Aku menatap tak percaya pada papan di hadapanku. Di sana tertera;

Turut berduka cita untuk keluarga yang ditinggal,

Bae Jinyoung

Ini bohong, 'kan?

Aku ingat kemarin dia masih bercanda denganku. Aku ingat kemarin dia mengkritik gaya danceku yang kaku.

Dan sekarang ia sudah tiada.

Aku tak bisa percaya.

Tiba-tiba aku merasakan tangan yang merayap di pundakku, membuatku refleks menoleh.

Woojin.

"Apa?" tanyaku dingin. Aku masih bisa melihat mata dan hidungnya yang memerah, membuat moodku makin buruk saja.

"Sudahlah, Ji.. Ia sudah tiada.." ujarnya sambil mengusap pundakku.

Kuhempaskan tangannya kasar. "Aku serius, Jin. Jika kau bicara begitu lagi, akan kupastikan salah satu rusukmu patah!"

Setelah bicara begitu, aku pergi meninggalkan rumah nista ini. Rumah yang bagiku penuh kebohongan. Bagaimana bisa mereka menangis untuk sesuatu yang tak pantas ditangisi?

Untuk apa mereka menangisi orang hidup?

Iya, 'kan? Pasti Jinyoung masih hidup, 'kan?

Orang-orang itu hanya pesandiwara.

Saat ini Jinyoung pasti sedang latihan basket entah dimana.

Atau latihan dance yang kemarin belum dikuasainya.

~o0o~

Aku termenung di atas kasurku.

Walau otakku menolak fakta bahwa adik kelas kesayanganku itu sudah tiada, namun hatiku adalah kontra dari otakku.

Aku tak bisa sepenuhnya menyangkal fakta itu.

Kini tatapanku kosong. Aku tak tau harus berpikir tentang apa.

Langit masih terlihat terang namun tak panas, menandakan hari sudah sore. Sebenarnya aku hanya perlu melirik sedikit untuk memastikan jam, hanya saja aku terlalu malas melakukannya.

Aku berjalan ke arah jendelaku, ingin menutupnya. Suara anak-anak yang bermain dengan ceria membuatku muak.

Saat aku hendak menutup gordennya, aku melihat sosok yang sangat kukenal.

Berjalan menuju taman dekat rumah.

Tidak, aku tidak berbohong. Aku kenal betul sosok itu.

"Jinyoung?"

Aku segera berlari menuruni tangga, bahkan meloncati beberapa anak tangganya.

Adrenalinku berpacu cepat. Tak mungkin aku salah lihat. Orang itu begitu aku kenali. Wujudnya. Aku tak bohong.

"Jinyoung!" Aku berteriak memanggil namanya saat ia mulai terlihat dekat di hadapanku.

Jantungku berdegup kencang. Acara tadi pagi itu pasti hanya tipuan. Buktinya Jinyoung kini masih berada di hadapanku, berjalan dengan begitu santainya.

Namun tiba-tiba sosok itu menghilang saat di taman.

Aku lihat dengan jelas dia berbelok di belokan ini. Tapi ia tak ada lagi saat aku menghampirinya.

Aku memastikan dengan melihat sekeliling. Tadi aku tak mungkin salah lihat, 'kan?

Namun beberapa saat setelahnya, aku tertawa miris.

Halusinasi yang tampak nyata?

Itu memang sering terjadi.

Tapi yang tadi itu rasanya...

Apa aku menyerah saja? Menyerah pada keadaan. Menyerah pada fakta.

Aku mengacak rambutku. Bersiap untuk berbalik.

Sampai sebuah sosok di hadapanku nyaris kutabrak. "Uwaa!"

Sosok itu terdiam dahulu saat aku berteriak kaget, namun kemudian ia tersenyum padaku. "Kau tak apa?"

Aku menatapnya jengkel. "Apa yang kau lakukan di belakangku? Aku ingat tadi aku ke sini sendirian."

Ia hanya tertawa. "Maksudmu aku tak boleh ke sini? Hanya kau yang boleh?"

Aku makin kesal dengan penuturannya itu. sebaiknya aku tak usah berurusan dengannya.

