My Destiny

.

.

Genderswitch Fanfiction!

.

Humor Romantic?

.

Di sini pemain wanita mendapatkan perubahan nama sesuai kebutuhan cerita.

Cho Kyuhyun - Kyunnie Watanabe

Kim Heechul - Kim Heenim

Kim Jaejoong - Kim Joongie

Kim Junsu - Kim Suie

Summary :

Kyunnie Watanabe, perempuan muda asal Jepang yang harus menerima kenyataan bahwa niat mulianya tidak akan bisa terlaksana lagi. Ia harus memulai kehidupannya sendiri dengan status sebagai 'Mantan Relawan'

Sedangkan di negara lain, bagai koin yang memiliki dua sisi yang berbeda, seorang superstar mencoba menuju puncak kehidupannya.

Takdir seperti apa yang akan mengiringi kehidupan mereka selanjutnya?

.

.

"Bukankah Aihara sudah melarangmu?"

"Ha'i.. Tapi aku yakin seiring berjalannya waktu, kaa-san pasti akan memberiku ijin"

Pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih itu menghela nafas, pandangan matanya ia fokuskan untuk menatap perempuan muda yang memakai jaket hijau dihadapannya kini.

"Nak, paman tahu apa yang kau rasakan. Kau tidak ingin ada seseorang yang menghalangi niat tulusmu, dan kau juga merasa bahwa yang kau lakukan selama dua tahun kemarin bukanlah suatu apa-apa"

Kepala perempuan itu mengangguk. Rambut kemerahan sebahunya semakin berantakan kala angin pantai berhembus dengan kencang. Dingin dan sedikit menakutkan berada di pinggiran pantai pada malam hari. Namun tekad sekuat bajanya sudah kokoh berdiri. Bahkan ia juga menutup mata atas semua ocehan yang mencoba menghalangi niat mulianya.

"Tapi Nak, kali ini paman tidak akan mengijinkanmu" Pria yang menyebut dirinya paman itu kembali berucap, kali ini dengan nada suara tegas yang membuat perempuan tersebut menautkan kedua alisnya, bertanya-tanya.

"Kenapa Paman? Apa paman takut kalau kaa-san akan membenci paman lagi? Aku berjanji akan membuat kaa-san memberiku ijin" tutur sang perempuan. Sorot matanya menatap penuh harap. Sekali lagi, hatinya mengingatkan bahwa tekad yang dibuatnya sudah bulat. Rintangan apapun akan ia hadapi untuk meluluskan semua itu.

Walaupun itu, ibunya sendiri...

"Bukan masalah itu. Aku tidak masalah jika ibumu membenciku. Tapi sekarang, kau sudah semakin dewasa. Kini sudah saatnya kau untuk memikirkan dirimu sendiri. Kau bisa memulai bekerja, atau berpacaran, menikah lalu hidup dengan bahagia. Bukankah itu keinginan semua perempuan seumuranmu?!" jelas sang paman. Lewat mata lelahnya bisa ia lihat anak dari teman masa kecilnya itu menggeleng tak percaya.

"Tidak Paman! Ti...

Puk

Ia tepuk bahu sempit dihadapannya, mengisyaratkannya agar perempuan itu menghentikan ucapannya yang akan keluar.

"Maafkan paman Kyu.. Untuk kali ini, turutilah perintah kaa-sanmu" putusnya kemudian. Lalu dengan tas jinjingnya pria itu mulai melangkah menjauh.

Perempuan pemilik kulit tan itu menggeleng tak percaya. Tatapan nanarnya tertuju ke punggung lebar sang paman yang kini semakin jauh melangkah. Seseorang yang dianggapnya mampu menjadi batu loncatan dari keinginannya pergi begitu saja. Meninggalkannya dengan sebuah harapan kosong.

Tidak bisa dipercaya! Apa paman dan kaa-san bersekongkol?

Sedetik kemudian, sorot mata perempuan itu meredup. Ia buat gerakan acak dari kaki beralas sandal merah mudanya ke atas butiran pasir pantai. Tanpa suara tetes demi tetes air matanya jatuh perlahan.

Ini begitu sesak! Hiks...

Tangisannya semakin menjadi meski tanpa isakan. Begitu menyesakkan hati, hingga ia remas kuat-kuat baju pada bagian dadanya. Menutup mata sejenak namun membuka lagi dengan air mata yang langsung merebak keluar.

Sia-sia rasanya ia menunggu sang paman kembali dari tugasnya selama satu bulan. Karena ketika mereka bertemu, belum ada 30 menit mereka berbicara pamannya sudah..

