Aku mengerjapkan mataku. Cahaya silau beberapa saat lalu, saat ini digantikan dengan cahaya remang-remang. Aku mengitari pandanganku, mencoba mencari tahu tempatku berada saat ini. Aku hampir mengira tempatku saat ini adalah hutan, kalau saja aku tidak melihat sebuah air mancur dengan lampu-lampu bulat yang mengitarinya. Udara di tempat ini entah kenapa terasa kotor, mengingatkanku akan udara di Amegakure.

Aku berjalan ke arah air mancur yang berjarak beberapa meter dariku. Aku agak bergidik saat lantai marmer yang dingin menyentuh telapak kakiku yang telanjang. Harusnya Rikudou-sama membekaliku dengan sepasang sendal. Setelah sampai di tempat itu, aku mulai memperhatikan keadaan tubuhku. Dan apa-apaan baju compang-camping ini? Aku terlihat seperti gelandangan. Aku menghela nafas. Tidak seharusnya aku menyalahkan Sang Sennin, bagaimanapun ia telah memberikan kehidupan baru untukku.

"Aaarrggghhh…"

Sebuah suara memasuki pendengaranku. Suara itu berasal dari balik pepohonan di sampingku. Secara insting aku berjalan ke arah suara tersebut, dengan langkah cepat. Aku bahkan bingung dengan diriku sendiri. Tunggu dulu, apa ini memang diriku sendiri? Seseorang, beri aku cermin! Beberapa saat kemudian, pandanganku menangkap dua sosok. Yang pertama, seorang pemuda, yang kutaksir umurnya sekitar 16 sampai 17 tahun. Ia terlihat menahan rasa sakit. Sosok yang lain, aku sendiri agak bingung mendeskripsikannya, seorang gadis tengah terbang. Gadis itu memiliki sepasang sayap hitam, yang entah kenapa mengingatkanku pada gagak milik Uchiha. Di tangan gadis itu, sesuatu seperti tombak cahaya bersinar terang.

Aku menatap bingung pemandangan di depanku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Haruskah aku menyelamatkan pemuda itu? Oh ayolah… aku bahkan tidak tahu siapa orang itu. Bagaimanapun, aku bukanlah seorang pahlawan. Bahkan di kehidupanku sebelumnya, aku adalah seorang buronan kelas S, yang harga kepalanya bisa membuatmu tidak perlu bekerja lagi selama sisa hidupmu. Aku kemudian berbalik, bersiap untuk meninggalkan tempat ini. Aku tidak ingin mendapatkan masalah di hari pertama aku dibangkitkan. Aku bahkan belum melihat wajahku sendiri.

KRAAKK…

Hah… sepertinya Dewa keberuntungan benar-benar membenciku. Baru saja aku berniat menjauh dari tempat ini, kakiku menginjak sebuah ranting kering. Dan tanpa diragukan lagi, keberadaanku telah disadari gadis bersayap hitam itu.

"Hei…" Aku mendengar suara dari belakangku, membuatku menghentikan langkahku. Entah kenapa, aku merasakan hawa dingin di punggungku. Aku berbalik, menatap wajah tersenyum gadis yang perlahan-lahan terbang ke arahku. Hmm… menurutku, ia cukup cantik. Selain itu apa-apaan cara berpakaiannya itu? Apakah ia tidak kedinginan memakai pakaian dalam di malam dingin ini? "Bukankah tidak sopan pergi setelah mengintip seorang gadis?"

"Ah… maafkan aku…" Hei, untuk apa aku meminta maaf? Aku bahkan membungkukkan tubuhku ke arahnya. Apakah ini benar-benar tubuhku. "Aku tidak bermaksud mengintip. Aku hanya kebetulan berada di tempat ini." Aku mengatakan yang sebenarnya. Raut wajah gadis itu tidak berubah. Senyum manis yang terlihat agak menyeramkan itu masih menempel di tempatnya. "Aku baru saja akan pergi dari tempat ini. Bye, semoga malammu menyenangkan."

Aku berbalik, berharap gadis bersayap hitam itu melepaskanku dan kembali pada mangsa pertamanya. Tapi, sepertinya hal itu memang terlalu indah kalau menjadi kenyataan, seperti biasa. Alih-alih dilepaskan, aku malah merasakan sesuatu melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Aku secara refleks melompat menghindar dari serangan gadis itu. Tanah beberapa meter dari tempatku, berlubang setelah terkena tombak cahaya gadis itu. Yaaahh… sepertinya akan buruk jika terkena benda itu.

"He…" Aku menatap gadis yang terbang di atasku. Senyum manis gadis itu sudah tak ada lagi di sana, digantikan dengan tatapan tajam. Aku bahkan melihat tatapan itu berisi niat untuk membunuh. "Aku tidak menyangka kau dapat menghindari seranganku."

