A/N: Oke, oke. Saya akui... SAYA TELAAATTT! *Jebolin Caps Lock*
Saya ngaku, harusnya ini selesai tgl. 7 setidaknya! TAT Maafkan saya telat publish fic iniiiii!
Dan... Sebelum saya mulai menggalau, silakan membaca fanfic abal ini.
Enjoy~...
BRUUMMM! BRUUMMM! CKIIITTT!
Sebuah Mercedes hitam mengkilap baru saja mengerem dadakan di depan sebuah rumah besar – atau lebih tepatnya mansion – mewah di pinggiran ibukota Leveiyu. Terlihat seorang gadis muda turun dengan terburu-buru tanpa memberi kesempatan kepada sang sopir mobil untuk membukakan pintu.
Gadis berambut peach yang diikat menyerupai ekor kuda itu segera membuka pintu ganda bergaya Eropa, lalu menghambur masuk tanpa mempedulikan tatapan bingung para maid dan ucapan selamat datang seorang pria berkacamata. Dinaikinya anak tangga sembari melepas high heels merah muda yang ia pakai, lalu berlari menyusuri lorong dengan wajah yang terlihat panik setelah hampir menabrak seorang maid berkacamata tanpa sempat meminta maaf.
Hey! That's so rude, Sharon!
Reborn Angel From the Past, With Her Abalness Presents
The 1st Chapter of
Calon Suami?
Ambiguation and Miscommunication?
BRAKK!
"Nenek!" Teriak Sharon histeris.
Pandora Hearts © Jun Mochizuki
Calon Suami? © 2012 Reborn Angel From the Past
Rating: T
Genre: Romance, Humor, bits of Friendship and Family, and Playboyness(?)
Seorang wanita yang sudah tampak berumur duduk di kursi roda sembari menyeruput tehnya. Di belakangnya, seorang pria (baca: kakek awet muda) bermata sipit berdiri sembari memegang berlembar kertas di tangannya. Dan semuanya terlihat baik-baik saja, kecuali pintu kamar yang baru saja didobraknya.
Tapi kenapa tadi...
... Liam bilang neneknya terkena serangan jantung?
Summary: Sharon memang seorang putri dari keluarga bangsawan ternama. Namun bukan berarti dia akan mengikuti segala adat-istiadat kuno yang masih dijalankan keluarganya. Hello, ini abad ke-21! Be modern and open-minded, please! Tapi sepertinya sang nenek tidak berpikir demikian...
Pairing: Karakter paporit(?) pembaca pertama fic ini bersama dengan pasangan sejatinya(?), juga berbagai macam hints dan slights of pairing-pairing lain :P
WARNING(S)!: AU abad ke-21, OOC, OOT, typo(s) and miss typo(s), humor kriuk-kriuk, romance abal-abal, bahasa gado-gado, plot nekat bin maksa, tidak memenuhi kaidah fanfiksi yang waras dan masuk akal, two-shot gajhe dari Author yang baru selesai UAS, diketik oleh kacung galau binti ababil yang sedang lumutan, dan berbagai kejayusan yang mampu mengalahkan kemandetan kasus korupsi Jayus Tembeman(?) alias Gayung Tambun(?) yang dapat membuat anda terkena rabun fajar(?)
Disarankan kepada para pembaca memakai kacamata silinder ganda dengan lensa ala kacamata kuda sebelum melihat isi cerita ini :P
Cherryl Rainsworth – Duchess of Rainsworth, sekaligus nenek dari Sharon – hanya tersenyum simpul melihat kedatangan cucunya, yang hampir sukses membuat pintu kamar kerjanya pensiun.
Diletakkannya cangkir teh di meja, lalu berkata, "Selamat datang, Sharon. Wah, wah, wah... Kau terlihat bersemangat sekali ya? Kalau begitu, kita mulai saja membahas acaranya."
.
.
.
Hah...?