Kenapa? Kenapa semua orang seolah mengekangku? Kenapa tidak ada yang mau membantuku?

Memikirkan hidupku sendiri?

Bagaimana bisa aku bersantai menjalankan hidup, disaat orang lain harus mengemis-ngemis untuk menghirup oksigen?

Batin perempuan itu menjerit putus asa. Hatinya kembali bertanya-tanya mengapa semua orang harus mengekang niat baiknya?

Apa salah jika ia ingin turun langsung membantu mereka yang masih jauh dari kata merdeka?

Apa itu sebuah tindakan yang salah?

Tapi tak lama, perempuan itu mengusap air matanya kasar.

Tidak! Niatku mulia! Bahkan tidak semua orang bisa sepertiku.

Ya dua tahun kemarin bukanlah apa-apa. Aku harus kembali menjadi lebih kuat untuk membantu mereka. Dan tidak ada yang bisa menghalangiku!

Entah darimana datangnya kekeras kepalaan yang terdengar begitu jelas itu. Sudah dapat dipastikan bahwa hatinya kini telah tertutup oleh sebuah tekad mulia yang mulai salah jalan.

Ia eratkan jaket yang melindunginya dari angin pantai di jam 11 malam ini. Dengan jejak air mata yang masih membekas di pipi, ia membalikkan badan, berjalan berlainan arah dengan jalan yang dilewati sang paman.

Sekali lagi, tak peduli apapun, keinginannya harus tetap terlaksana!

.

.

Chapter 1

.

(Secepat Kedipan Mata)

.

.

Pagi begitu cepat menghampiri. Pulau nelayan yang jauh dari hingar bingar ibukota Jepang ini begitu damai. Masyarakat yang saling menyapa ataupun para nelayan yang sibuk membongkar hasil tangkapan ikan mereka menjadi pemandangan biasa di sini.

Tidak akan kau temukan pemandangan di mana ratusan mobil memadati jalanan besar, yang ada hanya gang-gang kecil yang mengelilingi setiap rumah penduduk.

Pusat kotanya berada di sekitar pesisir pantai, karena di sana kau akan menemukan bank, sekolah, pertokoan, kantor dll. Sedangkan bila kau semakin jelajahi, kau bisa melihat pemukiman penduduk yang dihuni oleh sekitar 1145 jiwa. Dan semakin jauh mata melihat, ada hamparan bukit yang digarap menjadi lahan pertanian.

Lengkap! Semuanya ada dalam pulau seluas 4,5 km2 ini.

Ya, inilah Pulau Sugashima, yang berada di Prefektur Mie, Jepang.

.

.

.

Beginilah keadaan terkini Palestina. 3 orang menjadi korban meninggal dan sisanya sedang mendapatkan perawatan intensif dari palang merah internasional. Selain itu, bangunan-bangunan di seki...

Layar berukuran 24 inch yang sedang menayangkan siaran breaking news dari salah satu channel televisi Jepang seketika menghitam, kala seorang wanita paruh baya menekan tombol merah di alat elekronik tersebut.

"Kaa-san..."

Wanita yang setiap pagi berprofesi sebagai penjual ikan itu beranjak duduk di samping anaknya "Kyu-chan, memiliki rasa kemanusiaan memang sangat bagus dan kaa-san juga bangga kepadamu. Tapi Kyunnie, sekarang saatnya kau untuk memikirkan dirimu sendiri. Lagipula di luar sana masih banyak orang yang lebih muda darimu untuk melanjutkan misi itu" wanita itu berucap dengan lembut, memberi penjelasan yang sama yang setiap hari keluar dari mulutnya.

Perempuan muda berkulit tan namun kelahiran asli Jepang itu memutar bola matanya bosan. Harus berapa kali ia menjelaskan kepada ibunya.. "Kaa-san kita hidup cuma sekali. Bukankah lebih berguna jika kita bisa membantu sesama. Kyunnie hanya ingin seperti itu kaa-san. Tolong mengerti Kyunnie.." ia menatap dalam mata ibunya. Tak lupa juga tangannya mengelus tangan kasar wanita tersebut, berharap agar sang ibu bisa mengerti panggilan hatinya.Wajah keriput Aihara Watanabe mengeras mendengar jawaban Kyunnie.

Kenapa anaknya ini sangat keras kepala?

Tidak bisakah ia mengerti perasaannya sebagai seorang ibu?