Saat aku hendak melangkahkan kaki untuk meninggalkan taman ini dan halusinasi gilanya, sosok menyebalkan tadi berkata dengan agak keras, "Park Jihoon!"

Membuatku segera menoleh. Dia kenal aku?

Ia berbalik menghadapku karena memang tadi aku sempat melewatinya beberapa langkah.

Lagi-lagi ia tersenyum. Senyum yang memuakkan.

Aku hanya menatapnya minta penjelasan. Kenapa ia tau namaku, apa yang ia lakukan di sini, kenapa ia menyebalkan, dan berbagai macam hal lainnya.

Ia berjalan mendekat dan berhenti selangkah tepat di hadapanku. "Daniel," ujarnya.

Dasar orang aneh. Apa kini yang ia bicarakan?

"Namaku Daniel," lanjutnya.

Aku memutar bola mataku. Yah, aku tidak peduli namanya. Siapapun ia, aku ingin ia segera menghilang dari hadapanku.

Ia tertawa. Bisa dibilang situasi kini awkward sekali. Aku tidak peduli siapa namanya atau siapapun dia. Aku hanya ingin segera pergi dari sini.

"Bukankah kau tadi yang berlari mengejarku?" ujarnya lagi.

Hah?

Maksudnya?

Jadi siluet Jinyoung yang tadi aku lihat adalah dia? Bukan Jinyoung? Tapi dilihat dari sisi manapun dia dan Jinyoung sama sekali tidak...

Tunggu.

Aku baru sadar, ia memang menggunakan pakaian yang sama dengan sosok Jinyoung yang tadi kulihat.

Jangan bilang tadi aku menyangka orang aneh ini adalah Jinyoung? Dilihat dari segi manapun ia sama sekali tidak mirip Jinyoung.

Apa sebegitunya aku ingin bertemu Jinyoung sampai-sampai salah melihat orang aneh ini sebagai Jinyoung?

Aku tertawa miris. Sama sekali tak pantas disandingkan.

Ia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan selama aku menertawai kebodohanku sendiri.

"Sepertinya aku nyaris gila sampai-sampai menganggapmu Jinyoung!" ujarku sambil memegangi perutku yang sakit.

Kini aku bersiap untuk berbalik. Sungguh, aku bisa muntah jika berada di sini lebih lama lagi.

"Park Jihoon.." Lagi-lagi ia memanggilku.

Aku berbalik dan bersiap untuk menyemprotnya jika saja ia tidak memotongku.

"Mau kuberitahu sebuah rahasia?" ujarnya.

"Tidak, terima kasih."

"Aku serius. Kau akan menyesal jika melewatkan yang satu ini," ujarnya terkesan agak memaksa.

Aku menatapnya penuh kemuakan. Jika aku jawab 'iya', maka dia akan selesai, 'kan? Ia akan memberi tahu rahasia tidak pentingnya dan aku bisa mengabaikannya. Setelah itu aku bisa kembali ke rumah dan melupakan kejadian hari ini.

Belum sempat aku menjawab, ia sudah berkata lagi, "Ini berhubungan dengan Jinyoung.."

Apa-apaan orang ini? Bagaimana bisa ia berhasil menangkap penuh perhatianku? Kini aku tak bisa berpaling. Atensiku sepenuhnya terkunci padanya.

Jika ia tau Jinyoung dan aku, sementara aku tak mengenalnya, kemungkinan besar ia adalah teman Jinyoung. Jadi ia tau aku dari Jinyoung.

Dan ia bilang ia mau memberitahu sebuah rahasia yang berhubungan dengan Jinyoung.

Serius?

Apa rahasia tentang Jinyoung yang tidak kuketahui? Bagaimana bisa orang ini tau tanpa aku mengetahuinya?

"Kau tak akan menyesal mengetahuinya," tambahnya. Sedikit smirk tercetak di wajahnya. Namun aku tidak begitu mengindahkannya.

Bagus. Kini aku menatapnya penuh minat.

Kupikir aku benar-benar ingin tau rahasia ini. Bagaimana mungkin Jinyoung tak memberitahunya padaku?

Perlahan aku berkata, "Apa rahasianya?"