Special 20th Birthday Fic For Florensia Santy alias Lady Jeanny Black on June 5th 2012
Otanjoubi Omedetou, Senpai! :D
Apa...? Apa maksud dari perkataan neneknya tadi...?
Don't like, kabur sebelum dikejar Author *ditimpuk*
Enjoy the story :D
Cherryl hanya bisa menghela nafas melihat sang cucu masih berdiri mematung di depan ruang kerjanya, lengkap dengan wajah kebingungan dan tanda tanya imajiner di sekitar kepalanya. Ah... Tentu Sharon sudah lupa bahwa hari ulang tahunnya ini juga merupakan hari bersejarah baginya. Sudah sepuluh tahun berlalu semenjak Cherryl dan putrinya – Ibu Sharon – mengatakan hal itu, bukan?
... Tapi kenapa dia yang sudah berumur ini masih bisa mengingatnya? Ah, sudahlah.
"Duduklah dulu, Sharon. Dan rapikan juga rambutmu itu. Setelah itu, kita akan mulai membahas acara-"
"Sebentar, Nek!" Sharon memotong perkataan neneknya sambil berjalan cepat ke tengah ruangan, "Tadi Liam bilang Nenek terkena serangan jantung! Tapi Nenek masih terlihat sehat-sehat saja! Dan acara apa yang Nenek maksud? Aku sudah bilang kalau aku hanya ingin merayakan hari ulang tahunku secara sederhana bersama teman-temanku, kan? Jadi Nenek tidak perlu-"
"Duduklah, Sharon," Rufus – sahabat Cherryl – akhirnya angkat bicara. Pria kalem berambut maroon itu melanjutkan, "Biarkan nenekmu menjelaskan semuanya."
Sharon akhirnya menurut. Ia segera duduk di kursi, merapikan rambutnya yang memang sudah sangat acak-acakan, lalu menghadap neneknya.
"Jadi begini, tadi aku memang sengaja menyuruh Liam mengatakan bahwa aku terkena serangan jantung di telepon, untuk membuatmu segera pulang ke rumah." Ungkap Cherryl dengan tenang.
Sharon terperangah, "Ja-Jadi... Itu semua bohong? Hanya supaya aku segera pulang? Nenek... Nenek ini benar-benar...!" Sharon berusaha menahan amarahnya.
"Tenanglah, Sharon," lanjut Cherryl, "aku berbuat begini karena ingin membahas suatu acara denganmu. Acara ini adalah acara penting yang akan melibatkan masa depanmu, jadi aku sengaja berbohong agar kau bisa cepat pulang. Kalau aku minta Liam menyampaikan bahwa ada urusan mendadak yang harus segera kau urus, kau pasti akan cemberut karena acaramu bersama teman-temanmu terganggu kan?"
Sharon hanya menggembungkan pipinya, membuatnya terlihat kekanak-kanakkan, "Tapi Nenek memang sudah berjanji kalau aku tidak perlu mengurus acara apapun, bahkan yang mendadak sekalipun, di hari ulang tahunku kan? Dan acara penting apa yang membuat acaraku bersama teman-teman terganggu, bahkan melibatkan masa depanku?"
"Jadi kau benar-benar sudah lupa ya? Apa kau tidak ingat bahwa aku sudah berjanji akan menjodohkanmu dengan putra bangsawan kelas satu begitu kau menginjak usia dua puluh tahun?"
Rasanya lidah neneknya baru saja terpeleset, dan mungkin telinganya juga salah dengar?
"Eh... Barusan Nenek bilang apa?" Tanya Sharon dengan lugu.
Cherryl menghela nafas panjang, "Tadi aku bilang, aku akan menjodohkanmu dengan putra bangsawan kelas satu begitu kau menginjak usia dua puluh tahun. Apa masih belum terdengar jelas?"
.
.
.
