'Sial, kenapa bisa-bisanya aku sampai begini?'
Aku terus melangkahkan kakiku di lorong sekolah yang panjang ini, dengan sebuah senter yang kuarahkan ke bawah. Bukan apa-apa, aku akan berada dalam masalah besar jika ada yang tahu kalau aku melakukan hal ini. Sesekali kulempar pandanganku ke sekitar, mencari sebuah clue yang mungkin saja bisa kutemukan lebih cepat.
"Kau cari sebuah surat, mudah kok menemukannya. Dengan berjalan di koridor sekolah juga akan ketemu!"
Ya, aku sekarang berada di sekolahku yang kini gelap gulita. Menjalani tantangan yang konyol demi harga diriku. Aku diharuskan untuk menemukan sebuah benda berharga milikku, sebuah kalung yang diberikan oleh seseorang yang juga sangat berkesan bagiku. Mau tak mau aku harus menemukannya.
Entah mengapa, aku sendiri tak mengerti saat aku menyetujui permainan bodoh ini. Dan tujuan yang sebenarnya adalah memecahkan mitos yang beredar di sekolah ini. Apa lagi kalau bukan tentang hal-hal yang tidak mampu ditangkap oleh kasat mata. Setiap sekolah punya cerita seperti itu, bukan? Dan, tentang kalungku itu… sebenarnya hanya jaminan supaya aku benar-benar menjalani tantangan ini.
'Damn, you'll pay for this later, Jack'!
.
.
.
Harvest Moon DS Cute © NATSUME and it's affiliates
Treasure © Ayaka Aoi
typo(s), fast-plotted, OOC, Claire's POV, etc
chapter 1 of 2
.
.
.
"Kenapa? Kau tidak berani? Ternyata memang benar kau penakut! Hah!"
Lelaki itu menjulurkan lidahnya dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. Ia memicingkan matanya dan mengangkat alisnya sebelah. Benar-benar menjengkelkan. Ia terus saja meledekku sejak sahabat karibku, Ann, bercerita tentang pengalaman kami kemarin. Ann secara tidak sengaja kelepasan saat mengobrol tadi. Aibku yang berteriak-teriak di bioskop hingga tak sengaja menumpahkan popcorn yang dibawa penonton lain saat menyaksikan film horror yang sedang hits, tersebar sudah. Uangku melayang untuk mengganti rugi empunya popcorn itu, dan kini mukaku juga hilang.
"Ann–kau tega…," ucapku lirih seraya menunduk. Energiku sudah terbuang habis sia-sia karena meladeni lelaki yang satu itu.
"Uh-oh, maaf, Claire…" pintanya dengan memelas. Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi jika ia sudah seperti ini. Aku hanya menghela napas panjang perlahan.
"Kau. Diam." Kutatap tajam kedua mata lelaki itu. Jack. Teman sekelas—yang sampai sekarang aku masih enggan untuk memanggilnya teman—dan juga seseorang yang sudah kukenal sejak lama. Entah mengapa aku dengannya sangat sulit untuk akur, meskipun kami sudah kenal bukan dalam waktu yang singkat. Mungkin kami memang tidak cocok satu sama lain.
"Hah. Sudahlah, lebih baik kau terima saja tantanganku itu. Kalau kau menerimanya dan berhasil, itu tandanya kau tidak seperti yang kubilang barusan." Ia menyilangkan tangannya di depan dadanya. Sungguh, kalau ini bukan di sekolah, sudah kuhabisi ia sedari tadi….
"Oke. Kuterima tantangan bodohmu itu."
Ann menarik tanganku perlahan. "Claire! Jangan!"
"Tak apa, Ann. Kau memangnya percaya dengan hal yang seperti itu?" Aku mengusap punggung tangannya, meyakinkannya bahwa ini hanyalah hal sepele. Semua akan baik-baik saja. Well, kecuali kalau kakakku tahu aku melakukan hal ini….
"Please, jangan sampai kakakku tahu tentang hal ini, oke?"
"Lalu, bagaimana kalau kakakmu menanyakan tentangmu?"
"Hmm." Aku berpikir sejenak. Terlihat dari sudut mataku, Jack masih terdiam, berdiri menanti diskusiku dengan Ann selesai. "Bilang saja aku menginap di tempatmu, bagaimana?"
"Hn." Ia mengangguk, dan beberapa saat kemudian membuka mulutnya lagi, "Kau yakin mau melakukan hal ini, Claire?"
"Tentu saja, Ann." Kutarik senyum simpul. Haha, jangan bercanda bahwa aku akan menarik kata-kata yang sudah kukeluarkan. Apalagi di depan dia. Jack.
