Hati yang Baik dan Tubuh Terbang

Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama

Genre : Romance/Supernatural.

WARN : AU, OOC, Typos, etc!

Chapter 1 : Petra Rall.

.

.

.

Petra melakukannya secara tidak sengaja di umur tujuh tahun. Saat ibu asuhnya menyuruh untuk tidur siang, tapi ia bersikeras main bersama Nanaba. Mata karamelnya tertutup rapat dengan dahi berkerut – menahan marah. Berguling kesana kemari hingga akhirnya berlari juga ke luar kamar.

Gadis cilik itu mengetok pintu penuh semangat, "Nanaba-nee!"

"Ya?" sahut Nanaba sambil membuka pintu.

"Ayo main lagi!"

Raut wajah Nanaba berubah horor. "Pe-petra? Dimana kau?"

"Eh?" Padahal Petra sangat yakin ia sedang berdiri di depan Nanaba.

Semenjak hari itu Petra tahu bahwa dirinya bisa pergi kemanapun tanpa membawa tubuhnya. Nanaba pun langsung memberitahu ibu asuh mereka, seperti saat pertama kalinya Petra berbicara sendiri di kolam belakang. Padahal, Petra dengan jujur mengatakan kalau dirinya saat itu sedang berbicara dengan tante-tante berbadan ular yang unik. Si ibu asuh pun mahfum mendengarnya, ia mempercayai hal-hal supernatural. Jadi, Nanaba mulai diarahkan untuk terus mendampingi Petra.

"Kondisi Petra itu istimewa, Nanaba-chan. Jadi, jangan takut. Aku akan membantumu, ya?"

Nanaba mengangguk.

Hari-hari selanjutnya Nanaba mulai terbiasa. Ibu asuh mereka lalu mendatangkan ahli untuk mengarahkan Petra pula. Si ahli mengatakan pada Petra kalau ia tidak boleh terus-terusan meninggalkan tubuhnya, juga tidak boleh bersentuhan atau kontak fisik lainnya dengan ruh halus atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi, setiap anak tentu punya rasa penasaran. Sayang rasa ingin tahu Petra akan hal itu selalu berakhir buruk.

Petra pernah meninggalkan tubuhnya selama setengah hari dan susah untuk kembali akhirnya. Ia juga pernah bersentuhan dengan ruh lain yang membuat tubuhnya sakit berhari-hari. Untung si ahli bisa mengatasinya, tanpa perlu diomeli oleh Nanaba dan ibu asuhnya pun Petra kapok hingga dewasa. Tapi, bukan berarti ia jadi tidak suka memiliki kemampuan supernatural tersebut. Malah Petra semakin bijak dalam menggunakan kelebihannya.

Seperti untuk menonton konser secara gratis.

Seumur hidupnya hanya dua hal yang disukai oleh Petra, yaitu kemampuan supernaturalnyanya dan band rock NO NAME. Apalagi jika disatukan yang berarti menonton konser band NO NAME dengan kemampuan supernaturalnya. Gratis dan Petra bisa memilih posisi paling depan tanpa ketahuan. Bahkan, naik panggung sekalipun untuk membuntuti sang vokalis yang paling disukainya itu bernyanyi merdu. Kalian semua boleh iri.

Tapi, Petra lebih berhak untuk iri kepada kebanyakan orang karena kehidupannya yang miris.

Sejak bayi Petra sudah hidup di panti asuhan, harus banting tulang begitu dewasa untuk memenuhi kebutuhan dengan bekerja di sebuah Pub. Meracik minuman sebagai bartender tidak lah cukup untuknya yang sekarang juga sedang kuliah. Walaupun, tercatat sebagai penerima beasiswa, para sponsor hanya memberi jatah sebesar lima puluh juta setiap semester. Itu tidak termasuk biaya praktik di jurusan kedokteran yang jumlahnya lima belas juta sendiri. Jangan lupa biaya hidup lain yang mesti Petra penuhi seperti urusan perut. Ah, satu hal lagi. Sebenarnya dia tidak mengatakan jujur soal bartender. Petra hanya mengatakan kalau kerja sambilan seperti mahasiswa kebanyakan.