"Ah, Nenek lupa ya? Ulang tahunku bukan tepat pada Hari April Mop, tapi tepat pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Kalau Nenek tidak ingat, aku bisa-"
"Sharon Rainsworth, kalau telingamu masih belum bisa menangkap apa yang tadi kukatakan, maka akan kukatakan sekali lagi dan kukoreksi. Aku akan mempertemukanmu dengan calon-calon suamimu yang berasal dari seluruh negeri begitu kau menginjak usia maksimal melajang untuk putri bangsawan di negeri kita. Jelas?" Tandas Cherryl setelah sang Author memenuhi request-nya untuk menebalkan dan menggaris bawahi setiap kata kunci dalam kalimatnya.
Oke, sepertinya lidah The Duchess tidak terpeleset, dan telinga sang cucu tidak salah dengar. Ya, neneknya baru saja membicarakan acara perjodohan, untuknya. Ya, benar. Acara perjodohan untuk...
BRAKK!
"PERJODOHAN? UNTUKKU?" Dan Sharon tidak mampu lagi menahan keinginannya untuk menjerit histeris sekaligus menggebrak meja. Sangat OOC, bukan?
Beruntung Sang Nenek telah mempersiapkan sumbat telinga otomatis, bahasa eksplisitnya adalah tangan Rufus yang digunakan untuk menutupi telinganya. Terkadang kemampuan Rufus memprediksi reaksi seseorang memang menyebalkan, tapi berguna juga di saat seperti ini.
"Well, Sharon. Apa kau sudah selesai berteriak? Sekarang tenangkan dirimu dan dengarkan dulu penjelasanku hingga selesai."
Sharon – yang kini sudah berdiri dari kursinya – hanya memelototi Neneknya dengan wajah merah padam. Kentara sekali kalau dia sangat kaget, dan marah mungkin?
"Apa lagi yang harus kudengarkan? Sudah jelas tadi Nenek mengatakan bahwa acara ini – acara yang katanya melibatkan masa depanku – adalah acara perjodohan. Sudah jelas aku menolak untuk mengikuti acara ini!" Teriak Sharon dengan segenap tenaga yang ia miliki.
"Kenapa? Bukankah acara ini adalah acara yang sangat kau tunggu-tunggu? Waktu kecil kau begitu antusias tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga yang romantis, sampai-sampai kau berdoa kepada Tuhan agar kau cepat dewasa dan bisa segera menikah dengan laki-laki pujaanmu. Masa kau sudah lupa?"
"Nenek, waktu itu aku masih kecil! Wajar kalau jalan pikiranku begitu polos kan? Tapi sekarang aku sudah dewasa, dan aku berhak untuk memilih sendiri calon suamiku! Lagipula saat ini aku tidak mau dipusingkan dengan urusan pernikahan! Aku masih ingin meneruskan kuliahku!"
"Ayolah, Sharon. Sekalipun nantinya kau menemukan calon suamimu, kau tidak harus langsung menikah dengannya. Kalian bisa bertunangan terlebih dahulu kan? Setelah kau menyelesaikan kuliahmu, baru kalian menikah. Bagaimana?"
"Tapi, Nek! Tetap saja aku tidak-"
"Sharon, tidak maukah kau mengabulkan permohonan Nenek? Kau tahu bahwa almarhum ayah dan ibumu juga ingin kau segera menemukan pasangan hidup. Kau tidak berpikir apa yang kami lakukan ini adalah sesuatu yang buruk, kan?"
"Bukan begitu! Aku tidak-"
"Kalau begitu apa yang membuatmu tidak setuju?" Mata Cherryl mulai terlihat berkaca-kaca, membuat Sharon terdiam. Sebenarnya Sharon juga tidak ingin membantah neneknya. Tapi wajar saja kan kalau dia bersikap seperti ini? Pasangan hidupnya haruslah pilihannya sendiri, bukan neneknya yang memilihkan.
"Nenek," kata Sharon lembut, "aku bukannya tidak setuju, hanya saja ini terlalu cepat. Nenek tidak perlu repot-repot menyiapkan acara perjodohan seperti ini. Aku akan memilih sendiri pasangan hidupku begitu aku sudah siap."