"Claire…."
Baru saja aku menggerutu tentangnya di pikiranku, tiba-tiba ia melangkahkan kakinya mendekati kami berdua. Ia berdiri dengan tegak dan salah satu tangannya yang tadinya masuk ke dalam saku celana panjangnya, terulur di hadapanku.
"Jaminan."
"Hah?" Aku menyipitkan mataku dan mengerutkan dahiku. Aku tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia katakan.
"Jaminan darimu supaya kau benar-benar melakukan tantangan dariku ini. Aku akan menyimpannya di suatu tempat dan kau harus mengambilnya nanti," jelasnya acuh tak acuh. Hell, apa dia sudah gila?
"Kenapa aku harus—"
"—kau tidak berani? Bukan masalah sih, untukku."
Tch.
"Oke. Mau apa kau?"
Jari telunjuknya mengarah ke arah leherku. Aku tahu pasti apa yang dimaksud olehnya.
"Tak bisakah yang lain saja, Grumpy?"
"Aku tahu kalung yang kau kenakan itu tak berharga banyak jika dijual, dan kulihat kau memakainya setiap hari, jadi sudah pasti kalung itu sangat penting bagimu. Sudah pasti kau akan mencarinya sampai ketemu jika kusembunyikan di mana pun. Dan, namaku Jack, bukan Grumpy."
"Usulan ditol—"
"—baiklah kalau kau tidak bera—"
"—Geez, oke, oke! Ini!"
Kulepaskan kalung yang kukenakan ini. Terlihat Jack sedikit menyeringai. Ia sudah siap untuk menerima kalungku saat tiba-tiba aku membuka mulutku.
"Kau juga. Jaminan."
"Whaa—"
"—topi. Aku mau topimu itu. Cepat."
Dengan wajah yang ditekuk ia menukar topinya dengan kalungku. Setidaknya ini akan membuatnya tetap pada persetujuan kami. Tak mungkin aku menyerahkan sesuatu yang penting milikku begitu saja. Aku memang bodoh untuk ikut dalam permainan bodoh si Jack bodoh, tapi aku tidak sebegitu bodoh untuk mempercayakan barang berhargaku dengan mudahnya pada si bodoh itu.
"Jam 10 malam ini. Kutunggu di pintu gerbang. Dan kalung ini kujamin aman, akan kuletakkan di sebuah ruangan yang takkan bisa kau masuki selain di malam hari."
"Terserah kau sajalah, Grumpy." Aku tidak berminat lagi untuk meladeni dia.
"Dan nanti kau cari sebuah surat, isinya sebuah clue, jika kau masih tidak tahu di mana letak persembunyian kalung ini. Mudah kok menemukannya. Dengan berjalan di koridor sekolah juga akan ketemu."
"Whatever. Till 10 o'clock, then."
.
.
.
Aku sudah berjalan dari ujung depan koridor hingga hampir sampai bagian belakang sekolah. Kalau dari perkataannya, aku sudah mencurigai satu tempat, meski aku sendiri tidak begitu yakin. Maka dari itu, aku berencana untuk menemukan clue terlebih dahulu. Lagipula, ada di sekitar koridor, bukan? Tidak terlalu sulit dan lebih baik dari langsung mencari tanpa tujuan yang pasti. Terlebih, suasana sekolah saat malam hari benar-benar berbeda dengan siang hari. Sedikit… mencekam. Eh, bukannya aku takut, ya!
Apa kulamakan saja, ya? Jack menungguku di luar, bisa jadi ajang untukku balas dendam, heh.
Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki dari kejauhan. Aku berusaha acuh dan tetap stay cool. Selalu kubisikkan pada diriku sendiri, 'Tenang dan tetap ingat, Claire. Hal yang seperti itu tidak ada. Semua hanya imajinasimu saja.'
Tap tap tap
Suara itu memang ternyata ada. Menggema dari ujung ke ujung koridor. 'Si-siapa?'
Tap tap tap
'Sial, aku tak punya pilihan lain!'
Entah pikiran macam apa yang membuatku reflek mematikan senterku dan bersembunyi di balik pot tanaman yang berukuran cukup besar. Tak lama kemudian terlihat sorot senter yang diikuti oleh seorang satpam yang memeriksa keadaan. Dan untungnya, ia tidak menemukanku. Aku menarik napas lega. 'Benar-benar takkan kubiarkan Jack hidup dengan tenang setelah aku menyelesaikan permainan bodoh ini!' Kunyalakan senterku dan bangkit.
'Apa itu?'