Dan tepat hari ini, tinggal tersisa dua hari lagi sebelum tenggat pembayaran tagihan praktik. Sedangkan gajinya dua bulan bisa dibilang pas-pasan. Kerja paruh waktu pun sudah tidak mungkin, jadwal kerja Petra tidak se-senggang itudi ROSE.

Petra menghela napas "Aku butuh angin segar."

Nanaba melirik tanpa suara, masih dengan acara mengeringkan gelas wine.

"Aku akan menemui Tuan Keith sebentar, Nanaba-nee." Kata Petra lalu meletakkan gelas yang ditangannya dan berderap pergi.

"Tunggu, Petra." Nanaba menginterupsi langkah Petra, membuat gadis yang dianggapnya seperti adik sendiri itu berputar balik. "Ada apa? Tidak-kah kau ingin bercerita padaku?" tanyanya dengan suara tenang seperti biasa.

Seulas senyum kecil menghiasi wajah Petra dalam hitungan detik. Dia paham Nanaba sedang khawatir dengan dirinya. Seharian ini di jam istirahat memang dihabiskan Petra untuk diam berpikir dibanding berbicara dengan yang lain. "Terima kasih telah khawatir padaku, tapi aku hanya.. pusing karena jadwal kuliah." Petra menyegir, "Jadi, aku mau minta izin untuk menonton konser NO NAME besok."

"Sungguh?"

Petra memeluk Nanaba sekali, "Aku baik-baik saja, Nee-chan. Tenang saja."

"Kau bisa bicara denganku kapan saja, Adik kecil."

Petra mengangguk.

Gadis cokelat madu itu menghembuskan napas di depan pintu ruangan Keith Shadis. Lima tahun bekerja di sebuah Pub bernama 'ROSE' ini, selama itu pula dirinya sulit meminta izin untuk cuti. Padahal, pekerja lainnya cukup bertemu dengan Nifa – sekertaris Keith Shadis – dan mereka boleh cuti. Sayangnya tidak dengan Petra, katanya Tuan Keith sangat sayang dengan dirinya. Sungguh sayang hingga jika Petra menodong untuk sebongkah uang pun Tuan Keith akan kasih dengan senang hati. Katanya ia suka melihat pegawai wanita yang cerdas dan berhati lembut seperti Petra. Bahkan, beliau tidak keberatan jika Petra ingin menjadi anaknya.

Tapi, bukan tabiat Petra untuk berhutang sesuatu. Dia sudah cukup kelabakan untuk membayar hutang kebaikan kepada ibu asuhnya dulu yang sepertinya tidak akan terbayar pula.

"Ehem," Petra mengetes bagaimana suaranya terdengar. Setelah merasa baik, ia mengetuk pintu "Permisi, Tuan. Ini aku, Petra." Katanya lantang.

"Oh.. Masuklah, Petra!" Balas Keith dari dalam. Pria botak itu lalu mengadah begitu pegawai kesayangannya itu menapaki ruangan. "Ada apa? Kau butuh sesuatu?"

Petra mengangguk.

"Katakanlah Petra, kudengar kau sebentar lagi ada praktik di kampus. Berapa nominal yang harus dibayar? Kau tidak perlu sungkan padaku. Semua bisa diurus."

Seketika Petra menyesal pernah curhat pada Nifa soal kuliahnya. "Benar, Tuan. Tapi, bukan uang yang kuinginkan." Ungkapnya sedikit berbohong. Ia memang butuh uang, tapi bukan hasil pinjaman dari Keith.

"Jadi, apa itu? Beritahu aku, apapun. Asal bukan hari cuti karena besok hari sabtu, Nak. Tempat kita akan ramai pengunjung yang butuh minuman segar. Selain itu, ada tamu penting yang akan berkunjung. Aku sangat butuh racikanmu besok."