Cherryl bertanya dengan lirih, "Sungguh hanya itu?"
Sharon menggangguk.
"Kau ingin memilih sendiri pasangan hidupmu?"
"Ya, aku ingin memilihnya sendiri."
"Lalu... Kapan kau akan siap?"
"Eng... Sekarang sih aku sudah merasa siap untuk mencari pacar, atau setidaknya gebetan di-"
"Baiklah. Akan kukabulkan permohonanmu."
Mata Sharon membelalak. Neneknya setuju? Neneknya – yang terkenal tegas dan mungkin, keras kepala – setuju untuk membiarkannya memilih sendiri pasangan hidupnya? Apa kali ini dia benar-benar salah dengar?
"Benarkah? Terima kasih banyak, Nek! Aku pasti akan memilih calon suami yang baik, romantis, dan penyayang seperti keinginan Nenek!" Kata Sharon dengan nada ceria.
"Sama-sama, Sharon. Kalau begitu, kau mulai saja memilih." Kata Sang Nenek sambil tersenyum bahagia.
.
.
.
Eh?
"Ru, berikan kepada Sharon semua datanya." Kata (baca: Perintah) Cherryl, sementara yang dipanggil hanya mengangguk sekilas, lalu meletakkan berlembar-lembar kertas yang sedari tadi dia pegang di atas meja, tepat di depan Sharon.
... Apa maksudnya? Memilih? Sekarang?
"Semuanya ada tiga puluh. Pilihlah salah satu yang menurutmu memenuhi kriteria. Nenek tidak akan memaksamu menikahi salah satu dari mereka sekarang. Kalau misalnya ada setidaknya dua atau tiga laki-laki yang kau sukai, kita akan mengadakan tatap muka langsung dengan mereka. Kau juga bebas memilih tempat pertemuannya. Bagaimana, Sharon?"
Oh, baiklah! Rupanya dia salah sedari awal. Bukan lidah neneknya yang terpeleset dan telinganya yang salah dengar, tapi lidahnyayang terpeleset dan telinga neneknya yang salah dengar! Dan tambahkan ambiguasi alias miscommunication antara dirinya dan Sang Nenek!
"Ne-Nenek, ini sama saja dengan perjodoh-"
"Nah, Sharon. Pilihlah dengan bijak. Kau punya waktu setidaknya sebulan untuk memutuskan. Kalau kau sudah memutuskan, beritahu Nenek secepatnya ya. Sekarang Nenek ingin menghirup udara segar bersama Ru di luar. Bye-bye, Sharon! Ohohohoho!" Maka Cherryl pun meninggalkan ruangan bersama Rufus yang mendorong kursi rodanya. And they live bahagia until fanfic ini the end. Nggak nyambung? Bahasa gado-gado? Silakan tabok Author sarap ini.
Yah, Cherryl Rainsworth bahkan tidak memberi kesempatan pada sang cucu untuk menyelesaikan kalimatnya. Atau dia tidak mendengar perkataan cucu semata wayangnya itu sehingga menguatkan hipotesis Sharon bahwa telinga Sang Nenek memang harus segera diperiksa oleh dokter THT? Dan kenapa Rufus Barma sama sekali tidak mau membantu meluruskan kesalah pahaman? Apa dia sendiri juga menganggap perkataan Sharon ambigu, dan memilih untuk mengartikan perkataan itu sama dengan yang dipikirkan sang pujaan hati?
Ah, sudahlah! Itu sudah tidak penting lagi. Sekarang yang terpenting adalah...
Dia – Sharon Rainsworth – mau tidak mau harus mengikuti perjodohan, dan memilih calon suami dari calon-calon yang disediakan neneknya suka tidak suka.
BRAAKK! PRAANGG!
Well, tidak ada salahnya jika sekarang Sharon menggebrak meja yang memang sudah cacat semenjak sebelumnya sempat digebrak dan memecahkan tea set antik tak berdosa yang ada di atasnya kan?
But that's rude, Sharon!