Tatap mataku menangkap bayangan objek yang berada di celah-celah rimbunnya dedaunan tanaman dalam pot yang baru saja aku bersembunyi di belakangnya. Tak lain dan tak bukan, itu adalah surat yang disebut-sebut Jack. Kuambil dengan segera dan kubuka untuk melihat isinya. Sebuah kertas bergambarkan sebuah lingkaran besar dengan tanda panah di sisinya. Simbol pria.
'Benar dugaanku.'
Ia menyembunyikan kalungku di toilet siswa, tak salah lagi. Tempat di mana tak bisa kumasuki di siang hari. Ia benar-benar ingin membuatku menjalani permainan ini. Aku hanya bisa face-palmed. Mau tidak mau aku harus cepat ke sana untuk mendapatkan kalungku kembali dan menyelesaikan permainan bodoh. Eh? Kau bertanya kenapa aku tidak jadi berlama-lama? Umm, mengapa kau tidak mencoba apa yang kulakukan sendiri?
Aku berbalik badan, menuju toilet siswa. Ya, tempat itu sudah kulalui sebelumnya. Aku berjalan dengan sedikit tergesa-gesa, karena sudah mengetahui tempat yang kutuju, dan sudah cukup lama aku berada di sini. Tangan kiriku meremas kertas yang aku dapatkan tadi, dan memasukkannya ke dalam saku celana yang kukenakan dengan sedikit kesal.
'Ah, itu toilet siswa!' teriakku dalam hati saat melihat papan yang tergantung bertuliskan—tentu saja—"Toilet Siswa" yang tempatnya masih agak jauh dari tempatku sekarang. Aku reflek berlari-lari kecil untuk mencapai tempat itu.
"SIAPA ITU?!"
'Sial, aku ketahuan!' Tanpa pikir panjang lagi aku mengambil langkah seribu. Dan tidak kuduga, satpam itu juga ikut berlari, mengejarku. Tak ayal aku mempercepat lariku supaya tidak tertangkap dengan kedua mata yang sigap menatap kedepan, memastikan lokasi di mana tujuanku berada.
…
..
.
'Ah, sampai juga!' Sudah tak terpikirkan lagi olehku tujuan yang sebenarnya aku datang ke sini. Yang ada di benakku hanyalah hilang dari awasan satpam sekolah. Bisa gawat kalau ketahuan dan kakakku—yang sebenarnya hanya kakak sepupuku—tahu tentang semua ini. Murka kakakku lebih menyeramkan dari guru fisikaku yang terkenal killer satu sekolah dan seluruh angkatan yang siswanya pernah 'mencicipi' hukuman dari beliau.
Langsung saja kudorong pintu yang memisahkan toilet dengan koridor itu dengan paksa. Tampak objek yang biasanya kulihat di lorong—peringatan mengenai lantai yang licin karena masih basah—berdiri tepat di balik pintu. Sial, tidak ada waktu untuk berhenti dan akhirnya aku melompat untuk menghindari lantai itu.
Dan gagal.
Aku terpleset saat mendarat, dan—
DUGH!
"Ugh…"
Aku jatuh, senterku terlempar ke depan wastafel—cahayanya mengarah ke cermin dan terpantul, menerangi ruangan sempit ini—sementara kepala bagian belakangku sukses terbentur sisi wastafel. Hey, jangan tanya sakit atau tidak. Jawabannya sudah pasti. Denyut di kepalaku terasa benar-benar mengganggu, dan hal yang bisa terdengar olehku hanyalah suara degup jantungku yang berdetak dengan cepatnya. Tak ada lagi teriakan satpam yang mengejarku tadi. Apa ini artinya aman?
Perlahan aku mencoba untuk bangkit seraya memegangi bagian kepalaku yang nyeri. Terasa sedikit lengket dan perih.
Merah.
Telapak tangan kananku berlumuran likuid merah, begitu juga lantai tempat aku jatuh tadi. Apa… kepalaku robek?
"Aghhh!"
Nyeri itu semakin menjadi, dan semua yang kulihat tampak berputar. Dan memburam. Aku tetap memaksakan diri untuk berdiri, dengan tangan kiri yang memegangi bibir wastafel. Tubuhku terasa sangat berat, meski begitu pada akhirnya aku bisa berdiri dan memandang cermin yang ada di hadapanku.
Tak jelas apa yang terefleksikan di sana, yang kulihat hanya cahaya terang yang menyilaukan dari senterku yang dengan ajaibnya masih menyala meski sudah terlempar. Kelopak mataku terasa semakin berat, dan kedua kakiku terasa semakin lemas.
BRUK!