"Maafkan aku, Tuan. Tapi aku sangat – "

"Demi kerang, Petra!" Keith memukul meja kerja lumayan keras. Petra tersentak di tempatnya. "Alasan apa lagi yang akan kau katakan padaku, hah? Aku akan mengurungmu sekarang juga jika tidak penting!"

Petra meringis tertahan. "Maaf, tapi aku harus.. ehm, aku sedang tidak bisa fokus bekerja, Tuan."

"Apa katamu?!"

"Sekali lagi maafkan aku, Tuan," Petra tertunduk dalam tanda menyesal. "Tapi, akan lebih buruk jika besok aku memaksakan diri untuk menghidangkan segelas minuman pun dan membuat tamu Tuan kecewa."

"Omong kosong kau, Petra! Aku tahu betul kemampuanmu – "

"Keith!" pintu mendadak terbuka lebar. Nanaba dengan berani menginterupsi atasannya dan masuk ke dalam ruangan. "Berikan dia cuti. Aku akan menjamin besok adalah cuti terakhirnya tahun ini." ucapnya gentar walaupun Keith sedang kalap.

Keith Shadis melotot, "Beraninya kau berkata seperti itu, Nanaba!?"

"Bukankah karena keberanianku juga aku bisa bekerja di sini?" suara Nanaba masih terdengar tenang.

Sang pemilik pub berdecih. Selain Petra, Nanaba adalah bawahan yang juga ia favoritkan. Dedikasinya tinggi dan kemampuan manajemennya sangat baik dengan sikap tenang terkendali, banyak membantu jika Nifa harus pergi keluar mengurus sesuatu. "Baiklah.. Baiklah! Tapi, akan kupegang kata-katamu itu, Nanaba. Awas jika kau – "

"Ya, ya, ya, lakukan apapun sesukamu, Pak Tua Botak." Nanaba seraya mengibaskan tangan, lalu beralih pada Petra. "Dengar? Aku sudah bertaruh demi kau, adik kecil. Jangan buat aku kecewa, gunakan dua puluh empat jam itu dengan bijak."

Petra mengangguk sambil tersenyum lebar.

.

.

.

Telinga Petra disumpal ear phone, mendengarkan lirik-lirik yang terkenal 'sakit' milik NO NAME. Band rock kesayangannnya itu beranggotakan tiga orang, terdiri dari vokalis berinisial R, gitaris dengan sebutan Si Kacamata, dan drummer bercode name Scentist. Mereka selalu tampil misterius dengan perban melilit di kepala menutupi mata. Entah bagaimana caranya mereka melihat tidak lah penting bagi Petra. Ia sudah terlanjur jatuh hati dengan NO NAME.

R adalah alasan utamanya Petra bisa jatuh hati. Suara R dianggap Petra seperti hal magis paling kuat. Pada lagu yang menyiratkan sakit hati dan kesedihan, vokal R akan terdengar begitu mendalam. Selalu tepat menyampaikan rasa walau itu hanyalah gumam. Sedangkan, pada lagu yang menyiratkan amarah dan kekecewaan, vokal R akan terdengar begitu gahar. Bahkan, membakar telinga manapun yang mendengar. Setiap seruannya dapat menyulut api, hingga pernah keluar larangan pemerintah untuk diperdengarkan karena lirik-lirik R yang tajam – mengkritik kinerja pemerintah yang tidak becus. Pun dengan instrumen musiknya yang mampu menggerakkan ribuan tubuh manusia sesuai keinginan – seperti demonstrasi.

Diantara banyaknya lagu NO NAME, Petra paling suka Kau. Lagu tersebut menceritakan kehidupan seseorang di dunia yang serba gelap dengan takdir buruk paling sial. Konon Kau sangat menggambarkan R, dia sendiri yang mengaku. Menurut gosip yang beredar, R adalah seseorang yang berasal dari kota Underground. Di sana memang terkenal sebagai sarangnya shadow economy – istilah untuk black market, pencucian uang, narkoba, penyelundupan, dan lain-lain. Banyak preman bayaran bermarkas di Underground. Wilayahnya pun sesuai artinya, di bawah tanah. Tapi sekali lagi, itu bukan hal penting bagi Petra. Malah ia jatuh hati pada lirik-liriknya yang kaya akan perasaan. Marah, kecewa, sedih, jijik, senang, cinta, takut dan ambisi. Seolah-olah R sedang mencurahkan isi hatinya dalam Kau dan Petra paham.