~Calon Suami?~
Seminggu berlalu semenjak hari ulang tahun Sharon dirayakan dengan berkumpul bersama sahabat-sahabatnya dan dimeriahkan dengan berita perjodohan dari Sang Nenek. Tentunya selama seminggu, selain disibukkan dengan kuliah dan beberapa urusan keluarga, Sharon juga dipusingkan dengan urusan penyeleksian, ahem... calon-calon suaminya. Entah kenapa Sharon menjadi rada illfeel dengan kata 'calon suami'.
Sebenarnya ia masih tidak setuju – bahkan kesal – dengan urusan jodoh-menjodohkan ini, sungguh amat sangat tidak setuju. Tapi apa daya, Sang Nenek kelihatannya tidak ingin lagi mendengar kata 'tidak' dari mulut Sharon.
Oh, oke. Memang telinga neneknya ini sedikit bermasalah, tapi entah mengapa tidak ada yang melakukan tindakan pertolongan dengan memanggil dokter THT langganan. Mungkin dokternya sedang cuti kerja, atau juga memiliki masalah telinga, hidung, dan kulit sehingga harus merawat dirinya sendiri? Lagipula apa hubungannya telinga neneknya dengan urusan jodoh-menjodohkan ini? Kalaupun ada, paling-paling hanya sedikit. Ya kan?
Akhirnya Sharon hanya bisa melakukan 'kewajibannya': Menyeleksi tiga puluh calon *biiip* yang ada menjadi – setidaknya – lima calon *biiip*. Atau kalau Dewa Eros sedang jahil, hanya akan tersisa satu calon *biiip*.
.
.
.
Baiklah, kata *biiip* disensor atas permintaan Sharon sendiri.
Yah... Sebenarnya tidak ada sulitnya memilih salah satu atau beberapa orang dari ketiga puluh calon yang ada. Yang menjadi masalah adalah, betapa sulitnya membaca huruf-huruf yang tertera di setiap kertas yang ada. Kenapa bisa? Mari kita reka ulang sejenak.
~Flashback Begin...~
BRAAKK! PRAANGG!
Beberapa maid berbondong-bondong mendatangi kamar kerja The Duchess, mendapati nona besar mereka tengah berdiri dengan rambut kusut, wajah yang lumayan menyeramkan, ujung gaun yang sedikit basah karena terkena air teh dari teko porselen yang sudah sekarat bersama teman-teman satu set-nya di lantai, dan bertelanjang kaki.
Mereka juga mendapati meja kerja yang kini terlihat agak timpang alias tidak seimbang dan berlembar-lembar kertas beterbangan. Ngomong-ngomong, sebagian dari kertas-kertas itu mulai luntur terkena air teh yang menggenangi lantai tanpa alas berupa karpet atau semacamnya.
"No-Nona Sharon, apa yang baru saja terjadi?" Tanya seorang maid dengan takut-takut.
Namun, Sharon sudah keburu pergi sambil mencak-mencak menggunakan high heels yang sudah ia pakai kembali.
~Flashback End...~
"Ebuset dah, Sharon! Loe nggak berprikekertasan sama kertas-kertas ini ya?" Tanya seorang gadis berambut silver panjang dengan setengah bercanda sambil berguling-guling di atas karpet kamar Sharon. Rupanya Sharon memutuskan untuk meminta (baca: memaksa) teman-temannya membantunya menyeleksi ketiga puluh calon *biiip* untuknya.
"Emangnya kertas juga punya hak asasi ya?" Sharon balas bertanya dengan sok polos.
"O iya dong! Daging aja juga punya hak asasi. Iya nggak, Alice?"
"Betul itu, Alyss! Entar lagi roti dan kue juga punya hak asasi!" Teriak Alice – gadis berambut hitam panjang dan berwajah identik dengan Alyss – dengan penuh semangat tanpa bercanda dan nggak sok polos. Sambil melompat-lompat di atas ranjang pula.