"Tapi sudah cukup Kyu! Demi tuhan! Dua tahun bukan waktu yang singkat untukmu berada di sana!" Nada halus yang keluar dari mulut wanita tersebut berubah menjadi ungkapan putus asa.

Kyunnie menghela nafas, "Dua tahun itu sangat singkat Kaa-san. Lihat, sampai sekarang kita belum bisa merubah apapun terhadap peperangan yang terjadi di sana ataupun kemiskinan yang terjadi di Afrika.." Mata bulatnya mengembun membayangkan semua penderitaan yang pernah ia lihat sebelumnya.

"BERHENTILAH MEMBUAT KAA-SAN KHAWATIR KYU!" Teriak Aihara. Wanita itu bangun dari posisi duduknya. Dengan tajam dan mata memerah ia menatap sang anak yang masih bersila di atas karpet tipis ruang keluarga rumah mereka.

"Apa kau tahu, setiap hari Kaa-san selalu memikirkan keadaanmu di sana. Apa yang kau makan di sana? Apa kau bisa tidur? Apa kau kedinginan atau malah kepanasan? Saat bom meledak atau wabah penyebar menyebar kau ada di mana? Apa kau baik-baik saja? Apa kau terluka? Apa kau... ARGHT! SEMUA ITU MEMBUAT KAA-SAN GILA KYU!"

Emosi. Begitu tersirat dalam setiap bait perkataan Aihara. Nafas wanita itu memburu setelah mengungkapkan semua kegelisahan yang selama ini dipendam dalam hatinya. Perasaan gelisah yang begitu menyesakkan. Akibat selama dua tahun terakhir ini, ia selalu memikirkan keadaan Kyunnie yang ikut dalam sebuah misi kemanusiaan.

Tolong beritahu, ibu mana yang akan tenang jika anak perempuannya berada di negara konflik nan jauh di sana?

"Kaa-san, takdir mati kita telah diatur oleh tuhan. Dan buktinya sampai sekarang Kyu masih bisa berdiri di sini" balas Kyunnie enteng. Mendengar semua larangan ibunya, ia semakin kokoh untuk melewati segala rintangan ini.

Ya, hatinya sudah tertutup oleh tekad mulia yang semakin salah arah.

"Jika kaa-san takut aku ke Palestina lagi, aku bisa meminta untuk dikirim ke Afrika, atau Urk? Seperti dalam drama Descendents of The sun. Terdengar keren bukan? Aku akan menjadi tokoh nyata drama itu. fufufu~~" lanjut Kyunnie penuh canda. Ia juga membawa-bawa kisah drama Korea yang setahun belakangan ini mejadi buah bibir di masyarakat.

Aihara memejamkan matanya. Bagaimana bisa Kyunnie menganggap ringan semua ini? Jika Kyunnie sangat keras kepala, ia juga bisa menjadi seperti itu.

Palestina, Afrika, Urk atau dimanapun itu ia tidak akan lagi mengijinkan Kyunnie!

Kepalan tangan Aihara semakin bergetar kala melihat wajah anaknya yang terlihat biasa saja. Nafasnya terdengar semakin memburu, tanda ia sedang menahan gejolak amarahnya.

Plakk

Tak tertahan, amarahnya bertindak membawa tangannya untuk menampar pipi berisi sang anak.

Kyunnie membalikkan wajahnya, ia berdiri menatap sang ibu tak percaya. Tangan tan hasil pengabdiannya di negara tropis itu memegangi bekas tamparan yang sungguh menyakitkan itu. "Kaa-san menampar Kyunnie?" ia bertanya linglung dengan mata bulat yang berkaca-kaca. Pikirannya kosong, tidak menyangka akan tindakan Aihara yang baru saja menamparnya.

Aihara mengusap wajahnya kasar. Ia sendiri tidak percaya bisa menampar anaknya. Tapi hatinya kembali berbicara, perasaan ibu mana yang tidak menjerit saat membayangkan anak perempuannya pergi ke negara konflik? Di mana kau bisa kapan saja mendengar suara bom, tembakan, ledakan ataupun suaru gaduh dari bangunan yang runtuh. Kapan saja sebuah nyawa bisa melayang di sana. Atau pergi ke negara krisis ekonomi, di mana tidak ada jaminan untuk kehidupannya.

Ibu mana yang bisa bertahan dengan semua pemikiran itu? Ia yakin, Ibu manapun akan melakukan segala cara untuk mencegah anaknya kembali ke sana.