"Oh!" Petra mengetuk layar ponselnya begitu mendapat notifikasi dari akun outsagram official NO NAME. Diumumkan pembaruan jadwal konser untuk wilayah selanjutnya. Si gadis cokelat madu menandai ibukota Maria sebagai tempat konser yang akan dia tonton besok. Field Maria, pukul lima waktu setempat.

Petra semakin tidak sabar, ia pun langsung lupa masalah uang.

.

.

.

Apartemen kecil itu telah diatur sedemikian rupa supaya nyaman dan aman. Petra menatap sekeliling, oke semuanya beres. Dengan mengenakan kaos bertulisan NO NAME satu ukuran lebih besar dari tubuhnya, Petra meloncat ke kasur. Menempatkan diri di posisi terbaik. Sepasang manik karamel tertutup bersamaan dengan hembusan napas, lalu semudah itu sosok Petra yang lebih terawang muncul dari tubuhnya. Tersenyum puas. Sisanya tinggal menempuh jarak puluhan kilometer dalam hitungan detik ke Field Maria. Sudah pukul lima tepat.

Ruh Petra melesat secepat kilat.

Ini kali ketiga Petra menonton konser NO NAME, dengan wujud ruh tentu saja. Pertama dua tahun yang lalu, saat malam kedua ia lulus dari sekolah menegah pertama. Kedua, setahun yang lalu saat Petra lulus bangku menengah atas. Sayang semuanya sampai nyaris lupa waktu, sehingga akibatnya tubuh Petra linglung tidak bisa dikendalikan sesuai dengan ruhnya. Euforia karena band NO NAME memang luar biasa hingga detik terakhir konser. Tapi, Petra tidak boleh lengah kali ini. Lalai barang sedetik saja, Nanaba akan terancam karenanya.

Wajah cantik Petra tertekuk melihat ratusan fans yang mengantre demi tanda tangan di merchandise NO NAME mereka masing-masing. Di depan terlihat Scentist dan Si Kacamata tengah sibuk melayani dengan ramah – lengkap memakai perbannya. Tidak terlihat dimana R, satu kursi kosong di kanan Si Kacamata. Mungkin toilet? Entahlah, R tidak memang tidak selalu hadir dalam acara di luar panggung.

Kurang dari sepuluh menit personil NO NAME lalu meninggalkan tempat jumpa fans. Mereka harus bersiap, tersisa lima belas menit lagi sebelum Field Maria diguncang hebat oleh musik yang 'sakit'. Sementara fans lainnya berebut tempat – khususnya yang berdiri di stage terdepan – Petra kalem, terbang kesana-kemari dengan wujud ruhnya untuk melihat keseluruhan stage. Memindai lokasi paling strategis. Ia akan berada sejajar dengan tim pengaman yang menjadi pembatas antara panggung dan area penonton.

Large and clear.

Kaca visual besar telah aktif di panggung dengan tulisan 'NO NAME', begitu pula backsound yang berasal dari speaker jumbo di penjuru stage. Seluruh fans sontak menggila walau acara belum dimulai. Mereka meneriaki sang idola berkali-kali seraya bertepuk tangan. Petra ikut serta, tidak peduli dirinya dalam wujud tak kasat mata. Teriakan-teriakan itu semakin mendesak NO NAME di balik panggung. Makian kasar seperti dalam lirik ciptaan R mulai mengudara, hingga akhirnya banyak kembang api memancar ke atas. R telah berdiri dibalik kepulan asap kemudian. Puluhan pasang mata melebar. Terkejut.