"Aku juga tidak." Aku berkata yang sebenarnya. Sejujurnya, aku merasakan perbedaan di tubuhku saat ini. Aku tidak merasakan keberadaan cakra di tubuh ini. Terima kasih pada refleks yang telah aku latih berpuluh-puluh tahun, yang membuatku bisa menghindari serangan berberapa saat lalu. "Apakah aku akan mendapatkan hadiah karena hal itu?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu, maukah kau mele-"

"Matilah!"

Aku menghela nafas. Aku tahu hal ini akan terjadi. Untung saja aku sudah menyiapkan kartu asku. Lari.

000

Aku sudah lupa kapan terakhir aku merasakan rasa sakit dan kelelahan. Lebih dari setengah hidupku aku habiskan di tubuh boneka yang aku ciptakan. Ada perasaan nostalgia yang menggelitik di dadaku. Hal itu membuatku tersenyum tampa kusadari.

"Hei… kenapa kau tersenyum?" Suara gadis bersayap itu membuatku tersadar dari lamunanku. Ia berdiri beberapa meter dariku. "Mungkinkah kau masochist?"

"Tentu saja tidak." Aku dengan cepat menyangkal ucapan gadis itu. "Meskipun aku sebenarnya tidak tahu arti kata itu."

"He… kau bahkan sempat bercanda di ambang kematianmu." Gadis itu berjalan mendekatiku. Cahaya di tangannya secara perlahan membentuk tombak. "Kau benar-benar pria yang menarik."

"Begitukah?" Aku tersenyum kecil. "Senang mendengarnya."

Saat ini keadaanku sangat buruk. Tubuhku dipenuhi dengan luka bakar dan darah. Pelarianku dari gadis itu tidak berjalan lancar. Setajam apapun instingku, tidak akan berguna tanpa tubuh yang dapat mengikutinya. Tubuh tanpa cakra ini benar-benar tubuh manusia biasa. Setelah beberapa puluh menit berlari sambil menghindari tonmbak cahaya gadis itu, tubuhku mulai kelelahan. Hal itu membuat konsentrasiku sedikit buyar, sehingga salah satu tombak cahaya milik gadis itu sukses menembus pahaku. Rasa sakit membuatku menghentikan pelarianku. Dan disinilah aku sekarang.

Gadis itu akhirnya berhenti di depanku. Aku menyadari gadis itu beberapa senti lebih pendek dariku. Aku dapat mencium aroma wangi dari tubuh gadis itu, aroma manis yang sangat berbahaya. Rambut hitamnya sedikit berkibar diterpa angin yang berhembus pelan. Aku tersenyum sedih. Sepertinya kematian memang tidak akan bisa kuhindari.

"Kalau begitu…" Gadis itu mengarahkan tombaknya tepat di depan dadaku. Aku menatap mata violet gadis itu. "Selamat tinggal…" Aku kemudian mendongakkan kepalaku, menatap bulan di atasku. Bulan yang indah. Entah kenapa, aku merasa seperti ini memang momen yang pas untuk mati. Apa-apaan pemikiran itu? Ini bahkan belum dua jam aku berada di dunia ini. "Jangan salahkan aku atas semua ini. Salahkan takdir, yang membuatmu mati di tanganku."

Takdir, heh? Kata-kata gadis itu membuatku mengingat kembali kata-kata yang diucapkan oleh Rikudou-sama. Bagaimana takdir benar-benar membenciku. Bagaimana takdir tidak mengizinkanku untuk merasakan kebhagiaan. Untuk kesekian kalinya, aku tersenyum sedih. Dan sedetik kemudian aku merasakan tombak panas itu menembus dadaku, membakar jantungku menjadi abu.

Tubuhku akhirnya kehilangan tenaga. Aku jatuh terduduk sambil mendongak.

Hei, Rikudou-sama. Jika saat ini kau mendengarku, aku ingin bertanya. Apakah tujuanmu mengirimku ke dunia ini? Apakah kau membenciku seperti Dewa-dewa lainnya, sampai-sampai kau menghidupkanku hanya untuk membunuhku lagi? Ne, katakan padaku, Rikudou-sama. Semustahil itukah kebahagian untukku? Kau tahu, ini adalah kematian ketigaku, dan kematian paling menyakitkan bagiku.

Pandanganku menggelap. Aku mulai merasakan seluruh tubuhku menjadi dingin. Aku tahu perasaan ini. Bagaimanapun, ini adalah kematian ketigaku. Jadi, bisa dikatakan aku adalah seorang veteran. Aku sedikit tertawa oleh pemikiranku.

Sebebelum pandanganku menghilahng sepenuhnya, aku melihat sesosok hitam yang berdiri di depanku. Aku tahu ia bukanlah gadis yang menusuk dadaku. Wangi mereka berbeda. Gadis di depanku saat ini memiliki aroma yang sangat menenangkan untukku. Aroma vanilla.

Tbc

Mind to RnR?