"Cukup Kyu!! Apa masih kurang bekas peluru di tangan dan kakimu? Apa kau mau terus-terusan membuat Kaa-san khawatir Kyu? Ibu mana yang tidak khawatir saat dikabari anak perempuannya tertembak dan berada jauh dari negaranya sendiri? Apa ada Kyu? Apa ada? Hiks... Hiks..." jerit Aihara. Air mata berharganya mengalir deras membayangkan kembali kejadian beberapa bulan yang lalu.

Kyunnie terpaku melihat tangisan sang ibu. Hatinya berontak tak terima. Tidak seharusnya seseorang yang telah melahirkan dan merawatnya dengan sepenuh hati menangis begitu menyesakkan demi dirinya.

Tidak seharusnya air mata itu keluar!

Kata sanggahan yang hendak diucapkannya teredam begitu saja, seakan-akan ada sebuah gembok besar yang mengunci rapat bibirnya. Tanpa suara, air matanya ikut jatuh dengan perlahan. Batinnya terombang-ambing memikirkan semua ini.

Ia selalu berusaha menjadi pribadi yang berguna bagi orang lain. Menyerahkan diri untuk ikut dalam misi kemanusiaan. Hingga menjadi panutan bagi orang lain.

Namun di hadapannya kini, ibunya menangis terisak karena dirinya.

Apa ia pantas disebut sebagai anak yang baik?

Apa ia pantas disebut sebagai pribadi berhati mulia? Seperti yang selalu diucapkan oleh orang-orang?

Aihara menghapus air matanya kasar, tak ia pedulikan Kyunnie yang mulai menangis dalam diam "Sudah cukup! Kaa-san tidak akan menginjinkanmu untuk kembali ke sana!" Ia berucap dengan tegas, tak mau di bantah. Hanya satu harapannya kini, melihat Kyunnie hidup sebagai warga negara biasa, tanpa harus selalu merasakan kegundahan hati di saat memikirkan keadaan anaknya tersebut.

"Dan mulailah untuk mencari pekerjaan" lanjut Aihara kemudian, sebelum berlalu menuju kamarnya, dengan airmata yang masih terus mengalir.

Setelahnya hanya tersisa Kyunnie yang menangis semakin menjadi. Hatinya semakin sesak melihat punggung ibunya yang baru ia sadari terlihat begitu kurus.

"Hikss.. Hiks.. Hiks.. Hiks.."

Tanpa dikomando semua ingatan tentang ia dan ibunya berputar begitu saja. Bagaimana Aihara yang selalu menatapnya lembut, memeluknya, merawatnya di kala sakit sampai tadi ia melihat wanita itu menangis. Begitu menyakitkan.

Isakannya semakin terdengar. Udara seakan-akan tak ada dalam ruang keluarga yang tak begitu luas ini.

Sungguh! Ini melukai hatinya sebagai seorang anak. Di mana seseorang yang seharusnya selalu dihormatimu, malah ia buat menangis.

Tidak berguna!

Kenapa ia baru menyadarinya?

Berapa banyak air mata yang keluar saat ia pergi selama dua tahun lalu?

Apa setiap hari ibunya selalu menangis memikirkannya?

"Hiks... Hiks..."

Kaa-san,

... Maaf

... Maaf Kaa-san...

"Hiks... Hiks..."

Begitu cepat.

Secepat kedipan mata, tuhan membolak-balikkan hati manusia.

Tanpa perlu hitungan hari, rasa angkuh dan yakin Kyunnie hilang entah kemana. Dengan melihat air mata ibunya, ia merasa ragu untuk kembali mengabdi. Padahal rencana cadangan yang telah ia persiapkan jika Aihara masih melarang, sudah siap untuk dijalankan.

Namun sekali lagi hanya dengan air mata ibunya, ia merasa lemah...

Segala kemungkinan mulai menjalar di hatinya, jika ia tetap memaksakan kehendak mungkin ibunya akan menangis lebih keras untuk dirinya atau mungkin keadaan wanita itu akan jauh lebih parah dari apa yang ia bayangkan.

Tak kuat, tak kuat ia memikirkan semua itu.

Perlahan meski masih dengan isakan yang terdengar, ia pejamkan matanya. menguatkan hati untuk mengambil sebuah keputusan yang tidak pernah terbesit dalam pikirannya.

Ya.. ia akan mengikuti semua perintah Aihara...

.

.

.