"TERUS BERTERIAK, FIELD MARIA! DISINI NO NAME!"

Bisa ditebak bagaimana kehebohan di detik berikutnya.

.

.

.

Total sudah delapan belas lagu yang dimainkan NO NAME malam itu, baik dari album terbaru maupun lama. Tidak ada kerusuhan yang terjadi. Semua headbang bersama, mengacungkan tangan, bernyanyi dan berlompatan hingga lupa yang namanya rasa lelah. Petra bahkan sempat menjerit gila begitu R melakukan scream tepat di depannya. Walau yang terlihat sesungguhnya adalah R berpijak sebelah kaki pada bangku kecil di ujung depan panggung, melakukan scream jauh dari siapapun. Petra yakin sudah pingsan kalau wujudnya saat itu adalah manusia.

R mengangkat tangan "Kami akan mengambil rehat sejenak sebelum dua lagu terakhir." Katanya mengundang berbagai reaksi dari penonton.

Petra lebih menyayangkan karena tersisa dua lagu lagi dibanding mereka harus rehat.

"Tapi, kami rehat untuk berbincang dengan kalian." Scentist telah meletakkan gitarnya dan ikut berdiri bersama R. Penonton bersorak senang. "Bukan begitu, R?"

R mengangguk.

Si Kacamata menyusul begitu selesai menengguk habis satu botol air mineral. Dia bahkan berlari kegirangan sambil melambaikan tangan ke segala arah untuk menyusul R dan Scentist. "Hello, Field Mariaaa~!" sapanya keras. Penonton pun balas berteriak.

"Langsung saja, pertama-tama kami akan membahas album terbaru dan – "

Percakapan menyenangkan terus berlanjut tiga puluh menit kemudian. Sesekali Si Kacamata melawak, R menimpali dengan sadis, dan Scentist menengahi keduanya. Ada juga sesi tanya jawab, tapi hanya pertanyaan yang dinilai aman untuk dijawab. Seperti makna lagu tertentu atau artis band mana saja yang terlibat untuk kolaborasi di album terbaru. Padahal, terlalu banyak isu mengenai band NO NAME dari setiap anggotanya. Si Kacamata yang tidak diketahui apa jenis kelaminnya, Scentist yang katanya pecandu narkoba dan alkohol, juga R yang orientasi seksualnya – katanya – adalah gay.

Petra sendiri sangat ingin tahu yang terakhir, soal R.

"Yah, ide kolaborasi dengan Red Venus tidak buruk menurutku." R menjawab pertanyaan apabila NO NAME harus berkolaborasi dengan penyanyi duo wanita seksi jebolan tempat hiburan malam itu. "Suara mereka cocok untuk lagu bertema prostitusi atau sesuatu tentang gairah."

Fans laki-laki bersemangat, fans perempuan menggerutu.

"Tapi, entah kenapa akhir-akhir ini aku kepikiran untuk membuat lagu tentang LGBT." Seketika para fans hening mendengar pernyataan R. "Aku suka membuat lirik dengan yang memiliki unsur pelik di dalamnya. Disamping itu tema LGBT sedang booming kan?"

"Hooo.. Curhat colongan maksudmu, R?"

R hanya menoleh ke arah Si Kacamata. Tidak ada gerak-gerik lainnya.

Petra menggigit bibir bawahnya, kecewa berat. Gosip gay memang tidak pernah ditepis oleh R. Pihak agensi band NO NAME pun mengaku kalau R tidak pernah memberi klarifikasi soal hal tersebut pada mereka. Tidak ada pula aturan yang menyebutkan, jika seorang musisi adalah seorang gay atau lesbi lantas tidak boleh berkarya. Kalau begini sih tinggal soal waktu kapan R akan mengaku.

"Oke. Hal yang perlu kalian ketahui adalah selera R benar-benar unik dalam hal apapun." Scentist memainkan peran penengahnya. "Aku bisa mengetahuinya hanya dengan sekali lihat."

