?
"Namaku Kagamine Rin. Hajimemashite," katanya sambil tersenyum lebar.
Melihatnya tersenyum begitu justru malah membuat Kaito ingin muntah. Ada apa dengan para gadis hari ini?! Mengapa mereka berbicara padaku?! Pikir Kaito. Tadi dia juga bertemu dengan seorang gadis menyebalkan yang sama-sama bermuka dua dengan gadis di hadapannya kini.
"Hey," panggil Kaito, "Bukannya kau adalah Ojou-chan yang tadi pagi mengajakku ribut ya?"
"SIAPA YANG KAU SEBUT 'OJOU-CHAN' HAH?!" suara gadis itu langsung meninggi. Kaito menghela napas pendek.
"Jelas-jelas itu kau 'kan? Kau itu bodoh apa," ejek Kaito dengan cuek.
"Huh! Begini-begini, aku sudah enam belas tahun!"
"Murid SMA macam apa kau?" Kaito mengeluarkan ejekan lainnya, "Rata-rata murid SMA itu tujuh belas tahun."
"Tidak ada urusannya denganku!" tukas Rin, "Lagi pula, sekarang aku harus pergi ke rumahmu. Makanya aku mengikutimu ke sini."
"Hah?" Kaito langsung bingung di tempat, "Kenapa? Memangnya kau siapa? Seingatku aku tidak punya keponakan semacam ini!"
"Apa?!" urat Rin keluar, "Ciiih! Sudahlah! Pokoknya sekarang kau harus pulang!"
"Siapa juga yang mau menurut padamu," gumam Kaito, lalu kembali tiduran di atas rumput tanpa mengindahkan keberadaan Rin.
"Aku tidak tahu kalau kau ternyata lebih mengesalkan dari pada yang diceritakan!" omel Rin. Alis Kaito langsung berkedut.
"Apa maksudnya itu?" tanya Kaito.
"Kau akan tahu sendiri saat sampai di rumah..." kata Rin, "Tungg–hoooy!"
Rin buru-buru mengejar Kaito yang sudah enyah duluan dari tempat itu tanpa dia sadari.
"Apa maksudnya ini, Kuso Jiji?!" Kaito menggebrak meja tanda dia tidak setuju dengan apa yang baru saja dikatakan ayahnya. Apa dia tidak salah dengar?!
Baru saja ayahnya itu mengatakan kalau Rin Kagamine akan tinggal di rumahnya karena suatu alasan. Ayah dari gadis itu adalah teman dekatnya ayah Kaito. Akibat suatu urusan, keluarga Kagamine harus pergi dari kota tempatnya menetap sedangkan Rin bersikeras ingin bersekolah di sana sehingga hal seperti ini terjadi; Rin Kagamine akan satu atap dengan keluarga Yakuza Shion dimulai dari hari ini. Dengan kata lain, keluarga Kagamine menitipkan anak gadis mereka pada keluarga Yakuza yang paling ternama se-kota Crypton.
"Bukankah ini sudah jelas?!" kata ayah Kaito sambil menopang dagu, "Kau itu kalau masalah yang seperti ini memang tidak mau mengerti ya."
"Jelas saja aku tidak mau mengerti! Aku tidak terima kalau bocah ini tinggal serumah denganku!" balas Kaito.
Para anggota Yakuza yang ada di sana pun hanya bisa menonton perdebatan itu dalam diam karena takut melakukan hal yang salah jika berusaha melerai atau pun menengahi. Padahal badan mereka besar-besar dan tinggi. Rin sampai tak bisa berkata-kata melihat rasa hormat mereka terhadap dua orang yang sedang berdebat itu.
"Kau harus mengusir anak domba ini sekarang juga!" seru Kaito sambil menunjuk Rin.
"Anak dom–!" Rin berusaha meredam amarah yang tiba-tiba saja bergejolak dalam dadanya.
Meskipun kelihatan tenang, tapi saat dipanggil dengan sebutan yang buruk semisal 'anak domba', gadis itu lumayan berasap juga lho, tapi tetap saja Kaito tidak peduli. Pokoknya dia tetap tidak terima! Kenapa harus ada orang asing yang tinggal satu atap dengannya, bersebelahan kamar pula?!
"Ehm!" ayah Kaito yang suka dipanggil Bossu itu berdehem keras, "Kaito! Pelankan suaramu! Dia itu anak temanku tahu!" bisiknya.
"Peduli amat!" dengus Kaito, "Pokoknya, anak ini harus enyah dari rumahku!"
"Oy, oy," Bossu memulai ceramahnya, "Rumah ini memang kau sendiri yang beli, tapi setidaknya aku yang membayar semua peralatan rumah dan juga sekolahmu. Jadi anggaplah aku ambil bagian sedikit."
"Berisik Kuso Jiji! Kalau anak domba ini tidak mau keluar, aku yang akan mendepaknya!"
Rin ber-eh ria. Tunggu! Tunggu! Tunggu! Rumah ini adalah rumah yang dibeli sendiri oleh anak berandalan itu?! Eeeeeeh?! Kenapa anak berandalan semacam dia bisa melakukannya?! Batin Rin. Apalagi rumah itu terlihat sangat mewah dan megah. Uang milyaran pun sepertinya tidak akan cukup untuk membelinya!