"Hei! Ranjangnya bisa jebol karena tenagamu, Alice!" Teriak Alyss. Namun Alice masih tetap melompat.
"Ampun dah! Ini bacanya apa sih? G-Gi, Giily? Tapi kayaknya bukan. Apa ini bacanya Giillert ya?" Kata Sharon kebingungan.
"Kenapa sih kamu nggak minta kopiannya sama nenekmu? Kalau kayak gini kan bakalan susah menyeleksi calon suami yang pantas untukmu." Kata Alyss sambil membolak-balik kertas-kertas di tangannya yang sudah mengeriput dan berwarna kekuningan. Tintanya juga sudah meleber hingga sulit dibaca.
"Aduh! Udah gue bilang jangan sebut kata 'calon suami' di depan gue! Gue lagi illfeel dengan kata itu! Dan gue nggak minta kopiannya karena kata Liam kertas-kertasnya nggak difotokopi sebelum diberikan ke nenekku karena mesin fotokopi di ruang kerja Liam lagi rusak!" Teriak Sharon sedikit kesal.
"Ya ampun... Jadi datanya cuma ini? Dan kita harus membaca tiga puluh data yang sudah nggak berbentuk lagi selama sebulanan? Gue nggak yakin bakalan sanggup." Kata Alyss sweatdrop.
"Lah? Loe bilang sebagai sahabat mau bantuin gue? Ayolah, Lys! Bantuin gue ya? Nanti gue traktir choco parfait terenak dan termahal di Èsla Café deh! Lalu Alice gue traktirin lima porsi steak jumbo! Setuju nggak?"
"Setuju!" Teriak Alice sambil bersalto ria di atas ranjang.
"Errr... Okelah," Alyss menyanggupi, "dan satu pertanyaan lagi. Kenapa data-data ini nggak disertai sama foto?"
.
.
.
"Errr... Kata Liam... Fotonya lagi dicuci cetak saat aku pulang." Kata Sharon ragu.
"Terus, kenapa nggak loe ambil sama orangnya sekarang?" Tanya Alyss dengan tatapan curiga.
Sharon hanya diam.
Alyss semakin curiga.
Alice mulai melakukan salto ke belakang dengan penuh semangat.
.
.
.
~Flashback Begin...~
TAP! TAP! TAP!
Terdengar suara sepasang high heels dihentak-hentakkan di atas lantai. Pemilik high heels tersebut – tentu saja – sang nona besar yang sedang mengalami gejala PMS *PLAK!* maksudnya marah-marah dan ngambek dengan sangat OOC-nya.
Tap! Tap! Tap!
Oke, kalau yang ini bukan suara Sang Rainsworth yang sedang mencak-mencak dengan high heels-nya, tapi suara sepatu seorang pria berkacamata yang sedang berlari menghampiri Sharon.
"Nona Sharon! Maaf mengganggu anda! Ada yang ingin saya sampaikan!" Teriaknya lantang, lalu berhenti di depan Sharon – Well, punggungnya tepatnya.
"Eng... Begini. Mohon maaf atas keterlambatannya. Tadi pagi saya baru sempat membawa rol filmnya untuk dicuci cetak, dan sudah mendesak pemilik toko untuk menyelesaikannya hari ini juga. Nah, ini foto para bangsawan yang akan dijodohkan untuk menjadi calon suami anda. Kalau anda mau, rol filmnya boleh anda simpan." Jelas si kacamata – Liam – panjang lebar, dan tidak menyadari bahwa...
Kata 'jodoh' dan 'calon suami', adalah kata terlarang yang pantang didengar oleh telinga Sharon Rainsworth untuk saat ini.
Sharon langsung berbalik menghadap Liam dengan tampang horor bercampur murka, sukses membuat Liam mundur tiga langkah. Dengan cepat disambarnya amplop tebal berisi foto-foto + rol film dari tangan Liam, berjalan menuju ruang tamu, dan... membuang amplop beserta rol film ke dalam perapian.