Di kamar bernuansa temaran yang tak terlalu luas ini, Aihara juga menangis. Ia menyesal kenapa dirinya begitu lemah hingga tidak bisa mengikhlaskan niat mulia Kyunnie. Padahal karena anaknya, perlahan-lahan derajat keluarga mereka naik di mata masyarakat. Banyak orang yang merasa takjub atas pengabdian Kyunnie, dan ia pun bangga memiliki anak yang mempunyai rasa kemanusiaan yang begitu nyata.

Namun sekali lagi, dia hanyalah seorang manusia biasa berpredikat ibu.

Dia yang mengandung, melahirkan dan merawat Kyunnie. Tidak kuat hatinya jika setiap hari harus memikirkan keselamatan anaknya itu.

.

.

.

Tidak perlu kau banyak harta, tinggi jabatan atau hidup mewah untuk melihatnya tersenyum. Karena yang ia mau hanya kau menuruti ucapannya sebagai anak yang berbakti.

.

.

Tokyo, 8PM Jepang.

Dua orang pria dewasa memandang jijik ke arah pria yang duduk di hadapan mereka.

Bayangkan, empat mangkok ramen berukuran jumbo dan satu porsi okonomiyaki ludes begitu saja ke dalam perut pria tersebut. Uuhh... hanya dengan membayangkannya saja, sudah membuat mereka mual.

"Kau makan seperti tidak ada hari esok saja.." akhirnya pria berkemeja putih membuka suara.

Pria bertopi itu memberhentikan acara makan-memakannya, ia mengelap ujung bibirnya dengan tangan "Ya kau benar! Kalau aku tidak makan sebanyak ini, mungkin besok aku sudah tidak ada!" ucapnya sengit dengan tatapan tajam mengarah ke pria yang satunya. Bukan tanpa alasan ia makan sebanyak itu, yah meski tak dipungkiri jika ia memang memiliki nafsu makan yang sedikit –banyak- berlebihan. Tapi ini hal yang berbeda!

Oh Tuhan! Aku merasa menjadi seseorang yang paling menderita di muka bumi ini. Dan lagi dosa apa yang membawaku hingga bisa mengenal dia.

Sedangkan pria yang ditatap hanya menahan tawanya mendengar ucapan itu. dia tahu dan sangat tahu kenapa pria tersebut makan seperti orang kelaparan.

Dalam lubuk hati pria bermata musang itu mengucapkan maaf dan sebagiannya lagi bersyukur karena tuhan memberikan limpahan rejeki, sehinga dia bisa membayar berapapun makanan yang dihabiskan oleh partnernya itu.

.

.

Begitu berbeda meski dalam waktu yang sama.

Ada mereka yang baru disadarkan oleh keadaan, ada juga yang seolah-olah menjadi seseorang yang paling sengsara.

Nyatanya, Setiap manusia memiliki perbedaan yang sangat mencolok antara satu sama lain.

Dan hanya takdir tuhan yang mampu menyatukan mereka.

.

.

Maaf...

suara itu terdengar begitu lirih, seakan-akan si pengucap tak ingin ada satu orang pun yang mendengarnya. Ia tekan kuat-kuat perasaan sakit yang menyerang ulu hatinya.

Sedangkan dihadapannya kini, duduk sang lawan bicara yang menatapnya dengan senyum yang sangat manis hingga mata perempuan itu berkaca-kaca. "Terima kasih.. Terima kasih karena kau mau mencobanya.."

Pria itu menggigit bibir dalamnya, matanya juga ikut berkaca-kaca saat ini. Namun bukan perasaan bahagia membuncah yang sedang melandanya, melainkan sebuah perasaan sakit dan pedih yang begitu kuat meremat hatinya. Dan semakin menjadi kala ia mengingat bahwa mulai hari ini ia harus melepaskan perasaan cintanya begitu saja..

"Tolong.. Tolong ajari aku untuk mencintaimu"

Lawan bicaranya mengangguk antusias, berbanding terbalik dengan hatinya yang semakin sesak.

Kaku...

Canggung...

Suasana dalam ruangan Vip di salah satu caffe ternama di pusat kota Tokyo itu begitu dingin. Dan semakin menjadi karena kekakuan kalimat yag mereka ucapkan, serta bahasa tubuh keduanya yang terlihat canggung satu sama lain..

Apa yang bisa diharapkan atas sebuah hubungan berdasarkan perjodohan ini?

Bagaimana cara merelakan perasaan cintamu kepada seseorang lalu menerima sebuah cinta yang baru?

Dan bagaimana cara membuat seseorang bisa menginginkanmu sebesar kau menginginkannya?

.

.

Kritik dan saran sangat membantu