"Ano..." Rin mengangkat tangannya untuk bertanya, "Kalau boleh tahu, kenapa dia bisa membeli rumah sebagus ini seorang diri?"
"Ooh, kau tidak tahu ya? Meskipun berandalan, tapi dia ini jenius. Ini dia dapatkan dari prestasi-prestasi yang pernah disandangnya," kata Bossu sambil menepuk-nepuk punggung Kaito. Semua orang yang ada di sana langsung bertepuk tangan bangga.
"Berisik kalian!" bentak Kaito, galak. Semua orang langsung terdiam.
"Dan kau, bocah cebol! Pulang sana!" seru Kaito sambil menunjuk Rin dan pintu secara bergantian.
Bletak!
"Sudah kubilang pelankan suaramu!" seru Bossu sambil memegang sebuah tongkat yang dipakainya memukul kepala Kaito tadi.
"Berisik kau Kuso Jiji!"
"Sampai kapan kau akan berhenti bersikap kekanak-kanakan?!"
"Sampai kapan kau akan memperlakukanku seperti bocah?!"
"Sudah tentu sampai kau bertingkah dewasa 'kan?!"
"Aku sudah bertingkah sedewasa ini juga kau tidak melihatnya ya, Kuso Jiji?!"
"Waaa..." Rin berdecak kagum melihat sebuah potret seorang wanita yang sangat anggun dan cantik yang dipajang di atas dinding dekat pintu masuk.
"Foto siapa ini?" tanya Rin pada salah satu anggota Yakuza yang berada paling dekat dengannya.
"Itu adalah foto Ibunya Kaito-sama–" perkataan orang itu terpotong karena Kaito sudah mendumel duluan.
"Oi! Siapa yang mengijinkanmu menjamah rumahku seenaknya–"
Bletak!
Lagi-lagi Bossu memukul kepala Kaito dengan tongkat. Akhirnya, amarah Kaito sudah sangat mencapai puncak. Hal itu langsung membuat para Yakuza bergidig di tempat.
"Dasar..." Kaito mengepalkan tangannya kuat-kuat, "KUSO JIJI~!"
"BOOOOOOOOSSUUUUU...!" seru semuanya dengan panik.
"Aah... kuso!" Kaito memegangi pipinya yang biru lebam terkena pukulan tongkat ayahnya sesaat setelah anak itu memukul wajah orang tua itu dengan kuat.
Anak itu berbaring di teras depan rumah dengan pikiran kosong hingga tiba-tiba Rin datang ke arahnya sambil membawa sebuah mangkuk berisi selembar kain dan potongan-potongan es balok.
Kaito hanya mendengus, lalu membalikkan badannya memunggungi Rin. Dia bisa mendengar desahan napas si gadis dari belakang.
"Kau itu berani sekali," komentarnya, "Masa' memukul wajah ayahmu sendiri tanpa beban seperti itu?"
"Berisik! Pergi sana, dasar anak domba!" suruh Kaito sambil menutup matanya.
Tanpa disangka-sangka, Rin bukannya marah, tapi malah mengambil tangan Kaito yang merah akibat pukulan tadi, lalu mengelapnya dengan kain dingin secara perlahan.
Lagi. Ini adalah pertama kali ada seseorang yang mengobati lukanya. Pertama kali 'di usianya yang beranjak dewasa', setelah seseorang pernah melakukannya dulu. Saat orang itu masih ada. Saat Kaito masih kecil. Perasaan seperti ini seperti nostalgia saja.
Kaito buru-buru menarik lengannya dari Rin setelah menyadari apa yang terjadi. Lagi-lagi anak itu mendengar desahan napas si gadis.
"Hora! Kalau tidak segera diobati, nanti wajahmu bisa bertambah jelek lho..." kata Rin yang langsung sukses membuat Kaito bangun dan berbalik ke arahnya. Saat sedang begitu–
Tep!
Rin menempelkan kain berisi es-es balok itu ke pipi kanan Kaito yang lebam. Spontan Kaito terdiam. Gadis itu tersenyum lembut.
"Mulai sekarang, jangan memaksakan diri..." katanya, "Kalau memang sakit, jangan dibiarkan saja."
"..."
"Aduh, kenapa pipi kirimu juga lebam? Ini gawat sekali..."
Kaito hanya terdiam memandangi wajah gadis itu.
Ah... hari yang benar-benar aneh.
Hari ini, dia sudah bertemu dengan dua sosok gadis yang sama-sama memiliki dua wajah. Di satu sisi, mereka kasar sekasar beruang yang sedang lapar. Tapi di sisi lain, mereka lembut selembut beruang pada anaknya. Lebih aneh lagi, Kaito sudah benar-benar melihat kedua sisi itu baik dari Rin, maupun Miku.
Lalu yang paling aneh dari kejadian-kejadian abstrak ini adalah keduanya bersikap seolah-olah mereka sudah mengetahui siapa itu Kaito Shion.
Sebenarnya... apa yang sudah terjadi?
Chapter One's finished.
By Itachannio
Readers di mana pun anda berada, review cerita Tiga "M" ini ditunggu ya!
Next Chapter
Tak Pernahkah Kau Merasakan Cinta?