"GYAAA!" Teriak Liam dengan amat shock sambil memegangi kepalanya.
Sharon pun meninggalkan ruang tamu tanpa mempedulikan Liam, perapian, bahkan amplop berisi foto-foto terkutuk beserta rol filmnya.
By the way, kenapa bisa ada perapian yang menyala di tengah musim panas seperti ini ya?
~Flashback End...~
Alyss hanya cengo, sementara Sharon menggumamkan sesuatu seperti "sedang kesal..." dan "terbawa emosi..." sambil menundukkan kepala. Alice, malah tidur tanpa alasan yang jelas.
~Calon Suami?~
Singkat cerita, setelah berusaha mati-matian menerjemahkan setiap suku kata yang tertera di atas tiga puluh kertas keriput nan menguning, lalu menyalinnya di kertas-kertas baru dengan bantuan Liam yang untungnya masih mengingat sebagian besar isi kertas (Wong dia yang menulis seluruh isi kertas manually!) selama tiga minggu penuh, akhirnya terpilihlah lima pria kece nan berkelas walau bentuk wajahnya masih unknown for a reason you-know-what.
Apakah dari kelima calon yang tersisa itu – yang telah diseleksi dengan amat ketat oleh Alyss, Alice, dan Sharon tentunya – Sharon dapat menemukan calon *biiip* yang pantas untuknya? Ataukah kelima calon itu harus menerima nasib ditolak setengah mentah belum matang oleh pewaris tunggal kekayaan keluarga Rainsworth? Mari kita langsung saja menuju TKP, yaitu sebuah café berkelas bernama Èsla Café!
Di café inilah, terlihat sang tokoh utama fanfic ini sedang duduk dengan anggun di kursinya sembari menikmati Earl Grey berkualitas dan memperhatikan orang-orang berlalu-lalang dari jendela di dekatnya. Tidak jauh dari tempatnya duduk, terlihat Alyss dan Alice duduk di meja lain sambil menikmati choco parfait terenak dan termahal serta lima porsi steak ukuran jumbo sesuai janji Sharon. Lebih jauh lagi dari meja Sharon, Cherryl Rainsworth sedang asyik mengobrol bersama teman masa kecilnya yang sudah pasti adalah Rufus Barma.
Pertanyaan pertama adalah, kenapa tidak ada orang lain lagi di café itu selain mereka berlima dan tiga orang waiters? Karena Èsla Café itu sendiri telah di-booking sehari penuh oleh Rainsworth.
Pertanyaan kedua adalah, dimana kelima calon *biiip* yang telah terpilih itu? Rupanya mereka akan dipanggil satu per satu oleh Cherryl via handphone.
Pertanyaan ketiga adalah...
Kapan acara perjodohan ini akan dimulai?
Klang! Klong!
Perhatian, itu bukan suara kaleng jatuh ataupun ditendang, melainkan suara bel pintu yang menandakan adanya orang yang baru saja memasuki Èsla Café. Itulah calon pertama yang dipanggil oleh Cherryl. Dan orang tersebut adalah...
Seorang pria berbadan tinggi, berambut hitam berantakan, bermata emas, dan berpakaian serba hitam pula. Pria ini terlihat gugup ketika berjalan menghampiri meja Sharon.
"Anda Nona Sharon Rainsworth?" Tanya pria itu sopan setelah sampai di depan meja Sharon.
Sharon mengangguk, "Dan anda Tuan Gilbert Nightray?"
Pria bernama Gilbert itu mengangguk.
"Silakan duduk." Sharon mempersilahkan Gilbert untuk duduk.
Dan... Dimulailah acara perjodohan ini.
~To Be Continue~
A/N: Ini sumpah... MAKSA DAN ABAL SUNGGUH! *PLAK!*
Ehem... Chapter 2-nya sudah menunggu. Silakan lanjutkan membaca. -v-b
Sebelumnya, minta kritik, saran, komentar, CONCRIT, ataupun FLAME untuk chapter ini ya?
RnR, please~...