Gelap. Sepi. Hanya aroma besi yang menemani. Terasa kepalaku semakin memberat dan memberat. Dan rasanya sangat sulit hanya untuk membuka mataku—apalagi menggerakkan anggota tubuhku yang lain. Tapi, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus bangun dan berhenti bertindak lemah seperti ini. Jauh di dalam diriku, aku terus berontak melawan kesadaranku yang semakin menipis.
"Kalungku—"
.
.
.
"…"
"—ey."
"Hey."
"Hey, kau baik-baik saja?"
Terdengar suara seorang lelaki dengan cemas yang tersirat di nada bicaranya. Perlahan aku membuka mataku dan dengan pandangan yang tidak terlalu jelas aku menangkap siluet seseorang tepat di depanku.
"Bisa bangun?"
"Uh, ya. Sepertinya."
Aku bangun dari posisiku dan duduk dengan tangan kiri untuk menopang tubuhku. Kukedipkan mataku beberapa kali supaya penglihatanku membaik. Mungkin aku sudah terlalu lama tidur di tempat yang dingin ini dan—
'—Oh iya, aku di mana?'
Seingatku, aku berada di sekolah, dan sedang menjalani permainan konyol itu, lalu—
'Ini juga sekolahku, bukan? Tapi, kenapa terasa berbeda? Dan—'
"—Kau siapa?" tanyaku langsung pada sosok itu, sosok yang familiar denganku namun aku tidak bisa mengingat jelas siapa dia. Tubuhnya yang semampai dengan surai perak, juga iris mata kelabu yang senada dengan warna rambutnya. Sesekali aku melepaskan pandanganku darinya, memperhatikan keadaan sekitar. Sepertinya aku berada di perpustakaan, padahal seingatku aku berada di toilet beberapa saat yang lalu.
"Kau tidak tahu siapa aku?" Ia mengulurkan tangan kanannya ke arahku, menawarkan bantuan untuk bangun. Kuraih tangannya dengan tangan kananku—meski anehnya tangannya terasa begitu dingin, dan tangan kiriku memegang kepalaku, memeriksa luka yang tadi terbentuk. Tidak lengket lagi, meski terasa kulit kepalaku yang robek, tetapi tidak sakit.
Kugelengkan kepalaku saat aku sudah berdiri tegak, menjawab pertanyaannya barusan. Kuperkirakan ia seumuran denganku. Ia tersenyum sebelum membuka mulutnya.
"Aku—siapapun itu, yang sudah menunggumu sejak lama…."
Tiba-tiba ia menyeringai dan menunjukkan taring-taringnya yang besar dan tajam. Iris matanya berubah menjadi warna merah pekat—merah darah. Kuku-kuku tangannya menghitam dan panjang dalam beberapa saat, mencengkram punggung tangan kananku hingga terluka.
"AAAAAAAAAAHH!"
Aku berontak. Makhluk macam apa dia?
"Lepas! Lepaskan!"
Kuku-kuku tangan kirinya menyentuh lenganku, lebih tepatnya menggores lenganku. Anehnya, aku tidak merasa sakit dan luka itu tidak berdarah, meski goresan yang ia buat cukup dalam. Bekas goresan itu berubah warna, menghitam, begitu juga luka yang ia buat di punggung tangan kananku. Ia menatapku dengan pandangan layaknya predator yang mendapat mangsa. Lidahnya yang panjang dan berlumuran liur itu menjilat tanganku yang menghitam. Aku benar-benar tak tahan lagi.
"PERGI KAU!" Kutendang kaki dan perut makhluk itu, dan ia akhirnya melepaskan pegangannya padaku. Aku langsung menuju pintu keluar dan berlari tanpa arah. Aku tidak tahu sekarang aku berada di mana dan tiba-tiba aku diserang dengan makhluk yang menyeramkan seperti itu. Rasanya ingin langsung menghilang saja dari tempat ini.
.
.
.
'Goddess, sebenarnya aku di mana?'
Aku terus berlari, menghindari makhluk-makhluk yang merayap di koridor ini. Aku tak tahu apa itu. Mereka hanya punya satu mata dan dua buah tangan yang menggapai-gapai, dengan perut mereka yang mereka gunakan untuk berpindah tempat. Benar-benar seperti makhluk dalam cerita-cerita fiksi yang pernah ada.