Si kacamata justru tertawa, "Ayolah, kenapa raut wajah kalian jadi seram begitu R bicara soal LGBT? Lagipula, R selalu curhat colongan di setiap lirik sakitnya. Iya kan, R?"

"Terserah saja, Kacamata. Aku lebih suka mereka mendengarkan lagu NO NAME dibanding mengurusi orientasiku." seketika R memukul telak ribuan penggosip. Seolah tidak peduli ia kembali melanjutkan konser, "Lagu selanjutnya Kau dan Pekat. Kami akan membawakannya secara akustik."

Penonton riuh bertepuk tangan. Penampilan akustik NO NAME selalu sukses mengundang tangis dan haru. Peralatan telah siap dalam waktu kurang dari lima menit, R kini memainkan gitar menggantikan Scentist yang memegang piano dan harmonika. Si kacamata memainkan cajon dan bellyra sekaligus. Dua lagu bermakna dalam itu lalu mengudara merdu.

Di akhir konser NO NAME menghadiahkan satu request lagu bebas kepada fans, jadi dua puluh satu lagu yang dimainkan. Hanya lebih satu lagu, tapi penonton benar-benar senang bukan kepalang. Lagu Para Pemburu yang menghentak pun benar-benar mengguncang Field Maria hingga detik terakhir.

.

.

.

Petra seolah-olah ikut ditinju keras oleh R barusan, tapi karena itu juga dia nekat membuntuti NO NAME hingga ke back stage. Baru kali ini dia begitu nekat. Pasti Si Kacamata akan mengatakan sesuatu atau R akan meneriakinya. Apapun yang akan didengar Petra, ia telah memantapkan hati sebagai salah satu fansgirl. R adalah sosok idola di industri musik dan orientasi seksual tidak ada hubungannya dengan musik. Titik.

Anggap saja begitu jika hasilnya mengecewakan.

Personil NO NAME tidak melepas lilitan perban walaupun orang-orang di back stage sangat menjamin kerahasiaan identitas mereka. Pun tidak ada percakapan yang berarti, hanya ucapan 'terima kasih atas kerja kerasnya' pada kru lain. Sejak awal kemunculannya, perban yang dililit sebatas batang hidung itu memang sudah menjadi simbol untuk band tersebut. Mereka beralasan tidak ingin karir dan kehidupan pribadi sampai terganggu. Tapi, NO NAME menyatakan kalau suatu saat identitas mereka sampai terbongkar, maka NO NAME tetap tampil dengan perban melilit kepala. Membuat para wartawan semakin gemas.

Riuh penonton masih terdengar dari star room. Si Kacamata langsung menghempaskan diri ke sofa panjang, sedangkan Scentist melepas langsung perbannya ketika pintu terkunci. Petra memekik kecil begitu melihat wajah Scentist. Hidung mancung, alis tipis dan lekuk mata yang tajam.

'Dia sangat manly!'

"Lebih suka mereka mendengarkan lagu NO NAME, ya? Kau benar-benar berhasil memukul mereka, Levi." ucap Scentist yang membuat Petra langsung menoleh cepat pada R. Jadi, nama aslinya Levi!

"Kau benar, Mike!" Si kacamata sudah melepas separuh lilitan perban, matanya berwarna marun gelap. Petra menandai dua hal penting, nama asli Scentist adalah Mike dan Si Kacamata lebih terlihat seperti wanita. Lalu Si Kacamata menambahkan, "Dan wajah mereka benar-benar lucu begitu dipukul. Hahaha.."

Levi atau R hanya mendengus di tempatnya duduk, masih dengan lilitan perban yang sempurna.

"Masih tidak tenang juga?" tanya Mike.

"Dia masih terlalu galau ditinggal Eren."

"Itu sudah satu tahun yang lalu, Hange."

"Tapi, kemarin Eren sudah menikah dengan Mikasa. Kau tidak tahu ya?"