"Heee~"
Suara itu lagi. Suara yang dikeluarkan dari makhluk-makhluk yang menempelkan wajahnya di kaca jendela dari dalam kelas. Aku—sedikit—bersyukur mereka berada di dalam kelas, tapi tetap saja. Wajah mereka yang bengkak, begitu juga dengan bibir mereka, dan mata mereka yang terkadang keluar dan jatuh begitu saja. Mereka menjilati kaca jendela dengan menjijikkan, dan sesekali mengeluarkan suara aneh yang terkesan 'menegur'ku. Ah, terima kasih, tapi lebih baik aku tidak usah ditegur oleh makhluk-makhluk seperti itu. Aku terus berlari dengan pandangan lurus tanpa menoleh ke kanan atau pun ke kiri.
Rasanya napasku sudah hampir habis. Sudah berapa lama dan berapa jauh aku berlari?
Claire! Claire!
'Huh?' sepertinya ada yang memanggilku barusan. Kuhentikan langkahku dan mengawasi keadaan sekitar. Tidak ada apa-apa selain aku dan makhluk-makhluk aneh yang terus saja menggangguku. Kulihat ke belakangku. Tampak sesosok wanita bergaun panjang berlari ke arahku. Kufokuskan pandanganku. Apa ia sama sepertiku, tersesat di tempat seperti ini? Kalau iya, kami harus sama-sama saling membantu!
Aku masih terpaku, memperhatikan wanita yang semakin lama semakin mendekat padaku. Kuteliti ia dari bawah hingga atas, dan aku tidak percaya dengan pandanganku. Ia, wanita normal dengan tubuh yang tinggi dibalut gaun merah pekat. Tidak ada yang aneh, memang. Hanya satu hal yang tidak kumengerti.
Ia berlari tanpa kepala.
Aku terperanjat seketika setelah menyadari kebodohanku. 'Jelas-jelas ia berbeda denganmu, Claire!' Aku langsung menjauhkan diri, berlari dari sosok itu. Kulihat di ujung koridor ini terbagi menjadi dua, entah masing-masing dari mereka mengarah ke mana. Aku memilih untuk berbelok ke kiri, berharap makhluk itu tidak mengikutiku, dan aku bersembunyi di balik tembok yang terletak agak jauh dari pertigaan itu.
Kuamati makhluk itu, begitu tegangnya hingga aku tidak menyadari bahwa aku menahan napas sedari tadi.
'Ia berbelok ke arahku!"
Damn, dugaanku salah. Makhluk itu ternyata lebih agresif dari makhluk-makhluk yang lain. Ah, bagaimana ini? Aku hanya dapat diam tak bergerak. Berdoa supaya makhluk itu tidak menemukanku dan melewatiku begitu saja.
Ia semakin mendekat.
Derap kakinya terdengar begitu intens.
'Goddess, tolong aku!'
Tidak begitu jauh dari tempatku bersembunyi, ia memperlambat langkahnya. Apa yang akan ia lakukan? Apa ia akan berbalik arah dan pergi karena ia tidak bisa mendapatkan mangsanya?
Aku menundukkan kepalaku. Seluruh tubuhku bergetar hebat. Masih ingat di kepalaku bagaimana makhluk yang pertama kali bertemu denganku itu membahayakanku. Dengan begitu menyeramkannya. Dengan begitu menjijikkannya.
Tap tap tap
Ia… mendekat. Semakin mendekat.
Kulihat dua buah kaki jenjang yang mengenakan sepatu berhak tinggi berhenti melangkah di depanku. 'No, it can't be!' Dengan penuh keraguan kuangkat kepalaku, dan—
"—AAAAAAAAAAAHH!"
Ia, makhluk yang tadi! Tanpa kepala! Dengan darah segar yang menetes dari lehernya dan membasahi gaunnya yang panjang. Aku tidak bisa bergerak. Terpaku. 'Sial, aku harus pergi dari sini! Segera!' Tapi tubuhku bagaikan lumpuh seketika. Aku hanya bisa menatap makhluk itu—yang tangan kanannya bergerak mengusap pipiku dengan kuku-kuku merahnya yang panjang. Jantungku semakin berdetak cepat. Aku tidak sanggup lagi, aku hanya bisa menutup mataku. Aku tidak ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dapat kurasakan dengan tiba-tiba dua buah tangan menyentuh bahuku dan aku tertarik ke belakang, dan… hey, belakangku itu 'kan dinding?
BRUK
Aku terlempar ke dalam sebuah ruangan yang berada di belakangku dan jatuh, bersandar pada sebuah objek. 'Bagaimana bisa? Aku menembus dinding?' Aku menatap nanar dinding di depanku, makhluk yang tadi itu sudah pasti berada di balik dinding itu. Aku mengusap pipi kiriku yang tergores oleh wanita tadi. Mungkin, mungkin, untuk sementara aku aman.
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku.
"Hey, kau baik-baik saja?"
Déjà vu.
.
.
.
to be continued