Oke, sinyal buruk bagi Petra. Eren jelas nama seorang laki-laki. Levi sungguhan gay – walaupun telah ditinggal kekasihnya menikah dengan seorang wanita bernama Mikasa. Selain itu Petra juga menandai hal baru lagi tentang Si Kacamata. Namanya Hange dan dia memang menggunakan kacamata jika perban sudah dilepas. Namun, Petra sontak naik ke langit-langit begitu sadar Mike mendekat ke arahnya dengan hidung seperti anjing pelacak.

"Aku seperti mencium sesuatu di sini, tapi sekarang rasanya sudah naik ke atas." Ungkap Mike.

Jantung Petra serasa berdetak lebih cepat. Satu hal lain yang ditandai dari Mike atau Scentist, dia bisa mencium aroma mistis. Astaga! Untung saja dia tidak bisa melihatku!?

"Lupakan, Mike." Levi lalu menyambar sebuah berkas di meja dan melemparkannya pada dua anggota NO NAME. "Flagon meminta kita tandatangani di sini. Mereka memperbarui sistem kontraknya."

Mike ambil posisi duduk yang nyaman di depan kaca rias, "Apa itu buruk untuk NO NAME?"

"Kalian bisa baca. Aku butuh toilet, sebentar."

Si kacamata seketika tergelak "Apa? Jadi kau sekarang juga butuh toilet, Levi?! Hahaha.."

Levi tidak menanggapi, lalu beranjak keluar dari ruangan. Petra buru-buru mengikuti.

.

.

.

Levi tidak ke toilet, dia berdiam diri di jembatan yang melintasi sungai dekat Field Maria. Perban yang melilit wajah dibiarkan tertiup angin malam hingga ujungnya mulai terlepas. Waktu yang dimiliki Petra pun semakin tipis, tapi gadis dengan sosok ruh itu tidak juga beranjak dari punggung Levi. Ditinggal seseorang yang pernah mengisi hati memang selalu menyakitkan untuk siapapun.

Aku harus kembali, tapi bagaimana jika dia melakukan sesuatu yang buruk? Apa yang bisa kulakukan?

Sepuluh menit. Dua puluh menit kemudian. Levi beranjak dari tempatnya, melepas simbol NO NAME dari kepala. Petra tidak merasa harus memekik akan pesona sepasang manik obsidian itu karena di sana hanya terlihat perih sekarang. Namun, apa yang dilakukan Levi kemudian membuat Petra panik seketika. Laki-laki itu naik ke atas pagar pembatas dan lompat ke dasar sungai yang cetek. Bunuh diri.

"LEVI!"

Petra melesat kurang dari sedetik ke arah Levi, tapi seketika ia merasakan sakit dan perasaan terlempar jauh begitu menyentuh sosok idola. Sedangkan di tempat itu hanya tersisa helaian perban yang jatuh terbawa arus sungai.

.

.

.

-BERSAMBUNG-

A/N : Hallo! Aku kembali lagi dengan ff rivetra~ Yuhuu! ^^ *melambai-lambai kayak dari atas kapal (yang sesungguhnya sudah karam)* Apa kabar kawan satu kapalku? Kecewa aku tidak pernah publish ff rivetra lagi? Sekarang tenang sajaa~ Aku juga udah punya outline lengkap buat judul ini. Ehehehe. Jadi, tinggal mohon dukungan dan doanya semoga bisa dituntaskan. Yah, biar enggak yakin cepet sih soalnya masalah RL terlalu serius untuk ditinggalkan. LOL. Oiya, soal judul ff ini sebenernya belum begitu cocok sampai dipublish (gak sabaran sih), jadi harap maklum kalau misal di tengah-tengah ada perubahan judul ya? Atau sebenernya gak perlu? Kalian bisa bilang ke aku lewat review~ ehe.

Yap! Kalau begitu, terima kasih sudah mampir dan membaca yaa. ^^ Semisal punya kritik, komentar dan saran buatku SANGAT BISA disampaikan melalui kotak review yaa~ Aku sangat menghargai segala bentuk balasan kok! Tehee~ (terus ditabok bagian inner yang lain karena udah maksa orang).

Will you meet me on next chapter?